NovelToon NovelToon

ACIEL'S DIARY : INDIGO

LEMBARAN PEMBUKA : MEREKA YANG TAK TERLIHAT

Aku tidak tahu apa yang menjadi pemicunya atau sejak kapan semua itu dimulai. Tapi sejauh yang aku ingat, sejak kecil aku sudah melihat cukup banyak hal dengan kedua mataku.

Tentunya hal itu tidak akan menjadi masalah jika aku melihat sesuatu yang memang biasa terlihat oleh banyak orang, tapi sayangnya tidak begitu.

Sesuatu yang bisa aku lihat, sedangkan tidak bisa dilihat oleh orang lain. Yaitu sesuatu yang ada di dunia ini tapi disaat yang sama juga tidak ada. Sesuatu yang tidak diketahui, dan tidak harus diketahui.

Mereka yang disebut Roh.

Atau begitu aku menyebutnya, karena mereka sendirilah yang memberitahuku tentang hal itu.

Untuk orang lain yang tidak bisa melihatnya, mereka biasa disebut sebagai hantu, mahluk halus ataupun arwah. Tapi jujur saja, para Roh itu akan kesal saat orang yang tidak bisa melihat mereka memanggil mereka dengan sebutan itu.

Kemampuan untuk melihat para Roh yang sudah aku miliki sejak lahir.

Saat aku kecil, tentunya tidak pernah sekalipun aku berpikir jika kemampuan itu adalah sesuatu yang aneh ataupun spesial, Karena itu jugalah aku beranggapan jika semua orang yang ada di sekitarku memiliki hal sama dan dapat melihat semua Roh yang berkeliling di sekitar mereka.

Tapi anggapanku itu salah besar.

Dan hasil dari kesalahan itu adalah diriku yang dicap banyak orang sebagai anak gila, seorang pembohong yang menginginkan sebuah perhatian, anak aneh dan anak menyeramkan.

Hal itu membuat semua anak seusiaku menjauhiku dan terkadang juga menggangguku dengan melemparkan beberapa batu ke arahku. Orang dewasa pun memandangku dengan tatapan yang dipenuhi akan rasa takut dan antisipasi.

Saat itu aku sangat tidak mengerti kenapa semua orang tidak bisa melihatnya, kemudian menyebutku pembohong dan membicarakan banyak hal menyakitkan di belakangku.

Dan untuk para Roh yang sadar jika aku bisa melihat mereka juga melakukan kejahilan dengan menggangguku demi menghilangkan rasa bosan mereka.

Mereka membuat cukup banyak kekacauan yang melibatkan orang-orang di dekatku, berkat itu aku memiliki julukan tambahan sebagai pembawa sial.

Saat itu aku juga sangat tidak mengerti kenapa semua Roh yang aku lihat begitu senang saat mereka tahu jika aku bisa melihat mereka.

Membuat mereka melakukan banyak hal untuk menggangguku, kemudian tertawa keras setelahnya.

Mereka benar-benar menambah banyak masalah yang ada pada hidupku.

Tapi seiring berjalannya waktu, seiring pertumbuhan yang aku alami, aku memahami banyak hal yang belum aku tahu sebelumnya.

Baik tentang kemampuan yang aku miliki, pandangan orang-orang yang ada di dekatku, juga pandangan dari para Roh yang aku lihat.

Semua itu merujuk pada kata aneh, abnormal, keterkejutan, ketakutan, waspada, antisipasi, menarik dan banyak hal lainnya. Tapi untuk diriku yang saat ini, aku sudah tidak tidak terlalu peduli dengan semua itu.

Aku menerima semuanya sebagai bagian dari diriku dan dengan sepenuh hati menjalankan kehidupan biasa selagi menyadari sebuah fakta dimana aku bisa melihat para Roh, yang tidak bisa dilihat oleh banyak orang di sekitarku.

Baiklah, dengan ini mari kita mulai perkenalan dirinya.

Namaku adalah Aciel Luciel.

