NovelToon NovelToon

Pemilik Hati Senja

Mengunjungi Rumah Calon Mertua

Jeritan dan air mata yang deras keluar begitu saja saat kesadaran telah menyergap tubuhnya.

“Tidak, aku tidak mungkin buta. Aku tidak mungkin buta.” Senja Givanya menangis tersedu-sedu. Beberapa kali tangannya bahkan memukuli kepalanya sendiri.

Dokter dan perawat tengah bersusah payah menenangkannya. Memberikan obat bius rasanya tidak efektif sebab ini sudah waktunya Senja Givanya untuk sadar.

“Mami, tolong Givanya. Givanya tidak ingin buta. Tolong Dotker. Lakukan apa pun, aku tidak mungkin menikah dengan keadaan seperti ini.” Benar bulan depan wanita cantik yang berkerja sebagai model ternama itu sudah harus melangsungkan pernikahan dengan sang kekasih.

Sang mami sangat sedih melihat kondisi sang anak saat ini. Ia bingung harus melakukan apa saat ini. Bahkan terlihat jelas di kening wanita paruh baya itu juga terdapat luka yang di tutup perban.

“Dokter sudah melakukan dengan segala cara, Giv. Tapi ini mungkin jalan Tuhan. Maafkan Mami tidak bisa menjaga kamu dengan baik. Tidak seharusnya Mami tidur saat perjalanan seperti itu.” Sungguh Alea sebagai ibu sangat menyesali. Sebab tak biasanya ia terlelap dalam perjalanan.

Setiap kali melakukak perjalanan jauh, ia selalu memperhatikan sang anak yang sering tertidur dengan kepala yang terhantuk kaca jendela mobil.

Kecelakaan yang menimpa mereka bahkan menyebabkan sang supir harus berakhir di kursi roda selamanya.

Kini Givanya hanya menangis tanpa mengatakan apa pun. Seminggu yang lalu sang kekasih baru saja melamarnya. Tetapi kini ia harus mendapatkan cobaan yang sangat tak terduga.

“Arya bisa menerimaku, Mi. Iyakan, Mi?” Anggukan dan jawaban Alea berikan untuk menenangkan sang anak.

“Iya sayang. Arya Dewantara pria yang sangat mencintaimu. Begitu juga dengan keluarganya yang sangat menyikaimu. Mereka akan tetap menerima kamu, Givanya. Tenanglah, segeralah sembuh dan kita akan ke rumah mereka. Mami rasa lebih baik kita datang dan bicara langsung dari pada mereka yang kemari atau lewat telepon. Mami khawatir akan ada orang-orang jahat yang mempengaruhi mereka.” Alea benar, menjadi Arya Dewantara seorang pengusaha besar dan terkenal. Sungguh harus berhati-hati dalam bertindak.

Jangan sampai ada yang jahat dan memanfaatkan keadaan Givanya saat ini.

“Kalau begitu kami permisi dulu, Nyonya.” Sang dokter serta perawat pun undur diri.

Sementara di sisi yang berbeda. Arya Dewantara tengah frustasi. Perjalanan keluar negeri membuatnya ingin segera cepat pulang ke Indonesia.

“Apa sesibuk itu sampai hampir dua hari tidak memberikan ku kabar?” Arya menggerutu kesal. Saat matanya kembali membaca pesan dari sang calon ibu mertua.

“Ar, Givanya sedang pemotretan. Mami yang memberimu kabar agar kamu tidak khawatir. Givanya akan datang ke rumah besok malam. Bagaimana, apa kamu sudah bisa pulang besok malam?” Pertanyaan dari sebuah pesan membuat Arya mendesah kesal.

Lagi-lagi mereka tak bisa bertemu lantaran pekerjaan. Pelan Arya memijat pelipisnya.

“Ini benar-benar tidak mungkin. Aku sangat merindukanmu, Givanya. Aku harap setelah menikah, kau mau berhenti bekerja. Setelah kepulanganku nanti aku akan membicarakan ini semua denganmu.” Arya pun membalas pesan dari ibu kekasihnya itu.

