Seorang wanita dengan rambut panjang yang dikuncir kuda tengah memasukan adonan kue yang telah dibuatnya kedalam oven, menyetelnya kesuhu dan timer yang diperlukan.
Bibirnya yang merah merona itu tersenyum merekah, sesekali menyeka keringat didahinya pertanda dia mulai lelah karena sedari tadi berkutat didapur. Tetapi senyum yang menawan itu masih mengembang sempurna. Menunjukkan dia benar-benar bahagia.
Sarjana fashion yang menjadi guru TK itu juga sangat hobi membuat kue, hingga ia lebih memilih membuat sendiri kue anniversary pernikahannya ketimbang membeli.
Mengalihkan perhatiannya sejenak dari kuenya, kini wanita bernama Adiba Hanifah itu mulai menata meja makan. Mulai dari menata lilin merah didua ujung meja. Dua gelas yang siap diisi jus, juga beberapa masakan yang telah dibuatnya dengan penuh cinta.
Tak lupa dengan bunga tulip merah kesukaannya yang diletakan dalam vas kecil, bunga yang melambangkan kuatnya cinta pada pasangan itu telah tertata sempurna. Bunga itu menjadi bunga favoritnya setelah Haki menyatakan cinta padanya 5 tahun lalu. Begitu romantis, didepan teman kampus mereka tepat saat hari kelulusan tiba.
" Aku tidak bisa menerimamu." Jawaban darinya kala itu jelas membuat riuh tepuk tangan yang sempat menggema sirna begitu saja.
Haki menatapnya penuh kecewa, mungkin juga sekaligus rasa malu.
" Ucap namaku didepan penghulu, agar halal bagi kita untuk bersama."
Ucapannya itu berhasil membuat sorak kembali riuh. Haki memeluknya erat, dan itu adalah momen paling romantis dalam kebersamaan mereka.
Namun, bukan tanpa alasan Adiba meminta Haki langsung melamarnya sebagai tanda keseriusan. Ia melakukannya karena ragu jika Haki yang dia cintai sejak SMA juga mencintainya. Pasalnya ia tahu pria itu sempat menaruh hati pada wanita bernama Farah. Teman sekelas Haki, dua tingkat diatasnya.
Pun dengan masa lalu kelam keluarganya, membuatnya cukup sulit percaya pada cinta.
Tanpa dia duga, Haki benar-benar datang melamarnya. Bahkan langsung membawa ayahnya untuk menjadi wali.
Tentu saja hal itu membuat Adiba merasa Haki serius. Terlebih hubungannya dengan sang ayah renggang setelah pernikahan kedua ayahnya yang membuatnya memiliki ibu tiri, tapi ayahnya bersedia menjadi wali nikahnya karena Haki. Itulah sebabnya Adiba benar-benar yakin Haki telah melupakan masa lalunya.
Meski setelah sah menjadi seorang istri, dia mendapati suatu fakta. Dimana keluarga Haki sama sekali tak merestui hubungan mereka.
Adiba tak tahu hal itu, karena Haki mengatakan orang tuanya tak bisa datang, tidak lebih. Ia pun baru tahu, saat Haki sendiri yang mengakuinya saat ia bertanya kemana orang tua Haki.
Meski begitu, Adiba memaklumi. Toh ia cukup sadar diri jika dirinya tak sempurna untuk menjadi istri Mahaki Sujaya. Lahir dari keluarga miskin yang berantakan, dan juga tidak cantik.
Tapi ia bertekad, akan mempertahankan pernikahan yang telah ia jalani. Dan selalu berharap jika suatu saat nanti pasti mertuanya akan menerimanya, meski entah kapan itu. Bahkan hingga 5 tahun, belum ada kemajuan, meski dia sudah mencoba berbagai cara.
Mungkin salah satunya karena dia tak kunjung hamil, dan ibu mertuanya sering kali meminta bahkan memaksa Haki menikah lagi, dan sering kali pula pria itu menolak.