Seorang remaja pria berusia empat belas tahun, duduk pada bangku kelas tiga SMP. Satu-satunya keunikan yang ada pada diriku adalah sebuah fakta dimana aku bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain.

Mereka yang memiliki mata untuk melihat banyak hal yang tidak terlihat. Dengan kata lain, aku adalah seorang Indigo.

Salam kenal.

____________________________________

Kring! Kring! Kring! Kring!

Suara jam alarm yang memberikan tekanan pada telinga menggelegar dan menyebar ke segala penjuru dari gudang yang ada di sekitarnya. Getaran suara membuat beberapa keping debu berjatuhan dari langit-langit, turun menghampiri hidungku dan—

"—Hachoooww!!"

Dengan seperempat kesadaran yang masih melekat pada kepalaku, aku segera duduk sembari bersin beberapa kali.

Kemudian mengusap mataku yang membentuk sebuah garis horizontal dan mengambil sapu tangan untuk mengeluarkan ingus dari hidungku.

Kring! Kring! Kring! Kring! Kriiiiiiiiing!!

"Berisik!! Aku juga mengalami mimpi buruk yang sama hari ini!!" Tanpa sadar, aku melayangkan tangan dan menghantam alarm tanpa jarum yang bergetar hebat di sampingku. Membuatnya terlempar dan menabrak dinding dengan keras.

Alarm itu langsung mati di tempat.

Berusaha untuk mengumpulkan kesadaran lebih banyak, aku menghirup napas panjang dan menepuk pipi dengan pelan, kemudian melihat pada lantai gudang yang sedikit berdebu, atau lebih tepatnya pada sesuatu yang bergerak disana.

Yaitu pada seekor tikus, tentunya itu bukanlah seekor tikus biasa.

Lebih tepatnya seekor tikus putih dengan kumis abu-abu lebat, memiliki dua ekor dan enam kaki ditambah tiga tanduk kecil yang tumbuh pada kepalanya. Tikus itu menyeret sebuah roti di belakangnya selagi berjalan tegak di depanku.

Dia adalah Roh tikus yang mendiami gudang dimana aku tinggal, aku memanggilnya—

"—Jerry, jam berapa sekarang?" Tanyaku dengan nada pelan.

Jerry menghentikan langkahnya dan menolehkan wajah tikus berbulu putihnya ke arahku.

Hidungnya berkedut diikuti beberapa pergeseran pada raut wajahnya, untuk manusia biasa perubahan seperti itu memang tidak terlalu jelas tapi tentunya berbeda bagiku yang sudah terbiasa. Jerry saat ini memasang ekspresi kesal.

"Bocah, siapa yang kau panggil Jerry? Bukannya aku sudah bilang padamu sebelumnya, jika setiap Roh memiliki namanya tersendiri? Jangan seenaknya memberi kami nama. Aku sudah mengatakan berkali-kali dan ini akan jadi yang terakhir kalinya, selanjutnya akan aku pastikan untuk memberimu kutukan."

Berbeda dengan penampilan kecilnya, Jerry memiliki suara yang sangat berat dan cukup untuk memberikan tekanan. Hal itu membuat ancaman yang dia keluarkan terdengar meyakinkan, aku mengangkat bahu untuk meresponnya.

"Dan bukannya aku sudah berkali kali mengatakan ini sebelumnya? Untuk memberitahukan namamu jika kau tidak ingin aku beri nama panggilan lain. Kau bisa menghitungnya sebagai balas budi karena aku membiarkanmu mencuri roti dari dapur milik keluarga yang menampungku." Ucapku, memberikan nada yang cukup kuat.

"Bagi Roh seperti kami, sebuah nama adalah sesuatu yang menggambarkan nyawa kami sendiri. Bahkan ada beberapa Roh yang menganggap nama mereka jauh lebih berharga dari nyawa mereka, mana mungkin aku memberitahukan hal sepenting itu pada seorang bocah manusia sepertimu, kan?"

Jerry meludah, kemudian melanjutkan.