“Baiklah, Mi. Sepertinya aku belum bisa pulang. Kalian ke rumah saja. Mamah dan Papah pasti di rumah menyambut kalian. Setelah aku pulang, baru aku yang akan menemui Givanya sendiri.” Begitu pesan Arya kirim pada Alea.

Sementara Alea tengah mengurus segala informasi yang tengah di buru wartawan. Ia meminta orang kepercayaan untuk menutup segala berita mengenai anaknya yang di buru oleh para wartawan.

Menghilangnya Givanya dua hari dari dunia modeling sungguh menjadi tanda tanya besar para wartawan dan manajer. Sebab kontrak Givanya masih ada yang harus ia selesaikan.

Alea meneteskan air mata kala melihat anaknya yang berbaring tanpa bisa melihat dirinya. Ada perasaan sakit yang begitu menusuk dadanya.

Dalam diam, tangan Alea membungkam bibirnya menahan isakan itu.

“Apa yang kau berikan pada anakku, Tuhan? Baru saja anakku akan bahagia? Mengapa musibah ini menimpanya? Mengapa harus pada matanya?” gumam Alea menangis pilu.

Meski yakin dengan ucapannya bahwa semua baik-baik saja, namun dalam hati kecil. Alea merasa keraguan pada keluarga besannya.

“Semoga saja ini bukan masalah untuk Arya. Givanya gadis yang baik. Anakku wanita yang baik. Dia pantas bahagia.” tuturnya dalam hati.

***

Senyuman Alea mengembang bersamaan dengan senyuman Givanya saat mereka menutup pintu apartemen.

“Sayang, kita sudah di apartemen. Bagaimana sudah jauh lebih enak bukan?” ucapan Alea membuat Givanya mengangguk.

Sebelum pulang dari rumah sakit, Dokter sudah memberi tahu jika Givanya akan di operasi setelah mendapatkan pendonor mata. Meski hal itu tidak mudah untuk ia dapatkan.

Tetapi satu harapan yang di berikan dotker mampu membuat semangat Givanya kembali berkobar.

“Iya, Mami. Rasanya jauh lebih segar. Givanya tidak sabar ingin segera operasi mata dan bekerja lagi. Saat seperti ini pasti keadaan Givanya tidak akan mungkin jadi model.” tuturnya sedih.

Alea menciuk puncak kepala sang anak dan memeluknya begitu erat. Ia berusaha menyalurkan semangat untuk anaknya.

“Jangan menyerah, Sayang. Mami akan tetap di sampingmu apa pun yang terjadi.” ujar Alea begitu menghangatnya.

Keduanya selalu saling melengkapi, hanya Alea yang Givanya miliki dan begitu sebaliknya. Karir yang Givanya bangun pun berdasarkan ketekunan dari sang ibu yang turut memberikan banyak tawaran pada beberapa agen. Hingga kini Senja Givanya sukses menjadi model bintang yang mendapatkan tawaran kontrak dari beberapa perusahaan besar.

Mereka masuk ke dalam kamar dengan Givanya yang memakain satu tongkat sebagai penunjuk jalan.

“Aw…” rintihnya saat tak sengaja menabrak kaki meja.

Belum terbiasa dengan keadaan membuat Givanya sulit membaca keadaan hanya dengan tongkat.

“Giv, ada apa? Pelab-pelan sayang.” Alea berlari menghampiri sang anak.

Air mata Givanya jatuh. “Mami, apa Givanya akan kuat dengan hidup seperti ini? Satu-satunya semangat Givanya hanya Arya, Mi. Givanya kangen sekali dengannya.” tutur wanita buta itu.

“Sayang, Arya akan segera pulang dan menenangkanmu. Sabarlah, malam ini kita ke rumahnya untuk bersilaturahmi. Demi menebus makan malam saat itu yang batal.” ujar Alea sangat tak enak.

Sebab perjalanan menuju kembali ke kota saat kecelakaan itu adalah untuk menghadiri makan malam di rumah sang besan. Meski kali ini Arya, sang menantu tak ada di rumah. Setidaknya Alea harus menyampaikan permintaan maafnya.