Dia sempat pasrah, dan meminta Haki menuruti ibunya. Namun Haki tetap kekeuh setia padanya.
" Hubungan kita dibangun dengan dasar cinta, dan tidak selemah itu hingga harus hancur karena alasan anak. Jika kamu mau, kita bisa mengadopsi anak dipanti asuhan." Haki menenangkannya yang menangis setelah cacian mertuanya yang kesekian kali.
" Tapi Ibu maunya anak kamu Mas, darah daging kamu." Ucapnya putus asa.
Tapi Haki selalu mensupportnya, meyakinkan dirinya jika cintanya tak akan hilang karena alasan anak.
Meski perkataan pria itu mampu menyemangatinya, ia tahu Haki mulai menginginkan tangis dan tawa seorang anak dalam rumah tangga yang semakin hambar ini.
Dan itu membuatnya sudah tak sabar, menunggu sang suami pulang dan memberitahukan kehamilannya. Hal yang selama ini menjadi masalah utama dalam keluarga mereka.
Adiba lantas meraih ponsel yang sedari tadi ia biarkan tergeletak diatas meja. Menekan nomor sang suami disana.
Nada telepon belum juga tersambung, Adiba menunggunya dengan tak sabar. Hingga suara yang dinantinya itu mengucap salam.
" Halo sayang, ada apa? Tumben jam segini nelpon?."
" Aku ada kejutan untuk Mas, hari ini kalau bisa pulang cepat ya..."
Hening sejenak, pasti Haki tengah berpikir.
" Baiklah, akan Mas usahakan."
Suara Haki tak begitu ceria, namun Adiba bisa mengerti. Menjadi seorang manager bukan hanya tinggi gaji, tapi juga pekerjaan yang padat.
Panggilan terputus setelah keduanya bertukar salam. Adiba mengecek kuenya yang ternyata sudah matang. Ia mengeluarkan dari dalam oven. Asap yang mengepul dari kue berwarna kecoklatan itu menguarkan aroma yang harum. Adiba meletakannya lebih dulu diatas meja.
Adiba lantas menuju lantai dua rumahnya untuk bersiap. Dia harus tampil secantik mungkin agar sang suami terpesona. Terlebih dahulu wanita berusia 27 tahun itu masuk kekamar mandi untuk membersihkan diri. Kemudian memakai pakaian terbaiknya, sebuah gaun berwarna soft pink dibawah lutut yang baru saja dibelinya siang ini menjadi pilihan.
Sapuan make up tipis natural menghiasi wajahnya yang tak lumayan itu. Adiba lantas meraih tespack dari dalam laci, benda dengan dua garis merah itu telah ia letakan dalam kotak kecil sederhana. Akan menjadi kado terbaik sepanjang pernikahan mereka yang semakin lama semakin terasa sepi.
Wanita yang tengah hamil itu perlahan menuruni anak tangga dengan hati-hati, duduk dimeja makan dimana makan malam romantis yang dibuatnya sudah siap.
Ia menunggu dengan tak sabar, berulang kali mengecek waktu dengan melihat jam dinding yang terus berdetak. Ia duduk dengan gelisah, gugup dan senang yang menjadi satu. Kemudian berdiri mondar-mandir tak karuan.
Waktu sudah menunjukkan jam 6 sore dan yang ditunggu belum juga muncul, membuat Adiba semakin khawatir. Berbagai pikiran buruk mulai merasukinya. Ia takut sesuatu yang tak dinginkan terjadi pada suaminya.
Prasangka-prasangka buruk dalam pikiran itu terpangkas paksa saat sebuah notif diponselnya berdenting. Adiba mengernyit heran melihat nomor tak dikenal mengirim pesan.
Namun rasa penasaran yang lebih besar membuatnya spontan membuka pesan itu. Mata cantiknya membulat sempurna, bibir tipis yang telah berhias lipstik itu menganga tak percaya.
