NovelToon NovelToon

Takdir Cinta Preman Sholeh

Bab 1 Di minta pulang

''Assalamualaikun Mang Ustad" sapa seorang santri,yang datang tiba-tiba.

"Wa'alaikumsalaama,ada apa Mang?"jawab Zain singkat.

(Mamang/mang adalah panggilan untuk para santri laki-laki baik muda ataupun yang lebih tua)

"Mang Ustad di panggil Abah Yai, katanya ada telepon dari Pamannya Mang Usttad.'' ujar Mang santri.

"Oh, ya sudah nanti saya menemui Abah sebentar lagi.'' jawab Zain lagi.

Mang santri itupun kembali ke rumah Abah Yai setelah pamit kepada Zain.

Sementera,ia sendiri menutup pengajian itu dan lekas pamit kepada santri juniornya untuk menemui Abah Yai.

"Assalamualaikum Abah.'' ucap Zain sambil berdiri di depan pintu yang terbuka.

"Wa'alaikumsalam warohmatullah.'' jawab seorang lelaki sepuh dengan tampilan berkharisma,duduk di ruang tamu.

"Masuklah." sambung Abah Yai.

Zain pun masuk sambil membungkukan badannya menyalami tangan Sang guru kemudian mencium punggung tangannya dengan takjim, lalu dia pun duduk di bangku berhadapan dengan Gurunya di antara meja.

"Ini, ada telpon dari Pamanmu, katanya ada sesuatu yang penting yang ingin pamanmu bicarakan." kata Abah Yai sambil menyerahkan handphonnya.

Zain pun menerima hp itu dari tangan Gurunya.

"Assalamualaikum Paman, bagaimana kabar Paman?" Zain memulai pembicaraan.

"Wa'alaikumsalam warohmatullah. Alhamdulillah Paman baik-baik saja, kamu sendiri bagaimana kabarnya di pondok?" ujar sang Paman di sebrang sana.

"Alhamdulillah saya juga baik-baik saja Paman, oh ya, ada apa Paman tiba-tiba menelepon, ada sesuatu yang penting kah?"kata Zain to the point.

"Begini Zain, besok Paman harap kamu bisa pulang dulu, ada sesuatu yang ingin Paman amanahkan ke kamu, Paman juga sudah minta ijin ke Gurumu dan sepertinya Beliau mengijinkan." jawab Sang Paman di sebrang sana.

"Amanah apa Paman, apakah ada kaitannya dengan Ibuku, bukankah ibu baik-baik saja?" tanya Zain menghawatirkan kondisi Ibunda 'nya.

"Jangan khawatirkan ibumu, Ibu 'mu baik - baik saja. Ini masalah Paman sendiri. Ya sudah kalu begitu Paman tunggu besok kepulanganmu, dan salam untuk Abah Yai, paman sedang banyak urusan. Assalamualaikum." tut tut tut!!! sang Paman mengahiri panggilan sepihak di seberang sana.

"Wa'alaikumsalam.'' Zain pun menurunkan telpon dari teling kananya, dengan berbagi macam pertanyaan di benaknya.

"Abah bagimana ini?saya di suruh pulah oleh Paman, katanya ada amanah yang akan beliau sampaikan." katanya setelah mengakhiri telpon dengan Pamannya.

"Ya sudah,pulanglah dulu,mungkin Pamanmu ada sesuatu yang penting denganmu, paman 'mu juga sudah izin ke Abah jadi ya terserah kamu. Abah izinkan ko, tapi jangan lama-lama ya." ujar Abah Yai memberikan izin.

"Baiklah Abah, karena ini baru jam dua siang, saya langsung pulang sekarang saja Bah.'' lanjut Zain.

"Ya sudah, nanti Abah suruh salah satu santri untuk mengantarkanmu pulang. Bagimana?" tanya Abah Yai.

"Tidak perlu Bah, saya naik angkot saja, bukankah setelah ini ada pengajian kitab kuning, kasian nanti santri yang mengantarkan saya tidak bisa ikut pengajian Abah." kata Zain merasa tidak enak hati.

