NovelToon NovelToon

PENJARA HATI SANG CEO

mengikhlaskan

Di sebuah rumah megah dan mewah, seorang pria muda yang memiliki tinggi 185 cm berbadan atletis itu sedang duduk di sisi tempat tidur sambil memegang selembar foto yang tidak berbingkai. Raut wajahnya begitu sedih, saat bayang-bayang masa lalu itu kembali terbesit, silih berganti seperti kumpulan film yang di putar di kepalanya. Semakin dia berusaha untuk melupakannya, justru bayangan itu semakin jelas seakan mengajaknya kembali ke masa lalu.

Dia mengusap wajahnya dengan kasar saat cairan bening itu meleleh dan membasahi pipinya. Dia tidak ingin di pandang lemah oleh orang lain, biarlah rasa sakit itu dia sendiri yang merasakan.

"Daren." Seorang wanita berusia 26 tahunan tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya membuat Daren menoleh karena kedatangannya yang tiba-tiba. Wanita yang ternyata tantenya itu tersenyum sambil melangkah berjalan mendekati pria yang biasa di sapa Daren itu, atau lebih tepatnya Garendra Daren Alexander, putra bungsu dari keluarga Brata Kharisma Alexander.

Dengan gerakan cepat Daren langsung menyembunyikan foto itu di bawah bantal lalu membalas senyum tantenya yang membuatnya terlihat begitu tampan.

"Kenapa?" tanya wanita yang memiliki nama lengkap Aura Suci Prasetyani Alexander itu seakan tahu apa yang sedang keponakannya rasakan.

Daren mengerjapkan matanya beberapa kali lalu kembali memberikan senyuman yang lebih manis dari sebelumnya.

"tidak apa-apa." jawab Daren menyakinkan.

"ada apa tante kesini?" tanya Daren kemudian.

Aura menatap iris mata keponakannya, dia mendengkus saat melihat sorot mata itu terlihat sendu.

"kamu sangat payah dalam urusan berbohong." katanya dalam hati.

"segera bersiap-siap, 20 menit lagi kita berangkat." ucap Aura sambil menepuk pelan pundak kanan ponakannya. Daren mengangguk tanda mengiyakan perintah dari tantenya itu.

Kini mereka telah sampai di tempat yang di tuju, kediaman keluarga Desquita.

Daren menoleh ke arah tantenya yang terlihat gelisah. Di tepuklah punggung tangan tantenya sambil memberikan senyuman manisnya.

"Semua akan baik-baik saja." ucapnya menyakinkan.

"Dafi, Daren, ayo!" panggil Aura yang sudah terlebih dulu turun dari mobil bersama Maminya.

Pria bernama Dafi atau lebih tepatnya Dafi Putra Pratama Alexander itu menoleh ke arah tantenya yang usianya hanya terpaut dua tahun saja dengannya, lalu mengangguk dan melepaskan sabuk pengamannya serta turun dari mobil mengikuti Aura dan Maminya.

Setelah Dafi kakaknya turun, Daren menatap rumah besar itu sambil menghela napas panjang dan sedetik kemudian mulai melepaskan sabuk pengamannya dan ikut turun menyusul keluarganya.

Maminya sedang memegang erat tangan Dafi sedangkan Aura sedang menatap kagum rumah besar bergaya Eropa modern itu.

"Ketuk pintunya, Aura." perintah kakaknya pada Aura.

Setelah pintu besar dan mewah itu di ketuk, tidak perlu waktu lama untuk menunggu pemilik rumah keluar. Mereka langsung di sambut hangat keluarga Desquita.

Maminya, Aura dan Dafi sudah masuk bersama pemilik rumah besar dan megah itu, sedangkan pria itu masih saja berdiri mematung menatap pintu utama yang masih terbuka lebar.

Aura kembali lagi ketika melihat keponakannya itu malah berdiri mematung di luar sana.