Setetes air mata jatuh dari kelopak mata yang telah diriasnya itu.
[ Jangan tungguin dia ya... Lihat, Haki-nya lagi mabuk, mana bisa pulang. Kamu tenang aja, suamimu ini aman sama aku.]
Sebuah pesan entah dari siapa, diiringi foto sang suami yang tergeletak mabuk diatas ranjang. Penampilan Haki terlihat berantakan, membuat berbagai asumsi buruk muncul dikepalanya.
Tanpa berpikir panjang, Adiba langsung menghubungi nomor itu. Hanya butuh beberapa detik hingga panggilan itu diangkat. Sebuah suara wanita menjadi yang pertama kali ia dengar.
" Siapa kamu?." Tanyanya menahan geram. Terbayang sang suami tengah bersama wanita lain, jelas bukanlah hal yang diinginkan istri manapun.
" Tebak aja aku siapa? Yang jelas aku perempuan, dan sekarang lagi sama suami kamu. Harusnya kamu sudah bisa nebak dong aku siapanya suami kamu."
Adiba berniat menjawab saat nomor itu tiba-tiba mematikan panggilan secara sepihak. Dia mencoba kembali menghubungi, dan sialnya tidak aktif.
" Kamu dimana Mas..." Gumamnya duduk bertumpu lutut diatas langit. Ia memegangi perutnya, teringat dengan calon anaknya yang tengah tumbuh disana.
Apa yang harus dia lakukan jika suaminya benar-benar berselingkuh?.
Bersambung.
Sinar mentari yang memaksa masuk kedalam kamar melalui celah tirai, berhasil mengusik wanita yang terbaring diranjangnya dengan mata yang sembab. Adiba berusaha membuka matanya yang masih terasa lengket, pasalnya dia tak bisa tidur semalam, dan baru tidur menjelang jam 4 pagi.
Yah, siapa istri yang bisa tidur nyenyak setelah tahu suaminya berselingkuh? Entahlah, meski ini hanya asumsinya semata, tapi Adiba benar-benar merasa terluka.
Dilihatnya ranjang disisinya yang masih kosong, membuatnya mengerti jika Haki tak pulang sama sekali.
" Mungkinkah kamu semalaman bersama wanita lain, Mas..."
Rasa mual yang terasa mengocok perut memaksanya turun dari tempat tidur dan masuk kekamar mandi. Adiba membasuh mulut dan menatap cermin didepannya.
Memperhatikan setiap inci wajahnya sendiri adalah apa yang tengah wanita itu lakukan. Ia merasa tak ada yang berubah, dia jelas merawat dirinya dengan baik agar selalu tampil cantik dan segar. Namun pada dasarnya, pria memang tak bisa puas dengan satu wanita, hingga tetap mendua meski dirinya sebagai istri selalu melakukan yang terbaik.
Menggelengkan kepalanya cepat, berusaha mengusir pikiran negatif yang sejak semalam mengusiknya. Adiba memilih mandi dan bersiap untuk memulai rutinitasnya, mengajar menjadi Guru TK.
Sebenarnya pekerjaan ini jelas bertentangan dengan jurusan yang diambilnya saat menempuh pendidikan tinggi. Wanita itu memilih jurusan fashion designer saat kuliah, karena cita-citanya adalah menjadi designer terkenal dan memiliki butik sendiri.
Namun permintaan sang suami adalah alasan utamanya berhenti bekerja dikantor. Haki tak ingin dirinya kelelahan, dan bisa fokus mengurus keluarga kecil mereka.
Pun karena aturan kantor yang melarang hubungan antar karyawan, hingga dia akhirnya menuruti permintaan suaminya.
Ya, sebelumnya dia sekantor dengan Haki. Pria yang dikenalnya sejak SMA, dan semakin dekat dengannya saat ia memutuskan tinggal terpisah dengan keluarga toxik ayahnya.
