Di ruang baca Avisa, Arif dan Biru membaca buku sambil berbaring. Mereka lebih sering kesana semenjak kepergian Mega.
“Kalian kenapa jadi kesini terus?”, tanya Avisa jengkel.
“Enak di sini. Bisa nyuruh lu buatin minum, bisa baca buku gratis, bisa tiduran dengan nyaman juga.”, jawab Arif.
Avisa memberikan isyarat pukulan pada Arif.
“Lu fakultas kedokteran kenapa banyak banget senggangnya coba?”
“Mumpung ada waktu, Sa. Ntar kalau gue udah sibuk juga lu bakal kangen.”, sahut Arif cengengesan.
“Hih!”
“Lu jadi ambil S2 dimana?”, tanya Biru pada Arif.
“Mmm... Kayaknya sih UGM (Universitas Gadjah Mada). Lu jadi ke ITB (Institut Teknologi Bandung)?”
“Hm.”
“Lu, Sa?”
“Gue bakal balik ke Inggris, sesuai perintah Ted.”
Biru kehilangan fokus pada bukunya.
“Udah nggak bisa di nego lagi ya?”, tanya Arif.
“Kalau gue di sini, mama nggak akan pernah bisa bahagia.”
***
Beberapa hari yang lalu, Avisa pergi ke supermarket untuk membeli bahan masakan. Semenjak Arif dan Biru sering ke ruang baca, Avisa perlahan belajar memasak dan mengerjakan pekerjaan ibu rumah tangga lainnya. Ketika hendak mengambil sayur, Avisa bertemu dengan seseorang yang selama ini di carinya.
“Kalau mau yang segar, yang ini saja.”, kata seorang wanita paruh baya menunjuk pada sayur yang lain.
“Oh, terimakasih.”, sahut Avisa sontak menoleh.
Avisa mematung seketika.
“Apa kabar putri mama?”, tanya Dila tersenyum.
Untuk pertama kalinya Avisa menjatuhkan air mata yang sudah puluhan tahun di tahannya. Dila memeluk putrinya erat. Setelah itu mereka pergi ke kursi stand minuman di pojok supermarket untuk mengobrol.
Avisa akhirnya tahu bagaimana kabar mamanya tersebut. Bagaimana sakitnya hidup di pisahkan dari kedua anaknya. Bagaimana seorang pria datang di saat terpuruknya. Bagaimana tangisnya tak henti berjatuhan di setiap harinya karena merindukan kedua anaknya yang entah dimana.
“Mama baru saja menikah lagi beberapa hari yang lalu. Maafkan mama nak, mama tidak seharusnya bahagia sendiri.”
“Ma...”
Avisa memegang tangan mamanya dengan lembut.
“Mama berhak bahagia. Avi dan abang baik-baik saja. Mama jangan khawatir lagi, ya?”, lanjutnya.
“Sekarang kamu tinggal dimana? Tinggal sama mama ya nak?”
Avisa termenung. Ia ingin mengiyakan ajakan mamanya detik itu juga namun ia tidak ingin Ted menghancurkan kehidupan mamanya lagi.
“Nanti ya ma. Nanti, saat Avi dan abang sudah benar-benar bisa lepas dari papa.”, jawab Avisa tersenyum lembut.
“Maafkan mama nak.”
Dila menangis, kecewa dengan dirinya yang tidak memiliki keuasaan untuk merangkul kembali anak-anaknya.
Hari itu menjadi pertemuan pertama mereka setelah sekian lama namun juga menjadi hari terakhir Dila bisa melihat putrinya lagi secara langsung.
***
Beberapa bulan berlalu. Biru, Arif dan Avisa menyelesaikan skripsinya dengan lancar. Kini tibalah hari wisuda bagi mereka bertiga. Para orang tua datang mendampingi acara kelulusan anak-anak mereka, termasuk Bapak dan Ibu kades. Ted beserta keluarga kecilnyapun hadir tanpa di duga, begitu juga dengan Jingga dan Alexa.
Di luar ruangan selesai acara wisuda.
“Kenapa kalian kesini?”, tanya Avisa kesal.
