Senyuman mengembang kala manik mata Bulan menatap kepergian sang suami pagi itu. Betapa bahagia tanpa ada rasa bosan rutinitas setiap pagi selalu sama. Bangun, membersihkan wajah, memasak, membantu suami bersiap dan mandi. Lalu mengantarkan kepergian suami ke kantor.
Mungkin banyak orang yang memandang itu adalah hal yang membosankan, namun tidak untuk Bulan. Ia benar-benar tulus menjadi istri yang baik untuk suami tercinta. Meski kini usia pernikahan mereka bahkan sudah memasuki tahun kedua.
“Aku akan selalu mencintaimu, Mas Pram.” tutur Bulan membalikkan tubuh memasuki rumah.
Pandangannya pun mengedar ke setiap sudut rumah. Sangat sunyi, dalam hati kecil, Bulan begitu sangat menantikan kehadiran sang buah hati yang tak kunjung ada.
Tring tring tring
Ponsel yang ia letakkan di meja makan pun menyita perhatian Bunga. Segera ia melangkah mendekati meja makan.
“Ada telepon, Nyonya.” Suara pelayan membuat Bulan tersenyum dan melihat benda pipih itu.
Keningnya mengernyit heran. “Kak Hawa.” gumamnya heran.
Tak biasanya wanita yang berstatus kakak iparnya itu menelpon dirinya. Lantas apa yang membuat Hawa mau menghubunginya?
“Iya halo, Kak. Ada apa?” tanya Bulan lembut meski ia tahu jawaban dari seberang sana pasti akan kasar.
“Bulan, Pram dimana? Kenapa aku telepon nggak di angkat-angkat juga?” Benar dugaan Bulan. Secepat kilat Bulan menjauhkan sejenak ponsel itu dari telinganya.
Bahkan dari sudut lain, pelayan dapat melihat bagaimana wajah Bulan yang terpekik kaget. Sudah bisa di duga. Pasti orang di telepon itu sudah berteriak.
“Mas Pram sudah berangkat, Kak ke kantor baru saja.” jawab Bulan lagi.
“Sampaikan padanya, malam ini datang ke acara keluarga di hotel Xx. Ingat, hanya Pram. Ini khusus keluarga besar kami saja. Kau tahu artinya kan?” Dengan cepat Bulan pun menganggukkan kepala lalu menjawab.
“Baik, Kak. Saya tahu itu.” ujar Bulan.
Panggilan pun seketika terputus tanpa ada kata terimakasih atau pun salam. Bulan tentu tak lagi kaget. Ia pun hanya mengusap dadanya pelan. Sungguh rasanya sangat menyakitkan memasuki dua tahun pernikahan, ia masih belum mendapatkan perlakuan baik dari kakak iparnya.
Jika dulu bayangan Bulan memiliki kakak ipar wanita pasti akan sangat menyenangkan. Bisa memiliki teman curhan bahkan ada yang membelanya ketika suami melakukan kesalahan pada istri. Nyatanya Bulan salah besar. Memiliki ipar wanita membuatnya seperti memiliki malaikat pencabut nyawa yang siap kapan pun mencabut nyawa pernikahannya.
“Yasudahlah siang nanti biar aku sampaikan pada Mas Pram. Semoga saja Mas Pram tidak memaksaku untuk ikut. Aku lebih baik di rumah saja.” Bulan pun menuju kamar untuk sekedar merapikan lebih detail tempat tidur mereka.
“Bi, istirahat saja kalau sudah beres. Saya juga mau istirahat.” pintah Bulan penuh perhatian pada pelayan.
“Baik, Nyonya.”
Keadaan rumah pun kembali hening.
Berbeda halnya dengan perusahaan periklanan yang di miliki Pram. Pagi ini menjadi pagi yang sangat produktif. Sebab, pria itu akan menyambut beberapa klien yang akan memakai jasa perusahaannya dalam pemasaran produk.
“Dewi, bagaimana semua persiapannya? Sudah kamu siapkan? Tolong beberapa contoh kamu tampilan juga yah dan hasil penjualannya dari iklan itu di perlihatkan. Setidaknya mereka akan butuh banyak hasil nyata.” pintah Pram pada sang sekertaris.
“Baik, Pak Pram. Semua sudah sesuai dengan rincian email yang Bapak kirim semalam pada saya.” jawab wanita dengan penampilan formal.
Pagi yang begitu padat tanpa terasa telah usai. Kini Pram tampak keluar dari ruang kerja bersama beberapa klien yang baru saja mengesahkan kontrak dengan perusahaan milik Pram.