Yah, sampai detik ini bahkan keluarga Arya belum tahu berita kecelakaan sang menantu.

Orang kepercayaan Alea membuat semua akses berita yang ingin di sebarkan tentang kecelakaan segera ia tutup. Kecelakaan yang menurut orang kepercayaan Alea sangat ganjal.

Tanpa terasa setelah menghabiskan beberapa waktu istirahat di kamar masing-masing, kini Alea masuk ke kamar sang anak.

“Mami baru saja ingin membantumu mandi, Giv.” tutur Alea menatap sang anak yang sudah tampak segar dengan rambut yang ia keringkan dengan handuk kecil.

“Givanya lupa di mana hairdrayer, Mi.” tuturnya tak mengerti sebab biasanya ia di bantu dengan sang mami dan pelayan menata kembali ke tempat yang ia tentukan.

“Biar Mami bantu. Ayo duduk.” ujar Alea penuh pengertian.

Sesakit apa pun hatinya, sebagai seorang ibu sekaligus ayah, Alea tak boleh lemah di depan sang anak. Givanya harus tetap semangat agar tidak rapuh.

“Givanya?” Pertanyaan sekaligus sapaan terkejut dari wanita cantik yang berusia 48 tahun itu tampaknya sangat menggambarkan betapa ia sangat kaget.

Kedatangan Givanya bersama Alea berakhir di tangga paling atas kediaman Dewantara.

“Mamah,” Givanya tersenyum kecil dan gugup. Bahkan tangannya tampak menggenggam ujung tongkat yang membantunya menuntun selain genggaman tangan sang mami.

Alea tampak menelan salivahnya susah payah. Melihat bagaimana perubahan raut wajah sang calong besan di depannya.

Tak Menyangka

Beberapa saat terjadi keheningan di depan kediaman Dewantara, hingga suara pria yang tak lain adalah papah dari Arya berjalan mendekat dan mengeluarkan suaranya.

“Alea, masuklah. Givanya?” Sorot mata ramah dari sosok yang bernama Riko Dewantara mendadak heran dan penuh tanya.

Matanya beralih pada satu benda panjang di genggaman wanita cantik itu. Mulutnya pun seketika terbuka lebar.

Segera ia pun menatap sekeliling dan meminta Alea dan Givanya masuk ke dalam rumah. Tak perduli bagaimana istrinya berdiri mematung.

“Mah, segera masuk. Papah tidak mau ada masalah.” Bisik Papah Riko pada Mamah Vivi.

Menurut dengan suami, Vivi pun masuk tanpa berkata apa pun lagi pada dua wanita yang berdiri di depannya.

Sedih rasanya Givanya mendapat sambutan tak sehangat biasanya. Namun, lantaran tak bisa melihat apa pun, Givanya hanya berusaha berpikir yang positif. Tentu, ia tahu bagaimana baiknya sang calon mertua padanya selama ini.

Tampak empat orang itu duduk di sofa ruang keluarga.

“Ehem.” Riko berdehem mencairkan suasana.

Alea tampak menata kata yang akan ia ucapkan. “Maafkan kami, Tuan Riko. Kami mengalami kecelakaan pada malam undangan anda dan keluarga. Itu sebabnya kami tak bisa hadir ke rumah ini.” Dengan tutur kata yang sopan, Alea mulai membuka suaranya.

“Kecelakaan? Jadi apa itu penyebab Givanya cacat? Apa Givanya buta?” Pertanyaan dengan kata yang kurang halus dari bibir Mamah Vivi sontak membuat dada Givanya mendadak sesak.

Sekali lagi wanita buta itu tak ingin lancang. Ia tetap bungkam menunggu percakapan selanjutnya antar orangtua.

“Iya, benar. Givanya buta akibat benturan kaca yang mengenai matanya.” Jawab Alea dengan memelankan suara. Sungguh berat rasanya mengatakan itu.