“Putri papa wisuda, tentu saja papa ada di sini.”
Avisa sangat kesal dengan kehadiran mereka. Ted tiba-tiba melangkah pergi. Avisa melihatnya berjalan menghampiri Biru dan keluarganya, membuat Avisa berlari menyusulnya secepat kilat.
“Pa!”, teriak Avisa.
“Ya sayang?”
“Oh ternyata papanya Avisa. Kok teriak gitu sih ke papanya. Tidak baik nak.”, ucap ibu.
“Maaf bu.”
“Perkenalkan, saya Ted Biantara. Papanya Avisa.”
Ted menjulurkan tangan untuk berjabat yang kemudian di balas oleh bapak dan ibu kades.
“Sepertinya anak saya takut kalau saya ngapa-ngapain pacarnya pak, bu.”
Avisa dan Biru terbelalak.
“Loh, sudah pacaran? Kok bapak sama ibu tidak di beri tahu.”, protes bapak.
“Papa!”, bentak Avisa yang semakin kesal.
“Oh sepertinya belum pak.”, kata Ted.
Ketiga orang tua itupun tertawa. Arif ikut tertawa dengan canggung karena merasakan akan ada hal buruk yang datang setelah ini.
“Saya cuma mau memperkenalkan Biru pada salah satu orang yang saya hormati. Beliau berkata ingin sekali bertemu dengan Biru.”, ucap Ted.
“Oh ya? Bagus kalau begitu. Kamu bisa kenal orang-orang sukses nak.", kata bapak takjub.
Biru hanya diam. Ia tahu betul bagaimana Ted ini memisahkan Jingga dan Mega. Apakah saat ini gilirannya dan Avisa, pikirnya.
“Sebentar ya, saya hubungi orangnya dulu. Katanya tadi sudah sampai di depan.”, ucap Ted.
“Oh baik pak, silahkan.”, sahut bapak.
Ted berbalik badan dan menghubungi orang yang di maksud. Tak lama orang yang ia tunggu datang juga. Seorang pria yang kira-kira berumur 70an bersama pria hampir paruh baya yang terlihat gagah dan berwibawa. Bapak dan ibu terkejut di buatnya.
“Apa kabar pak kades, bu kades?”, tanya pria itu.
“Baik pak.”, jawab bapak dan ibu menundukkan kepala.
Biru, Avisa dan Arif merasa aneh dengan gelagat bapak dan ibu kades. Pria 80an itu tiba-tiba menjulurkan tangannya pada Biru tanpa berkata apapun. Biru membalasnya seraya memperkenalkan diri.
“Biru.”
“Nama lengkap?”
“Bukankah seharusnya yang meminta berjabat tanganlah yang harus memperkenalkan diri terlebih dahulu?”, tanya Biru.
Pria itu tertawa.
“Baiklah kalau begitu. Hendra Darmawan.”
“Krisna Mahardika Darmawan.”, ucap pria paruh baya di sebelah.
“Jadi? Siapa nama lengkapmu?”, tanya pak Hendra.
“Bobby.. Rudi...”
“Darmawan.”, sahut Ted.
Biru semakin bingung.
“Salam kenal, cucuku.”, ucap pak Hendra.
Biru, Avisa dan Arif syok mendengarnya. Sedangkan bapak dan ibu kades mulai cemas karena situasi ini. Di kejauhan Jingga hanya mengawasi saja.
(di sini mereka berbicara bahasa Inggris yang sudah author terjemahkan)
“Kamu baik-baik saja?”, tanya Alexa.
“Ya. Aku baik-baik saja.”
Pertemuan Biru dengan ayah dan kakek kandungnya berlangsung singkat karena ia tidak nyaman dengan kehadiran mereka. Ia segera memutuskan untuk mengajak bapak, ibu dan Arif pulang.
***
Di ruang tamu rumah pak kades, seluruh anggota keluarga berkumpul.
“Ada apa ini sebenarnya bu, pak?”, tanya Biru.
Dengan berat hati, mereka menceritakan yang sebenarnya. Bahwa Biru bukanlah anak yang di buang namun memang sengaja di minta oleh mereka dengan beberapa syarat.
