NovelToon NovelToon

Mengejar Cinta Jandaku

Selamat datang di karya Othor yang ke-3 ...

Sebelumnya di Bab pengumuman ini Othor cuma mau nyampein terimakasih banget buat pembaca setia karya othor yang ceh receh ini. Meski kadang masih belepotan nggak karuan nulisnya, tetep masih ada aja yang baca, disitu terkadang othor merasa bangga.

Bangga sama diri sendiri, bangga juga sama para readers yang mau bacain karya Othor. Bersyukur banget pokoke. Hiks... Hikss ...

Ambil tissue dulu lah, he he he ...

Siapa aja nih yang nungguin kisah baru Asmara?? Cerita yang nggak kalah seru dari sebelumnya, tentunya othor buat semakin berbeda dong ...

Jadi, siap-siap untuk ngakak guling-guling, siap-siap juga buat bucin akibat tingkah Mara dan Byan.

Yuk yuk readers merapat ....

Move On

Habis, habislah tak tersisa. Kini kesabaran Asmara telah habis, kesabaran yang selama ini terpendam didalam dirinya.

Mendapat status janda bukanlah kemauannya, mungkin ini sudah takdir yang digariskan Tuhan padanya. Tapi, mendapatkan julukan janda g*tal dari tetangga sekitar komplek membuat ia tak tahan, tak tahan untuk melabrak para rombongan ibu-ibu yang acap kali membicarakannya saat memilah-milah berbagai macam sayur-mayur pada akang sayur langganannya.

"Bu surty, apa yang ibu bilang?? Coba ulangi?" Kedatangan asmara di sambut dengan wajah terkejut oleh para ibu-ibu yang tengah membicarakannya, tanpa tahu jika Asmara kini telah ada di belakang mereka.

"Ehh ... Neng Maa-ra," ucap Ucup si tukang sayur, dengan mata membola disertai jantung yang jedag-jedug.

Surty, seseorang yang dianggap sebagai biang kerok dan suka mengompori para ibu-ibu lainnya pun terperanjat kaget.

"Bu surty, bisa ulangi apa yang baru saja ibu bilang??" mata Asmara mulai menajam, di tatapnya lekat-lekat surty yang sudah gelagapan dengan mata yang memutar kesana kemari.

"Kenapa? Kenapa ibu tidak mau mengatakan secara langsung kepada saya? Bukankah lebih seru membicarakan seseorang tapi dihadapannya langsung, Bukan hanya berani berkata dibelakang!" Asmara masih menunggu Surty berbicara, namun ia hanya bungkam hingga membanting pelan sayuran yang tengah di pegangnya tadi ke gerobak sayur Ucup.

Surty pun pergi, ia terlihat ketakutan saat Asmara mulai emosi. Surty tidak menyangka jika Asmara yang terlihat kalem dan biasa saja itu berani menggertaknya di depan orang banyak.

"Lah buuu Surtaaaay, ini sayurannya kok di tinggal?? Uh ... P-H-P!!!" Ucup meneriaki bu Surty dengan logatnya yang khas ala-ala lelaki gemulai.

Melihat bu Surty pergi, Asmara pun mulai memperingatkan ibu-ibu yang lainnya. "Ibu-ibu, dan Mang Ucup harap tidak menanggapi dengan serius perkataan bu Surty. Saya harap, kalian bisa menilai sendiri apakah ucapan itu benar atau tidak. Dan berhenti membicarakan hal buruk tentang saya, saya diam bukan berarti saya takut. Saya bisa jamin dan membuktikan, jika saya tidak pernah menggoda suami bu Surty!!!" Dengan nada tegas, asmara memberikan penjelasan berharap tidak ada lagi kesalah pahaman.

"Tapi Mara, Bu Surty sendiri yang bilang kalau dia lihat kamu terus menggoda suaminya," ucap Bu Jamilah.