Sekuat tenaga ia mengusahan untuk mempersiapkan diri menerima segala kemungkinan terburuk setelah ini.

“Givanya, bagaimana bisa ini terjadi? Kamu tidak ingat bulan depan kamu dan Riko harus menikah? Undangan sudah siap di sebar, tetapi banyak pihak yang sudah tahu tanpa undangan itu sebab saya sudah mengundang mereka secara pribadi.” Kini Givanya bisa mendengar kata yang berubah, dari kata Papah berubah menjadi saya.

“Tidak, ini bukan pertanda buruk untuk hubunganku dengan Arya kan?” Itulah yang di ucapkan Givanya dalam hati.

“Maafkan Givanya, Pah. Givanya juga tidak ingin ini terjadi. Tapi Givanya akan usaha mencari donor mata secepatnya, Pah.” tutur Givanya dengan menunduk menahan tetesan air mata yang siap untuk jatuh.

Tuan Riko menyandarkan punggung di sofa dan menghela napasnya kasar. Pelan pria itu menggelengkan kepalanya kasar.

“Mencari donor mata tidak semudah yang kau pikirkan, Givanya. Keluarga Dewantara adalah keluarga terhormat dan sangat di kenal di mana-mana. Apa kau masih bisa mempertahankan nama besar Dewantara dengan cacat itu? Arya orang yang sangat di segani, apa jadinya Arya jika bersanding denganmu, bahkan untuk bekerja pun kau sudah tidak akan laris lagi, Givanya,” penuturan kasar Tuan Riko sungguh membuat darah dalam tubuh Alea mendidih.

“Cukup, Tuan Riko. Mengapa anda menghina anak saya yang justru sedang tertimpa musibah? Jika bukan undangan keputusan kalian sepihak malam itu, kami pun tak akan mengalami kecelakaan. Apa ini sifat asli kalian? Saya pikir kasih sayang kalian pada Givanya anak saya selama ini tulus.” Alea marah, ia sangat marah kedatangannya yang ingin membicarakan baik-baik dengan baeannya nyatanya tak sesuai harapan.

Givanya pun hanya bisa menangis kali ini, ia sendiri tak ingin hal ini terjadi padanya.

“Sebaiknya lupakan tentang pernikahan itu, Givanya. Kami dulu sangat senang Arya bersama mu, sebab nama Dewantara semakin besar berkat karirmu. Tetapi itu semua kini sudah lenyap. Jauhi Arya, dia berhak mendapatkan yang sempurna. Kami membutuhkan penerus nama Dewantara dari wanita yang tepat. Tentu di urus dengan wanita yang tak cacat.” Makin sakit hati Alea mendengar sang anak di rendahkan.

Ia bahkan menggelengkan kepala tak percaya. Keluarga yang selama ini begitu baik dan hangat padanya mau pun Givanya ternyata hanya seorang penjilat. Tutur kata yang manis hanya menutupi kebusukan mereka.

“Saya sangat menyesal memuji anda tiap kali bertemu. Sungguh saya sangat bersyukur menerima musibah ini, karena sampai kapan pun saya tidak akan sudi memiliki keluarga yang penjilat seperti kalian. Anak saya berduka kalian bahkan tak ada belas kasih sama sekali. Saya akan bicarakan ini semua dengan Arya.” Alea seakan mengancam dua orang di depannya.

“Oh jadi anda ingin menggunakan Arya untuk senjata anakmu itu? Ingat, saya tidak akan tinggal diam. Pernikahan mereka akan di batalkan. Saya tidak akan menerima sampai kapan pun menantu buta!”

Deras sudah air mata Givanya tanpa bisa berkata apa-apa. Baginya berdebat pun tak akan menyelesaikan masalah. Bahkan restu kini tak lagi ia genggam.

“Mami, kita pulang.” Givanya bangkit dari duduknya.

“Mamah, Papah, terimakasih atas semuanya yang selama ini Givanya dapatkan dari kalian. Givanya harap kalian ikhlas dengan kedekatan kita di masa lalu. Givanya sadar tidak pantas untuk Arya. Tapi satu yang perlu kalian tahu, Givanya begitu sangat mencintai anak kalian. Restu kalian tak ada lagi, maka Givanya akan pergi dari kehidupan Arya.”