"Ya sudah hati-hati di jalan, sampaikan salam dari Abah untuk Pamanmu." lanjut Abah Yai.

"Insha Allah Bah. Oh iya, tadi juga Paman menghaturkan salam pada Abah Yai sebelum beliau menutup telponnya." smbung Zain lagi.

"Ya sudah kalau begitu salamkan balik pula dari Abah." ucap Sang Kiyai.

Zain pun segera menyambut tangan Sang Kiyai, ketika Kiyai mengulurkan tangan kanannya terlebih dulu kemudian mencium punggung tangan Kiayai deng takzim.

"Kalau bgitu saya pamit Abah. Assalamuaalaikum." ujar Zain sambil membalikan badannya menju kearah pintu.

"Wa'alaikumsalam.'' ya sudah hati-hati, jangan lupa pula haturkan salam untuk Ibumu." kata Abah Yai lagi.

"baik Bah." sambut Zain.

Zain pun bergegas menuju pondoknya untuk mengambil beberapa baju untuk di bawanya pulang.

Setelah itu, Zain pun berpamitan kepada beberapa santri yg bertemu dengannya ketika akan menuju pintu gerban Pondok untuk menunggu mobil angkot.

Sepuluh menit kemudian sebuah angkot pun berhenti di depan Zain stelah melambaikan tangan sambil mengucapkan kata "kiri".

"Ke mana Mang?"ucap si sopir angkot.

"Langsung terminal ya bang." ujar Zain.

"Siaap Mang." kata supir dengan semangat.

Kurang lebih stengah jam perjalanan mobil angkot pun sudah tiba di terminal, kemudian Zain pun turun dari angkot lalu memberikan ongkosnya kepada si supir, ia pun lekas berpindah ke mobil Bus jurusan kota yang sedang menunggu penumpang penuh, setelah penumpang penuh mobi bus pun berjalan menuju kota.

Setelah kurang lebih dua jam perjalanan,bus pun tiba di sebuah lampu merah, entah lampu merah yg ke berapa yang sudah di lewati mobil bus itu. Zain pun turun setelah memberikan uang ongkos kepada kondektur.

Kemudian pemuda berusia dua puluh lima tahun itu berpindah ke jalur jalan sisi sebelah kiri, untuk menunggu angkot jurusan kampung halamannya.

Lima menit kemudian, sebuah mobil angkot berwarn biru berhenti di depannya.

Zain pun mebuka pintu sebelah kiri angkot itu, lalu duduk berdampingan dengan si sopir, sedangkan bangku di belakang sudah ada beberapa penumpang.

"Mau kemana Sep?" ujar sang sopir yang diperkira berusia empatpuluh lima tahunan, sambil menjalankan mobil angkotnya.

(Asep atau Ujang,adalah sapa'an untuk lelaki yang lebih muda).

"Simpang tiga Dukuh ya pak." jawab Zain singkat.

"Kayak 'nya Asep baru pulang dari pondok ya?" tanya Pak sopir karena melihat penampilan Zain yang memakai peci, kemeja serta sarung kotak-kotak yang ia kenakan sejak ia berangkat pulang dari pondok.

"Betul Pak saya baru pulang dari pondok." jawab 'nya singkat.

"Mondok di mana, dan sudah berapa lama kamu mondok?" ujar Pak supir sudah mulai keppo.

"Di Banten Pak, tepatnya di Pandeglang, sejak lulus SD dan Ayah saya meninggal, Paman saya mengantarkan saya mondok di sana, paling satu tahun sekali saya pulang ketika Hari Raraya Idul Fitri atau lebaran pak." jawab Zain panjang lebar.

"Lalu sekarang umurmu berapa?" tanya Pak supir lagi.

"Umur saya sekarang dua puluh lima tahun, ini juga saya pulang karena di telpon Paman di suruh pulang dulu." jawab 'nya kembali.