"Iya, bahkan kamu pun pernah diberi uang oleh pak Amir," sambung Sarah dengan bibir tebalnya yang mengerucut.

"Ibu hanya mendengar ucapan bu Surty? Apakah ibu pernah melihatnya langsung?" Asmara semakin kesal, ia masih tak menyangka jika bu Surty bisa memanipulasi sebuah informasi untuk menjatuhkannya.

"Ya, tidak ..." jawab mereka berdua serentak saling pandang.

"Teliti dulu kabar itu Bu, sebelum menuduh dan merugikan orang lain!" Asmara setengah menggertak bu Jamilah dan Sarah, hatinya begitu kesal akibat fitnah yang terus saja menimpanya.

"Maara??" suara khas seorang terdengar ditelinga Asmara, hingga ia pun menoleh kearah asal suara.

"Steve?" Asmara membulatkan matanya sempurna, melihat kedatangan Steven. Ia pun berjalan mendekat ke arah Steven, dengan mata yang berkaca-kaca.

"Mara, apa kabar??" Tanya Steve menatap lekat kearahnya.

"Baik, sudah lama tidak bertemu," ucapan Asmara pun terhenti, ia merasa sedang di perhatikan oleh bu Jamilah dan Sarah karena berbincang dengan Steven.

Akhirnya Asmara pun memutuskan mengajak Steven masuk ke dalam rumahnya karena tak ingin terus membuat ibu-ibu itu memperhatikan Steve.

Hingga tiba di dalam rumah berlantai dua yang kini ia tempati bersama ibu dan adiknya, Asmara mempersilahkan Steve duduk di sofa ruang tamu.

Asmara menjamu Steve dengan secangkir teh hangat manis beserta satu toples cake cokelat hasil buatan tangannya sendiri.

Steven bercerita jika ia baru saja keluar dari tahanan, selama kurang lebih tiga tahun ia berada di dalam sel dengan sejumlah denda yang cukup besar, akhirnya ia keluar juga dari tempat mengerikan itu. Ia memutuskan untuk mencari Asmara dan keluarganya.

"Kamu pindah tapi tidak memberitahu aku, Mara?" Tanya Steven setelah menyeruput teh hangat buatan Mara.

"Maaf Steve, aku tidak ingin lagi merepotkanmu," ucap Asmara jujur.

Selama ini ia begitu membebani Steve setelah kejadian-kejadian yang menimpanya. Ia juga bertekad setelah semua masalah ini, ia ingin lebih mandiri.

"Apakah kamu tidak ingin kembali ke Amsterdam bersamaku??"

Niat Steven mencari Asmara adalah untuk membawanya kembali ke Amsterdam.

Asmara menggelengkan kepalanya, tanda menolak ajakan Steven. "Tidak ada yang bisa aku perbuat disana Steve. Aku sudah nyaman di Jakarta dengan usaha yang aku dirikan sendiri,"

"Mara ..." Steve membuang nafasnya pelan. "Mara, apakah keluarga Malik mengusikmu?" Steven merasa khawatir, pasalnya Asmara tinggal satu kota dengan keluarga Byan.

"Tentu aja tidak Steve. Meski kami berada dalam satu kota, tapi kami tidak pernah saling mengusik, ucap Asmara dengan tetesan air matanya ketika mengingat masa lalunya bersama Byan.

Setelah selesai mengurus semua urusan keluarga di Jogja, Mara dan keluarganya akhirnya memutuskan pindah ke Jakarta. Mereka juga baru beberapa bulan tinggal di kota ini.

"Dan Bintang, meski aku tidak pernah bertemu dengannya, tapi aku tetap mendoakannya dari jauh," lanjut Mara mengingat tentang anak sambungnya yang begitu ia rindukan.

"Bintang pasti amat bersyukur memiliki ibu sepertimu. Meski kamu bukanlah ibu yang melahirkannya," Steven tersenyum kecil, ia begitu tersanjung dengan sifat Asmara yang penyayang dan keibuan.

