Polesan lipstik warna merah terang membuat bibir tebalnya semakin kelihatan seksi.
Muach..
Bentuk gerakan bibirnya setelah selesai memakai lipstik. Malam ini ia ingin tampil sempurna di depan suaminya.
Nirwana nama wanita cantik itu biasanya dipanggil Nana. Diusia 22 tahun dia harus menikah karena perjodohan mendadak, namun kini usianya sudah 23 tahun, pernikahannya pun sudah berjalan satu tahun. Di malam spesial ini ia akan menyatakan perasaannya pada suaminya. Sudah lama dia memendam perasaan ini, kini saatnya untuk mengungkapkan perasaan cintanya.
Dress kuning selutut dengan lengan pendek menjadi pilihannya. Rambut hitam panjangnya ia urai begitu saja. Mata bulat dengan bulu mata lentik serta alis tebalnya menambah nilai kecantikannya. Hidungnya lumayan mancung namun juga tidak termasuk dalam kategori hidung pesek. Kulitt putihnya senada dengan dress yang ia kenakan.
Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, biasanya suaminya akan pulang jam 7, ia segera keluar dari kamar menuju ruang tamu untuk menunggu kepulangan suaminya.
Senyum lebar tak pernah lepas dari bibir merah Nana.
Mendengar suara deru mobil yang berhenti di halaman rumah, Nana segera melangkah dengan langkah cepat, hatinya dipenuhi bunga yang bermekaran, padahal setiap malam dia aelalu melakukannya, menyambut kepulangan suami yang sudah mencuri hatinya itu.
Dibukanya pintu yang sejak tadi ia pandang, terlihat suaminya turun dari mobil, entah kenapa malam ini suaminya terlihat begitu tampan. Senyum termanis sudah ia suguhkan. Suaminya berjalan bak pangeran ke arahnya.
Setelah dekat Nana segera mengambil tangan sang suami lalu diciumnya tangan itu, katanya mencium tangan suami bisa menggugurkan dosa.
Biasanya mereka berjalan beriringan masuk ke dalam ruamah tanpa bersentuhan, tapi malam ini Nana ingin bermanja pada suaminya itu. Memegang lengannya lalu melangkah bersama tak lupa senyum manis Nana berikan pada suaminya itu.
"Mas Rama... mau makan malam atau mandi dulu" tanya Nana lembut. Meskipun baru pulang kerja suaminya masih wangi.
"Bisakah kita bicara? " suaminya malah bertanya yang lain. Mungkin nanti saja dia memberi suaminya itu kejutan.
"Tentu" Mereka melangkah bersama menuju ruang keluarga. "Ada apa mas?" tanya Nana setelah mereka duduk Bersebelahan.
Rama mengeluarkan dokumen dari dalam tas yang tadi sempat dibawa Nana. Menyodorkannya pada wanita yang selama setahun ini sudah menjadi istrinya.
"Ini"
"Apa ini mas? " menatap dokumen yang diberikan Rama dengan senyum lebar.
Apa mas Rama juga ingat hari ini. Apa ini hadiah darinya, tapi apa hadiah yang berbentuk dokumen, Apa dia membelikan aku mobil, rumah, apartemen, atau restoran sebagai hadiah, seperti kebanyakan orang kaya, mas Rama kan berasal dari keluarga kaya. Pasti banyak uangnya, ah... kenapa aku jadi matre begini.
"Bukalah?" perintahnya.
Nana membuka dokumen itu dengan senyum yang tak pernah hilang dari bibir tebal nan **** itu. Siapapun yang melihatnya pasti ingin merasakan bibir tebal itu tak terkecuali laki - laki yang sekarang berada di sebelahnya.
Rama sedikit mencuri pandang pada Nana. Dia akui malam ini istrinya terlihat berbeda, cantik dan hot. Rama meneguk salivanya melihat bibir tebal istrinya yang setiap malam tak pernah ia lewatkan itu.
