Makan, tidur, ngemil, nonton Drakor, mantengin toko-toko online, julid di kolom komentar, ngecengin cowok-cowok kece di instagram, sungguh itulah surga sesungguhnya bagi kaum rebahan seperti Safa.
Safana Halim namanya. Putri bungsu juga satu-satunya Bapak Surya Halim dan Ibu Sofiana Halim. Tuan dan Nyonya Halim yang sangat berjasa dalam pembuatan gadis manis serta imut penggemar Park Seo Joon.
Pecinta Drakor namun bukan penggemar KPop yang suka mengoleksi skincare dan juga baju-baju lucu bermodel Korean Style. Tidak suka make up tapi sangat suka merawat kulit. Baginya, wajah adalah nomor satu dari penampilan seseorang. Mau sebagus apapun baju yang dipakai, kalau mukanya burik, iyuhh … bikin minder lihat poster Song Hye Kyo.
Meskipun dia tidak secantik Song Hye Kyo, ya setidaknya jidat glowing adalah jaminannya. Safa itu penggemar cowok ganteng. Siapa pun orangnya kalau mukanya ganteng dia pasti merasa jatuh cinta. Maklumlah, jomlo abadi sepertinya paling lemah disuguhi durja tampan kaum adam.
Satpam Bank saja dia kedipin. Tukang nasgor depan komplek juga dia kecengin. Tapi kalau cowoknya pemalas dan pengangguran, sorry to say, mereka gak masuk itungan. Safa suka uang tapi gak suka cari uang, xixixi.
Disaat teman-teman seusianya sibuk kuliah dan kerja, Safa hanya mentok jadi anak rumahan. Bukan tidak mau atau tidak mampu kuliah, masalahnya dia hanya malas. Takut item kena panas, katanya. Padahal mau seterik apapun cuacanya, kulit Safa itu jatuhnya memerah alih-alih menghitam.
Bapak dan ibu Halim pun sudah menyerah dengan pilihan putrinya. Mereka tidak bisa memaksa Safa melakukan sesuatu yang tidak disukainya. Toh, keluarga Halim masih mampu menghidupi Safa sampai ke cicit-cicitnya.
Berbeda dengan Si Sulung Dava, mereka menuntut putranya untuk berpendidikan tinggi karena Dava satu-satunya harapan sebagai penerus usaha keluarga.
Seperti sekarang. Kalau Dava sedang sibuk-sibuknya di kantor pada jam segini, Safa asik tiduran di atas kasur dengan laptop menyala menampilkan adegan kissing Drama Korea. Jangan salah, Safa sudah mandi, kok. Dia bukan tipe pemalas yang jorok dan bau. Malah Safa tidak betah kalau sampai jam sembilan tubuhnya masih kering alias belum terkena air a.k.a belum mandi.
Nyonya Halim pernah bilang, Safa harus tetap tampil cantik meski di rumah sekalipun. Karena kita tidak tahu siapa yang akan kita temui hari ini di depan pintu. Bisa jadi Lee Minho lagi cari jodoh, atau Cha Eun Woo lagi seleksi calon pacar.
Safa juga sudah skincare’an. Merawat wajah itu wajib agar dijauhkan dari dosa-dosa jahanam bernama jerawat. Kalau wajahnya kusam, nanti Safa tidak pede lagi untuk sekedar membayangkan ciuman dengan Kim Soo Hyun si pemilik bibir seksi versi Safa.
“Omo … Safa juga mau dong diemut basah kayak gitu bibirnya,” ujar Safa sambil memegang kedua pipinya yang memanas, wajahnya terlihat mupeng dengan bibir mengerucut.
Jangan mengira Safa ini polos. Dia bahkan sudah pernah menonton yang lebih dari ciuman. Christian Grey misalnya, atau Michele Morone itu loh, yang filmnya sempat viral itu, yang judulnya itu pokoknya. Tapi Safa gak suka pemeran ceweknya yang tepos. Mending Safa yang biarpun gak tinggi tapi berisi dan sekal. Bukan kulit sama tulang doang.