Biru adalah anak di luar nikah dari Krisna dan Ajeng yang saat ini menjadi istrinya. Mereka memiliki Biru saat masih berstatus pacaran. Sebenarnya pak Hendra bersedia menutupi kelahiran Biru dan menikahkan mereka setelahnya namun karena Krisna dan Ajeng masih ingin melanjutkan pendidikan, mereka menolak pernikahan itu.
Sedangkan Bapak dan ibu dulunya adalah supir dan pengasuh di kediaman pak Hendra. Bapak sudah bekerja di sana sejak masih muda lalu mengajak ibu untuk bekerja di sana juga setelah mereka menikah. Ibu yang saat itu berusia 16 tahun di tugaskan untuk mengasuh Krisna yang baru berusia 10 tahun.
Bertahun-tahun menikah, bapak dan ibu tak kunjung di karuniai momongan. Di tahun kelima pernikahan, ibu merasakan sakit luar biasa di dalam perutnya. Setelah melakukan pemeriksaan, dokter mengatakan terdapat kanker rahim di sana dan harus melakukan operasi pengangkatan rahim untuk menghilangkannya. Pupus sudah harapan untuk menjadi seorang ibu. Sampai 5 tahun berikutnya lahirlah Biru di tengah keluarga Darmawan.
Karena Krisna dan Ajeng menolak adanya pernikahan, akhirnya ibu memberanikan diri untuk meminta bayi mereka agar di rawatnya jauh dari kediaman Darmawan. Krisna sangat setuju namun berbeda dengan pak Hendra. Beliau mengijinkan ibu membawa Biru namun hanya sampai ia menyelesaikan S1-nya atau saat usianya sudah 23 tahun. Dan jika mereka melanggar perjanjian itu, mereka akan denda sebesar 230 milyar rupiah. Sesuai umur Biru.
Mendengar cerita kedua orangtua angkatnya, Biru merasa sesak yang teramat sangat di dadanya. Hampir seumur hidupnya ia merasa hina karena tidak di inginkan oleh orangtua kandungnya. Kini bapak dan ibu yang selama ini sudah ia anggap sebagai pahlawan dan ia sayangi dengan sepenuh hati ternyata menyembunyikan kebenaran besar tentang dirinya. Biru kecewa.
“Biru mau ke galeri dulu.”, ucapnya lemah.
Bapak dan ibu hanya tertunduk, merasa malu pada Biru. Arif yang juga berada di sana tidak dapat berkata apapun. Ia memutuskan untuk mengikuti Biru.
“Arif ikutin Biru ya pak, bu.”
“Hati-hati di jalan nak.”, sahut bapak.
Setelah kedua putranya pergi, ibu menangis sejadi-jadinya. Ia marah pada dirinya sendiri karena sudah membuat Biru kecewa.
***
Di rumah Biantara, sepulang wisuda Avisa yang sangat kesal atas kelakuan ayahnya langsung menuju kamar dan membanting pintu dengan keras. Charlotte dan kedua anaknya di persilahkan menuju kamar utama sedangkan Alexa di minta untuk tetap berada di kamar Jingga.
Di ruang tamu, Jingga mulai menanyakan sesuatu yang sejak tadi membuatnya penasaran.
"Karena pak Hendra itu kan papa sama sekali nggak ngusik hubungan Avisa dan Biru?”
“Of course. Memang ada alasan lain?”
“Jadi janji papa sama aku itu bohong?”
“Memangnya kamu bisa memberikan apa? Kalian itu milikku, aset terebaik untuk memperbesar bisnisku. Jadi jangan coba-coba berjalan di jalur lain, kalian harus tetap berada di jalur yang sudah papa buat.”
“Aku akan membatalkan pernikahanku dengan Alexa.”, ancam Jingga.
“Silahkan. Kamu tahu betul George itu siapa. Dia akan menghancurkan orang-orang yang kamu cintai bahkan lebih buruk dari yang papa bisa.”
“Pa!”, teriak Jingga.