Buru - buru ia tepis pikiran mesumnya itu, malam ini juga ia harus menyelesaikan urusannya dengan Nana.
Duuuaaarrrr....
Nana terdiam melihat apa yang ia pegang, tangannya bergetar, matanya sudah berkaca - kaca, lidahnya terasa kelu untuk bertanya, ia berharap bahwa apa yang dipikirkannya tidak akan pernah terjadi.
"Surat cerai? " gumamnya lirih, setelah mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk betanya.
"Ya, mari kita bercerai Nana" ucap laki - laki disebelahnya.
Dua bulir kristal jatuh dari pipinya.
"Kenapa?"
"Bukankah kita menikah tanpa cinta, kita dijodohkan, kita tidak saling mencintai"
Nana berusaha untuk menguatkan hatinya. "Apa hanya karena itu? " tanyanya lagi. air mata tolonglah jangan jatuh lagi, biarkan diri ini punya harga diri pintanya dalam hati.
"Tidak"
"Apa kau punya kekasih sebelum kita menikah"
"Ya, dan aku akan menikahinya beberapa bulan lagi setelah dia menyelesaikan pendidikannya di London"
"Lalu kenapa kau setuju untuk menikah?" tanya Nana ada rasa kesal dihatinya, kalau punya kekasih kenapa harus menikah dengan wanita lain. pikirnya.
"Aku tidak bisa menolak keinginan mama, mama yang memaksaku untuk menikahimu"
Nana memalingkan wajahnya. Hatinya semakin hancur mendengar jawaban Rama.
Rama bangkit dari duduknya. "Tanda tanganlah, dan aku akan mengabulkan semua yang kau ajukan, aku akan tetap bertanggung jawab padamu" ucapnya sebelum melangkahkan kakinya.
"Taggung jawab seperti apa yang kau maksud?"
"Aku akan memberikan berapapun uang yang kau minta" melanjutkan kembali langkah kakinya. Nana tersenyum sinis.
"Tunggu" Rama menghentikan langkahnya yang baru tiga langkah. "Selama kau menyentuhku, apa kau menganggapku wanita lain sebagai pengganti" Rama terdiam. Hening.
"Tidak" jawab Rama setelah beberapa menit. Kemudian melanjutkan langkahnya kembali meninggakkan Nana sendirian.
Menatap kembali dokumen yang berada ditangannya. kemudian meletakkannya diatas meja.
Ternyata aku yang mendapat kejutan. Terima kasih atas hadiahnya wahai suami yang tak bisa aku raih hatinya.
Nana berjalan menuju taman belakang dirumah itu. Sampai disana Nana melihat ke arah meja dan kursi yang ia siapkan tadi. Kakinya melangkah ke rempat itu.
Taman belakang yang sudah ia hias sedemikian rupa agar terlihat indah dengan bekal ilmu dari Google ternyata sia - sia.
Disana ada dua kursi dan satu meja yang sudah berisi hidangn untuk makan malam, makanan itu masih hangat karena ia menyuruh salah satu pelayan rumah untuk menghangatkannya tadi.
Nana menarik salah satu kursi lalu duduk disana. Mengambil sendok dan garpu, lalu menyuapkan makanan ke dakam mulutnya. Setelah makanan dipiringnya habis, dia memindahkannya lalu mengambil piring satunya lagi yang masih berisi penuh makanan. Makan malam yang seharusnya dimakan oleh suaminya.
Dia menyuapi mulutnya kembali, dua piring makan malam dihabiskan Nana.
"Ayah apakah Nana sudah menjadi anak yang berbakti pada orangtua, apakah Nana sudah membuat ayah bahagia dengan menikahinya?. Maafkan Nana ayah sampai saat ini Nana belum bisa membuat ayah bangga" lirih Nana sembari meneteskan air mata.
"Ayah, laki - laki yang ayah pilih untuk Nana memberi Nana hadiah di malam anniversary satu tahun pernikahan kami, bukankah dia sangat baik ayah, dia memberi Nana surat cerai ayah" pecahlah tangisnya, ia menangis sesenggukan.