Bukan body shaming, loh ya. Itu hanya segelintir pikiran Safa. Kalau body shaming itu Safa menghujat terang-terangan atau julid di kolom komentar. Safa kan berkomentar di dalam kepala, jadi gak kena UU ITE.
Saat sedang asik melihat tubrukan bibirnya Nam Do San, Safa terkesiap mendengar teriakan Ibu Negara alias Nyonya Halim.
“Safa …!”
Buru-buru ia tutup laptopnya karena takut ketahuan. Bisa berabe kalau Nyonya Halim tahu apa yang ia tonton. Bagaimanapun Safa harus menjaga imej polosnya. Karena yang Nyonya Halim tahu Safa suka nonton Drakor tanpa tahu ada adegan ‘membahayakan’ di dalamnya, membahayakan bagi jomlo maksudnya, hehe.
Meskipun adegan kise-kise sudah lumrah di jaman sekarang, tetap saja kalau dilihat orang tua, mereka merasa tabu dengan hal itu. Apalagi tipe ibu-ibu kolot seperti Nyonya Halim ini. Yang kerjaannya nontonin film azab di TV Ikan Terbang. Beuuh ... darurat level akut pokoknya. Ceramahnya gak akan kelar sampai tengah malam.
Safa bergegas turun dari ranjang dan membuka pintu kamarnya. Tubuhnya hampir terjengkang saat melihat penampakan yang langsung menyapa matanya kala ia membuka pintu. Siapa yang pernah bilang harus tetap cantik meski di rumah? Nyonya Halim berdiri berkacak pinggang dengan daster membalut tubuhnya.
Namun, bukan itu yang membuat Safa kaget. Wajahnya yang dilumuri masker putih berhasil membuat Safa mengira ada hantu di siang bolong. Apalagi dengan mata besar Nyonya Halim yang melotot seperti itu, tambah mencekam lah rumah besar Halim yang sepi di siang hari begini.
“Omo …” lirih Safa mengelus dada.
“Uma omo, uma omo, dipanggil dari tadi kemana aja, hah?” tanya Nyonya Halim galak.
Bibir Safa mengerucut. Dia benar-benar tidak dengar panggilan Bu Halim, tuh. Apa karena terlalu asik berkhayal mesra sampai suara sekeras toa itu memantul di telinganya?
“Kapan Bunda manggil? Safa gak dengar, tuh.”
Raut Nyonya Halim semakin mencekam, membuat Safa ciut seketika. Dan jangan lupakan masker putih yang retak-retak itu pertanda ada getaran di wajahnya.
“Makanya kalo nonton jangan keasyikan. Turun, ada Mang Udin di bawah.”
Safa semakin merengut. Selalu saja dia yang disuruh beli sayur. Padahal dia gak suka sayur. Kenapa Bundanya itu selalu rajin beli sayur. Karena Safa adalah anak yang baik dan tidak sombong, dan gak mau menambah dosa dengan membantah orang tua, mau tidak mau Safa menuruti titah sang bunda.
Padahal ada Bik Inem yang bisa Nyonya Halim mintai tolong. Tapi, ujung-ujungnya selalu Safa yang menjadi sasaran. Katanya tidak baik menyuruh orang yang lebih tua. Lah, dia sendiri suka menyuruh-nyuruh Tuan Halim.
Safa sudah berdiri di ambang pintu dan siap keluar menyongsong Mang Udin yang setia menunggu di pinggir jalan. Namun, dia berbalik menatap Nyonya Halim yang kebetulan melihatnya saat hendak menuju dapur.
Nyonya Halim mengernyit “Ada apa? Uangnya udah kamu pegang ‘kan?”
Safa menatap lurus, “Bun,” panggilnya datar.
Nyonya Halim semakin bingung melihat putrinya yang tak kunjung keluar. Padahal dia takut Mang Udin keburu pergi karena terlalu lama menunggu Safa yang ngaret.