Givanya mengusap air matanya dan pergi dari sana berkat bantuan tongkat kecil itu. Beberapa kali bahkan ia hampir menabrak kaki meja.

Alea sebagai ibu hanya bisa meneteskan air mata. Tatapan matanya begitu menyiratkan sakit yang mendalam.

Di dalam mobil, barulah Givanya melampiaskan suara tangisnya. Memeluk sang mami sungguh membuatnya tak bisa mengendalikan kesedihan itu lagi.

“Giv, tenanglah. Arya akan tetap menerima kamu, Nak. Mami yakin Arya pria yang baik dan tulus. Kita akan hubungi Arya, sayang.” ujar Alea mengusap lembut wajah basah sang anak.

Givanya menggelengkan kepala menolak. “Tidak, Mami. Givanya tidak ingin menentang restu mereka. Arya anak yang baik. Givanya tidak mau Arya membangkang hanya karena Givanya. Tolong Mami jangan beritahu apa pun Arya. Givanya ingin hidup tenang bersama Mami dulu.” tuturnya yang tampak putus asa.

Di seberang sana, Arya tengah menghubungi beberapa kali ponsel Alea. Sayangnya tak juga mendapatkan jawaban hingga pada panggilan kesekian kali, kening Arya mengernyit heran.

“Tidak aktif? Apa ponsel Mami habis batrai? Ah ada apa sih ini? Mengapa rasanya aku begitu gelisah?” Batin Arya menerka-nerka.

Ingin rasanya segera pulang jika tak mengingat pekerjaan sedang menumpuk di sini.

“Mah, Givanya sudah sampai di rumah belum?” Kini Arya bertanya pada Mamah Vivi pada sambungan telpon.

“Givanya? Memangnya ada apa, Ar? Belum ada nih. Mereka ngomong ke kamu mau kesini? Apa jangan-jangan bohong lagi?” Pertanyaan Vivi sedikit membuat pikiran Arya bertanya.

Tak biasanya sang mamah berucap sinis begitu mengenai calon menantu kesayangannya itu. Givanya adalah calon menantu yang kerap kali di sebut namanya di kalangan ibu sosialita sebab Vivi selalu bercerita bagaimana cantiknya Givanya yang kerap tampil di beberapa merk ternama. Televisi mau pun layar di bangunan-bangunan tinggi di kota mereka.

Memulai Hidup Baru

Sejak percakapan malam kemarin, Arya sangat merasakan gelisah. Menghubungi Givanya mau pun Alea, Mami Givanya sudah berkali-kali Arya lakukan namun tetap saja tidak aktif.

Menghubungi sang Mamah, Arya selalu mendapat ceramah yang menurutnya sangat tidak bisa di terima.

“Ar, fokuslah bekerja. Givanya saja tidak mau memberikan kabar padamu. Itu artinya dia memang tidak ingin hubungan kalian baik-baik. Datang ke rumah menemui Papah dan Mamah saja tidak.” Inilah kata terakhir yang Arya dengar.

Berusaha menyelesaikan pekerjaan, nyatanya Arya menyerah. Hari ke delapan ia berada di luar negeri. Arya memilih pulang tanpa menyelesaikan pekerjaannya.

“Pah, tolong kali ini bantu Arya. Arya harus pulang. Papa bisa ganti Arya kan?” Tak bisa menolak sebab masa depan perusahaan hanya ada di tangan dia pria itu. Akhirnya Papah Riko mengiyakan permintaan sang anak.

Sedangkan di tempat yang berbeda, Givanya meneteskan air mata. Memperjuangkan cinta yang tak mendapat restu bahkan melihat bagaimana rupa asli sang mertua, membuat Givanya merasa bukan tidak mungkin Arya pun bisa bersikap demikian.