Rama yang belum tudur karena ini masih belum terlalu malam. Setelah membersihkan diri, dia berdiri di atas balkon, entah apa yang ia pikirkan. Saat dia ingin berbalik, seperti ada bayangan seseorang dibawah sana.
Rama dapat melihat Nana yang berjalan menuju sebuah meja dan kursi yang sudah dihias seperti tempat yang romantis.
"Apa yang dia lakukan, apa dia menyiapkan makan malam romantis" gumam Rama, entah kenapa hatinya merasa tidak nyaman.
Bruk....
Terdengar suara sesuatu yang jatuh ditempat itu.
"Bapak..... "
"Pak Rahman.... Ya Allah"
Suara suara yang terdengar di tempat yang biasanya pak Rahman ayah Nana gunakan untuk menyervis sepeda motor bersama satu karyawan setianya Wawan.
Pak Rahman jatuh pingsan ketika memperbaiki salah satu sepeda motor pelanggannya.
Wawan beserta orang-orang yang berada disana berhamburan ke arah jatuhnya pak Rahman.
"Bapak.... bangun pak" teriak wawan sembari mengguncang tubuh pak Rahman. Dilihat tidak ada pergerakan dari tubuh pak Rahman bahkan matanya masih tertutup, Wawan meminta tolong pada orang - orang yang masih berada disana untuk membawa pak Rahman kerumah sakit.
Sampai dirumah sakit, pak Rahman ditangani oleh dua perawat mereka membawanya ke ruang ICU.
Wawan segera mengurus semua prosedur rumah sakit sampai ia lupa untuk menghubungi Nana. Setengah jam kemudian pak Rahman dipindahkan ke ruang rawat dengan fasilitas biasa sesuai denagn dompet orang kecil.
Pak Rahman tinggal di kota kecil, kota Probolinggo yang terletak di provinsi jawa timur. Ia hanya tinggal berdua bersama putri tercintanya. Dia bukan orang kaya, dia hanyalah orang biasa pada umumnya, rumahnya sederhana, halaman rumah ia gunakan untuk membuka usahanya. Bengkel sepeda motor yang sudah ia tekuni sejak beranjak dewasa. Pak Rahman hanyalah lulusan SMA.
"Wan.... Wan.... " wawan yang mendengar namanya terpanggil seketika menoleh ke arah ranjang.
"Bapak, syukurlah bapak sudah sadar" ucap Wawan sembari menghela nafasnya merasa lega melihat pak Rahman sadar.
"Tolong hubungi teman bapak" ucapan pertama Rahman setelah tersadar, suaranya masih lemah. Wawan mengangguk kemudian menekan nomor yang sudah diberikan pak Rahman.
.
"Nana sudah tahu? "
"Ya Allah,, saya lupa pak. Sebentar saya hubungi dulu" Wawan mencoba untuk menghubungi Nana. "Tidak aktif pak, mungkin habis baterai pak"
Keluyuran kemana lagi anak itu.
"Anak itu selalu saja ceroboh" jawab Pak Rahman terbata, suaranya semakin lemah.
"Pak jangan terlalu banyak bicara dulu, bapak istirahat saja, nanti wawan akan menghubunginya lagi" ujar Wawan melihat kondisi pak Rahman yang semakin lemah.
*
*
Tiga jam kemudian seorang wanita paruh baya dengan penampilan elegan masuk ke dalam ruang rawat Rahman.
Merasa ada seseorang yang masuk ke dalam ruangannya. Rahman membuka matanya perlahan.
"Silvi, kau datang? " ucap Rahman terbata. Tersenyum bahagia melihat orang yang dia hubungi tadi sekarang berada dihadapannya.
"Ya Rahman aku datang, kenapa baru mengabariku, kau tidak menganggapku sahabat lagi" jawabnya sedikit mengomel.