Jingga sangat marah karena merasa di jebak oleh ayahnya hingga harus berada di posisi ini. Ia berjalan pergi menuju kamar Avisa tanpa berkata apapun lagi.
“Kenapa? Udah tahu brengseknya Biantara?”, tanya Avisa tanpa menoleh.
“Kayaknya ini karma buat gue karena udah nyakitin dan ninggalin Mega.”
“Nyesel lu?”
Jingga terdiam, merasa bodoh karena termakan perkataan ayahnya.
“Gue mau ke ruang baca. Ikut nggak?”, ajak Avisa.
“Alexa gimana?”
“Peduli amat lu.”
Meskipun Avisa belum bisa sepenuhnya menerima Alexa tapi akhirnya mereka tetap pergi ke ruang baca bertiga. Dengan Jingga dan Alexa di bangku depan dan Avisa yang cemberut di bangku belakang. Tak lama panggilan telepon dari Biru masuk ke hp Avisa.
“Halo.”, ucap Avisa.
“Dimana?”
“Di jalan mau ke ruang baca.”
“Ok.”
Biru langsung menutup sambungan teleponnya. Avisa menghela nafas panjang.
“Biru ya?”, tanya Jingga.
“Hm.”
Jingga mempercepat laju mobilnya hingga hanya butuh beberapa menit saja untuk sampai di ruang baca.
“Koh, biasanya.”
“Biru sama Arif udah di dalam.”
Avisa memang pernah berpesan pada kokoh penjaga jika Biru kesini, kokoh boleh langsung memberikan kunci tanpa ijin dulu padanya. Namun baru kali ini Biru benar-benar datang kesana tanpa Avisa. Ia heran. Tanpa basa-basi lagi ia langsung bergegas ke ruang baca.
“Jadi ini tempat yang lu bilang buat sembunyi dari papa tapi malah di beli sama dia?”
“Hm.”, jawab Avisa singkat karena masih kesal dengan adanya Alexa.
Avisa membuka pintu. Biru sedang duduk di sofa sementara Arif merebahkan dirinya di ranjang. Ia spontan bangun karena melihat Alexa.
“Dari tadi?”, tanya Avisa.
“Luamayan.”, jawab Arif.
Arif lalu melambaikan tangan, memberikan isyarat agar Avisa mendekat padanya. Avisa mendekatinya.
“Siapa?”, bisik Arif.
“Tunangannya Jingga.”, jawab Avisa keras-keras membuat Arif salah tingkah.
(di sini mereka berbicara pada Alexa menggunakan bahasa Inggris yang sudah author terjemahkan)
“Halo. Aku Alexa.”
“Hai. Aku Arif dan ini Biru. Silahkan duduk.”
“Terimakasih.”
Jingga mengajak Alexa duduk di sofa, di samping Biru. Biru langsung beranjak pindah ke samping Arif di ranjang. Jingga tersenyum. Mungkin Biru masih merasa tak enak hati padanya.
“Ruangan ini milik kamu?”, tanya Alexa pada Avisa.
“Ya.”
“Toko ini juga milik kamu?”
“Bukan. Toko ini milik calon ayah mertuamu.”
Alexa tersenyum. Sungguh perempuan yang baik. Tak pernah sedikitpun ia merasa sakit hati dengan perlakuan Avisa padanya. Ia mengerti bahwa Avisa hanya belum bisa menerimanya saat itu.
“Lu mau ngobrol sama mereka dulu?”, tanya Avisa pada Jingga.
“Kalau mereka mau.”
Avisa menoleh pada Biru. Ia mengangguk pelan.
“Alexa, mari kita jalan-jalan keliling kota. Aku akan menunjukkan tempat yang bagus kepadamu.”, ajak Avisa
“Oh benarkah? Baik mari kita pergi.”
Avisa berjalan terlebih dahulu.
“Aku jalan-jalan dulu ya?”, pamitnya pada tiga lelaki di ruangan ini.
“Selamat bersenang-senang.”, jawab Jingga.
Arif mengangguk dan tersenyum sementara Biru sama sekali tak meresponnya. Ia hanya menatap tajam pada Jingga.
“Sorry bro.”, kata Jingga.