"Dan juga, kau mengatakan balas budi? Karena aku mencuri roti ini? Dari awal aku tidak membutuhkan bantuan darimu untuk mendapatkannya jadi kenapa aku harus membalas budi? Untuk seukuran bocah manusia, kau cukup gila."

"Tidak tidak, karena kau mencuri roti itu keluarga yang menampungku saat ini mulai mencurigai diriku sebagai pencurinya. Mereka bahkan memberikan beberapa pertanyaan padaku sepulang sekolah kemarin dan menghukum diriku dengan tidak membiarkan ikut makan malam."

"Bukannya kau hanya perlu memberitahu mereka jika aku yang mencurinya?"

"Tentu saja aku akan melakukan hal itu dengan senang hati, jika bisa. Masalahnya hanya aku manusia yang bisa melihatmu sedangkan orang-orang lainnya tidak, mereka akan menganggap diriku gila dan membuatku berpindah tempat lagi. Aku sudah cukup nyaman tinggal di gudang ini jadi setidaknya biarkan aku tinggal dua sampai tiga bulan lagi, oke? Jangan mencuri sampai saat itu." Aku menyatukan tanganku dan menundukkan kepala, ke arah Jerry.

Pemandangan di mana seorang manusia memohon pada seekor tikus, hal ini membuatku sedikit pusing saat memikirkannya tapi aku tidak punya pilihan lain yang bisa dilakukan saat ini.

Dan jawaban dari permohonan tulus itu adalah—

"—Kenapa aku harus mendengarkan permintaan bocah manusia sepertimu? Enyahlah." Ucap Jerry dengan nada yang menggambarkan rasa jijik.

Tikus ini, bukannya dia mengangkat dirinya terlalu tinggi? Padahal dia hanya Roh Tingkat Rendah. Aku mencoba untuk menyelesaikan masalah baik-baik di sini tapi sepertinya itu tidak berguna.

Kalau begitu aku hanya perlu menggunakan opsi lain, yaitu paksaan.

Aku berdiri dan berjalan mendekati Jerry, mengulurkan tanganku ke arahnya dan sebuah sinar berwarna biru keputihan dengan perlahan muncul dari telapak tangan yang aku arahkan pada Roh tikus albino itu.

"Hm? Apa yang kau lakukan?" Tanya Jerry.

Aku mengabaikannya dan tanpa mengatakan apapun, terus mendekatkan tanganku ke arahnya sampai—

"Aciel!! Bangun!! Ini sudah pagi!!"

—Sampai sebuah suara gedoran yang kuat datang pada pintu gudang di depan.

LEMBARAN 1.1 : TEMPAT TINGGAL

"Aciel!! Cepat bangun!! Ini sudah pagi!!"

Suara teriakan seorang wanita tua terpancar, diikuti bunyi gedoran kuat yang mengguncang pintu gudang. Aku segera berlari melupakan tikus albino itu dan membuka pintu gudang dengan cepat.

Cahaya dari matahari yang mulai menanjak memasuki pandanganku, itu terasa menyilaukan karena mataku yang terbiasa dengan lingkungan gudang yang cukup gelap.

Aku mengedipkan mata beberapa kali untuk membiasakan diri dan melihat seorang wanita kurus yang berdiri tepat di depanku.

Dengan tubuh kurus tegap yang berlapiskan jas hitam dan kemeja putih, memiliki wajah berkerut layaknya rubah dengan tatapan matanya yang tajam, kacamata berantai dan aura intimidasi yang mengelilinginya.

Wanita tua di depanku bernama Anggrida Sena, dia adalah bibiku.

Aku biasa memanggilnya bibi An.

Kalau tidak salah untuk usianya tahun ini, 42 tahun? Aku tidak terlalu mengingatnya.

"Aciel, ini sudah jam enam. Mau sampai kapan kamu tidur?! Cepat bereskan tempatmu tidur dan masak sarapan! Brian dan pamanmu sudah kelaparan, tahu?! Kami sudah membiarkanmu tinggal di sini jadi pastikan untuk membayarnya dengan setimpal!"