Rahman tersenyum lembut mendengar ucapan wanita disampingnya. Mereka dulu tiga bersahabat, Silvi, Rahman Dan almarhum istrinya. Mereka sekolah di SMU yang sama. Mereka sama - sama berasal dari keluarga yang biasa saja. Mereka berpisah setelah Silvi memutuskan untuk mengejar cita - citanya dan melanjutkan kuliah dikota lain.
Mereka masih berhubungan meskipun jarak mereka jauh. Silvi menikah dengan manager tempatnya bekerja, mereka tidak bisa menghadiri pernikahannya karena waktu itu almarhum istrinya sedang sakit.
Namun sejak istrinya meninggal mereka sudah tidak pernah berhubungan lagi, syukurlah Silvi tidak pernah mengganti nomernya.
"Kau terlihat sangat bahagia, bagaimana kabar suami manajermu itu? " tanya Rahman meskipun lemah tak lupa ia menanyakan kabar sahabatnya.
Rahman suamiku ternyata bukan manager tapi pemilik perusahaan.
"Suamiku baik Rahman" jawab Silvi seadanya.
Uhukk
Uhukkkk
"Sepertinya waktuku tidak banyak lagi" ucap Rahman lemah dengan suara yang tersendat.
"Jangan bicara seperti itu, aku akan membantumu untuk berobat" Silvi sudah berkaca - kaca melihat keadaan sahabatnya itu. Setelah sekian lama baru hari ini bertemu dengan keadaan Rahman yang sedang sakit. Kata dokter Rahman ada gangguan dengan lambungnya.
Rahman menggelengkan kepalanya. "Aku ingin meminta bantuan yang lain? "
"Apa? "
"Tolong jaga putriku, kami sudah tidak punya siapa - siapa lagi, aku tidak mau meninggalkannya sendirian tapi sepertinya waktuku akan tiba" ucapannya masih terbata.
"Jangan menyerah, putrimu sangat membutuhkanmu" Silvi menyemangati Rahman untuk tidak menyerah.
"Jaga putriku, aku ingin dia bahagia, menikah dan punya keluarga" itulah keinginannya. Sederhana sekali.
"Kau ingin melihat putrimu menikah? " Rahman mengaggguk meskipun rasanya tidak mungkin. "Aku akan menjodohkan putraku dan putrimu dan hari ini juga mereka akan menikah" lanjut Silvi, tidak ada kebohongan dari ucapannya. Keputusan yang Silvi buat tanpa persetujuan suaminya.
"Jangan, mereka tidak saling mengenal, aku tidak mau mereka menjalani pernikahan karena terpaksa"
"Percayalah, seiring berjalannya waktu akan tumbuh rasa cinta dihati mereka" berusaha meyakinkan Rahman.
*
*
Dilorong rumah sakit Nana berlari setelah mendengar kabar ayahnya yang di
bawa ke rumah sakit dari tetangga rumahnya.
Seorang laki - laki yang duduk disamping lorong rumah sakit, menatap heran ke arah Nana. Tidak sopan berlarian dirumah sakit ketusnya dalam hati.
Ceklek.
Pintu ruangan Rahman terbuka menampilkan sosok wanita muda, yang tak lain ialah putrinya. Tatapan mereka bertemu.
Nana masuk ke dalam ruangan itu dengan mata yang sudah berkaca - kaca.
"Ayah.... Ayah.... " berhambur memeluk ayahnya yang terbaring di ranjang.
"Ayah baik - baik saja" jawabnya lemah.
"Mana yang sakit ayah? Kenapa ayah pingsan? jangan membuat Nana takut" ucap Nana yang sudah menangis.
"Kau Nana?" tanya Silvi.
Nana menoleh ke asal suara yang memanggilnya, ia baru sadar kalau ada orang lain disana selain ayahnya. Siapa wanita cantik yang seusia dengan ayahnya ini bahkan wanita itu tampak lebih muda dibanding ayahnya.