“Mas Pram,” suara Bulan terdengar sukses menghentikan beberapa pria yang berjalan bersama Pramudya.
Pram menoleh, ia melihat sosok Bulan di sana.
“Em kalau begitu kami permisi, Tuan Pram.” Tiga pria dengan setelan formal tampak undur diri setelah tersenyum pada Bulan. Bahkan mereka menundukkan sedikit kepalanya.
“Sayang, baru sampai?” tanya Pram mengusap rambut panjang istrinya. Bulan pun mengangguk cepat.
“Mas, tadi Kak Hawa nelepon aku.” aku Bulan sembari meletakkan beberapa makana di atas meja.
Kening Pram pun mengernyit heran. “Iya tadi memang Kak Hawa menelpon Mas. Mas lagi sibuk. Dia ngomong apa, Bulan?” tanya Pram penasaran.
“Katanya nanti malam ada acara keluarga di hotel Xx. Mas di suruh datang.” Bulan pun memilih jujur.
Pram menganggukkan kepalanya pelan. “Yasudah kalau begitu kamu nggak usah pulang setelah kita makan. Biar Mas pulang lebih cepat hari ini. Nanti kita terlambat kalau perginya terlalu sore.” tutur Pram yang mendapatkan gelengan kepala dari Bulan.
“Mas saja yang pergi yah?” ujarnya memohon.
Sesuai keputusan sepihak dari Pramudya, kini dengan berat hati Bulan terpaksa mengikuti permintaan sang suami untuk ikut menghadiri acara keluarga malam nanti.
Mobil yang membawa keduanya pulang dari kantor akhirnya tiba di halaman rumah milik Bulan dan suaminya. Tak ada percakapan selama perjalanan ke rumah sejak ucapan Pram tak bisa Bulan tawar.
“Semoga saja perasaanku bukan pertanda buruk untuk malam ini. Sungguh aku sangat ingin menghindar dari keributan. Tapi apa dayaku, Mas Pram suamiku. Bagaimana aku membantah suamiku?” batin Bulan bermonolog sepanjang ia melangkah memasuki kamar.
“Bulan!” Panggilan Pramudya membuyarkan lamunan wanita itu. Bulan terhenti dari langkah dan menoleh ke belakang dimana sang suami berada.
“Ada apa, Mas? Apa butuh sesuatu?” Dengan patuhnya Bulan bertanya. Inilah yang selalu membuat Pram tak bisa untuk dingin pada sang istri. Mahkluk di depannya tercipta begitu lembut sehingga selalu mampu menyapu kerasnya hati pria itu.
Pram tersenyum. “Siapkah air di bathup untuk kita yah? Kamu tidak lelahkan?” Pertanyaan Pram seketika membuat senyuman mengembang di wajah Bulan.
Dengan penuh pengertian, Bulan tersenyum dan mengangguk. “Iya, Mas. Sebentar aku siapkan yah?”
Hingga beberapa menit Pram menikmati secangkir teh yang Bulan buatkan sebelumnya, kini akhirnya suara sang istri terdengar memanggil.
“Mas, sudah siap airnya.” tutur Bulan.
Keduanya pun menikmati mandi sore itu berdua tentu dengan beberapa tahap yang cukup menguras tenaga. Inilah cara Pram untuk terus membuat pernikahan mereka yang sunyi dari tangisan anak terasa selalu hangat dan penuh cinta. Di tengah letih yang ia rasakan, memanjakan tubuhnya serta Bulan sangat menjadi prioritas untuk pria itu.
Erangan panjang tampak mengakhiri permainan keduanya di kamar mandi.
“Pram, akhirnya kamu tiba juga.” Sapaan hangat dan senyuman mengembang dari wanita yang tak lain adalah Hawa. Kakak kandung Pram.
Namun, senyuman wanita itu surut di detik berikutnya kala matanya memandang sosok di sebelah sang adik.
“Jangan ribut, Kak. Aku yang memaksa Bulan untuk ikut.” ujar Pram mengerti bagaimana keluarganya semua tak menyukai Bulan selama ini.
“Pram, ini acara khusus keluarga. Kamu membawa orang luar tanpa izin dari Ibu.” ujar Hawa lagi memperingati. Meski berdalih dengan menggunakan nama ibu, sebenarnya Hawa adalah orang pertama yang sangat tidak menyukai Bulan.