Seperti biasa, tidak ada pagi tanpa satupun omelan yang memasuki telinga.

Saat ini aku tinggal di rumah pamanku bersama istri dan anaknya, tentu saja aku tidak benar-benar tinggal bersama mereka karena aku menempati gudang di belakang rumah.

Karena aku hanya hidup sebatang kara tanpa adanya sebuah keluarga, dari kecil aku sudah tinggal bersama para kerabat dari ayahku dan pindah rumah beberapa kali setiap tahunnya.

Itu membuatku merasa seperti sebuah Dodge ball dimana aku dilempar dari satu tangan ke tangan lainnya dan yang terkena akan menampungku selama beberapa waktu. Ini memang sedikit berat awalnya tapi aku sudah cukup terbiasa.

Dan untuk kedua orang tuaku, sayangnya aku sama sekali tidak bisa mengingat apapun tentang keduanya.

Aku juga sudah bertanya beberapa kali terkait barang peninggalan milik mereka pada para kerabat tapi yang aku dapatkan hanyalah omelan lainnya.

Setidaknya aku sudah cukup bersyukur karena para kerabat yang menerimaku sudah membiarkanku tinggal pada gudang ataupun loteng rumah mereka, ini jauh lebih baik dari tinggal di sebuah panti asuhan ataupun pinggir jalan.

Dan agar aku tidak lebih memberatkan mereka yang menampungku, aku menawarkan untuk membantu segala hal seperti bersih-bersih, memasak, memotong rumput, belanja dan lainnya.

Sebagai gantinya aku akan mendapatkan sebuah seragam sekolah dan beberapa makanan setiap hari.

Semua itu sudah cukup bagiku, setidaknya untuk saat ini.

"Maafkan aku bibi, aku akan segera bersiap dan memasak sarapan." Balasku dengan senyuman.

"Kalau begitu cepatlah!! Semuanya menunggu!! Kamu sudah tinggal disini selama setengah tahun jadi pastikan untuk mengingat semua peraturannya!! Jangan sampai kesiangan lagi!!"

"Baik! Aku akan segera ke dapur setelah ini!"

Meninggalkan helaan napas yang dalam pada setiap langkahnya, Bibi An akhirnya pergi. Aku memastikan jika orang itu sudah memasuki rumah, kemudian menutup pintu gudang dengan perlahan setelahnya.

Bagaimanapun, menghadapi situasi seperti ini berkali-kali membuatku cukup peka tentang cara untuk melewatinya. Kau hanya perlu diam dan mengangguk dengan senyum, kemudian semuanya akan segera lewat tanpa menyisakan masalah apapun.

Dan juga, sudah jadi hal biasa jika Bibi rubah itu mengomel di pagi hari. Lagipula orang ini sudah berusia empat kepala, mungkin darahnya mudah untuk naik saat menginjak usia itu.

Tapi itu memang fakta jika aku bangun sedikit lebih siang hari ini, padahal biasanya aku sudah menyelesaikan semua persiapannya di jam setengah enam pagi.

Apa mungkin karena aku tidak makan malam semalam? Atau tidur yang tidak nyaman karena suhu gudang yang sedikit dingin? Aku juga mengalami mimpi buruk yang sama selama dua sampai tiga hari ini.

Tidak, aku sudah terbiasa dengan semua itu, kecuali mimpi buruknya. Apa ini? Tubuhku juga terasa aneh. Rasanya seperti ada sesuatu yang membungkus kulitku dengan kain tak terlihat.

Ini sensasi yang akan aku rasakan saat ada sepasang mata yang mengawasiku. Tapi tidak ada Roh lain di gudang ini selain Jerry.

Apa hanya perasaanku saja, ya?

"Apapun itu, aku harus segera menyiapkan sarapan lalu bersiap-siap untuk sekolah! Akan gawat jika aku melakukan kesalahan lagi!!"