Pria tampan dan mapan yang kerap kali mengutarakan pujian padanya tentang kecantikan luar dalam yang Givanya miliki, membuat pikiran Givanya tak yakin jika Arya tak memandang ia dari segi fisik.

“Giv, tenanglah. Sebentar lagi kita akan sampai. Mami harap kamu akan mau mengikuti nasihat Mami. Kita tidak bisa bertahan di kota itu lagi, uang kita tidak akan cukup, Givanya. Membayar denda kontrak kerja itu sangat mahal. Sabar yah?” Alea tampak memeluk sang anak.

Dalam hati Alea menangis pilu. “Maafkan Mami, Giv. Mereka sangat jahat untuk kita yang kecil ini, Nak. Kita tidak akan hidup tenang selama di dekat mereka. Mami tidak bermaksud memaksamu pindah ke kota kecil ini.”

Keduanya terus saling berpelukan untuk menguatkan. Givanya bahkan tak bersuara apa pun selama perjalanan. Ia rasa tak ada gunanya untuk berbicara, sebab semuanya sudah hancur.

“Mami hanya menyimpan uang sisa kerjamu di atm tabungan kamu, sayang. Meskipun masih kurang, Mami akan usahakan untuk mengumpulkan uang tambahan. Suatu saat pasti ada waktunya orang akan mendonorkan mata untukmu.” Ucapan Alea seakan membuat Givanya teringat dengan kekurangannya kali ini.

Terlalu larut dalam keputus asaan, Givanya lupa jika ia harus berjuang untuk tetap sembuh dari buta itu.

“Givanya hanya tidak habis pikir Mi, mereka sangat tega dengan Givanya. Selama ini Mamah Vivi dan Papa Riko begitu sayang dengan Givanya. Tapi, sekarang mereka bahkan sangat tidak mau melihat Givanya.”

Tangis pilu menemani perjalanan mereka hingga akhirnya dua wanita itu tiba di sebuah rumah yang berukuran tidak begitu besar dan tidak begitu kecil.

Kala taksi itu pergi, Alea menuntun sang anak masuk ke dalam rumah. “Sayang. Duduk di sini dulu. Di dalam ternyata kotor sekali. Mami akan bersihkan dulu yah?” Alea membiarkan Givanya duduk di teras rumah.

Rumah Alea yang sudah lama tak ia tinggali semenjak kepergian kedua orangtuanya. Beruntung ia tak menjual rumah mendiang orangtuanya itu.

“Mami, Givanya bantu yah?” Tentu sebagai anak ia tidak akan tega membiarkan sang ibu kelelahan seorang diri.

“Sudah duduklah di sana. Lantainya sangat licin, Mami sebentar lagi selesai kok.”

Hingga tanpa terasa siang itu mereka habiskan dengan merapikan rumah dan beberapa barang bawaan mereka. Waktu kini sudah menunjukkan angka sembilan malam.

“Mba Alea, yah?” Seorang wanita dari sekitar rumah itu tampak menyembulkan kepalanya masuk.

“Siapa, Mi?” Tanya Givanya.

“Sepertinya tetangga lama.” jawab Alea beranjak dari duduknya.

“Eh Narti, iya Narti kan?” Alea sangat terkejut dan senang melihat tetangganya datang menghampiri rumah mereka.

Keduanya pun berpelukan sembari tertawa bahagia. Lama tak berjumpa tak mengurangi keakraban keduanya.

“Kalian sedang apa? Itu siapa?” tanya Narti kala melihat Givanya duduk dengan mie goreng di depannya.

Belum sempat memasak membuat Alea memilih membuat mie goreng. Besok ia berniat untuk ke pasar membeli bahan masakan.

“Oh itu…” tutur Alea terhenti kala mendengar ucapan sang putri.

“Senja, Tante. Nama Senja Givanya, anaknya Mami Alea.” Givanya tak menampakkan wajah sedih lagi.

Bahkan Alea pun kaget melihat reaksi sang anak yang tampak biasa-biasa saja.

Narti tersenyum mengangguk. Paras cantik Givanya membuatnya kagum.