“Berapa kali Safa bilang, Bunda tuh nyeremin pake masker putih. Mirip Mbak Kun.”
Sebelum teriakan nyaring itu terdengar, Safa buru-buru menutup pintu dan lari ke arah gerbang.
“SAFAA ...!!!”
Safa terkikik hingga membuat Mang Udin menatap heran. “Bu Halim teh kenapa teriak-teriak gitu atuh, Neng Safa?”
“Biasa Mang, lagi cosplay,” ujar Safa sambil tertawa kecil.
Selepas membeli sayur, Safa kembali naik ke kamarnya, melanjutkan nonton yang kena tanggung teriakan Nyonya Halim. Ibaratnya Safa ini gagal kli*maks. Lagi asik-asiknya foreplay malah diteriakin. Kan kentang.
Safa sudah jatuh tengkurap di atas kasur, menyamankan posisinya untuk kembali nonton. Belum juga menekan tombol play, hapenya berdering meminta perhatian. Ya Salaamm …rasanya dia mau menelan orang sekarang juga.
“Kenapa, Bang!” Itu bukan pertanyaan. Serius. Karena Safa gak niat bertanya.
“Etdah, Dek. Kasar amat sama abang sendiri,” ujar Dava di seberang sana.
Ya. Si Sulung Dava yang menelponnya. Safa memutar bolamata. Ini orang pasti ada maunya. Gak mungkin Dava menelponnya kalau gak ada perlu. Mereka seringnya berhubungan saat butuh doang. Atau kalau di rumah jatuhnya malah sering adu mulut.
“Dek, kamu di rumah ‘kan?”
“Emang sejak kapan Safa gak di rumah?” jawab Safa ketus.
“Oh iya. Adek Abang kan pengangguran ya,” ledek Dava tertawa.
Safa hanya mencibir, nganggur-nganggur gini juga sering berguna buat Dava. Ngambil berkas tertinggal misalnya.
Tunggu.
Mata Safa memicing curiga. Pelan-pelan dia bertanya. “Bang, Abang nelpon Safa pasti ada udang dibalik bakwan ‘kan? Ngaku, Bang!” todong Safa.
“Wah … tumben pinter adeknya Abang.”
Nah, kan. Firasat Safa itu gak salah. Aura negatifnya sudah kerasa dari tadi. Please … deh. Jangan suruh Safa yang enggak-enggak. Safa tuh lagi malas keluar. Cuaca lagi panas-panasnya, bok …
Emang kapan Jakarta gak panas, sih, Saf? Batinnya.
Tapi seperti biasa, Dava tuh gak pernah peduli sama penderitaannya Safa. Pria itu sekonyong-konyong menyuruh Safa ke kamarnya dan ambil berkas di meja kerja. Kalau tidak, Safa terancam tidak akan mendapat uang jajan. Menyebalkan.
Sebenarnya itu bukan masalah. Toh, Safa masih bisa dapat dari ayahnya. Tapi tetap saja uang yang Dava kasih itu gak sedikit jumlahnya. Kan sayang, lumayan buat beli lipstik Chanel.
Ini bukan pertama kalinya Safa diminta bolak-balik nganterin berkas. Baik Dava maupun ayahnya seringkali menyuruhnya kalau mereka lupa. Kenapa, sih, dua orang itu senang banget nyuruh-nyuruh Safa. Gak ada bedanya sama Nyonya Halim.
Kan Safa juga sibuk. Sibuk rebahan maksudnya. Itu kan bentuk kesibukan Safa sebagai anak rumahan.
“Cepetan, Dek. Jangan pake lama!” Tut.
Ish, nyebelin. Dengan kaki menghentak, Safa membuka pintu kamar Dava yang bersebrangan dengan kamarnya. Lalu melangkah menuju meja yang dilengkapi kursi ergonomic di sudut ruang dekat jendela.
Beruntung Dava itu orangnya rapi. Jadi, tidak sulit bagi Safa menemukan map dengan ciri-ciri yang dimaksud.