Menjadi Guru TK pun karena dia memaksa ingin bekerja, dengan alasan bosan dirumah. Padahal sebenarnya karena dia harus menghidupi keluarga baru ayahnya.
Selesai bersiap, Adiba keluar rumah dan menaiki motor matic kesayangannya. Motor yang dibelinya saat masih bekerja paruh waktu disebuah restoran, sebelum menikah dengan Haki.
Butuh beberapa menit lebih lama untuk sampai karena jalanan yang amat padat dipagi hari. Akhirnya Adiba memarkirkan motornya diarea TK. Wanita itu tersenyum pada beberapa wali murid yang ia lewati.
" Bu Guru!." Seorang anak dengan kepang dua dikepalanya langsung memeluknya entah darimana.
Nia, satu-satunya anak muridnya yang selalu tampak murung dibanding teman sebayanya. Bocah itu lebih sering memilih duduk ditaman sekolah sendirian daripada bermain dengan temannya.
Mungkin itu yang menjadikan Nia sangat dekat dengannya dibanding anak lain. Karena dia satu-satunya orang luar yang bisa membuat Nia merasa nyaman, selain seorang pengasuh paruh baya yang bersama Nia tentunya.
" Bibi mana?." Ia menanyakan pengasuh Nia yang entah berada dimana.
" Itu."
Adiba mengikuti arah telunjuk Nia, hingga wanita yang biasa dipanggilnya Bi Ijah itu datang dengan tergopoh.
" Maaf Bu Guru, tadi saya kebelet banget." Jelas Bi Ijah tanpa diminta, Adiba mengangguk tanda mengerti.
" Ya udah, yuk masuk kelas sama ibu."
Nia mengangguk patuh, keduanya masuk kedalam kelas, sementara Bi Ijah tinggal diluar kelas.
Ia mendudukkan Nia dikursinya, membelai pelan rambut gadis berusia 7 tahun itu.
" Kenapa sayang?." Pertanyaan yang rutin ia lontarkan itu selalu memiliki jawaban yang sama, namun dia tak bosan bertanya. Karena itu salah satu hal yang membuat Nia nyaman dengannya.
" Kata Bibi hari ini ada pertemuan orang tua, tapi Papa..."
" Ssshht, jangan sedih." Adiba mengentikan ucapan bocah yang menunduk itu. Atau air mata Nia akan kembali menetes seperti biasanya.
" Kan ada Bi Ijah, ada Bu Guru juga."
Nia mengangguk dengan wajah sendu, membuat Adiba akhirnya memeluknya.
" Papakan sibuk buat Nia juga, jadi Nia harus jadi anak yang baik." Adiba melerai pelukan mereka. " Oke?." Dia menunjukan tanda jempol.
" Oke." Nia melakukan hal yang sama.
Jujur, Adiba selalu merasa iba melihat bocah seperti Nia. Dilahirkan dari keluarga kaya tak selalu menjadikan seorang anak bahagia. Seperti Nia, gadis kecil itu bergelimang harta sejak kecil, memiliki pengasuh dan supir pribadi. Namun yang Nia inginkan bukan itu, melainkan kasih sayang orang tuanya.
Dia mengetahui, jika ayah Nia adalah seorang single parent. Dan ia tahu itu tidaklah mudah. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah menghibur bocah itu agar mengerti ayahnya.
Sepulang sekolah, Adiba tidak langsung pulang, melainkan mengajak Nia jalan-jalan ketaman kota.
" Bu Guru, mau beli itu." Nia menunjuk tukang es krim yang tak jauh dari tempat mereka duduk.
" Biar saya belikan Non."
" Gak mau!." Pekik Nia mencegah langkah Bi Ijah yang berniat pergi.
" Loh katanya mau es krim?." Tanya Adiba heran.
" Iya, tapi maunya beli sendiri sama Bu Guru." Jawab Nia dengan tatapan memelas.
Adiba dan Bi Ijah saling pandang tersenyum gemas.
" Ya udah ayo."