Asmara ternyata memiliki hati yang baik, meski Steven tahu tak banyak hal yang bisa dilakukan olehnya. Apalagi mengenai urusan dapur, Mara tak bisa melakukan apapun meski hanya merebus Air.

"Bintang tidak akan pernah tahu jika memiliki ibu sepertiku, Papanya pasti tidak menginginkan itu," dengan usapan sedikit kasar, Asmara menyeka air mata dipipinya.

"Kenapa kita harus sedih begini, haruskah kita merayakan kepulanganmu, Steve? Sepertinya harus!" ucap Asmara dengan nada yang sudah kembali bersemangat.

"Mara, apa yang perlu dirayakan?" Tanya Steven penasaran.

"Aku akan memasak hari ini, aku akan membuat makanan yang lezat," ucapan Asamara di tanggapi Steven dengan tatapan aneh.

"Memangnya kamu bisa masak? Setahuku kamu bahkan tidak bisa menyalakan kompor!" ucap Steven dengan gurauannya mengejek Asmara. Tapi memang itulah kebenarannya.

"Hmmmm, kamu belum tahu! Ya, memang dulu aku tidak bisa apa-apa. Tapi sekarang, kamu akan dibuat ketagihan oleh masakanku!" Dengan bangga Asmara memamerkan keahliannya sekarang.

"Benarkah??" Steven merasa tak percaya dengan rasa Percaya diri Asmara yang begitu tinggi.

"Kita lihat saja nanti," Asmara pun bergegas menuju dapur cantiknya, ia mulai memilah-milah berbagai bahan yang akan di masaknya di dalam lemari es.

"Dimana bu Kamila dan Randy?" Tanya Steven mencari keberadaan ibu dan adiknya Asmara.

"Randy sedang study tour ke pulau seribu. Dan ibu ikut bersamanya," jawab Asmara.

"Oh begitu, pasti saat ini Randy sudah tumbuh besar. Apakah kalian cuma tinggal bertiga, Mara?" Tanya Steven lagi.

"Ya tentu, aku ingin membatasi diri dari orang-orang diluaran sana," dengan tangan yang sibuk mencuci sayuran, Asmara masih sempat menjawab pertanyaan Steven.

"Mara, rumahmu seluas ini? Bukankah kamu membutuhkan Asisten Rumah Tangga untuk sekedar beres-beres?" Steven memperhatikan sekitaran rumah baru Asmara.

"Aku dan ibu bisa mengatasinya, Randy juga bukan anak yang pemalas dan manja," Asmara menyunggingkan senyum manis kearah Steven.

Entah mengapa melihat Asmara tersenyum seperti itu membuat hati Steven bergemuruh. Antara senang, namun bisa dibilang sedih. Senang karena kini ia bisa melihat Asmara kembali tersenyum, sedih karena sampai saat ini Steven masih belum berani menunjukkan perasaan yang sebenarnya pada Asmara.

"Steve, jangan memandangku seperti itu. Kamu bisa stroke jika terus-menrrus tidak berkedip!" Asmara melempar sisa potongan sayuran kearah Steven, hingga membuat Steven terperanjat kaget. Untung saja hanya mengenai lengannya.

"Mara, kamu terlihat semakin cantik ..." ucal Steven lirih, namun Asmara masih dapat mendengarnya.

"Steve, apakah kamu baru menyadarinya? Kamu begitu jahat!" Asmara mendengus kesal dengan nada yang sedikit bergurau.

Steven hanya bisa tersenyum, ia tak menyangka jika bertemu Asmara akan menjadikan hatinya lebih sedikit tenang dari sebelumnya.

"Steve, kapan kamu akan kembali ke Amsterdam?" Tanya Asmara ingin tahu memulihkan fikiran Steven yang tengah melayang entah kemana.