Masalahnya dia naik apa ke sana? Pak Iwan, sopir pribadi keluarganya sedang absen pulang kampung. Ibunya sakit. Mana di luar panas banget. Safa gak sanggup memikirkan dia harus naik Gojek siang-siang gini. Ya ampun … Safa pusing.
Denting notifikasi pesan beruntun memasuki hapenya. Itu Dava yang terus menerornya agar cepat-cepat. Gimana mau cepat? Safa saja masih bingung harus naik taksi atau ojek. Akhirnya pilihannya jatuh pada ojek karena Dava terus nyepam sampai hapenya harus di silent.
***
“Kamu naik ojol?” tanya Dava saat Safa tiba di sana.
Dengan wajah merengut, Safa menjawab ketus “Iya! Nih.” Safa menyerahkan tas berisi berkas yang diminta Dava.
Tanpa disangka, Dava menariknya memasuki kafe tempat pria itu akan meeting. Wajahnya juga terlihat sedikit kalut.
Lelaki itu mendudukkannya di salah satu kursi kosong, lalu memberi beberapa lembar uang berwarna merah. “Pesan apapun yang kamu mau. Kalau kurang bilang aja, Abang di atas.” Katanya. Lalu pergi meninggalkan Safa yang masih sibuk menyusut keringat.
Safa mencibir. Tadi saja minta buru-buru. Giliran lihat adiknya naik ojol malah kayak gak senang gitu.
Safa mengamati penampilannya yang enggak banget. Dia benar-benar kegerahan. Beruntung blouse bunga-bunga menyamarkan keringat yang terserap.
Mana rambutnya lepek pula. Safa memutuskan ke toilet sebentar untuk memperbaiki penampilannya. Lupakan tacap-tacap (tuch up). Dia mana sempat membawa perintilan bedak dan semacamnya.
Safa hanya mencuci muka dan membasuh sedikit lehernya. Lalu mengelapnya dengan tisu. Percayalah, sunburn hanya bisa ditenangkan oleh cuci muka, bukan dempulan bedak yang malah menambah berat wajah dan pori.
Beruntung Safa selalu menyelipkan liptint dan sunscreen di setiap tasnya. Hal itu berguna dalam keadaan darurat seperti ini. Setidaknya wajah Safa tidak pucat dan kuyu. Safa keluar dari kamar mandi dalam keadaan lebih baik. Dia kembali ke tempat semula dan memesan makanan.
Sambil menunggu, Safa menyibukkan dirinya melihat-lihat aplikasi belanja online. Mumpung abangnya itu sedang baik, Safa tidak akan menyia-nyiakan begitu saja.
Kemarin dia sempat melihat dress cantik yang memikat hatinya. Oh, jangan lupakan satu set skincare Korea yang menjadi incarannya.
Jangan katakan Safa ini matre. Dia hanya mencoba realistis sebagai wanita. Menurut Safa kalau ada cowok yang bilang cewek itu matre, bukan ceweknya yang matre, tapi dianya yang kere.
Iya, ‘kan? Kalau kaya dia gak akan keberatan meski ceweknya minta ini itu. Lagipula Safa bukan pengoleksi tas bermiliar-miliar. Jadi masih aman.
Sejak trend belanja online mulai ramai, Safa jadi jarang pergi-pergi ke Mall. Menurutnya kalau barang itu masih bisa didapatkan secara online untuk apa capek-capek keluar. Tapi tak ayal Safa juga rindu suasana pusat perbelanjaan. Mungkin nanti dia akan mengajak bundanya jalan-jalan.
Safana Halim : Bang, transfer shopeepay, ya. Safa maksa.
Tak lama ponselnya berdenting. Safa mengernyit. Abangnya benaran lagi meeting? Kok, bisa cepat balas pesannya?
Davandra Halim : Seperti biasa, cukup?
Safana Halim : Hehe … tambahin dikit lah. Bayaran karena Safa panas-panasan tadi.