"Jangan-jangan kamu anaknya Almarhum Haji Abdullah. Guru ngaji yang di kampung Dukuh." ujar Pak supir menduga-duga.

"Betul pak." jawab Maher singkat. Namun...

CHEEET!!!.

Tiba-tiba mobil berhenti mendadak, membuat penumpang yang di belakang terkejut, tak terkecyali Zain, bahkan salah satu penumpang di belakang kepalanya kejedot jok bagian belakang Pak sopir.

"Pak Sopir, hati-hati dong bawa mobil, di kiranya kita barang apa, kita kan orang Pak. Mana lagi buru-buru lagi." kata salah satu penumpang dari arah belakang.

"Iya nih pak supir, kalu ngobrol sambil bawa mibil, jangan ngerem mendadak juga, kita semua kaget nih." ujar penumpang di belakang supir yang kejedot jok, sambil tangan kananya mengusap-usap kepalanya.

"Ya sudah, Pak sopir lanjutin lagi aja jalannya." ujar Maher merasa kurang enak hati pada para penumpang di belakang.

Kemudian sang sopirpun melanjukan kembali mobil angkotnya dengan perlahan.

''Jangan ngerem mendadak lagi Pak sopir.'' ujar seorang Ibu dari belakang.

''Iya iya. Bawel banget sih.'' jawab supir sedikit kesal.

Next,,, part 2.

Bab 2 Pulang ke rumah

Mibil Angkot itupun melaju kembali dengan kecapatan sedang. Sementara Pak sopir masih terus bertanya tentang Pemuda yang ada di samping kirinya.

"Kalau tidak salah nama 'mu Zain kan?" tanya Pak sopir.

"Ko Bapak tau juga nama saya?" tanya Balik Zain keheranan.

"Ya tentu saya tau siapa kamu, sebab Bapak pernah belajar ngaji kepada Alamarhum Ayahmu. Saat itu kamu masih kecil. Dan semenjak Ayahmu meninggal kami benar-benar kehilangan sosok Guru, karena sejak sepeninggalan Ayah 'mu tidak ada lagi yang melanjutkan Majlis Ta'lim itu." lanjut Pak sopir menjelaskan.

"Sebenarnya masih, cuma sekedar ngajar anak-anak Al Qur'an saja, dan Ibu lah yg mengajari mereka." kata Maher, sambil pandangannya terkadang melihat Pak Sopir atau lurus kedepan.

"Iya, saya tau itu. Dan saya berharap kamu bisa menggantikann Ayah 'mu untuk menghidupkan kembalu Masjlis Ta'lim itu." lanjut Pak sopir lagi.

"Insha Allah Pak, mohon do'anya saja, mungkin tidak untuk sekrang-sekarang ini." lanjutnya lagi.

"Kiri Pir." titah salah satu penumpang dari belakang yang hendak turun.

"Ini ongkosnya Pak, kembaliannya ambil aja." kata si penumpang sambil memberikan ongkosnya dari sisi kiri pintu depan, kemudian berbalik dan pergi.

"Uang pas aja bilangnya kembalin, dasar ibu-ibu." ucap Pak Sopir merajuk, kemudian melajukan mobilnya kembali.

Tak berselang lama Zain pun tiba di Pertigaan Dukuh. Sebelum turun, ia pun mengabil uang kertas dari saku kemejanya.

"Ini Pak Ongkosnya." ucap Zain lalu menyerahkan uang kertasnya.

tanpa di duga Pak supir menolaknya, lalu memasukan kembali uang itu ke saku kemejanya Zain.

"Tidak perlu, khusus untuk kamu saya kasih geratis, dan ini tolong berikan kepada Ibumu." ujar Pak sopir, sambil tangannya begerak merogoh saku celananya lalu menyerahkan dua lembar uang merah bergambar Sang Proklamator.

"Lho ko, Pak ini kenapa tadi uang saya bapak tolak, malah sekarng bapak ksih saya uang?" Zain balik bartanya karena tak mengeri.