"Jika aku beri tahu apa kamu akan ikut?" Steve malah balik bertanya.

"Steve, aku serius ..."

"Aku pun serius Mara ..."

"Ck! Kamu ini. Sejak kapan kamu jadi pria yang suka lelucon? Bukankah kamu tipe orang yang serius? Apakah Hantu-hantu di dalam penjara sudah merasukimu?" Banyak pertanyaan dibenak Asmara, ia sungguh tak menduga jika sikap Steven bisa berubah menjadi lebih ramah.

"Banyak pelajaran yang aku dapatkan disana, tempat itu sungguh menyiksaku. Terlebih lagi ..."

Asmara langsung mendekat kearah Steven, ia menempelkan jari telunjuknya di bibir Steven.

"STOP! Jangan mengingat lagi kenangan buruk disana, mulailah kubur dalam-dalam semua itu Steve. Berbahagialah, kamu berhak atas itu dan jangan pernah melakukan kesalahan yang sama lagi,"

Asmara tahu, mata Steven kini tengah berkaca-kaca mengingat masa lalunya. Bahkan ia juga dapat merasakan kesedihan yang mendalam seperti yang dirasakan Steven.

Namun, semua itu tak ada artinya. Menurutnya, jika terus-menerus mengingat masa lalu maka kita sama saja menyiksa diri sendiri.

Move on, bukan kata yang hanya untuk melupakan seseorang. Tapi, kata yang bisa mengantarkan kita untuk lebih bersemangat lagi mengerjakan hal-hal baru dengan baik.

Meski kata Move On tak semudah yang diucapkan, melakukannya perlu kesabaran dan tenaga ekstra. Mara mencoba dengan sekuat tenaga untuk memulainya.

To be continue ...

Sebuah Kebetulan

"Maa-ma'af," ucap Mara menyingkirkan jari telunjuknya dari bibir Steven.

"Mara," Lirih Steven tak melanjutkan ucapannya.

"Ya??" Asmara membulatkan mata seolah siap mendengarkan Steve. Namun Steven masih diam tak melanjutkan kata-katanya, sehingga membuat Asmara kesal.

"Kamu Mengerjaiku?"

Asmara pun kembali melanjutkan aktivitasnya, mulutnya terus mengerucut merutuki Steven.

Sementara Steven hanya mengulum senyumnya, namun pandangannya masih tertuju pada Asmara.

Jujur, Asmara adalah sosok wanita yang bisa mencuri perhatiannya diawal pertemuan mereka kala itu. Hingga saat ini, sebenarnya hati Steve masih menyimpan baik nama Asmara.

Tak terasa waktu terus berjalan, hingga satu jam makanan yang di buat Mara pun sudah siap terhidang di atas meja makan.

"Siap," Asmara melepas celemeknya, ia merapihkan meja makan dengan senyuman yang selalu menghiasi wajahnya.

"Waoo ..." Steven takjub dengan tampilan meja makan dengan berbagai macam makanan diatasnya.

"Tuhan, aku tidak percaya semua ini,"

"Kamu tidak percaya, Steve?" Tanya Mara menaruh beberapa lauk untuk steven.

"Ya, apa kamu benar-benar masak? Atau kamu membelinya Online?" Tanya Steve lagi.

"Ck! Jelas-jelas kamu melihat aku memasak semua ini. Cobalah, aku tahu kamu sangat menyukai seafood," Asmara meletakkan sepiring nasi beserta beberapa lauk kehadapan steven.

"Aku terharu, kamu tahu segalanya tentangku," ucap Steven memuji.

"Kamu tidak memberi racun, kan?" Setelah memuji Mara, Steven kembali menggodanya.

"Jika kamu tidak mau makan, berikan padaku," Asmara mulai merajuk. Ia mencoba menarik kembali piring dihadapan Steve, namun dengan cepat Steven segera mencekal piring itu.

