"Pokoknya kamu harus nikah sama si Bidin itu!"
bentak Mang Ibing pada Yati, anak gadisnya yang masih berusia lima belas tahun.
"Lagian si Bidin itu duda yang baik kok, kamu bisa di didik sama dia, di didik agamanya, biar kamu tau agama, bisa baca qur'an, rajin sembahyang, si Bidin itu guru ngaji, bapak juga suka kok sama dia, dia itu laki-laki sholeh, pokoknya kamu harus mau Yati!" Celoteh Mang Ibing pada Yati, sementara Yati yang duduk di pojokan sambil melihat kedua kakinya menangis sesegukan, karena dia tidak mau menurut kehendak ayahnya.
"Bener kan Bu yang Bapak bilang, Bikin itu bisa jadi suami buat Yati, bapaknyakin, Bidin bisa membimbingmu Yat!" sahut Mang Ibing, matanya memandang Yati yang masih menangis dipojokan.
Lalu Ratmi pun berdiri dari tempat duduknya, dia lalu mendekati Yati dan berusaha membujuknya.
"Kamu harus mau Yati! Bapakmu sangat mengenal Bidin, dia itu baik, daripada kamu main terus seharian sama temen-temen kamu yang gak jelas, jalan sana, jalan sini, ibu gak mau kamu malah kenapa-napa nantinya, mending kamu nikah aja sama Bidin. Lagian Bidin itu gak jelek kok, di kampung ini banyak gadis dan janda berebut minta di nikahi ama dia, dan dia maunya sama kamu!"
Yati mendengar celotehan ibunya semangis menangis sesegukan, dia tidak mengangka jika ibunya mendukung perjodohan ini.
Karena merasa pusing mendengar ocehan kedua orang tuanya, akhirnya Yati beranjak masuk ke dalam kamarnya, dan menutup pintu kamar, bahkan dia menguncinya dari dalam.
Yati naik ke tempat tidurnya dan melanjutkan menangisnya. Dia menutup wajahnya dengan bantal.
Di usianya yang masih belia, jiwanya masih ingin bermain bersama teman-temannya, dan mereka pun memiliki pacar, sedangkan Yati tidak. Yati tidak memiliki pacar, karena dia belum berani dengan laki-laki.
Memang di mata Yati, Bidin itu pria yang tampan. Tapi untuk menjadi istrinya, Yati tidak sampai terpikir ke arah sana. Apa lagi Bidin itu meiliki dua orang anak yang masih kecil-kecil, Yati berpikir, jika dia menjadi istri Bidin, setiap harinya dia akan menjaga dan mengasuh anak-anak Bidin, dia tidak akan bisa bermain lagi.
Akhirnya Yati kembali menangis.
Di luar kamar, tepatnya di ruang makan, Mang Ibing dan Ratmi masih membicarakan tentang Yati.
"Pusing saya ku mikirin Yati! Di suruh sekolah gak mau, ngaji gak mau, maunya main sana main sini, masa masa mudanya si bunakan cuma buat main! Kamu seharusnya bisa lebih kddas lagi sama Yati Bu!" Maki Mang Ibing pada Ratmi, istrinya.
"Loh, kok Bapak jadi nyalahin saya! Saya udah berusaha mendidik Yati dengan baik, bahkan waktu dia gak mau daftar sekolah, Ibu sampe membujuk dia, bahkan ibu sampe marah sama dia, apa ibu masih kurang ngajarnya? Harusnya Bapak ngaca dong, sifat malas belajar nurunin siapa? Ibu mah dulu rajin belajar Pak! Sekolah walau cuman lulusan SMP, nilai ibu bagus-bagus, mangkanya pas anak-anak dulu masih kecil, siapa yang dampingin mereka belajar? Apa Bapak pernah tuh liatin pelajaran anak-anak? Boro-boro! Asep ama Usep, Bapak bisa liat, mereka giat belajar!" Protes Ratmi pada Mang Ibing, suaminya. Suara Ratmi pun di dengar oleh Acep, anak pertama mereka.
Mata Mang Ibing melihat ke arah Ratmi yang masih bicara, dia tidak menyangka jika sikap istrinya bisa zemarah itu padanya, bahkan Mang Ibing melihat istrinya saat bicara, begitu antusias, hingga Mang Ibing bisa melihat urat yang nampak di leher Ratmi.