“Hawa…dimana? Oh Pram? Kamu sudah datang? Baru saja Ibu ingin kakakmu menghubungi kamu.” Usi Dewi adalah ibu dari Pram yang selalu tampil dengan penampilan sanggul modern. Kulit yang masih kencang karena perawatan jutaan di wajahnya sungguh menampilkan kecantikan yang awet muda.
Tanpa berani menyapa, Bulan hanya bisa menundukkan kepalanya takut. Pram tahu istrinya begitu ketakutan. Itulah sebabnya ia pun menggenggam tangan Bulan.
“Bu, Aku hanya bisa hadir sebentar. Bulan sedang tidak sehat.” ujar Pram beralasan.
Tak ingin terlihat buruk di depan sang anak, Usi hanya mengangguk dan berkata. “Apa tidak biarkan saja Bulan istirahat di kamar hotel ini. Kamu bisa tetap lanjutkan acara keluarga kita, Pram. Ibu tidak enak jika kau pergi sebelum opa dan oma membubarkan acara ini. Kau tahu kan posisi Ibu di keluarga ayahmu?”
Niat Pram ingin datang sebentar akhirnya membuat pria itu tampak berpikir. Yah, ia tidak lupa jika oma dan opanya begitu tidak baik pada sang ibu semenjak kepergian sang ayah beberapa tahun lalu.
Kini pandangan Pram tertuju pada wanita di sampingnya. Rasanya serba salah, namun meninggalkan Bulan istirahat di kamar rasanya bukan hal yang buruk. Bulan akan aman pikir Pram.
“Baiklah, Bu.” tutur Pram patuh. Setidaknya Bulan sudah ia gandeng di acara keluarga, sekedar menampakkan wajah sudah cukup menurutnya.
Senyuman terukir di wajah Usi, ia lega sang anak masih mau mendengarkan tutur katanya. Namun, sebenarnya apa yang ia katakan memang benar. Kedudukan Pram sangatlah berpengaruh dalam melindungi sang ibu.
“Sayang, ayo.” Genggaman tangan Pram menuntun sang istri menuju sebuah kamar yang Pram sudah pilih untuk istrinya sekedar merehatkan tubuh.
Setibanya mereka di kamar hotel, mata Bulan tampak mengembun. Ia mendapat pelukan dari Pram dan usapan di kepalanya.
“Mas tepati janji kan? Tidak akan membiarkan kamu di tindas mereka. Sekarang biarkan Mas melindungi nama Ibu, yah?” ujar Pram penuh permohonan.
Bulan tidak bisa menolaknya. Ia tahu sedikit banyak tentang keluarga sang suami yang begitu pelik itu.
“Mas, jangan minum yah? Aku takut Mas kenapa-napa. Dan aku tidak bisa masuk ke sana pasti tanpa Mas.” Bulan tahu Pram sangat tidak biasa dengan minuman. Itu sebabnya ia takut jika suaminya lepas kendali. Dan menimbulkan masalah yang tidak seharusnya terjadi.
“Tidak, Bulan.”
Keduanya pun terpisah saat itu juga. Langkah kaki Pram melebar menuju ballroom hotel.
Acara yang tampak senyap kala pria tua di depan sana sudah berdiri membuka suara.
Pandangan Pram bertemu dengan sosok Pria yang tak lain adalah sang opa.
“Opa senang sekali kita bisa berkumpul kembali malam ini. Opa berharap kalian tetap akan bersatu meski kelak opa dan oma tak lagi ada di sini. Tetaplah jalin tali persaudaraan kalian anak cucu opa dan oma.” Ucapan yang terdengar serak itu membuat seluruh keluarga besar tampak tersenyum.
Mereka sangat senang melihat acara yang khusus keluarga besar ini berjalan dengan lancar. Tak ada satu pun dari mereka yang tidak hadir.
Hingga acara makan malam pun mulai di langsungkan.
“Pram,” panggilan dari seorang wanita yang tak lain adalah kakak dari almarhum ayah Pram.
“Tante Siti.” Sapa Pram dengan wajah datar.
“Mana istri kamu? Bukannya tadi ada sama kamu yah?” tanya wanita paruh baya itu.
Pram sudah menduga, Bulan akan menjadi pusat perhatian keluarganya yang sangat tak menyukai Bulan. “Dia istirahat di kamar, Tante. Badannya sedang tidak enak.” ujar Pram beralasan.