"Ini shodakoh dari saya untuk Ibu kamu, tolong titipkan salam untuk Ibu mu, bilang pada Ibumu ada salam dari Pak Maman, murid Almarhum Ayahmu dari kampung sebelah.'' lanjut Pak Maman.

Zain pun menerima uang itu meski dengan berat hati.

"Ya sudah sekarang kamu lekas Pulang, mungkin Ibumu sudah merindukan kepulanganmu. Saya mau narik lagi, In sha Allah, kapan - kapan saya akan bersilaturahmi ke rumahmu dengan teman-teman saya yang lain yag pernah ngaji bareng pada Almarhum Ayahmu." lanjut Pak Maman.

"Baiklah, kalua begitu saya haturkan banyak - banyak terima kasih, saya pamit Pak. Assalamualaikum." Zain pun begegas turun.

Brruggh!!, pintu pun kembali di tutup olehnya, kemudian bergegas Zain pun menghampiri tukang ojek yang sedang mangkal di persimpangan itu, sedangkan angkot kebali bejalan perlahan.

"Eh Zain ya?" tanya seorang ojek yg turun dari motornya yangg usianya seumuran dengan Zain.

"Oh, Kamu Dadang ya?, Assalamualikum." jawab Zain balik bertanya dengan mimik keterkejutan di wajah gantengnya.

"Wa'alsikumsalaam." jawab DAdang sambil menerima uluran tangan kanan Zain, lalu menepuk-pundak kirinya. Zain pun balik menepuk-nepuk pundak kirinya Dadang, seperti sahabat yang sudah lama tidak bertemu.

"Kamu sekarang ngojek?" tanya Zain usai bersalaman.

"Engga, ini iseng aja karena aku gak lagi kerja, kebetulan aku kebagian kerja sip malam." jawab Dadang sambil keduanya berjalan menghampiri motorn 'nya. Sementara tukang ojek lainnya memandangi mereka tapa ekpresi.

"Oo, jadi kamu masih jadi satpam di Pt yang pernsh kamu ceritakan?" lanjutnya.

"Yaah!, mau gimana lagi, pengen sih ganti kerjaan, izasahku kan cuma SMA dan cari kerjaan sekatang susah, apalagi kalau tanpa skil yang mumpuni." lanjut Dadang lagi.

"Oo begitu ya, kalau begitu tolong antarkan ke saya rumah Ibuku, aku sudah rindu dengan beliau." ucap Zain lagi.

"Ok bro, lets go!. Hai bro aku antarin temenku dulu ya!!'' ujar Dadang sambil izin pamit kepada tukang bojek lainnya.

"Ok bro, hati-hati ya!." ucap mereka kompak.

Zain pun naik ke motor di belakang Dadang, sedang Doni sudah menghidupkan motornya.

"Subhanaladzi sahorolana hadzaa wamaa kunnalahu mukriniin." doa Zain lirih, namun Dadang yang di depan mampu mendengarnya dengan jelas. Sebenarnya iya sudah membaca Do'a naik kendataan itu, sejak naik angkot prtama kali di depan gerbang pesantrennya.

"Masya Allah. Emeng bener ya kalu naik kendaraan ama santri gak pernah lupa dari do'a." kata Dadang sambil matanya fokus memandang ke depan.

"Ya memang harus begitu Dang, meski kamu yang mengendarai motor ini, setidaknya saya sudah meminta pada Allah, agar Allah sendiri yg mengendalikannya, supaya kita selamat." ucap Zain menjelaskan, sedangkan kedua telapak tangannya di letakan di atas kedua lututnya kanan kiri.

"Aamiin." jawab Dadang, lalu ia pun menambah sedikit kecepatan laju motor metiknya.

"Dang, kamu tau kan Pamanku?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Maksudmu Bang Junet?" tanya balik Dadang.

"Iya, nama aslinya Junaidi, tp kebanyakan  orang manggilnya Bang Junet, mungkin karena beliau ketua para preman pasar." jawab Zain menjelaskan.