"Udahlah Bu, diam, emang gak cape ngoceh terus gak pake napas? Liat ruh urat ibu di leher keliatan ketarik, Bapak liatnya takut putus," sahut Mang Ibing.
Saat mendengar suara ayah dan ibunya berbincang-bincang, walau sedikit tinggi nada suaranya, hal itu sudah seperti makanan sehari-hari bagi Acep. Dia pun ikut bergabung dengan kedua orang tuanya yang masih adu otot.
Acep duduk di antara mereka, sambil membuka toples kerupuk yang berada di meja makan, tanpa memberi komentar apa-apa. Sengaja Acep diam saja, dia tidak mau memihak. Saat itu Acep telah berusia 18 tahun, usia kukus sekolah, ya, dia se bentar lagi lulus dari sekolahnya.
Acep sekolah saat ini duduk di kelas tiga SMA dan ze bentar lagi lulus.
Tiba-tiba mata Ratmi tertuju pada Acep, Ratmi pun segera bicara kembali,
"Liat Acep Pak, dia sebentar lagi lulus, dan dia giat dalam belajar. Dia tanggung jawab dengan pelajarannya, dia pun mau ngaji sepulang sekolah, padahal cape loh Pak! Begitu juga dengan Usep! Lah Yati anak perempuan satu-satunya malasnya minta ampun! Kita intropeksi diri aja lah Pak, dia itu nurunin sifat malas belajarnya dari siapa!"
"Aduuuuuh, udahlah Bu, kenapa jadi nyalahin aku terus! Iya, Bapak akui, Bapak malas kalo soal belajar, tapi bapak kan rajin buat nyari duit!" Mang Ibing pun membela diri.
Ratmi pun tidak mau kalah, dia kembali mencecar suaminya dengan kalimat yang sebenarnya pantas di dengar, tapi karena penyampaiannya dengan emosi, jadi rasanya tidak enak di dengar,
"Eh Pak, bener sih bapak tuh rajin buat nyari duit. Tapi nyari duit juga harus punya ilmunya Pak! Mangkanya bapak cuman jadi kacung terus di perkebunan Pak Toha. Coba bapak ada pendidikannya, ibu yakin bapak bisa masuk ke kantornya, biasa naik jabatan. Lah ini anak-anak dari kecil ampe udah pada bangkotan, bapaknya masih aja jadi kacung Pak Toha!"
Mendengar celotehan sang ibu, Acep malah tertawa sambil memakan krupuknya.
Tidka lama kemudian dia bangkit dan beranjak dari sana menuju kamar Yati. Acep mengetuk pintu, laku dia mencoba mengulanginya lagi, sambil memanggilnya nama adiknya, "Yat, buka Yat! Ini aku, Acep!"
Mendengar suara abangnya, Yati segera bangkit dari tidurannya dan membuka pintu.
Yati melihat Acep tengah berdiri di depan pintu.
Mata Yati kemudian melihat ruangan yang amaih di huni oleh kedua orang tuanya, lalu diamoun segera berkata pada Acep, "Mau masuk, atau mau berdiri di situ? Yati mau tutup pintunya?"
Lalu tanpa menjawab, Acep segera masuk ke dalam kamar adiknya dan duduk di kursi kecil yang ada di kamar itu. Sementara Yati segera msnutup kembali pintu kamarnya dan kembali menguncinya.
Lalu dia membalikkan tubuhnya dan kemabli duduk di atas tempat tidur.
Acep memandangi Yati dengan penuh selidik. Sedangkan Yati menundukkan kepalanya, tetapi matanya melirik ke atas tertuju pada Acep yang duduk si kursi yang berada tepat di seberangnya.
"Kamu kenapa gak mau kawin ama Mang Bidin?" tanya Acep.
Yati menggelengkan kepalanya tanpa menjawab pertanyaan kakaknya. Lalu Acep pun kembali bertanya,
"Apa kamu udah punya pacar?"
Mendengar pertanyaan kakaknya, Yati segera mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Acep dengan lekat.