“Tidak enak badan atau tidak enak melihat wajah keluarga suaminya ini? Kamu itu harus tegas dengan istrimu, Pram. Jangan seperti ayahmu, lihat ibumu bahkan senang-senang saja selama ayahmu tidak ada.” Sontak kedua mata Usi membulat mendengar sindiran sang ipar.
Belum usai percakapan mereka, Hawa datang dengan membawa seorang wanita yang di dorong kursi rodanya.
“Ini Oma, Pram. Pram, Oma katanya ingin bicara sama kamu. Aku pergi dulu ke toilet.” Hawa pun pamit usai menyerahkan sang oma pada Pram.
“Oma,” ujar Pram berlutut di depan sang oma yang tampak tak bisa lagi melihat.
“Pram, apa sudah ada kabar untuk cicit Oma? Dimana istrimu?” Pertanyaan Oma membuat Pram meneguk salivahnya kasar.
“Mah, Bulan tadi di bawa istirahat. Pram hadir sendiri sudah cukup kan?” Usi yang menjawab sontak membuat sang oma bersuara ketus.
“Diam kamu! Saya tidak bicara sama kamu. Menjauh dari saya!” Ucapan Oma membuat hati Usi dan Pram perih rasanya.
Terlebih Pram yang sangat menghargai sang Ibu. Namun, Oma jauh lebih harus ia hormati. Ibu dan Oma sama-sama wanita yang penting dalam hidup Pram.
“Maaf Oma, Bulan di…” Belum sempat Pram menjelaskan, Oma sudah bersuara lagi.
“Oma ingin bertemu dengan cucu menantu Oma. Oma sangat ingin memberitahu istrimu agar cepat memberikan cicit pada Oma.” Sontak wajah Pram berubah bahagia.
Akankah ini artinya hati sang oma sudah terbuka untuk Bulan? Sungguh Pram begitu senang mendengarnya. Mungkin perihal cicit membuat wanita buta itu harus menerima cucu menantunya.
“Baiklah, Oma. Biarkan Pram menjemput Bulan.” tutur Pram lagi namun urung lantaran sang oma mencegah.
“Antar Oma menemuinya. Di sini tidak ada yang menyukai istrimu, Pram. Oma harus bicara dari hati ke hati. Usia Oma tak lama lagi, rasanya tak ada waktu yang panjang untuk menunggu cicit dari kalian.” Usai mengatakan hal itu, akhirnya Oma di bawa oleh Pram menuju kamar dimana Bulan berada.
“Emh…ssshh.” Samar-sama Pram mendengar suara dari dalam saat mendorong pintu yang rupanya tidak tertutup rapat.
Kening Pram mengernyit bersamaan dengan oma yang mengerutkan alisnya.
Pelan semakin pelan Pram melebarkan daun pintu dan mendorong kursi roda sang oma.
Betapa terkejutnya Pram mendapati pemandangan di depannya. Mata pria itu membulat sempurna dan keringat di keningnya berjatuhan bersama air mata yang turut menetes.
“Bulan!” Teriakan Pram menggema di ruangan hotel itu.
“Hah?” Sontak Bulan yang tengah berbaring di sofa dengan tubuh pria di atasnya tampak menutup baju yang terbuka beberapa kancing.
Ia mendorong kuat pria yang di atasnya dan menatap ke sumber suara.
“Baj*ngan!!” Pram berlari mendekat dan melayangkan tangannya dengan sangat kasar tanpa henti.
Samar wajah tampan pria yang tengah emosi membuat Bulan memanggil lirih.
“Mas Pram…” tuturnya memegang kepala dan membuka lebar matanya.
Sayangnya usai memukuli pria itu Pram justru tak lagi mengatakan apa pun. Ia begitu sangat malu dan menyeret paksa tangan Bulan keluar dari hotel.
“Pram! Pramudya!” Panggilan sang oma pun tak lagi Pram hiraukan. Ia benar-benar malu melihat keadaan di kamar hotel. Wajah tampak pria itu benar-benar merah penuh kobaran api di dalamnya.
“Sssh aw sakit, Mas.” pekik Bulan yang meminta di lepaskan tangannya oleh sang suami.
Tak menghiraukan, justru Pram menghempaskan tubuh istrinya ke dalam mobil. Ia melajukan kendaraan roda empat itu dengan sangat laju. Beberapa kali Bulan tampak berteriak. Meski ia tahu semua akan percuma.
Di tengah paniknya Bulan, wanita itu mulai merasakan sesuatu dalam tubuhnya. “Mas hentikan. Aku takut.” Pekiknya ketakutan jika sampai kecelakaan.