"Ya tante?" tangisannya mulai reda, menghapus jejak air mata di pipinya dengan tangannya.
"Perkenalkan, tante Silvi sahabat ayah dan ibumu, kau sangat cantik seperti ibumu sewaktu muda" puji Silvi, ia seperti melihat Luluk sahabatnya.
"Terima kasih tante"
Melihat ke arah Rahman. " Katakanlah pada putrimu, satu jam lagi kita akan melakukannya" Rahman mengangguk yang membuat Nana bingung.
Silvi keluar dari ruangan itu lalu mencari keberadaan putranya. Ya, Silvi datang bersama putra semata wayangnya, kebetulan tadi Silvi berada di kantor suaminya.
"Rama.. " panggil Silvi. "Mama ingin meminta sesuatu padamu" ucap Silvi menatap kedalam mata Rama.
"Mau minta apa ma? semua milik mama" jawab Rama santai, mamanya ini buat apa meminta pikir Rama.
"Menikahlah dengan putri sahabat mama? "
"Apa? " Rama terkejut mendengar pernintaan mamanya.
"Mama mohon, sahabat mama sekarat dan hanya inilah yang bisa mama lakukan untuk mereka"
"Ma pernikahan itu bukan mainan, kita harus melakukannya dengan kemauan kita sendiri ma"
"Mama mohon, mama yakin kalian bisa hidup bahagia"
"Rama sudah punya kekasih ma" tolak Rama halus.
"Mama mohon Ram, jika memang selama pernikahan kau tidak bisa mencintainya, kau boleh menceraikannya, tapi mama mohon untuk saat ini, nikahilah dia" Silvi terpaksa mengatakannya, dia tidak mau anaknya sampai beecerai.
"Tapi ma.. "
"Mama janji tidak akan meminta apapun lagi padamu, mama mohon"
"Maaf ma, Rama tidak bisa. Ada janji yang harus Rama tepati ma"
Silvi bersujud dibawah kaki putranya. "Mama mohon, ijinkan mama untuk membalas budi mereka, kalau bukan karena mereka mama tidak bisa sampai seperti ini, mama mohon"
...----------------...
Maaf atas ketidak nyamanannya dalam membaca, bab kedua saya edit lagi ya
Nana menatap sendu sang ayah setelah mendengar permintaan ayahnya. Haruskah ia menyetujui permintaan ayahnya untuk menikah dengan laki - laki yang tidak pernah ia kenal untuk mengurangi kekahawatiran ayahnya.
"Ayah tidak tenang meninggalkanmu sendirian, ayah ingin melihatmu menikah sebelum ayah pergi" ucap ayah dengan suara lemahnya.
"Ayah tidak akan kemana - mana, ayah akan terus bersama Nana" suaranya bergetar, matanya sudah berkaca kaca lagi setelah tadi sempat berhenti.
Rahman tersenyum lembut pada putrinya. "Menikahlah! "
Ayah berharap akan ada yang menjagamu setelah ayah pergi. Maaf jika ayah egois, memaksamu menikah.
"Baiklah ayah, tapi ayah harus janji, ayah akan sembuh"
Nana setuju untuk menikah meskipun ia tidak tahu siapa laki - laki yang mau menikahinya. Ia ingin membahagiakan ayahnya. Nana juga takut kalau apa yang dipikirkannya akan menjadi kenyataan. Dia tidak mau menyesal jika itu memang permintaan terakhir ayahnya.
*
*
"Baiklah, aku akan menikah ma, tapi jika perceraian itu harus terjadi, mama harus ikhlas" ujar Rama menyetujui permintaan mamanya, sembari mengangkat tubuh wanita yang sudah melahirkannya. Kenapa mamanya itu sampai bersujud hanya demi putri sahabatnya itu, apa yang telah mereka lakukan pikir Rama.
"Ya mama janji" dan mama akan selalu berdoa supaya perceraian itu tidak akan pernah terjadi lanjut mama dalam hati.