"Ih, di tanya malah ngeliatin pisan, kamu udah punya pacar? Jawab atuh pertanyaan Aa'! Jangan malah ngeliatin sambil mewek!"
tanya Acep dengan logat sundanya. Tetapi Yati menggeleng, dia menggelengkan kepalanya memang dia tidak memiliki pacar.
"Kalo kamu gak punya pacar, kenapa gak mau ama Mang Bidin? Mang Bidin iru ganteng pisan Yat! Banyak cewek-cewek yang naksir dia, orangnya sholeh pula, nanti kamu enak belajar sama dia, lagian bukannya kamu memang suka sama Mang Bidin?" tanya Acep.
Mendengar pertanyaan kakaknya, Yati terdiam.
Memang, di suatu hari, ketika Yati dan Acep kendak pergi ke sawah membawakan makanan untuk bapaknya, mereka berpapasan dengan Bidin, alias kang Bidin atau Mang Bidin, tergantung siapa yang memanggilnya. Saat itulah Yati mengatakan perasaannya terhadap Bidin pada Acep, kakaknya, saat itu mereka mengendarai sepeda, Acep yang membonceng Yati.
"A' ada Mang Bidin, Yati malu," sahut Yati.
"Malu kenapa? Kamu malu ke sawah?" tanya Acep. Yati pun tertawa sambil menutup mulutnya dengan telapak tangannya.
Mereka pun berpapasan dengan Bidin, dia hendak pergi mengajar. Melihat adanya Acep dan Yati, Bidin pun menyapa mereka, "Assalamu'alaikum, Acep, Yati, kalian mau ke mana?"
Di sapa oleh Bidin, Acep oun menghentikan laju sepedanya. Lalu bersalaman dengan Bidin. Tetapi ketika Yati hendak menyalaminya juga, Bidin menolaknya. Dia pun berkata,
"Maaf Yati, Aa' sudah ada wudhu." Lalu Yati tertunduk malu.
Mendengar perkataan Bidin, Acep noun bertanya, "Emang kenapa Mang kalo udah ada wudhu? Apa salaman ama Yati bikin wudhu Mang Bidin batal?"
Bidin tersenyum dan mengangguk mendengar pertanyaan Acep. Lalu Jisin sedikit menjelaskan, "Yati itu sudah dewasa, maka bisa bikin wudhu Aa' batal. Nah nanti di pelajaran malam jum'at kita bahas ya."
Acep mengangguk. Lalu Bidin bertanya pada Acep dan Yati, "Kalian mau ke mana?"
Acep yang masih duduk di sepedanya mendorong siku tangannya ke aha Yati, agar dia yang menjawab pertanyaan Bidin. Bukannya menjawab, malah Yati menundukkan kepalanya.
Acep pun menoleh kebelakang, dan melihat adiknya menundukkan kepalanya. "Ih Yati, bukannya ngejawab malah nunduk aja," sahut Acep.
Lalu Acep segera menjawab pertanyaan Bidin, "Ini A' mau bawain makanan buat bapak."
"Oh, ya sudah, cepet sana bawain bapak, kasian pasti bapak udah nungguin," perintah Bidin.
Acep pun mengangguk. Lalu mata Bidin ke arah Yati, dan dia berkata,
"Malam jumat ikut Acep ya Yat ke rumah, banyak juga kok teman-teman kamu yang datang, kita bisa belajar bareng di sana."
Yati tidak menjawab, dia hanya menundukkan kepalanya.
Lalu Acep pun meminta izin untuk melanjutkan perjalanannya. "A' kami pergi dulu, kasian bapak nunggu," sahut Acep. Bidin pun mengangguk. Tidak lupa Acep pun mengucapkan salam pada Bidin. "Assalamu'alaikum, A'."
"Wa alaikum salam," sahut Bidin.
Acep pun kembali mengayuh pedal sepedanya. Tidak lama kemudian, hanya beberapa meter berlalu, Yati menoleh kebelakang, dia melihat Bidin yang mulai melangkah jauh.
Saat Yati menoleh kebelakang, Acep merasa ada pergerakan saat mengendarai sepedanya. Lalu Acep bertanya pada Yati, "Kamu nengoknke belakang Yat?"
Yati pun menjawab, "Iya, kenapa? Aa' kok tau Yati nengok ke belakang?"
Lalu kemudian Acep pun menjawab,
"Ih berat tau!" Acep masih terus mengayuh sepedanya.