"A-aku mau mara. Ya tuhan, beberapa tahun tidak bertemu sekarang kamu menjadi sensitif," ucap Steven menatap Mara dengan heran.

Mereka berdua pun makan bersama, dengan disela beberapa candaan. Steven merasa jika seorang Asmara sudah banyak berubah kali ini. Saat ini Mara lebih terlihat ceria dan banyak bicara tidak bersikap cuek, banyak diam dan kaku seperti dulu.

"Kapan kamu akan kembali ke amsterdam, Steve?" Tanya Mara dengan sesekali menatap kearah Steven.

"Entahlah," Steven menggedikkan bahunya dengan mulut terus mengunyam makanan buatan Mara. Sepertinya kali ini Steve begitu menikmati masakan rumahan yang dibuat Mara untuknya.

"Aku bertanya serius, Steve," ucap Mara lagi yang sedikit kesal karena sejak tadi Steve terus saja bercanda.

"Em, menurutmu bagaimana? Sepertinya aku akan lebih lama tinggal di Jakarta," jawab Steve dengan memicingkan senyumannya.

"Sungguh? Kenapa tiba-tiba berubah? Bukankah tadi kamu bilang akan kembali ke Amsterdam?" Banyak sekali pertanyaan Asamara pada Steve, hingga membuat Steve kebingungan harus menjawab yang mana.

"Entahlah, tapi yang jelas aku masih ingin tetap disini,"

Steven terdiam menatap kearah Asmara sejenak, kemudian ia segera menepiskan berbagai macam fikirannya. Sejujurnya Steven juga tak mengerti, setelah lama tak bertemu Asmara, saat ini ia merasa masih ingin terus tinggal di Jakarta. Entahlah, Steven juga belum begitu memahami arti hatinya saat ini.

"Jika seperti itu, bagaimana jika besok kamu ikut denganku?" Asmara berniat mengajak Steven untuk ikut bersamanya berkunjung ke suatu tempat.

"Kemana?" Tanya Steven ingin tahu.

"Ikut saja, nanti juga kamu akan tahu, Steve."

Asmara mengulum senyuman manisnya, hal itu pun membuat Steven tak bisa berkutik. Hingga Ia memilih melanjutkan makannya kembali.

...****************...

Keesokan Harinya, Asmara di jemput oleh Steven pun kini dijadikan bahan pembicaraan oleh ibu-ibu komplek.

Padahal kemarin Mara sudah memberi peringatan kepada mereka, namun sayang peringatan dari Mara tak juga didengarkan.

"Tuh lihat, dasar janda Gat*l," ucap Surty wanita yang entah mengapa sangat tak menyukai Asmara.

"Tuh laki-laki bakal jadi korban selanjutnya, pasti!" Lanjut Surty berbicara sedikit berbisik kepada ibu-ibu yang lain.

"Husssttt! Jangan seudzon. Kemarin saja bu Surty habis di gertak Mara langsung kabur," jawab mang Ucup si tukang sayur meledek Surty.

"Iya, kemarin bu Surty takut banget ya sama Mara? Jangan bisanya berbicara dibelakang bu ..." Sambung Sarah mencoba menyadarkan Surty.

"Ho'oh, bicaralah didepannya kalau memang berani!" Lanjut Jamilah kemudian menyambung ucapan Ucup dan Sarah.

Asmara yang melihat gelagat aneh ibu-ibu komplek pun tahu dan paham jika kini ia tengah dibicarakan oleh mereka. Namun karena menghargai Steve, ia tak mau ambil pusing. Ia merasa semua ini sudah terbiasa untuknya.

"Ada apa Mara?" Tanya Steve karena Mara tak juga masuk ke dalam mobil.

"Oh, tidak apa-apa Steve. Ayo kita berangkat," Asmara pun masuk kedalam mobil.

Butuh waktu satu jam lebih menuju lokasi yang di tuju Mara. Hingga tak terasa, mereka pun tiba di tempat.