"Ya pasti tau lah, siapa yang gak kenal Bang Junet?, orang yang mengendaikan keamanan pasar di kota ini." ucapnya berhenti sejenak.

"Tapi aku lihat dia sekarang jarang ke pasar, mungkin hanya sesekali jika ada keperluan mendesak. Bahkan aku perhati'in akhir-akhir ini dia rajin sholat berjamaah di Masjid." lanjut Dadang menjelaskan.

"Syukurlah kalau memang begitu, lagian Beliau kan sudah tua, sudah waktunya ia memikirkan akhiratnya." sambung Maher menanggapi.

Dia tidak menyadari, bahwa itulah tujuan Sang Paman memintanya pulang, supaya dia 'lah yang menggantikannya menjadi Ketua Keamana Pasar.

Tak terasa waktu pun sudah menunjukan jam lima kurang lima belas menit.

"astagfilrullahal'adziim!!!, sampai lupa kalau belum sholat ashar." ucap Zain membatin.

"Dang kita Mampir dulu ke Masjid sebelum ke rumah, aku lupa kalau belum sholat ashar." ujar Zain seraya menepuk-nepuk pundak kanan Dadang.

"Lah sama Zain, aku juga lupa kalau belum sholat ashar, ok lah bentar lagi kita nyampe Masjid." jawab Danag singkat.

Tak berselang lama mereka pun berhenti di sebuah Masjid, Yang tentunya Zain pun tak merasa asing dengan Masjid tersebut, karena sudah masuk bagian dari kampung halamannya.

Merekapun lekas menuju tempat wudhu, sebagai salah satu syarat jika ingin melakukan sholat.

Usai sholat berjama'ah, merekapun melanjutka perjalannya, dan kini tibalah Zain di depan rumahnya yang hanya melewati beberapa rumah dari Masjid. Ternyata, mereka sudah di tunggu oleh Paman dan Bundanya, yang sedang duduk di bangku kayu depan teras rumahnya yang sederhana.

Rupanya, Sang Paman sudah datang beberapa menit lalu sebelum kedatangan Zain dan Dadang.

"Assalamualaikum." ujar Zain dan Dadang tak sengaja bersamaan.

"Wa'alaikumsalaam warohmutullah." jawab Ibu dan Paman bersamaan pula.

Sementara sang Ibu menoleh 'kan kepalanya ke belakang, terlihat kaget kemudian lekas berdiri menyambut Sang Putra yang sudah lama dirindukannya. Sedang 'kan Sang Paman tak lama turut berdiri pula, bibirnya tersenyum seakan menampakan kebeahagiaan.

nrxt,,, part 3.

Bab 3 Pemintaan Paman

''Zain, kamu kah itu Nak?" tanya Sang Bunda, terlihat kedua matanya berkaca-kaca.

"Iya Bunda, ini Zain Bun, anak Bunda." ucapnya, lekas tangan kanannya meraih tangan Sang Bunda, menciumnya berkali-kali, kemudian mereka berdua perpelukan sambil menangis terisak-isak, seakan siapun yang melihatnya tampak sangat mengharukan.

Setelah keduanya melpas rindu antara anak dan ibu, Zain pun bergantian menyalami Sang Paman dan memeluknya. Sementara Dadang turut besalaman pada kedua orang tua tersebut. Mereka pun duduk di kursi kayu, Zain berdampingan dengan Ibunya di kursi panjang, semtara Dadang berdampingan dengan Sang Paman dengan kursi masing-masing.

"Bagaimana kabar Abah Yai Nak, apa beliau baik-baik saja?" ucap Sang Bunda sambil tangan kanannya lekat memegang tangan putra satu-satunya itu.

"Alhamdulillah Beliau baik-baik saja, tidak kurang suatu apapun." balas Zain menjelaskan."

"Oh iya, Beliau juga menghaturkan salam untuk Paman dan Bunda." lanjutnya.