Keduanya berjalan menuju tukang es krim itu.
" Rasa strawberry Pak."
Tiga kata yang sama persis diucapkan serentak oleh Adiba dan seorang wanita yang juga baru mendekati gerobak es krim.
Wanita yang tak lain adalah Farah, sipengirim pesan itu tersenyum smirik melihat Adiba, terlebih karena Adiba membawa anak yang ia yakini bukan anak Haki.
" Istrimu ini sangat bodoh, Mas." Batinnya.
Sementara Adiba yang tak menyadari siapa wanita didepannya itu memilih fokus dengan es krim yang tengah disiapkan sipenjual. Ia bahkan tak mengingat wajah wanita yang dikenalnya saat SMA.
" Ini." Pak penjual itu menyodorkan es krim tepat diantara Nia dan anak yang bersama Farah.
Kedua bocah itu langsung berebut.
" Aku duluan!."
" Enggak! Aku yang duluan!."
" Aku kesini duluan!."
" Gak mau! Ini punya aku!."
" Punya aku!."
" STOP!." Serentak Adiba dan Farah berucap, keduanya saling pandang dan kembali mengalihkan perhatian pada dua anak yang masih berebut.
" Tolong cepat buatkan satu lagi Pak." Pinta Adiba pada penjual es krim yang mengangguk.
Nia dan bocah bernama Chika itu masih sibuk berebut. Namun es krim yang nyatanya benda rapuh itu sudah hampir tak berbentuk karena remasan Nia dan Chika.
Keduanya masih memperebutkan es krim rusak itu hingga penjual es krim menyodorkan yang baru. Kompak keduanya menjatuhkan es krim tadi, dan kembali berebut es krim baru.
Nia yang tampak sudah sangat kesal akhirnya menjatuhkan es krim itu diwajah Chika. Membuat Chika menangis histeris.
" Tolong ya Mba, anaknya diajarin sopan santun." Teriak Farah kesal, bisa-bisanya anak lain melempari anaknya dengan es krim.
" Ada apa ini?." Bi Ijah datang dengan panik. Wanita itu terengah-engah karena berlari.
" Gak papa Bi..." Adiba tersenyum kecil, Kemudian meminta Nia meminta maaf pada Chika.
Namun Nia yang terlanjur kesal merajuk, dan tak mau meminta maaf.
" Kan Nia yang lempar es krimnya, ayo minta maaf sayang." Bujuk Adiba lagi, dan akhirnya Nia mengalah dan meminta maaf pada Chika.
Adiba meminta Bi Ijah membawa Nia kembali kemobil setelahnya, sementara dirinya mengulang maaf pada Farah.
" Sekali lagi saya mohon maaf soal Nia."
" Baiklah, tapi lain kali anaknya diajarin yang bener ya..." Balas Farah memasang senyuman tulus. Ia merasa tak perlu lagi mempermasalahkan hal ini. Toh jika dia bisa berteman dengan Adiba akan menjadi hal yang menarik.
Mempermainkan istri dari pria yang akan menikahinya, pasti akan sangat menyenangkan.
Bersambung.
" Maaf soal itu, tapi Nia bukan anak saya, dia anak murid saya."
" Oh begitu... Ya udahlah lupain aja. Mending kita kenalan, aku Farah, Farah Annisa." Farah mengulurkan tangannya.
" Saya Adiba, Adiba Hanifah."
" Pake 'aku' aja, biar lebih santai. Kita temenan mulai sekarang. Oke?"
" Oh iya."
Setelah keduanya mengobrol singkat dan bertukar nomor ponsel, Farahpun pergi dari sana. Adiba menatap kepergian wanita itu dengan perasaan aneh, entah kenapa suara Farah terasa tak asing baginya. Tapi, bukankah mereka baru pertama kali bertemu?.