Steven menatap sekeliling tempat yang di singgahi, ia memutar matanya ke kiri kemudian ke kanan. Banyak anak-anak yang menyambut kedatangan mereka. Apalagi saat Asmara turun dari mobil, sontak hampir semua anak-anak itu memeluk dan menyalami Asmara secara bergantian.

"Steve, ayo turun," Asmara mengetuk-ngetuk kaca mobil membuyarkan lamunan Steven.

"Oh, Baiklah," Steven pun bergegas turun dari mobil kemudian membantu mara menurunkan beberapa dus dari dalam bagasi yang tadi dibawanya.

Asmara mengajak Steven ke sebuah panti asuhan yang biasanya ia kunjungi. Setiap bulannya Mara selalu berkunjung ke panti asuhan ini.

Tak heran jika anak-anak disini sudah mengenal baik sosok Asmara. Begitupun ibu Rahma wanita paruh baya yang mengurus panti asuhan ini.

Asmara masuk ke dalam panti, saat itu pula ibu Rahma sedang ada tamu hingga Mara memutuskan untuk bermain sebentar diluar bersama anak-anak.

Saat sedang asyik mengajak anak-anak bermain, ada seorang anak perempuan yang berlari dari dalam menuju lapangan tempat mereka bermain.

Anak perempuan berusia sekitar lima tahun itu lari dengan penuh semangat hingga ia pun tersandung batu dan terjatuh.

Ia merengek menangis, hal itu membuat Mara berlari dan segera menolong anak kecil itu.

"Hei, tak apa sayang, Jangan menangis ..." bujuk Mara dengan menggendong anak kecil itu dengan menepuk-nepuk pelan pundak bagian belakangnya.

"Huaa...Huaa..." Anak perempuan itu sudah sedikit memelankan suara tangisannya saat mara menggendong dan menenangkannya.

"Tidak apa, ada banyak teman disini. Kamu tidak sendiri ayo kita main sama-sama," Mara menggendong anak itu menuju ke tempat anak lainnya berkumpul.

Mara mendudukkan anak kecil itu dan mencoba menghiburnya dengan penuh senyuman. Ia mengusap-usap pelan kaki sang anak kecil yang sedikit tergores karena jatuh.

"Siapa namamu sayang? Apa masih sakit?"

Anak itu mengangguk pelan, "Star ..." ucapnya pelan sembari mengusap sisa-sisa air mata di pipinya yang gembul.

"Star?? Nama yang cantik, secantik orangnya," Mara mencubit pelan pipi sang anak yang menyebut dirinya bernama Star itu.

"Tante juga cantik," ucapnya membalas dengan senyum senang.

"Non star?? Aduh, ternyata ada disini," Seorang wanita muda dengan pakaian ala baby siter menghampiri Star dengan wajah panik.

"Mba, Star masih ingin main sama tante," ucap Star menjawab ucapan baby siternya.

"Omma dan Papa mencari non star, kita harus pulang Besok kita main lagi ya," Rayu baby siter itu pada star.

"Tapi Star tidak mau, Star masih mau main sama tante ..." rengek Star pada baby siternya menolak untuk pulang.

Melihat tingkah Star, Mara pun segera bertindak dan coba merayunya. "Star, cantik. Omma dan Papa sudah menunggu. Star pulang dulu ya, besok kita main sama-sama lagi ya," Mara membujuk Star dengan mencubit gemas pipi anak itu.

"Tapi Tante besok ada disini juga?" Tanya Star pada Mara.

"Besok? Besok hari Senin, bukan? Star tentu sekolah?" Dengan penuh kelembutan Mara mencoba memberikan pengertian pada Star.

"Star, cantik, anak baik besok sekolah, bagaimana jika minggu depan kita bertemu disini lagi?"

"Yah, lama ..." ucap Star mengerucutkan bibir mungilnya.