("ALLAHU AKABAR ALLAAHU AKBAR")

("ALLAAHU AKBAR ALLAAAHU AKBAR")

Belum selesai Obrolan mereka, suara adzan berkumandang dari toa Masjid yangg Zain dan Dadang singgahi tadi.

"Karena magrib sudah tiba gimana kalau kita ke masjid dulu. Ohya Dadang,kamu mau ikut sholat di masjid kami?" tanya sang Paman.

"Oh, seprtinya enggak Bang, saya sholat di rumah saja." ujar Dadang menimpali.

"Ya sudah, hati-hati di jalan ya!" ujar Paman mengingatkan.

Dadang pun berlalu dengan motornya usai bersalaman degan mereka bertiga. Zain dan Paman pun berjalan bersama ke Masjid.

Usai solat berjamah merka pun pulang secara bersamaan.

"Paman,sebearnya ada apa samapi meminta saya pulang secara mendadak begini?" tanya Zain sambil melangkahkan kakinya beriringan dengan pamannya.

"Nanti saja paman ceritakan di rumah, karena Ibumu pun harus tau masalah ini." ujar Sang Paman dengan mimik muka tanpa ekspresi.

Zain pun terdiam sembari hatinya mebatin. "Ada apa sebenarnya, kenapa aku semakin penasaran?."

Tak berselang lama mrekapun samapi di rumah, sementara sang Ibu sedang menyiapan dua cangkir kopi untuk anak dan kaka dari Almarhum suaminya.

"Assalamualaiku." ucap keduanya ketika melihat seorang wantia paruh baya meletakan dua cangkir minuman di atas meja yang berada di teras depan rumahnya.

"Gimana sholat jama'ahnya Nak, banyak yang hadir?" tanya sang Bunda pada anaknya ketika hendak duduk.

"Alahamdulillah, banyak bun, yaaah!!! meski barisannya ga nyampe pintu." jawab Zain sambil bibirnya tersenyum hangat menampakan aura ketampananya.

"Di sini memang begitu Za kalu sholat magrib, tapi kalau sholat subuh, jangan di tanya jama'ahnya, paling-paling dua tiga orang, itu pun orang yang itu-itu juga." kelakar  sang Pamanya sambil tertawa kecil.

Mereka pun duduk bersama melingkari meja bundar yg terlihat unik, karena terbuat dari kayu jati yang sudah puluhan tahun.

"Begini Za, mumpung skarang ada Ibu 'mu, akan paman sampaikan apa niat paman sebenarnya memintamu pulang." ujar sang Paman, memulai pembicaraan serius, kedua wajah lawan bicaranyapun nampak serius. Apalagi Zain sang keponakan, wajah gantengnya menampakan ke kepoannya.

"Kamu tau kan Za, kalau propesi paman 'mu ini apa?" tanya Sang Paman mulai mengutarakan maksudnya.

"Saya rasa di kota ini gak ada ya gak tau siapa Pamanku ini, seorang Ketua Keamanan pasar terbesar di kota ini." jawab Zain dengan tutur kata yang lembut.

"Sebenarnya ada apa sih kalian ini?, Ibu ko jadi deg - degan dengernya." sela Ibunya Zain di tengah pembicaraan Paman dan keponakan 'nya.

"Ya sudah mumpung Adek ada di sini, Abang fikir akan lebih baik jika adek tau apa yang akan Abang katakan." ucap Junaidi sambil mengulurkan tangannya ke cangkir yang ada di hadapannya dan meminum isinya.

"Ya sudah katakan saja to Bang, jangan bertele-tele dan bikin penasaran." ucap Bundanya Zain tak sabar.

"Jadi begini Dek, Abang harap anakmu Zain mau menggantikan Abang untuk menjadi ketua keamanan pasar." ujar Junaidi sambil mukanya menghadap adik iparnya dengan wajah berharap.

"Lho ko?, nanti dulu Paman, ini maksudnya apa?, ko tiba-tiba Paman menyerhakan jabatan itu kepada saya, jangankan ada niat saya untuk menjadi ketua preman di pasar itu, kepikiran pun tidak Paman." ucap Zain dengan sesopan mungkin.