“Jadi ini bintang modelnya kota kita yah, Alea? Cantik sekali.” Narti tersenyum mengagumi paras ayu anak tetangganya itu.

Alea sadar akan perubahan wajah sang anak, ia pun bergerak membawa tetangganyanya masuk ke dalam rumah.

“Ayo duduk dulu. Giv, makanlah. Obatmu harus kamu minum.” tutur Alea dengan lembut.

Narti yang kaget melihat wajah Givanya pun berusaha terlihat tenang. Sembari matanya melihat kode Alea yang memintanya diam dengan isyarat jari di bibirnya.

Melihat hanya ada sepiring mie instan, Narti pun berinisiatif membawa mereka ke rumahnya. “Senja yah tadi? Mau makan di rumah Tante saja? Kebetulan Tante masak banyak semua sudah pada makan. Kasihan mau minum obat makannya malah mie goreng.”

Tak menolak, Senja Givanya pun tersenyum. “Boleh Tante.” jawabnya.

Alea senang bercampur sedih. Ia tidak tega melihat sang anak terlihat baik-baik saja saat ini.

Mereka pun menuju kediaman tetangga lama itu. Disana Senja makan dengan lahap. Sementara Alea sudah menyelesaikan makannya dan berbicara bersama Narti.

Usai makan mereka pun di suguhkan beberapa kue dan cemilan. Sungguh Alea sangat bersyukur memiliki tetangga lama yang masih sangat baik padanya sama seperti dulu.

Hingga keduanya berbincang cukup lama.

“Narti, kami pulang dulu. Sudah sangat malam. Senja pasti kelelahan.”

***

Pagi ini rasanya begitu beda. Meski tak dapat melihat, nyatanya indera penciuman milik Senja dapat merasakan udara segar yang ia hirup.

“Sayang, kamu sudah bangun rupanya. Mami cari di kamar kok keluar sendirian?” Alea hampir panik tak mendapati anaknya di kamar.

“Udaranya sejuk, Mi. Senja suka.”

Mereka berdua akhirnya memilih duduk sejenak kala keadaan sekitar masih tampak kabut.

Rumah yang berada di dalam gang tak begitu sempit membuat keadaan sekeliling tampak asri.

“Kenapa kamu merubah panggilan itu, Giv?” tanya Alea.

Senja Givanya terdiam beberapa detik hingga akhirnya ia menjawab. “Aku ingin memulai semua dengan yang baru, Mami. Merubah panggilan mungkin salah satu langkah kecil yang menyenangkan. Mami berada di sisiku aku sudah sangat bersyukur. Soal jodoh aku serahkan pada Tuhan saja. Yang terpenting Mami tetap bersamaku.”

Penuturan sang anak membuat Alea tak tahan untuk tidak memeluk anaknya. Ia sangat terharu mendengarnya.

“Mami akan selalu bersama kamu, Sayang. Kita akan hidup bahagia. Mami janji itu.”

Percakapan keduanya berakhir kala Alea menyadari sinar mentari mulai tampak cerah.

“Sayang, Mami harus ke pasar sama Tante Narti. Semalam sudah janjian. Kamu di rumah saja jangan kemana-mana yah? Bahaya.” ujar Alea memberi peringatan pada anaknya.

Patuh Senja pun menganggukkan kepala.

“Senja di rumah saja, Mi.” jawabnya.

Usai mengunci pintu rumah dari luar, kini Alea berjalan ke rumah tetangganya. Meninggalkan Senja di dalam rumah seorang diri.

Dalam keheningan, Senja hanya bisa duduk tanpa melakukan apa pun. Bayangan dimana ia bekerja pagi hari sampai hampir tembus pagi lagi, dimana setiap saat ia terus di kejar para awak media, ingatannya kala sang kekasih datang menjemput untuk sekedar menemani makan siang.

Sungguh semuanya sangat membahagiakan dalam benak Senja. Kini semua tak lagi ia rasakan hanya karena kejadian kecelakaan tersebut.

Bahkan bagaimana penolakan calon mertuanya kala itu membuat Senja benar-benar tak menyangka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!