Aku segera melepas pakaian dan berlari menuju kamar mandi gudang, hanya menghabiskan waktu lima menit untuk seorang pria remaja sepertiku membersihkan diri di pagi hari.

____________________________________

Keluarga Sena.

Itu adalah nama Marga dari kerabat yang memberiku tempat tinggal saat ini. Aku sudah tinggal bersama ketiganya kurang lebih selama enam bulan, sejak bulan September pada tahun lalu hingga Februari tahun ini.

Setidaknya mereka akan membiarkanku tinggal di sini sampai aku lulus SMP bulan April nanti.

Hal itu juga membuatku cukup senang karena mereka adalah satu-satunya kerabat yang membiarkanku tinggal selama lebih dari enam bulan.

Dengan jatah makan dua kali sehari, tinggal di gudang belakang rumah dan penggunaan fasilitas lainnya, ini adalah pertama kalinya aku mendapatkan perhatian sebanyak ini.

Sebagai pembuka hari, aku menyiapkan sarapan untuk porsi tiga orang. Kemudian duduk makan di meja yang sama dengan Keluarga Sena.

"Ya ampun, kenapa Aciel ikut makan bersama kita lagi kali ini? Bukannya tadi malam aku sudah bilang tidak mau makan satu meja bersama anak ini karena bau badannya? Dia tinggal di dalam gudang yang kotor jadi aromanya juga masuk ke dalam tubuhnya!"

Ucap seorang anak gendut berseragam yang duduk di sampingku, memegang hidungnya dan menampakkan ekspresi mual yang terlalu berlebihan. Dia adalah Brian Sena, anak dari Bibi An dan Paman Daniel.

Memiliki tubuh bulat dengan leher yang terlipat, pipi menggembung layaknya seekor tupai bersama perutnya yang hampir menembus celah seragamnya, dan kaki serta tangannya yang pendek.

Dari apa yang aku pahami, kedua orang tuanya menganggap Brian memiliki tubuh bulat mungil yang imut seperti kelinci tapi di mataku anak ini hanya tampak seperti seonggok daging babi dengan nafasnya yang terengah-engah.

Aku tidak tahu dari mana penilaian kejam ini berasal. Meskipun aku merasa sangat berterimakasih pada Bibi An dan Paman Daniel tapi aku sama sekali tidak merasakan hal itu dari Brian.

Apa mungkin karena dia tidak memberikan kontribusi apapun padaku dan hanya menghinaku secara sepihak?

Ya, mungkin begitu. Bukan berarti aku merasa iri dengan tubuh gemuknya sedangkan aku hanya memiliki tubuh yang relatif kurus.

Cih, sialan.

Di saat aku mempercepat suapan nasi pada mulutku dan sepenuhnya mengabaikan perkataan babi di sampingku, bibi An membalasnya.

"Ya ampun, dasar Brian. Mau bagaimanapun Aciel sudah membantu menyiapkan sarapan jadi dia harus ikut makan. Akan repot jika dia malah pingsan di sekolah, kan?"

Bibi memang mengatakan itu tapi orang ini semalam tidak membiarkanku menyentuh makan malam. Jadi itu artinya dia pikir tidak masalah jika aku pingsan di dalam gudang? Bahkan aku pun merasa sedikit tersakiti dengan itu.

"Tapi tidak harus makan di satu meja bersama kita juga, kan?! Beri dia satu atau dua potong roti lalu lemparkan saja di depan pintu gudang dan dia akan memakannya sendiri nanti! Dia juga mencuri beberapa roti tadi malam jadi dia pasti sudah sarapan juga pagi ini! Tidak perlu memberinya makanan!!" Brian menggebrak meja, membuat sup yang ada di piringnya berserakan pada permukaan meja.

Apa katamu, babi? Apa kau pikir aku ini seekor anjing penjaga atau sesuatu yang lain? Dan yang mencuri roti bukanlah aku, tapi Roh Tikus!! Lalu roti yang dicuri itu hanya satu, bukan beberapa!!