"Emmm, jika begitu Star bisa temui Tante di sini," Mara mengeluarkan sebuah kartu alamat toko kuenya yang bernama The Star CAKE'S.

"Sungguh? Tante tidak bohong?" Dengan senang hati Star memeluk Mara kegirangan.

Deg!!!

Seperti pernah mengalami hal ini, Mara merasa pelukan Star kali ini membuatnya teringat akan Bintang.

"Apakah hanya kebetulan? Kenapa seolah aku merasa jika kini sedang bersama Bintang?? Oh Tuhan, mungkin ini hanyalah kebetulan semata," Batin Mara.

Dari kejauhan, Mara memandangi kepergian Star bersama baby siternya. Terkadang Star berbalik dan melambai-lambaikan tangannya kepada Mara.

Dari kejauhan terlihat oleh mata Mara dua orang yang keluar dari panti asuhan. Ia menebak jika itu adalah tamu dari bu Rahma dan keluarga dari Star bocah yang baru saja ia temui namun sudah mampu membuatnya gemas.

Setelah mobil hitam yang dinaiki Star melaju pergi, ia pun segera mendekat pada bu Rahma.

"Mara," Bu Rahma segera menyapa Asmara.

"Bu, apa kabar?" Mara pun menyalami bu Rahma. Tak lupa ia pun memperkenalkan Steve pada bu Rahma.

Dengan beberapa Obrolan, karena Mara memang suka berkunjung ke panti asuhan yang diurus oleh Bu Rahma, ia sudah terlihat akrab.

"Bu, sepertinya tadi ada tamu?" Tanya Steve pada Bu Rahma.

"Oh, iya itu Donatur baru. Alhamdulillah ..." ucap Bu Rahma dengan ramah.

"Alhamdulillah ..." ucap mereka semua bersamaan.

...****************...

Sementara diperjalanan, Star masih memandangi dan mencoba mengingat alamat yang tercantum di sebuah kartu yang kini ia pegang. Dengan penuh senyuman manis, Star terus saja mengingat-ingat tentang Mara.

"Kenapa aku lupa bertanya nama Tante cantik itu??" Gumam Star dalam hati.

"Omma, Star tadi bertemu dengan tante cantik sekali," dengan nada manjanya, Star bercerita pada Andryani neneknya perihal Mara.

"Oh ya? Cantik tante atau Omma?" Tanya Andryani menanggapi cerita cucunya.

"Cantik tante itu, tante itu mirip Mama Star Omma," Balas Star pada pertanyaan Andryani.

"Oh ya? mungkin itu memang jelmaan mama Star," Andryani menekan hidung Star yang menggemaskan itu.

Sementara Byan fokus menyetir, ia hanya menanggapi cerita anaknya dengan memicingkan senyumannya sesekali. Senyuman yang bahkan orang lain pun tak bisa melihatnya.

Saat sedang dipertengahan jalan, Star tertidur pulas dipangkuan ommanya. Situasi itu membuat kesempatan Andryani menyelidiki Sumi si pengasuh Star.

"Mba sum, star tadi bertemu siapa?" Tanya Andryani penuh selidik.

"Wanita itu baru saya lihat Umi, dia cantik dan lembut. Dia juga memberikan alamat toko kuenya pada non Star," ucap Sumi dengan jujur.

"Mba! Saya sudah bilang, jangan pernah mempertemukan Star pada orang sembarangan! Apa?? Alamat toko? Bahkan Star baru saja bertemu dengannya, jangan biarkan Star berkomunikasi terlalu lama dengan orang Asing! Mengerti??" Dengan intonasi yang tinggi Byan membentak dan memperingatkan Sumi. Ia merasa tak terima jika Star bertemu dengan orang asing.

"Ma-maaf tuan saya tak akan mengulanginya lagi," Sumi meremas ujung bajunya karena perasaannya kali ini begitu takut. Wajahnya tertunduk dengan nada suara sedikit gemetar.