Lalu Acep kembali bertanya pada Yati,
"Kamu suka ya ama Mang Bidin, Yat?"
Seketika saja Yati mencubit pinggang kakaknya.
Saat Acep mengingatkan kembali kejadian saat siang itu, Yati hanya menundukkan kepalanya, dia masih duduk di tepi tempat tidurnya.
"Lalu kenapa kamu gak mau di nikahi sama mang Bidin? Pacar gak punya, dan kamu juga sukakan sama dia? Tau gak Yat, kalo kamu mau di nikahi dia, kamu tuh pemegang muri di kampung ini. Banyak loh cewek-cewek yang suka ama dia, udah ganteng, pinter, sholeh, trus apaan lagi yang kamu cari?", celoteh Acep.
Lalu Acep. Masih meneruskan celoteh annya, "Gadis kampung kaya kamu yang males sekolah, trus mau ngapain lagi? Masa kerjaannya main mulu! Daripada bapak ama ibu jadi gunjingan orang zekamoubg, mending kamu nikah aja, itu lebih baik, mumpung ada yang mau ama kamu. Lagian yang mau ama kamu itu mang Bidin, orang yang baik, kenapa kamu gak mau? Menurut Aa' mah kamu aneh! Aa' yakin banyak temen-temen kamu yang suka juga ama dia."
Yati merenungi perkataan kakaknya. Memang benar apa kata Acep. Semua temen mainnya suka dengan Bidin. Malah banyak temen-temen Yati yang cari perhatian padanya, pada bawain makanan lah, ikut pengajian di rumahnya lah, pokoknya ada aja deh yang di lakukan temen-temen nya Yati buat memikat hati Bidin.
Sedangkan Bidin menaruh hati pada Yati.
Suatu hari, tiba-tiba Bidin datang berkunjung ke rumah Yati dan berbincang pada bapaknya, yaitu mang Ibing.
"Maaf Pak, kalau saya lancang membicarakan ini, sepertinya Yati sudah dewasa, saya berniat melamarnya. Jika bapak berkenan, saya akan datang lagi mengajak kedua orang tua saya. Dua tahun menduda saya rasa sudah cukup saya hidup sendiri, sejak istri saya meninggal dunia." Mang Ibing mengangguk-anghukkan kepalanya. Lalu mang Ibing meminta waktu pada Bidin untuk membicarakannya pada istrinya dan Yati.
"Maaf atuh Mang Bidin, soal ini saya harus bicarakan dulu pada istri saya, dan juga Yati, yang akan menjalaninini semua, apakah Yati sudah siap atau belum," sahut mang Ibing.
Bidin pun mengangguk, kemudian dia berkata, "Jika Yati tidak mau, gak apa-apa pak, jangan di paksa. Lagian niat saya menikah kan buat ibadah, dan jika Yati menjalaninya secara terpaksa, saya juga gak mau."
"Baiklah, nanti saya bicarakan dulu," sahut mang Ibing.
Lalu Bidin kembali berkata,
"Jika Yati menolak, gak apa-apa pak, katakan saja pada saya, saya siap mendengarnya."
Sejak kedatangan Bidin waktu itu, mang Ibing dam istrinya mendesak Yati, agar menerima lamaran dari Bidin.
Tiba-tiba Yati mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Acep, kemudian dia mulai berkata,
"Bukannya Yati gak suka sama dia Yati suka sama mang Bidin, walau pun dia udah tua. Mang Bidin tuh ganteng, sholeh lagi. Tapi bukan berarti Yati mau jadi istrinya!"
Mendengar ucapan Yati, Acep oun gisak tinggal diam, dia pun kembali mencecar Yati dengan berbagai pertanyaan,
"Trus apa alasan kamu gak mau nikah sama dia? Kamu suka, trus dia, oun suka sama kamu, trus alasannya apa kamu gak mau nikah sama dia? Nikah itu enak loh Yat, apa lagi mang Bidin itu banyak yang suka ama dia. Malahan banyak loh ibu-ibu di sini yang kepengen anaknya di nikahi mang Bidin, eh nih kamu malah gak mau! Menurutku kamu itu aneh!"
Saat itu masih sangat pagi, tetapi orang-orang sudah sibuk dengan suatu acara di rumah Yati.