Safa membalas lengkap dengan emot melas.
***
“Kamu beli skincare lagi?” tanya Dava saat di luar kafe. Safa disuruh nunggu pria itu meeting, jadinya barengan.
Gadis imut itu cengengesan menampilkan cengiran manis yang bisa membuat siapapun menjadi gemas. Dava saja sempat terbius. “Hehe, iya …”
“Kamu udah punya lemari sendiri loh untuk menampung itu,” ujar Dava mengernyit.
“Ya terus kenapa? Namanya juga cewek,” jawab Safa ketus.
“Iya cewek, tapi kamu yang paling maruk.”
“Udahlah, Bang ... ini itu investasi buat wajah Safa. Biar nanti dapet calon suami yang tajir. Kalau muka burik, ladang duit mana mau melirik.”
Dava hanya bisa melengos setengah mencibir. Ia berpikir seberat apa penderitaan calon iparnya kelak mengahadapi Safa yang boros dan shopaholic.
“Udahlah. Capek ngomong sama Abang. Mobilnya mana sih, Bang? Panas, nih!”
Dengan setengah hati Dava menekan tombol remot kontrol mobilnya. Lalu terdengarlah suara di ujung pelataran parkir. Safa bergegas lari ke arah Pajero Sport milik kakaknya.
Dava hanya menggeleng melihat kelakuan adiknya. Safa itu aktif dan cerewet seperti Bunda mereka, apalagi kalau sedang nonton drama. Mulut dan tubuhnya sama-sama gak bisa diam sampai kasur jadi berantakan.
“Abang ...!”
“Abang … huaaa …!”
Brak!
“Apasih, Dek? Teriak-teriak memangnya hutan?” ujar Dava sewot.
Dia baru saja selesai mandi saat tiba-tiba Safa berteriak memanggil namanya. Bahkan kaosnya saja belum terpasang sempurna. Untung sudah pakai celana.
Safa tak peduli. Dia menunjuk laptopnya yang terbuka di atas ranjang sambil menangis. “Hiks, Abang …iIni laptop Safa kenapa … Kok, layarnya jadi item gini? Terus ada tulisan-tulisan kecilnya ….”
“Abang …” rengek Safa.
Dava berjalan mendekat, memeriksa apa yang terjadi dengan laptop Safa hingga adiknya itu histeris.
Ternyata bukan hanya Dava. Teriakan Safa juga berhasil menarik perhatian Tuan dan Nyonya Halim. Mereka memasuki kamar dengan raut terheran-heran. Nyonya Halim baru saja menyambut kepulangan sang suami dari kantor saat mendengar teriakan putrinya yang menggelegar.
“Ada apa sih? Ini anak gak bisa sehari aja gak teriak?”
Berbeda dengan Nyonya Halim yang berkacak kesal, Tuan Halim justru terlihat khawatir melihat putrinya berderai air mata.
“Safa kenapa, Nak?” tanyanya lembut sambil mendekat.
“Ayah … Pacar Safa mati …. Hiks.”
Tuan Halim terperanjat. Kok, dia gak tahu anaknya punya pacar? Kemana saja dia?
“Pacar? Siapa pacar kamu?”
Safa menunjuk laptopnya yang tengah diotak-atik Dava.
“Laptop Safa mati … Semua pacar Safa ada di sana, Ayah ….”
Seketika, Safa mendapat tatapan malas dari bunda dan kakaknya. Mereka sudah bosan menghadapi drama Safa soal pacar-pacar haluannya itu. Terutama Dava.
Dia melirik Nyonya Halim di ujung ranjang. Kalau Bundanya tergila-gila dengan film India, maka Safa sangat mencintai Korea. Dan dia serta ayahnya hanya bisa menghela nafas menghadapi keduanya.
Seperti sekarang. Tuan Halim mengelus dada berusaha sabar. Memiliki anak dan istri yang kelakuannya kadang ajaib membutuhkan energi yang cukup besar.