*
*
Ceklek.
Pintu ruangan terbuka. Silvi bersama putranya masuk ke dalam ruangan itu.
"Bisa kita lakukan sekarang" tanya Silvi tanpa meminta persetujuan Nana, karena ia yakin Rahman bisa menanganinya. Rahman mengangguk tanda setuju.
Disusul asisten Dimas bersama seorang laki - laki yang berprofesi sebagai penghulu.
Rahman menyaksikan sendiri anaknya menikah, air mata kebahagiaan jatuh dari kedua sudut matanya.
Sayang putri kita sudah menikah dengan anak sahabat kita sendiri. Sekarang aku bisa menyusulmu.
Nana mencium tangan suaminya yang sampai saat ini belum ia lihat wajahnya. Mereka menikah tanpa persiapan apapun. Pakaian yang mereka kenakan pun masih sama, Rama dengan pakaian kerjanya, sementara Nana dengan pakaian casual, celana jeans dan kemeja kotak - kotak.
Setelah mencium tangan suaminya Nana menghampiri ayahnya. "Ayah Nana sudah menikah, apa ayah bahagia?" tanya Nana dengan deraian air mata
"Ya" tangannya mengelus kepala Nana sembari mengangguk.
"Sekarang ayah harus sembuh, ayah sudah berjanji" pinta Nana berharap kesembuhan ayahnya.
Tersenyum lembut. "Jadilah istri yang baik, patuhlah pada suamimu. Jadilah gadis yang manis dan feminim, Rubahlah kebiasaanmu"
"Bukankah Nana selalu jadi putri ayah yang manis" mencebikkan bibirnya.
"Ya, kau putri ayah yang paling manis disaat tidur"
Nana tertawa mendengar godaan ayahnya. Ayah yang selalu menjadi pahlawan baginya.
Rahman menatap Rama yang duduk si sofa, Silvi yang menyadarinya menyuruh putranya itu mendekat.
Rahman mendekat ke arah ranjang Rahman.
"Terima kasih. Jika kau sudah bosan dengan putriku, maaf ayah tidak bisa mengambilnya kembali. Lepaskanlah dia tanpa menyakiti hatinya" ucapnya pada menantunya itu.
"Baiklah ayah" jawab Rama kaku, dia bingung harus bersikap bagaimana pada mertua dadakannya ini.
Rama dan ibunya sudah diluar ruangan, meninggalkan ayah dan anak itu. Memberi ruang untuk mereka karena setelah itu Nana akan ikut ke Surabaya ke tempat tinggal suaminya.
*
*
"Ayah.......... " teriak Nana dalam ruangan. "Jangan tinggalkan Nana ayah.... " Nana menangis histeris.
Mendengar teriakan Nana, Rama membuka pintu dan masuk ke dalam di susul mama dan asistennya.
Dokter dan dua perawat memeriksa keadaan Rahman. Dan pasien dinyatakan meninggal.
"Rahman.... Innalillahiwainnailahirojiun" Silvi terisak melihat sahabatnya menghembuskan nafas terakhir di hadapannya. Semoga kau tenang di sana, aku akan menjaga putrimu seperti putriku sendiri ucap Silvi di dalam hatinya.
Rama memperhatikan wanita yang kini menjadi istrinya itu. Dari tadi mereka belum berkenalan dengan benar, bahkan wanita yang sudah menjadi istrinya itu terkesan cuek padanya.
Merasa aneh saja ketika ada wanita yang tak sudi menatapnya, tidak ada satupun wanita yang bisa menolak pesonanya.
*
*
Kembali ke masa kini.
Sudah dua jam Nana duduk di taman itu. Rama p oppaun masih terus memandanginya dari atas balkon.
Tak lama Nana pun beranjak berdiri, melangkah masuk ke dalam rumah. Kamar mereka berada di lantai dua namun malam ini Nana masuk ke salah satu kamar di bawah, tempat yang biasa mertuanya gunakan jika menginap disana.