Aku benar-benar ingin menghajarnya tapi dia tetaplah anak dari Bibi An dan Paman Daniel. Aku harus menahan diri untuk mempertahankan tempatku di rumah ini sementara waktu.

Suasana di meja makan sedikit memanas dan ketegangan akhirnya mulai mencapai puncaknya, hanya tersisa satu dorongan sampai ledakan emosi memenuhi ruangan ini. Dan—

—Brakk!!

Saat aku berniat mengangkat pantat dari kursi untuk melarikan diri, suara pukulan menghantam meja dengan cukup keras dan menghamparkan semua piring serta gelas di atasnya.

Dalam sesaat saja meja makan sudah benar-benar berantakan.

Ini juga membuat hatiku sedikit sakit melihat makanan yang aku buat dengan sepenuh hati di buang dengan cara keji seperti itu. Tapi melihat tangan orang yang melakukannya membuatku tidak bisa mengeluarkan protes apapun.

Pelakunya tentu saja, Paman Daniel.

Diantara kebingungan serta keheningan yang menyelimuti meja itu, suara Paman Daniel terdengar sangatlah jelas.

"Kenapa kalian sangat berisik saat sarapan?"

Pada akhirnya keadaan segera menjadi tenang dengan satu kalimat menyeramkan itu dan tanpa menghiraukan apapun, aku berangkat dengan langkah perlahan menuju sekolah.

Aku biasa menempuh sekolah dengan berjalan kaki selama lima belas menit, berbeda dari babi Brian yang diantarkan ibunya menggunakan mobil.

LEMBARAN 1.2 : PEGUNUNGAN

Untuk sekolahku sendiri tidak ada yang begitu khusus, aku tidak memiliki satupun orang yang bisa aku panggil sebagai teman karena Brian menyebarkan rumor tentangku yang merupakan seorang pembohong, anak aneh, dan banyak panggilan lainnya.

Itulah penyebab aku cukup di hindari dan tidak ada satupun yang mau mendekatiku. Yang mereka lakukan hanya melihatku dari jauh atau membicarakan beberapa hal tidak sopan tentangku.

Ya ampun, padahal yang lebih aneh adalah mereka yang mempercayai perkataan Brian tanpa memastikan apakah semua yang mereka dengar itu sebuah kebenaran atau bukan. Tentu saja hal itu di pengaruhi oleh Reputasi Brian sebagai Ketua Osis.

Aku pikir pengaruh Osis tidak sebesar itu tapi tampaknya aku salah, bahkan itu mencapai tahap bisa menyeret opini dari banyak orang. Hal itu cukup mengejutkan.

Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah Brian yang menyebarkan rumor buruk tentangku tanpa berpikir jika apa yang dilakukannya itu memiliki kemungkinan mempengaruhi nama baik keluarganya karena aku juga tinggal bersamanya, seperti biasa babi itu benar-benar bodoh.

Kenapa babi sepertinya bisa menjadi seorang Ketua Osis? Pasti ada yang salah dengan pemilihannya.

Karena itulah hari ini pun aku melakukan aktifitas sekolah seperti biasanya. Yaitu datang ke kelas, mendengarkan beberapa guru menjelaskan, mencatatnya, mengerjakan tugas dan kembali saat bel pulang berbunyi.

Tentu saja yang aku maksud kembali bukanlah langsung menuju ke rumah Keluarga Sena, karena aku akan mampir ke beberapa tempat terlebih dahulu sebelum itu untuk bersenang-senang.

Aku sudah mengatakan jika aku mengikuti sebuah Ekskul di sekolah pada Bibi An dan Paman Daniel jadi tidak perlu khawatir untuk dimarahi selama aku tidak pulang terlalu malam. Tujuan dari perjalananku saat ini sudah di pastikan, yaitu kaki gunung.

Saat ini masih jam dua sore, ada banyak waktu untuk berjalan ke gunung. Aku berencana menemui seorang Roh ramah yang sudah aku temui sebelumnya.