Namun begitu ia tetap mencintai keduanya melebihi apapun. Bahkan dirinya sendiri.
“Laptop kamu kena virus, Dek. Harus diservis,” ucap Dava.
“Hwaa ….!”
Tangisan Safa bertambah kencang. Padahal tadi tinggal sesenggukan doang. Hal itu membuat Tuan dan Nyonya Halim memelototinya.
Dava hanya bisa menggaruk tengkuk. Kenapa dia yang disalahkan? Kan Dava hanya berucap kenyataan.
“Safa … udah nangisnya. Nanti Ayah belikan lagi yang lebih bagus. Yang lebih mahal dari ini.”
Nyonya Halim menatap suaminya galak. Apa-apaan dia itu? Selalu saja memanjakan putrinya. Akibatnya Safa tak pernah berpikir dewasa sampai usianya 22 tahun saat ini.
“Ayah apaan, sih! Lebay banget harus ganti baru segala. Dava bilang masih bisa diservis, kok.”
Tuan Halim meringis sambil menggaruk hidung. Istrinya memang selalu perhitungan soal uang. Padahal dia masih mampu membelikan 100 laptop sekalipun.
“Ayah janji?”
Sekonyong-konyong, pertanyaan bernada polos itu membuat semua orang menoleh. Dan Tuan Halim sungguh tak sanggup melihat ekspresi putrinya yang memelas seperti kucing. Sungguh menggemaskan.
Tapi melihat wajah istrinya yang semakin menyeramkan, Tuan Halim dilanda kebingungan. Di lain sisi ia tak bisa menolak putrinya. Namun di sisi lain ia takut dikunci di luar kamar.
Semenggemaskan apapun Safa-nya, istrinya jauh lebih menggoda. Dengan wajah sedih, Tuan Halim menatap Safa yang masih memelas. Sungguh dia tak tega.
“Diservis aja, ya, Sayang?”
***
Safa masih merajuk hingga makan malam tiba. Dan itu membuat Nyonya Halim menghela nafas.
Bukannya ia tega, hanya saja ia ingin Safa lebih dewasa. Dan hal itu tidak akan terjadi kalau mereka terus saja menuruti keinginannya.
Lebih bagus kalau Safa mau menabung buat beli laptopnya sendiri. Mereka tak pernah absen memberi uang jajan.
“Manyun terus kamu, Dek. Bebek aja jadi keliatan jauh lebih cantik.”
Safa tak menanggapi sindiran Dava. Dia hanya diam mengaduk piringnya yang berisi sayuran.
Tuan Halim yang melihat pun berkata “Safa. Dimakan, Nak. Bunda sama Bibi udah capek masak, lho.”
“Tapi Safa gak suka sayur!”
“Sayur itu baik untuk kesehatan. Idola kamu di Korea juga makannya sayur. Ini salah satu rahasia kecantikan mereka.”
“Ya udah, suruh aja Bunda yang makan semua. Biar awet muda dan gak keriput. Bunda ‘kan suka marah-marah.”
Nyonya Halim melotot. Anak ini kenapa bebal sekali?
“Safa ...” tegur Tuan Halim lembut.
Dava berusaha menahan tawa. Ia tak mau nasi dalam mulutnya menyembur begitu saja. Bisa-bisa dia yang malah diteriaki Nyonya Halim.
“Gak usah rewel kamu. Malu. Udah besar juga,” tukas sang nyonya merasa kesal.
Safa mendelik “Suka-suka Safa,” ketusnya.
Nyonya Halim melotot tak percaya. Anak siapa, sih, ini sebenarnya? Ingin sekali ia jadikan buntelan lalu dilempar ke sungai.
“Sudah, sudah … Kalian ini kenapa gak pernah akur?” ujar Tuan Halim menggeleng.
“Makanya, kamu jangan manjain dia terus, dong. Ngelunjak ‘kan jadinya.”
“Dan kamu Safa, jangan teriak-teriak terus. Malu ada tetangga baru, tau!”