Tak ada jawaban dari Pram. Mobil terus melaju bahkan saat tiba di depan gerbang rumah. Begitu tak sabaran, Pram mengklakson panjang penjaga gerbang agar cepat di buka.
Memarkirkan mobil pun ia begitu sembarangan. Pram benar-benar marah. Ia menggenggam kuat dan menyeret kembali tangan Bulan masuk ke dalam kamarnya.
“Kamu benar-benar memalukan, Bulan!” Teriaknya menghempas tubuh sang istri ke atas tempat tidur itu.
Bulan meneteskan air mata, ketakutan dan perlakuan kasar suaminya membuatnya sadar dari gairah yang menguasai tubuhnya.
“Mas, aku…”
“Apa? Hah! Sejak kapan kamu melakukan ini semua? Sejak kapan? Kenapa kamu mempermalukan aku, Bulan? Di sana ada keluarga besarku!” Pramudya menghantamkan kepalanya di tembok kamar.
Tak tahu harus mengambil keputusan apa saat ini. Ia pun benar-benar sangat malu malam ini. Masih terngiang di ingatannya bagaimana Bulan mendesah bersama pria itu.
Air mata Pram menetes, hatinya sangat sakit di permainkan seperti ini. Wanita yang selama ini ia percaya dan cintai justru membuatnya harus menerima semua perlakuan yang memalukan itu.
Tak sampai di situ, belum sampai beberapa menit mereka bertengkar. Tiba-tiba ketukan pintu di depan kamar terdengar.
“Nyonya, permisi.” Suara pelayan mengetuk pintu kamar.
Keluarlah Pram dengan dada yang menahan gemuruh. “Ada apa, Bi?” Tanyanya dengan wajah dingin.
Sang pelayan tak berani menatap majikan hanya mampu memberikan sebuah paperbag.
“Ada paket barusan, Tuan. Untuk Nyonya Bulan.”
Tanpa bersuara, Pram mengambil paper bag itu dan menutup pintu. Entah mengapa hatinya tergerak untuk membuka dan melihat apa isi paket itu.
Di sudut kasur sana Bulan hanya menangis. Ia sendiri tidak tahu apa yang terjadi barusan.
“Aku benar-benar tidak tahu, Mas. Aku hanya melihat wajah kamu yang bersamaku tadi. Aku tidak tahu siapa pria itu.” Tangisnya berusaha menjelaskan.
“Aku merasa tubuhnya sangat menginginkan sentuhan kamu, Mas. Sumpah aku tidak berbohong…”
“Brengsek!” Umpatan kesal Pram sontak membuat Bulan menghentikan ucapannya. Ia terkejut saat sang suami melemparkan kain yang berbentuk baju sangat tipis berwarna hitam lengkap dengan dalaman transparan di sana.
“Sejak kapan, Bulan? Sejak kapan kau menghianati aku?” Amarah Pram semakin meluap.
Disana ia meremas kertas yang bertuliskan, ‘aku rindu dengan gaun ini. Bisakah kau memakainya kembali untuk mengenang malam indah itu?’
Jika di katakan bodoh, yah Pram adalah pria yang paling bodoh jika menyangkut cinta. Besar rasa sayangnya pada Bulan membuat pria itu bahkan tak bisa lagi memakai logika untuk berpikir. Semua yang ia gunakan hanya amarah karena cemburu.
“Mas, apa ini? Apa maksudnya? Baju siapa ini, Mas?” Kurangnya komunikasi dalam pertengkaran menyebabkan keduanya sulit menyelesaikan masalah.
Bulan mendekati sang suami. Ia berusaha untuk menyelesaikan kesalah pahaman. “Mas, kita bicarakan baik-baik. Aku yakin ini salah paham. Ayo Mas,” ajak Bulan yang ingin menyentuh tangan suaminya.
Namun, Pram langsung menepis tangan sang istri. Ia meninggalkan kamar dan mengunci kamar itu dari luar.
Pram pindah menuju kamar tamu. Di sana ia duduk berusaha menenangkan diri. Keluar dari rumah menuju tempat yang tidak semestinya bukanlah pilihan Pram untuk menenangkan diri. Ia hanya butuh tempat yang tak ada Bulan. Menurunkan emosi mungkin jalan satu-satunya.
Di kamar ini, Bulan tampak menangis. Ia bingung, mengapa semua terjadi dengan kilat tanpa ia tahu sebabnya.
Ingatan kembali pada keadaan di hotel sebelumnya.