“Buat?”
“Buat apa yang gue lakuin ke Mega, buat yang gue lakuin ke elu, buat yang papa gue lakuin ke elu.”
“Kenapa harus lu yang minta maaf buat dia?”
“Kalau dari awal gue nggak pacaran sama Mega, papa nggak akan tau elu juga.”
Biru sedikit lebih tenang. Ia sadar semua yang terjadi bukan hanya salah Jingga karena Jinggapun tidak mungkin mengira hal seperti ini akan terjadi.
“Di Inggris gue sempet ketemu Mega sama suaminya.”
Biru terkejut.
“Sekarang gue tahu, dia emang lebih bahagia kalau nggak sama gue. Gue bersyukur dia punya seseorang yang lebih baik dari gue.”
“Tenang bro, ada gue. Jangan galau. Lu terlihat menyedihkan tahu nggak.”, ucap Arif.
Air mata di ujung mata yang Jingga tahan sejak tadi keluar bersama dengan tawa kerasnya karena perkataan Arif. Biru hanya menatapnya, iba.
Karena beberapa kalimat ajaib dari Arif akhirnya mereka berbincang-bincang dengan nyaman kembali. Saling bertanya kabar dan melempar candaan-candaan kecil.
“Jadi gimana keputusan lu?”, tanya Jingga pada Biru.
“Untuk saat ini gue bakal kembali ke rumah itu sesuai perjanjian yang bapak dan ibu buat. Tapi gue bakal cari cara biar bapak, ibu dan Arif juga tetep berada di dekat gue.”
Kini akhirnya Biru mengerti apa yang dulu Arif rasakan saat harus kembali ke keluarga kandungnya.
“I love you, bro. Saranghaeyo.”, kata Arif sambil memberi tanda hati dari kedua jarinya.
Biru langsung melempar bantal pada Arif. Mereka tertawa bersama. Kini ruangan itu di penuhi tawa tiga lelaki yang sudah lama tidak berjumpa ini.
Tiba-tiba pintu ruang baca terbuka.
“Surpriiiissseee!!!”
Mega berteriak dengan membawa sebuah karangan bunga yang sangat besar. Lalu mematung karena melihat Jingga. Suasana mendadak hening.
“Meeyyyy!!!! Pulang kapan lu? Wah gede banget ini bunga.”, teriak Arif memecah keheningan.
“Mmm... Tadi pagi.”, jawab Mega sambil tersenyum canggung.
Biru melihat keduanya lalu tersenyum.
“Kalian ketemu di Inggris juga canggung gini?”, tanya Biru.
Mega terkejut.
“Galak banget dia bro. Gue di tinggal gitu aja.”, goda Jingga.
“Ya lu pikir aja, siapa yang mau lama-lama duduk sama mantan.”, sahut Mega sewot.
“Ya tunggu sampe suami lu dan Alexa dateng kek. Lu tahu nggak, gue jadinya yang bayar minuman lu.”
Mega terdiam, Jingga terdiam, semuanya terdiam. Lalu beberapa detik kemudian mereka tertawa bersama. Berdamai dengan masa lalu itu memang indah.
“Mana Bintang?”, tanya Arif.
“Ada yang harus dia urus di sana jadi gue pulang sendiri.”
“Tumben.”, sahut Biru.
“Maksa sih.”
Mereka tertawa lagi. Arif menceritakan pada Jingga bahwa Bintang adalah orang yang nggak pernah sekalipun mau jauh dari Mega. Mau semalam apapun, sedingin, sepanas apapun, bahkan mungkin sebadai hujan apapun dia nggak bakal biarin Mega sendirian. Sejenak Jingga merasa tertampar namun ia sangat bersyukur mendengar bahwa pasangan Mega adalah orang baik yang selalu ada untuknya.
“Avisa mana?”, tanya Mega.
“Ngajak mbak bule jalan-jalan.”, jawab Arif.
“Tunangan lu itu? Alexa?”, tanya Mega pada Jingga.
“Iya.”, jawab Jingga sambil tersenyum malu.
“Kapan pernikahannya? Undang kita dong”
“Lu aja nikah nggak undang gue.”