Ya mereka tidak tinggal bersama orangtua Rama. Mereka tinggal dirumah yang sengaja Rama beli setelah menikah.
Rama juga menutup pintu balkon setelah Nana pergi dari sana. Merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Melihat ke arah samping tempat dimana biasanya Nana tidur, senyum tersungging di bibir manisnya.
Hampir setengah jam pintu kamar itu pun belum terbuka dari luar. Sejak tadi Rama melihat ke arah pintu kamarnya, berharap seseorang masuk dan menghangatkan ranjangnya seperti biasanya.
Kemana dia? butuh berapa menit untuk sampai kesini?
Nana sudah terbang ke alam mimpi, sementara Rama tanpa sadar menunggu istrinya,, sampai ia terlelap.
*
*
Keesokan paginya.
Rama terbangun seperti biasanya namun pagi ini seperti ada yang berbeda. Entah apa itu. Melihat ke arah samping. Kosong.
"Masih rapi, apa dia tidak kembali tadi malam" gumamnya.
Setelah membersihkan diri, Rama mengambil pakaian kerjanya sendiri di dalam lemari karena pagi ini istrinya tidak menyiapkan baju kerjanya seperti biasa.
"Masih jadi istri, tapi sudah durhaka pada suami" gerutu Rama kesal.
Rama keluar dari dalam kamar, mencari keberadaan istrinya namun nihil, dia tidak menemukan keberadaan istrinya.
"Bi, dimana nyonya?"
"Tidak tahu tuan, saya belum melihatnya pagi ini"
"Kemana dia sepagi ini? " gumamnya lirih.
Bibi belum pergi dari hadapan Rama seperti ingin mengatakan sesuatu. Rama mengerutkan keningnya.
"Ada apa bi? " tanya Rama yang melihat tingkah aneh bibi yang senyum - senyum sendiri.
"Itu tuan..... " dengan ragu bibi ingin mengucapkannya. "Selamat ulang tahun pernikahan tuan"
Deg
Rama bagaikan dejavu.
"Nyonya sangat antusias sekali menyiapkan makan malam untuk tuan, nyonya sendiri yang menghias taman belakang" lanjut bibi semangat bercerita tanpa memperhatikan wajah laki - laki di depannya itu.
Ulang tahun pernikahan, dan aku memberikan surat cerai di malam spesialnya.
Rama tersadar dari keterdiamannnya setelah mendengar suara bibi undur diri untuk melanjutkan pekerjaan yang lain.
Rama masih terpaku. Dia bingung harus bagaimana? Meskipun ia tidak mencintai istrinya itu, tapi setidaknya ia menghargai usaha istrinya membuat makan malam romantis untuk mereka.
Tap
Tap
Tap
Terdengar suara langkah kaki dari arah belakang. Rama mengalihkan tatapannya ke arah asal suara. Rama melihat dengan jelas istrinya yang keluar dari dalam kamar yang biasa mamanya gunakan jika berkunjung.
"Selamat pagi" ucapnya dingin tanpa tersenyum sedikitpun. Rama menatapnya dengan perasaan entahlah. Biasanya wanita dihadapannya itu akan memberikan senyum manis terbaiknya yang terkadang membuatnya jengah. Tapi pagi ini entah kenapa Rama ingin melihat semyum itu.
Nana mulai menyantap sarapannya, tanpa mengambilkan sarapan untuk suaminya. Ia makan dengan lahap karena ia butuh tenaga yang banyak untuk berperang. Nana sudah mengambil keputusan.
Meletakkan sendok di atas piring setelah sarapannya habis, meneguk minuman yang ada ditangannya hingga tandas tak bersisa. Rama hanya menatapnya dalam diam tanpa menyentuh sarapannya. Ya, tadi Rama mengambil sendiri sarapannya, dirasa wanita yang masih sah menjadi istrinya itu enggan melayaninya.
"Aku setuju untuk bercerai"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!