Hal ini cukup jarang terjadi, karena biasanya para Roh membenci manusia tapi ada beberapa yang menyukai manusia juga.

Tentu saja jumlah yang menyukai jauh lebih sedikit. Tapi aku menemukan beberapa dari jenis itu di salah satu gunung saat menjelajah sendiri sebelumnya.

Dengan semangat tinggi di setiap langkah yang aku ambil, berjalan lebih dekat menuju gunung dimana semua Roh itu berada.

Saat ini masih siang hari, aku tidak perlu khawatir akan kemunculan Roh jahat atau Roh kuat yang membahayakan.

____________________________________

Aliran angin menyejukkan yang mengalir pada sekeliling, menciptakan sebuah gesekan diantara dedaunan hijau yang perlahan berjatuhan, kicauan nyaring dari beberapa burung yang bergabung, menciptakan sebuah irama yang menenangkan pikiran. Tanah yang lembut tapi juga kokoh, dengan tanda setapak yang membawamu menuju suatu tempat.

Mengabaikan beberapa suara langkah kaki kecil di belakangku, aku terus berjalan pada tanda setapak seolah tidak menghiraukan apapun.

"Hei, ada anak manusia disini!!" Kicau suara nyaring layaknya sebuah terompet rusak.

"Apa yang dilakukan oleh seorang anak manusia di gunung kecil seperti ini?" Kalau yang ini memiliki pembawaan tenang, seperti suara pria tua.

"Mungkin dia ingin menumbalkan dirinya atau keluarga miliknya pada Dewa di Gunung ini untuk mengabulkan permintaan tertentu?" Ucap suara serak, memiliki nada yang sama seperti anak kecil.

"Tidak ... Aku tidak terlalu yakin tapi rasanya anak itu memiliki Energi Spiritual yang sangat besar! Apa mungkin dia berniat untuk membasmi semua Roh di gunung kecil ini?!" Teriak si pemilik suara terompet rusak.

"Tidak mungkin hal itu terjadi. Jika dia memiliki Energi Spiritual sebesar itu, maka harusnya dia bisa melihat dan mendengar pembicaraan kita tapi dia tetap berjalan dan memasang ekspresi bodoh seperti itu. Terlebih, mana mungkin Tuan tanah akan membiarkan anak sepertinya berbuat—Urghh!!"

Sebelum si pemilik suara pria tua itu menyelesaikan perkataannya, aku membalik badan dan melihat ke arah ketiga Roh yang mengikuti di belakang, kemudian ketiganya yang terlambat merespon menabrak kakiku secara bersamaan dan terjatuh ke belakang.

"Hei, siapa yang kau sebut memiliki ekspresi bodoh?"

Tiga Roh yang terjatuh itu mematung, mereka mengarahkan tatapan pada wajahku tanpa mengatakan apapun. Sepertinya mereka sedang berusaha untuk memahami apa yang sedang terjadi saat ini.

Roh yang pertama memiliki wujud layaknya bola bulu berwarna abu-abu dengan dua tangan dan kaki yang langsung terhubung dengan bulunya, lalu satu bola mata lebar di bagian tengah bulu dan paruh berwarna jingga sepanjang 10 cm yang keluar tepat di bagian bawah matanya.

Sepertinya dia pemilik suara yang mirip dengan terompet rusak itu. Tatapannya terlihat lebih waspada dari kedua Roh lainnya.

Sedangkan Roh yang kedua memiliki wujud layaknya tempurung kura-kura berwarna hijau terang yang memiliki kaki dan tangan, dengan tiga mata pada bagian tengah tempurung dan satu mulut lebar di bawah ketiga matanya.

Kalau yang ini pastinya pemilik suara mirip Pak tua sebelumnya, lagipula dia yang menabrak kakiku pertama kalinya dan aku sudah mendengar erangan kecilnya.