Adiba menghela napas, menggelengkan kepala mengusir pikiran yang tak perlu. Menyentuh perutnya yang masih rata. Membayangkan akan menjadi seorang ibu yang harus mengurusi kenakalan anaknya kembali membuat suasana hatinya membaik. Meski dia tak tahu kemana arah pernikahannya sudah berlabuh jika benar ada orang ketiga.
Tanpa ia sadari, orang ketiga itu baru saja memperkenalkan diri padanya.
Adiba memutuskan mampir ketoko bunga langganannya setelah Nia pulang lebih dulu. Ia membeli seikat bunga tulip yang akan ia taruh didalam vas.
Ia tak tahu kebenaran tentang Haki dan wanita yang mengirim pesan padanya, tapi dia terus berharap jika cinta mereka tak akan kandas karena orang ketiga. Yah, begitulah bunga tulip yang mewakili segala doanya pada pernikahan mereka.
Wanita itu lantas pulang kerumah, dan menyadari mobil suaminya sudah terparkir sempurna dalam garasi yang terbuka.
Ia meletakan lebih dulu bunga tulip yang dibawanya kedalam vas yang telah diisi air. Ia berniat langsung masuk kedalam kamar saat teringat sesuatu. Ia kembali kedapur, mengambil kue yang kemarin dibuatnya didalam kulkas. Tak lupa dengan lilin dan korek api. Dia siap membawanya kehadapan sang suami.
Berjalan pelan menapaki anak tangga agar Haki tak tahu kehadirannya, namun suara sang suami saat dirinya berada didepan pintu yang setengah terbuka menghentikan langkahnya.
" Iya-iya semua persiapannya sedang diurus kan?." Entah akan bicara apa lagi saat Haki memutar tubuhnya dan melihat keberadaan istrinya.
Pria itu menatap Adiba dengan terkejut, terlihat gugup dan gelisah, Haki dengan cepat memutus teleponnya.
" Ka-kamu sudah pulang?."
Haki melemparkan ponselnya begitu saja keatas ranjang, menghampiri Adiba dengan gugup.
" Kue apa ini sayang?." Seakan ingin mengalihkan perhatian, Haki mempertanyakan kue ditangannya.
Meski bingung melihat ekspresi Haki yang terkesan berlebihan, Adiba tak ingin ambil pusing.
Dia melangkah lebih dalam masuk kekamar, menyerahkan korek ditangan kirinya pada Haki.
" Ayo Mas nyalain lilinnya." Ucapnya senang.
Haki melakukan seperti yang diminta, pria itu sudah berhasil mengatasi kegugupannya.
" Ada acara apa sayang?."
" Mas lupa ya... Ini hari anniversary kita Mas."
" Benarkah? Maaf Mas melupakannya sayang."
" Sebenarnya ini sudah terlewat sehari sih, tapi tidak masalah. Yang penting kita bisa merayakannya."
Keduanya menyanyikan lagu ulang tahun, lantas kompak meniup lilin angka lima itu.
Adiba dengan cekatan memotong kue buatannya itu, menyuapi sang suami dengan penuh suka cita. Hakipun melakukan hal yang sama, keduanya larut dalam suasana romantis itu beberapa saat.
" Mas minta maaf sayang, Mas benar-benar lupa hari penting kita. Jadi Mas tidak memiliki hadiah untukmu." Ucap Haki menyesal.
" Gak papa Mas, aku udah punya hadiah kok buat kamu. Mas pasti akan suka." Ujar Adiba dengan antusias.
" Benarkah? Apa itu?."
Adiba meletakan kue ditangannya keatas nakas, lantas meraih tespacknya yang berada dilaci.
Kotak kecil yang telah dibungkusnya dengan rapi itu ia serahkan pada Haki.
" Ayo cepetan buka Mas..."
Haki tampak mengernyit untuk sejenak melihat benda dengan dua garis merah yang tak terlalu jelas itu. Kedua matanya melebar saat menyadari apa artinya itu.
" Ini?." Tanyanya gemetar menatap Adiba yang mengangguk antusias.