“Emang gue tahu lu dimana?”
Mereka berbincang tentang banyak hal. Menceritakan perjalanan hidup selama ini. Mengenang masa lalu. Sampai beberapa waktu kemudian Avisa kembali. Alexa sangat bahagia melihat Mega lagi. Hari itu mereka mengenal Alexa lebih jauh dan akhirnya tahu bahwa Alexa adalah perempuan yang baik.
***
Seminggu kemudian Biru di jemput utusan keluarga Darmawan. Dengan terpaksa ia harus berpamitan pada bapak dan ibu saat itu juga. Meskipun memiliki rencana untuk membawa mereka, Biru tidak berjanji apapun. Ia tidak ingin mereka kecewa jika nanti kenyataannya tidak berjalan sesuai rencana.
Sampai di kediaman Darmawan, Biru di sambut oleh keluarga kandungnya. Satu-satunya orang yang terlihat senang dengan kedatangan Biru hanyalah Pak Hendra. Sedangkan ayah dan ibu kandungnya seperti terpaksa berada di sana untuk menyambutnya.
“Sudah kan pa? Saya harus segera ke butik, banyak pesanan dari istana.”, kata Ajeng datar.
“Ya sudah pergi sana.”, jawab Pak Hendra.
Ajeng berjalan pergi dan ketika berpapasan dengan Biru ia mengucapkan...
“Selamat datang.”, ucapnya datar.
“Terimakasih.”
Setelah itu Ajeng kembali melanjutkan langkahnya menuju mobil dan meninggalkan rumah.
“Kenapa lama sekali?”, tanya Pak Hendra.
“Harus pamit dulu sama ibu bapak.”
“Mari kita makan malam dulu.”, kata Pak Hendra sambil merangkul Biru.
Sebelum berjalan beliau menoleh pada Krisna.
“Kamu juga.”, perintah Pak Hendra.
“Iya pa.”
Mereka berjalan menuju meja makan yang sudah di lengkapi dengan berbagai jamuan makan malam yang sangat mewah. Pak Hendra duduk di kursi utama sedangkan Krisna dan Biru berada di sisi kiri dan kanannya.
“Setelah ini kakek harus pergi ke Jerman. Besok kamu ikut papamu ke kantor. Biar dia kenalkan kamu sama karyawan di sana.”
“Iya.”
“Apa tidak terlalu cepat pa?”, protes Krisna.
“Gara-gara kamu, butuh waktu 23 tahun sampai aku baru bisa memperkenalkan cucuku. Kamu bilang terlalu cepat?”, kata Pak Hendra tegas.
“Maaf pa.”
Biru terkejut melihat ayahnya tidak berkutik.
“Kakek dengar kamu suka melukis. Dimana biasanya kamu membuatnya?”
“Ada galeri kecil dekat kampus.”
“Mau kakek buatkan galeri sendiri?”
“Tidak perlu. Saya lebih suka di sana.”
“Baiklah kalau begitu.”
Beberapa karyawan menyiapkan makanan mereka namun ketika salah satu pelayan akan mengambilkan makanan untuk Biru, ia mengambil kembali piringnya.
“Saya bisa sendiri.”, katanya.
“Biarkan saja. Mereka di gaji untuk itu.”, ucap Krisna.
Biru melepaskan pegangan piringnya dan membiarkan mereka melayaninya sesuai perintah. Meskipun sebenarnya hal itu membuatnya tak enak hati.
Selesai makan, Biru dan Krisna mengantar Pak Hendra sampai depan rumah.
“Jangan bertingkah sungkan-sungkan. Ini rumahmu juga. Kalau mau apa-apa bilang sama papamu.”, pesan Pak Hendra.
“Iya.”
Setelah itu Pak Hendra pergi dengan supir dan beberapa pengawalnya.
“Meskipun masih canggung, aku akan berusaha menjadi papa yang baik buatmu.”, ucap Krisna.
“Terimakasih.”
“Sudah jam 8. Mau ikut jemput adikmu di tempat les?”
“Adik?”