“Permisi, Nona.” Wanita dengan seragam hotel itu mengetuk pintu.
Kening Bulan mengernyit mendengarnya. Ia berjalan membuka pintu dan bertanya, “iya ada apa yah?”
“Ini pesanan untuk cemilan dan minumannya.” Kening Bulan mengernyit heran.
“Saya tidak ada memesan apa pun?” tutur Bulan tanpa curiga sama sekali.
“Maaf kami hanya menjalankan perintah. Sebab tadi ada telepon yang menyebutkan nomor kamar ini, Nyonya.” Jelas wanita itu.
Tanpa menaruh curiga sedikit pun, Bulan pun mengambil dan menikmati makanan ringan itu sembari menonton.
“Mas Pram sangat perhatian. Mereka pasti makan enak di sana, makanya pesanin aku makan juga.” Senyuman Bulan pun mengembang.
Ia mulai menghabiskan hingga beberapa menit setelah memakan, tubuhnya terasa menegang. Ada gejolak yang terasa ingin segera ia tuntaskan saat itu juga.
“Ada apa yah? Kok aku merasakan ingin hal itu?”
Samar-samar Bulan mulai bergerak di atas tempat tidur. Pelan ia turun dari ranjang dan duduk di sofa. Menenangkan diri adalah pilihannya. Sayang, rasa gairah itu semakin menjadi. Hingga pikiran Bulan mulai sulit di kondisikan. Kehaluan yang ia rasa semakin tinggi.
“Ehem.” Deheman seorang pria yang membuka pintu dengan card serep membuat Bulan menatap wajah itu mirip dengan suaminya.
“Mas…” panggil Bulan lirih. Segera ia merentangkan tangan kala melihat sosok pria mendekatinya.
Di sanalah di sofa itu keduanya saling memeluk dan Bulan tanpa bisa mengendalikan suara ia mendesah nyaring.
“Ada yang tidak beres.” gumam Bulan menerka setelah mengingat semuanya.
Ia bingung apa penyebabnya sebab ia sendiri tak memilik pengalaman akan hal itu.
Satu malam keduanya habiskan dengan saling menenangkan diri masing-masing. Sekali pun Bulan tak berusaha membuka pintu kamar yang Pram kunci.
Dan sejak kejadian saat itu, setiap kali Bulan berusaha menjelaskan. Pram selalu menghindar. Meski sangat marah, Pram tak ingin menceraikan Bulan. Ia sangat mencintai istrinya.
Terlebih komitmen pria itu sangatlah tinggi. Menikah sekali dalam hidupnya tanpa ada kata cerai.
Dua minggu berlalu.
Sepulang dari kantor, Pram masuk ke rumah dan menuju kamar tamu. Tubuhnya sangat lelah.
“Tuan, saya siapkan makan malamnya sekarang?” Tanya pelayan yang melihat sang tuan sangat lelah.
Ia bertanya lebih dulu sebab Pram biasanya meminta makan di tengah malam usai menyelesaikan pekerjannya.
Bergadang selama dua minggu lebih menyibukkan diri dengan pekerjaan membuatnya sering lapar tengah malam.
“Tidak usah, Bi. Nanti malam saja. Saya mau istirahat dulu.” ujar Pram berniat masuk ke kamar tamu.
“Em Tuan…” pelayan itu menunduk takut-takut menyampaikan sesuatu. Pram menghentikan langkahnya.
“Ada apa, Bi?” tanyanya.
“Nyonya Bulan…” belum sempat pelayan mengatakan, Pram sudah lebih dulu menyela.
“Jika dia baik-baik saja, biarkan saja mau makan atau tidak, Bi. Dia sudah dewasa lapar pasti akan makan.” ketus Pram menjawab.
“Bukan itu, Tuan. Sejak siang tadi Nyonya muntah-muntah, Tuan. Bibi takut Nyonya kenapa-kenapa.” Mendengar kata muntah-muntah, wajah Pram mendadak kalut.
Ia sangat takut sang istri sakit parah. Segera tas kerja ia taruh sembarang dan Pram langsung menuju kamar utama.
“Bulan,” panggil Pram setengah panik.
Matanya membulat penuh melihat sang istri sudah pucat di tempat tidurnya. Bulan begitu lemah berbaring dengan selimut menutup tubuhnya.
“Mas,” lirihnya tak kuasa menahan sakit.
“Aku nggak bohongi kamu. Aku cinta sama kamu, Mas.” Kata terakhir yang Pram dengar sebelum Bulan menutup mata tak sadarkan diri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!