Ya, acara itu adalah acara pernikahan Yati dengan si suda Bidin yang beranak dua.
Saat itu Yati tengah di rias oleh salah satu tata rias yang terkenal di kampungnya. Tetapi air mata Yati masih data keluar, hingga sang pengrias pun kewalahan, karena air mata Yati merusak tatanan riasan nya.
"Aduh Neng, sampai kapan begini, Teteh harus ngelapin air mata kamu! Udah atuh Neng nangisnya, ini kan hari bahagia Eneng, senyum atuh!" kata si penata rias.
"Kalo Yati bisa kabur, Yati mauan kabur Teh!" sahut Yati.
Kata-kata Yati mengagetkan si penata rias.
"Aduh, jangan Neng! Kasian sama mang Bidin, entar kalo saya gantiin gimana, emang Neng mau? Teteh sih mau-mau aja, lah kang Bidin ganteng pisan! Tapi masalahnya, mang Bidin nya buang gak mau sama Teteh," kata si penata rias, sambil merias wajah Yati.
Yati berusaha untuk tidak menangis lagi. Dan dia pun berhasil. Kininaif matanya sudah tidak keluar lagi.
Yati harus bisa menghentikan tangisannya, karena jika tidak, riasan nya ajangn rusak, dan itu memakan biaya.
Yati pun memikirkan usaha bapak dan ibunya, mereka hanya kerja sebagai kuli di kebun orang, dan mereka juga sudah menyisihkan uang mereka untuk membuat pesta.
Sebenarnya Bidin pun sudah memberikan uang untuk pesta, tapi bapak dan ibu Yati ingin membuat pesta besar-besaran, maka mereka pun akhirnya harus menambahkan uang yang di berikan Bidin dari hasil kerja mereka di kebun orang.
Riasan Yati telah selesai. Yati masih di kamar. Sementara anggota keluarga lainnya tengah sibuk mempersiapkan akad nikah antara Yati dan Bidin.
Para tamu mulai berdatangan, mereka duduk dengan rapi. Keluarga pun tengah menunggu kedatangan pihak Bidin.
Sudah tiga puluh menit berlalu, pihak Bidin belum juga tiba. Keluarga mulai gelisah, dan kasak kusuk di antara tamu terdengar seperti suara terbang nyamuk. Tetapi Yati malah berharap Bidin tidak akan datang. Yati terlihat lebih tenang dari keluarganya yang lain.
Yati masih di kamar, tapi tiba-tiba terdengar suara petasan sebagai tanda bahwa calon mempelai pria telah tiba.
Wajah Yati kini berubah, seperti selembar kertas yang di lipat, bahkan wajah Yati terlihat di tekuk.
Kini Yati pun hanya pasrah menerima nasib menjadi istri Bidin.
Tidak terbayangkan oleh Yati, dia akan memiliki anak dua.
Acara akad nikah pun di mulai. Sesuai adat, keberadaan Yati masih tetap di kamar pada saat akad berlangsung.
Penghulu, para saksi, dan mang Ibing sudah berhadapan dengan Bidin. Lalu kemudian suara musik di hentikan. Akad nikah pun di mulai.
"Saya Terima nikahnya kawinnya Yati Hartati bin Ibing dengan mas kawin lima gram emas si bayar tunai," kata Bidin. Suaranya begitu lantang terdengar di pengeras suara, bahkan suara Bidin yang lantang itu terdengar pula sampai ke kamar, di mana Yati si sembunyikan sementara.
Tanpa terasa, air mata Yati pun jatuh dan membasahi ke dua pipinya.
Perasaan Yati saat itu bercampuk aduk, tetapi malah tiba-tiba rasa bahagia muncul seketika.
Yati berjalan ke arah cermin, dia memandang dirinya lalu dia tersenyum.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar, Yati pun membukakannya. Ternyata Ratmi yang mengetuk nya.
Ratmi segera masuk ke dalam kamar dan duduk di sisi tempat tidur.
"Bagaimana Yat perasaanmu? Apa hatimu masih kesal?" tanya Ratmi.
Yati tersenyum dan menoleh ke arah ibunya, lalu Yati menggeleng.