“Ikut saja, nanti papa ceritakan semua tentang keluarga ini.”
Biru mengikutinya untuk mengetahui tentang orang-orang di rumah yang akan di tinggalinya ini. Sebelum masuk ke dalam mobil, Krisna memperkenalkan supirnya pada Biru.
Di dalam mobil Krisna meberitahu siapa saja yang tinggal di rumah besar itu.
---
Yang pertama, Pak Hendra. Beliau adalah pengusaha kaya raya dengan puluhan bisnis yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Dulunya beliau adalah anak dari pasangan yang sangat miskin, bahkan ia hanya lulusan sekolah dasar dari sebuah desa kecil.
Saat lulus sekolah ia pergi merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. Berbagai pekerjaan sudah ia jalani, berbagai macam manusia sudah ia temui. Meskipun banyak sekali perlakuan buruk yang ia terima, ia tetap menerimanya demi belajar dari orang-orang besar itu. Dengan tekadnya yang luar biasa akhirnya ia memulai usaha kecil yang perlahan menjadi besar dan mampu membayar beberapa pegawai.
Awalnya ia hanya memperkerjakan teman-teman dari tempatnya bekerja dulu, yang merasa tidak tahan lagi dengan perlakuan atasan mereka. Namun lambat laun usahanya menjadi semakin besar dan membuatnya memiliki puluhan pegawai.
Suatu hari ia menangkap basah seorang pegawai kepercayaannya hanya bermalas-malasan setiap harinya. Padahal upah yang Pak Hendra berikan untuknya lebih besar daripada yang lain. Beliau yang tidak pernah seharipun berhenti memperjuangkan mereka merasa terhianati. Karena itulah beliau menerapkan sistem upah sesuai kerja. Dimana para pegawainya akan di upah sesuai dengan yang mereka kerjakan.
---
Saat itu Biru baru mengerti arti ucapan ayahnya saat makan malam.
---
Yang kedua adalah Krisna sendiri. Ia adalah anak tunggal dari Pak Hendra. Istri Pak Hendra meninggal sesaat setelah melahirkan Krisna. Beliau memutuskan untuk tidak menikah lagi. Menurutnya mempunyai istri hanya akan membuatnya merasa bersalah karena beliau tidak memiliki banyak waktu di rumah. Beliau merasa lebih baik membayar orang untuk merawatnya daripada menikahi seseorang yang akan merasa kesepian karenanya.
Sejak kecil, Krisna di urus oleh pengasuh pilihan Pak Hendra. Dalam sebulan belum tentu ia dapat bertemu dengan ayahnya tersebut. Awalnya ia merasa bahwa Pak Hendra tidak menyayanginya sama sekali namun seiring bertambahnya usia bertambah pula kedewasaannya. Akhirnya ia tahu bahwa Pak Hendra adalah orang yang bertanggungjawab dalam menanggung kesejahteraan para karyawannya.
Sebelum kedewasaan itu datang, Krisna menjajaki segala bentuk kenakalan. Minum-minuman, narkoba sampai bermain dengan para wanita. Bahkan saat sudah berpacaran dengan Ajeng, ia masih juga mencari wanita kesana kemari. Karena itulah, Ajeng yang saat itu hamil hanya memilih untuk melahirkan anaknya tanpa mau menikah dengan Krisna.
Setelah kelahiran Biru, Krisna mulai menyadari kesalahan-kesalahannya. Betapa pengecutnya ia yang tak bisa bertanggungjawab atas satu kehidupan saja. Ia malu pada Pak Hendra yang mampu menanggung ribuan kehidupan di pundaknya. Sejak itu ia serius dalam pendidikannya agar kelak mampu membahagiakan Ajeng dan anak-anak mereka.
---
“Mungkin sudah sangat terlambat. Tapi papa minta maaf. Bukannya kami tidak menginginkanmu, hanya saja saat itu papa masih jadi manusia egois yang hanya mementingkan diri sendiri. Papa tahu betul bagaimana sakitnya hati Ajeng saat harus melepaskan kamu.”
Biru hanya terdiam.
“Salahkan saja papa, jangan mamamu.”, lanjutnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!