Dava mengernyit “Tetangga baru?”
Tuan Halim juga menatap istrinya penasaran.
“Iya, tetangga baru sebelah rumah. Baru pindahan tadi siang. Dan dia lebih ganteng dari pacar-pacar kamu yang gak ada wujudnya.”
Safa mendengus. Bodo amat. Mau ganteng, kek. Genteng, kek. Safa gak peduli. Lagian siapa yang teriak-teriak? Bukannya sejak tadi Nyonya Halim yang terus nyerocos?
***
Keesokan harinya.
“Safa ...!”
“Apasih, Bunda. Katanya jangan teriak-teriak.”
Safa menuruni tangga dengan wajah merengut. Nyonya Halim menarik tangannya ke arah dapur.
“Sini. Bantuin Bunda masukin ini ke rantang.”
Safa mengernyit “Bekal Ayah ketinggalan?”
“Enggak. Ini buat tetangga baru kita.” Nyonya Halim terlihat fokus menata makanan.
Sedangkan Safa menatap Bundanya curiga. “Jangan bilang Bunda mau selingkuhin Ayah?”
Plak!
Safa meringis mengelus bahunya. Bibirnya mencebik mendapati pelototan terseram di muka bumi. Siapa lagi kalau bukan Nyonya Halim yang terhormat.
“Sembarangan kamu. Ini buat menjalin tali silaturahmi,” sergah Nyonya Halim.
“Udah. Pokoknya kamu bantuin terus anterin ini ke rumah sebelah,” titahnya tak terelakkan.
“Kok Safa sih yang nganterin?” tuntut Safa tak terima.
Nyonya Halim menatap putrinya datar. Kapan, sih, anaknya gak bikin emosi?
“Kamu gak liat Bunda belum mandi? Lagian kamu di rumah juga gak ada kerjaan. Apa salahnya, sih, bantu orang tua sebentar aja. Jadi anak gak ada manis-manisnya sama sekali.”
“Emangnya Le Minerale ada manis-manisnya ...” sungut Safa pelan.
“Ini anak ngebantah terus, ya. Anak siapa, sih, kamu?”
“Safa ... anak Ayah Bunda ....” cibir Safa sambil lalu, Safa mengambil gelas di rak yang berada di samping galon.
Nyonya Halim mengikuti dengan tatapan prihatin. Bocah buntelan ini benar-benar minta dihanyutkan. Kelakuannya selalu bikin elus dada.
“Ahh ... segarnya. Lebih segar lagi kalo ada Oppa Hyun Bin yang nemenin ...” ujarnya ngawur.
Mas, ini benih kamu kenapa begini wujudnya, sih?
Nyonya Halim rasanya ingin menangis. Ia takut putrinya lama-lama akan berhalusinasi.
“Safa, udah minumnya, ‘kan? Cepet ini masukin semua!”
Nyonya Halim memasukkan berbagai lauk buatannya. Safa mencebik. Dia saja belum makan, tapi Bundanya sudah mau ngasih orang. Harusnya Nyonya Halim mendahulukan putrinya. Ini malah tetangga baru yang wujudnya saja belum Safa tahu.
“Perlu Bunda ingetin, kamu jangan nyanyi-nyanyi. Suara kamu cempreng. Gak kayak Dinda Haw.”
“Kok, Dinda Haw, sih? Bukannya yang penyanyi itu Lesti?”
“Kan yang barusan kamu pelesetin itu yang viral dari Dinda sama Rey. Gimana sih kamu?”
Eh, buset. Se-update apa sih emak-emak satu ini?
“Heh! Malah diem. Bantuin!”
Safa kembali mencebik. Mau tak mau tangannya terulur membantu sang bunda memasukkan makanan.
Biarlah cacing-cacing dalam perutnya menunggu beberapa saat. Nyonya Halim gak tahu saja, suara yang dia bilang cempreng pernah masuk paduan suara saat upacara di sekolah dulu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!