Ratmi pun tersenyum dan memeluk Yati. "Ibu yakin, kamu akan bahagia hidup bersama Bidin, jadilah istri yang baik Yat, bukan cuman jadi istri yang baik, tetapi juga jadi ibu yang baik. Anggaplah anak-anak Bidin adalah adik-adikmu, agar kamu tidak merasa beban saat mereka berada di dekatmu. Ingat pesan ibu, jangan pernah membantah perkataan suami," sahut Ratmi.
Yati oun menundukkan kepalanya sambil menganngguk.
Lalu terdengar suara pintu di ketuk dari. Luar. Ratmi pun bangkit dari duduknya, kemudian dia beranjak hendak membuka pintu kamar.
"Sebelum dia membukanya, Ratmi berkata lagi pada Yati, " Ini pasti Bidin, dia akan menjemputmu untuk duduk di pelaminan, Yat."
Ratmibpun membuka pintu kamar dan Yato segera menundukkan kepalanya, karena detak jantungnya mulai tak menentu.
Benar saja, ketika Ratmi membuka pintu kamar, Bidin tengah berdiri di depan kamar dengan senyuman yang lebar. Lalu dia bertanya pada Ratmi,
"Boleh aku jemput Yati sekarang Bu?" Ratmi pun mengangguk, dia hendak menggeser posisi berdirinya.
Tak lupa Bidin pun menyalami ibu mertuanya.
Setelah menyalami dan mencium punggung tangan Ratmi, Bidin masuk ke dalam kamar dan berjalan mendekati Yati yang sedang duduk di sisi tempat tidur sambil menunduk.
Bidin berdiri tepat di hadapan Yati. Bidin mengangkat dagu Yati, lalu kemudian Yati pandangan merek pun bertemu.
Lalu Yati meraih tangan kanan Bidin dan mencium punggung tangan Bidin. Saat itu Yati masih duduk di sisi tempat tidur. Lalu Bidin mencium kening Yati.
Melihat pemandangan indah itu, Ratmi pun sampai meneteskan air mata, dia begitu terharu melihat Yati, bahkan sikap Yati di luar dugaan Ratmi. Begitu sangat menghormati Bidin, senyumnya mulai mengembang.
Lalu Bidin meraih tangan Yati danenatik pelan, agar Yati berdiri.
Yati pun berdiri, lalu Bidin menggandeng tangan Yati dan mengajaknya keluar dari kamar menuju pelaminan.
Sebelum sampai ke pelaminan, Bidin mengajak Yati untuk menemui mang Ibing, kemudian menemui ibu bapak Bidin.
Mang Ibing berbisik ke telinga Yati,
"Selamat ya anak Bapak, jadilah istri yang baik."
Yati pun tersenyum dan mengangguk. Tidak terasa, mang Ibing pun meneteskan air matanya. Lalu Yati menyalami juga kedua orang tua Bidin. Saat itulah pertama kali Yati bertemu dengan orang tua Bidin, karena mereka tidak tinggal satu rumah dengan Bidin, mereka tinggal di kampung sebelah.
Setelah itu Bidin mengajak Yati untuk duduk di pelaminan, sambil menarik tangan Yati.
"Kita duduk di sana yuk?" ajak Bidin. Yati pun mengangguk mengikuti langkah Bidin, sedangkan tangan Bidin masih menggenggam tangan Yati.
Mereka pun duduk di pelaminan. Yati masih saja menundukkan kepalanya, dia sangat merasa malu. Bagaimana tidak, dalam hatinya Yati berkata, "Ya ampun mang Bidin ganteng banget, kenapa hati ini sangat bahagia melihat senyum manisnya."
Di pelaminan pun Bidin masih terus memegang tangan Yati, hingga Yati merasa gerah, dan tangannya mulai berkeringat.
Akhirnya Yati memberanikan diri, untuk melepaskan genggaman tangan Bidin. Yati pun berkata, "Mang, lepas dulu ya, tangan Yati gerah."
Bidin menoleh, tatapan mata mereka pun beradu, sambil Bidin melepaskan genggaman tangannya dari tangan Yati.
Tiba-tiba saja jantung Yati berdegup kencang, dia tidak menyangka jika tatapan matanya beradu dengan Bidin. Tapi anehnya, ada perasaan lain di hati Yati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!