"Jadi kamu menolak permintaan Paman?" tanya sang Paman.

"Bukan 'nya menolak Paman, tapi di rasa aneh aja kenapa Paman mengamanahkan tanggung jawab itu kepada saya. Mmmm -.'' ucapnya terjeda, kemudian ia melanjutkan.

"Justru, kalau pun saya harus tingaal di sini, saya ingin mengamalkan ilmu saya untuk menghidupkan kembali Majlis ta'lim yang pernah Abi bangun." jawab Maher dengan mimik muka keheranan.

"Iya Bang, rasanya amanah itu terlalu berat buat Zain." ujar Fatimah,Ibunya Zain ikut berkomentar.

"Dek!!, kenapa Abang mempercayakan itu pada Anakmu?, karena Abang yakin Zain mampu mengemban amanah itu. Selain jujur dan pandai ilmu agama, anak 'mu juga pemberani dan kenpa Abang bicara seperti tu?, krna Abang tau sifat anakmu.

"Baiklah, begini saja Paman, saya akan memikirkan permintaan Paman, karena propesi Paman bukan propesi sembarangan, seperti 'nya saya harus minta pendapat dulu kepada Abah Yai di Pondok." lanjut Zain menengahi pembicaraan Ibu dan Pamannya.

"Oo tentu, itu lebih bagus Za, dan kapan kamu akan menemui gurumu?'' tanya Sang Paman.

"Entahlah Paman, mungkin besok atau lusa." ujar Zain dengan suara lirihnya.

"Ya suda besok Paman jemput, Paman juga sudah lama tidak bertemu dengan Gurumu." Jawab sang Paman kemudian.

"Saya yakin gurunya akan mengijinkan jika saya ceritakan alasannya kepada beliau." batin Junaidi, Pamannya Maher.

Obrolan pun terhenti, karena istri Paman 'nya itu menelepon, memintanya agar segera pulang.

Setelah itu sang Paman pun berpamitan, untuk pulang menuju rumahnya yang letaknya tak jauh dari situ, karena masih di lingkungan satu kampung.

Sementara itu di tempat lain, masih kota yang sama. Seorang gadis cantik berambut panjang yang sdikit bagian depannya di warnai putih, seolah sedang mengikuti tren anak muda masa kini. Ia sedang tertidur tengkurep, sambil kepala 'nya di letakan miring ke sisi kiri di atas bantal, sembari sesekali tangannya menyeka sudut bibirnya karena keluar cairan, alias ngiler.

Tok! tok! tok!!. Tiba - tiba suara pintu kamar 'nya di ketuk dari luar.

"Mmmm." ucap si gadis lirih sambil kembali tangannya menyeka sudut bibirnya.

"Ros, Rosdiana!, bangun sayang ini sudah siang apa kamu tidak berangkat kuliah?" suara dari luar yang terdengan begitu lembut.

"Dasar ini anak, kebiasaan kalu tidur ga pernah kunci pintu." batin Anjani, ibunya Ros istri dari Devindra seorang pengusaha terkenal terkenal di kota itu.

Lalu Anjani pun masuk kedalam kamar putrinya lekas menghampiri Sang putri duduk di sisi ranjang.

"Sayang,,, bangun sudah siang ini, jangan-jangan kamu belum subuh Nak." ujar Anjani sambil menepuk - nepuk pundak anaknya dengan lembut.

"Mmmm,,uaaaaah." respon sang Putri sembari merenggangkan kedua tangannya, namun tubuhnya masih dalam keadaan berbaring, sedang matanya masih dalam kedaan terpejam.

"Astagfirullaha'adziiim, Diana Diana, kalau mulutmu seperti itu harus kamu tutupin pake tangan kanan 'mu. Gak baik kalau seperti itu." ucap sang Mama sambil mengoyang-goyangkan tubuh sang Putri.

next,,, part 4.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!