Wanita itu langsung memeluk suaminya erat, meraih tangan Haki dan menuntunnya keperutnya.
" Iya Mas, disini ada calon anak kita. Aku akan jadi seorang ibu, dan kamu akan menjadi seorang ayah. Beberapa bulan lagi, keluarga kecil kita akan menjadi keluarga yang lengkap." Adiba menangis haru sembari mendekap erat suaminya.
Sementara Haki tampak seperti orang linglung, dia benar-benar tak menyangka akan mendapat kabar seperti ini disaat sebuah rencana besar tengah ia persiapkan. Meski begitu, tangannya yang gemetar tak urung membalas pelukan istrinya, mendekapnya dengan penuh cinta.
Ada rasa bersalah menyusup kedalam relung hatinya yang terdalam. Tapi ia sadar sudah berbuat terlalu jauh dan dia tak bisa mundur.
Apa yang akan ia lakukan jelas akan mempengaruhi hubungannya dengan Adiba, namun dia tak mungkin mundur saat tinggal selangkah lagi untuk sampai.
" Mas." Adiba memanggil suaminya yang tampak merenung. Wajah yang tadinya begitu sumringah itu menatap sendu sang suami yang justru terdiam tak merespon.
Dia tak berharap sedatar ini Haki berekspresi setelah mengetahui kehamilannya. Tapi ia sudah menduga, ada suatu hal yang tengah pria itu sembunyikan darinya, dan tengah mengganjal dalam pikiran Haki.
" Mas!." Panggilnya lagi dengan sedikit dorongan kecil didada sang suami, dan itu berhasil membuat Haki mengerjap pelan.
" Ah iya, 1 bulankan?."
Lagi, Adiba hanya mampu menatap suaminya dengan kecewa. Entah apa yang pria itu pikirkan, yang jelas saat ini ia tak berharap hal itu menganggu momen yang telah ia tunggu sejak semalam.
" Aku belum mengatakan soal umurnya, Mas..."
" Apa? Maaf sayang, Mas hanya..." Haki menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
" Apapun yang sedang Mas pikirkan sekarang, tolong lupakan sejenak." Pinta Adiba bersungguh-sungguh, menggenggam jemari suaminya dengan wajah sendu.
" Biarkan kita nikmati dulu momen bahagia kita saat ini. Tolong jangan mengganggunya untuk urusan yang tak ada hubungannya dengan pernikahan kita."
Sebagai seorang istri, Adiba jelas melihat gelagat aneh suaminya. Namun sebagai seorang wanita yang mencintai suaminya, dia hanya bisa bersikap masa bodoh. Dan berharap jika semua prasangkanya telah salah.
" Iya, maafkan Mas ya... Oh ya! Kamu mau apa? Mangga muda, atau..." Haki seakan ingin kembali mencairkan suasana bertanya dengan kaku.
Adiba menggeleng cepat.
" Tidak, aku hanya ingin melihat senyum di wajahmu walau hanya sedikit."
Haki nampak salah tingkah, pria itu memaksakan senyum yang jelas sekali dibuat-buat.
" Sudahlah, sepertinya Mas belum mandi, pergilah mandi." Ujar Adiba dengan perasaan kecewa. Memilih mengalihkan pembicaraan melihat pakaian kerja yang masih menempel ditubuh suaminya.
" I-iya..."
Haki langsung masuk kekamar mandi tanpa banyak kata, membuat Adiba semakin bertanya-tanya apa yang tengah pria itu pikirkan.
Terlebih, mendengar kata 'sedang diurus' yang sebelumnya suaminya ucapkan. Instingnya mengatakan jika persiapan itu sama sekali tak berhubungan dengannya. Karena jika iya, maka apapun yang Haki siapkan, pasti akan diberikan padanya dihari anniversary mereka kemarin.
Dan itu tak mungkin, karena selama 5 tahun pernikahan, Haki tak sekalipun mengingat tanggal pernikahan mereka.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!