Lalu terakhir, Roh yang ketiga. Memiliki wujud menyerupai seekor panda dengan warna hitam dan putih yang terbalik. Selain warna dan ukurannya, wujud lainnya benar-benar menyerupai seekor panda.

Karena aku sudah tahu dua pemilik suara sebelumnya, jadi pasti Panda ini pemilik suara serak itu.

Aku mengangguk perlahan selagi melihat ketiga Roh yang duduk tenang di depanku.

Ketiganya sama-sama memiliki ukuran yang sama dengan sebuah bola tennis ... Atau mungkin bola pingpong?

Apapun itu, mereka terlihat cukup imut. Jika bisa aku ingin membawa mereka.

Yah, hal itu tidak mungkin terjadi sih.

"Ke-ke-kenapa seorang anak manusia bisa melihat kami?" Ucap si bola bulu, dengan suaranya yang gemetar.

"Hm? Kenapa? Apa ada yang salah jika seorang manusia bisa melihat kalian? Sebelumnya kau sudah mengatakan beberapa hal tentang aku yang memiliki Energi Spiritual atau apapun itu cukup besar, kan? Kau juga sudah menduga jika aku bisa melihat kalian. Lalu kenapa kau bertanya lagi?"

Aku menekuk lutut dan berjongkok, mendekatkan wajahku ke arah ketiga Roh yang masih duduk pada permukaan tanah. Dengan serempak, ketiganya segera mundur beberapa sentimeter ke belakang.

Mereka benar-benar waspada denganku. Hmm ... Apa yang sebaiknya aku katakan di situasi seperti ini, ya? Lupakan itu. Lebih baik aku segera masuk ke intinya sebelum hari menjadi gelap.

"Hei, apa kalian tahu Roh yang memiliki wujud seekor rubah dengan sembilan ekor dan sembilan kepala? Aku menemuinya tiga hari lalu dan kami sudah berjanji untuk bertemu kembali di sekitar sini. Jika kalian tahu, aku harap untuk memberitahukannya padaku." Ucapku dengan nada seramah mungkin.

"Hm? Roh berwujud seekor Rubah dengan sembilan ekor dan sembilan kepala? Aku tidak pernah melihatnya. Bagaimana dengan kalian berdua?" Tanya si Tempurung selagi menengok pada kedua rekan di sampingnya.

Keduanya menggelengkan tubuh mereka ke samping, mereka tidak tahu ya? Bagaimana ini? Mencarinya secara sembarangan juga hanya akan membuang-buang waktu.

"Apa kalian tahu tempat dimana aku mungkin bisa menemukannya? Atau tempat di mana aku bisa bertanya pada Roh yang kemungkinan mengetahuinya? Aku akan memberi kalian kacang ini sebagai gantinya."

Aku merogoh saku dan mengeluarkan beberapa kacang, ini sisa dari penelitian di kebun sekolah tadi pagi. Untung saja aku membawanya.

"Kacang!! Berikan padaku!!"

"Aku juga mau!!"

"Hei, bocah manusia!! Berikan semua kacang milikmu padaku!!"

Sepertinya mereka menyukainya, syukurlah kalau begitu.

"Ya~ ya~ aku membawa banyak jadi ambil semuanya."

Setelah melakukan beberapa penyogokan kecil itu, ketiga Roh itu langsung memberitahuku tempat di mana seorang Roh yang mungkin mengetahui keberadaan dari Roh rubah berkepala sembilan yang aku cari.

Tempatnya terletak pada bagian Utara kaki gunung, saat ini aku berada di sebelah barat laut jadi jarak dari tempatnya sendiri cukup dekat. Pada akhirnya, aku pun memutuskan untuk pergi ke sana.

Lalu ini mungkin sedikit tidak berkaitan, tapi perasaan tentang adanya sesuatu mengawasi diriku entah kenapa terasa lebih kuat dari sebelumnya.

Tapi saat aku mencoba untuk mencari tahu sumbernya, anehnya tidak menemukan apapun.

Apa mungkin hanya perasaanku? Aku harap tidak terjadi apapun.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!