"Byan, bukan salah Sumi. Namanya juga anak kecil, apalagi Star sangat butuh kasih sayang seorang ..."

"Umi, Star sudah mendapatkan kasih sayang semua itu dari Byan!" Byan langsung memotong ucapan Andryani yang belum juga selesai.

Ya, Byan memang begitu. Jika menyangkut Star anaknya ia merasa sangat sensitif.

Andryani menatap Sumi kasihan, ia merasa bersalah atas sikap anaknya itu. Hingga Andryani pun mengambil secarik kertas kartu alamat toko kue yang ada ditangan Star dan menyimpannya.

Jika Byan tahu, mungkin ini akan menjadi masalah besar. Namun jika Andryani membuang kartu itu, ia takut suatu hari Star akan marah dan mencarinya.

Star, kala itu byan tak mengizinkan orang-orang disekitarnya memanggilnya Bintang. Ia sengaja memberi nama panggilan Star agar ia bisa menghapus semua kenangan buruk dari masa lalunya.

Baby siter yang mengasuhnya pun selalu berganti karena merasa tidak betah dengan Byan yang bersikap keras dan acap kali menyalahkan pengasuh meskipun Star lah yang salah. H itu membuat para pengasuh Star banyak yang mengundurkan diri.

Sumi, ia baru saja bekerja tiga bulan. Itu pun di tahan karena ia sangat butuh dengan pekerjaan ini untuk membantu orang tuanya. Ya, hanya Sumi lah yang paling lama bekerja menjadi pengasuh Star.

Keesokan harinya, setelah pulang sekolah Star yang biasa dijemput oleh sopir dan Sumi pun meminta mengantarkannya ke suatu tempat.

Sumi berniat izin pada bossnya terlebih dahulu, namun Star menghalanginya. Ia meminta sumi tidak memberitahu hal ini pada omma atau papanya.

Star memberikan alamat itu pada pak Kurdi sang sopir, meski berat hati Pak Kurdi dan Sumi pun mengantarkan Star ke alamat yang tertera. Tulisan tangan Star memang tak buruk, alamat yang ia tulis masih dapat terbaca oleh pak Kurdi dan Sumi.

Star bisa dibilang cukup cerdas, ia pandai dalam mengingat sesuatu hal ataupun pelajaran sekolah. Kini Star menuju alamat toko kue yang diberikan oleh Mara kemarin, untung saja Star sempat mengingat dan membaca alamat pada kartu yang diberikan Mara. Jadi, meskipun kartu alamat itu hilang Star masih mengingatnya.

Hingga tibalah pada tempat yang dituju, ternyata tepat. Toko kue dan ada Mara didalamnya.

Star masuk dengan diiringi Sumi yang sedikit celingukan takut jika ada Byan yang melihatnya.

"Tante....." Teriak Star saat melihat Mara sedang menyusun beberapa toples kue di rak.

Mara menoleh keasal suara, dan ternyata itu adalah suara bocah yang kemarin ia temui.

"Star?"

Star berlari kearah Mara, ia pun memeluk Mara erat. "Tante, akhirnya kita bertemu," ucap Star dengan senang.

"Star, kenapa masih memakai baju sekolah? Jangan bilang Star kesini sepulang sekolah?"

"Iya, Star mau bertemu tante," ucapnya manja.

"Mba, maaf. Saya tidak bisa berlama-lama disini takut tuan akan memarahi saya karena non Star meminta bertemu dengan Mba dan tanpa izin tuan," Sumi memberitahu Mara tentang kejadian sebenarnya.

"Ya Tuhan, maaf ya mba, saya akan memberi nasihat pada Star sebentar," dengan penuh keramahan Mara mencoba memberi pengertian pada Star.

Setelah berhasil membujuk Star dengan susah payah, Mara memberikan satu toples cake cokelat kepada Star sebagai hadiah agar ia segera pulang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!