"Hei! kenapa melamun?" tanya Aura menyadarkan Daren dari pikirannya yang berkelana.

Daren mengerjapkan matanya beberapa kali dan lagi-lagi hanya memberikan senyuman sambil menarik tangan tantenya untuk masuk ke dalam.

"tunggu." Aura menahannya dan menarik Daren agar dia bisa melihat kejujuran di mata keponakannya itu.

"apa ada yang tante tidak tahu?" tanya Aura kembali, meski dia sangat yakin keponakannya akan kembali berbohong seperti biasanya.

Dan ya, tepat apa yang dipikirkan Aura keponakannya kembali mengatakan tidak ada masalah apa-apa, tapi tetap saja meski begitu matanya tidak dapat berbohong.

Wanita itu hanya tersenyum tipis sambil merapikan jas keponakannya dan juga rambut yang sebenarnya sudah rapi itu. Daren sedikit mendengkus saat tantenya memperlakukannya seperti anak kecil padahal usianya kini sudah menginjak 22 tahun.

"tante, berhenti melakukan itu." protes Daren sambil mengerucutkan bibir membuat Aura semakin ingin mencubit kedua pipinya karena gemas.

walaupun orang lain menilai Daren pria dewasa pekerja keras, dingin dan tegas, tetapi dalam kacamata Aura dia tetaplah keponakan yang menggemaskan. Sikap Daren ketika bersama dengan orang lain berbeda saat bersamanya.

Saat bersamanya sifatnya hangat dan menyenangkan atau bisa dikatakan sedikit manja. Hanya saja beban yang keponakannya pikul selama ini yang membuatnya terlihat berbeda.

Aura ingin sekali membantunya, tapi bagaimana lagi dia pun tidak bisa berbuat apa-apa. Aura hanya bisa mendoakan agar keponakannya selalu bahagia.

"kalian dari mana saja?" tanya Zora berbisik.

"maaf, Mi." ucap Daren menundukkan kepalanya.

Zora hanya melirik putra bungsunya itu sekilas lalu kembali menatap dua orang dewasa di depannya untuk mengutarakan maksud tujuan kedatangan mereka ke kediaman keluarga Desquita.

Wanita bernama Paquita itu tersenyum saat mengetahui maksud kedatangan keluarga Alexander adalah untuk melamar putri satu-satunya mereka. Namun, senyuman itu memudar bersamaan ketika Zora mengatakan bahwa dia akan melamar putri mereka untuk putra pertamanya bukan si bungsu.

Sebenarnya tidak masalah siapapun yang akan menjadi calon suami putrinya, hanya saja mereka sedikit terkejut mengingat sang putri lebih dekat dengan Daren di banding dengan Dafi.

"bagaimana Linsay, apa kamu menerimanya?" tanya Paquita pada putrinya dengan lembut. Bagaimanapun keputusan tetap ada pada wanita itu. Wanita bernama Linsay Nuridayanti Desquita itu hanya menganggukkan kepalanya pelan lalu kembali menatap ke bawah.

Semua orang yang berada di sana tersenyum bahagia, terlebih Dafi. Daren dapat melihat dengan jelas raut kebahagiaan yang terpancar di wajah kakaknya.

"Selamat, Kak." ucap Daren berbisik sambil memberikan senyuman tulusnya.

"terima kasih, Linsay. Secepatnya kita akan membicarakan tanggal pernikahan Linsay dan Dafi. bagaimana Mba Paquita dan Mas Robert setuju, kan?" tanya Zora.

"Ya, kami setuju, Mbak. Lebih cepat, lebih baik." jawab Paquita di ikuti anggukan dari suaminya.

Setelah lamaran di terima, keluarga Alexander kembali ke kediamannya. Bahkan si bungsu sudah siap dengan tas kantornya. Aura hanya bisa Menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Daren yang sudah siap berangkat kerja.

"Bisakah sehari saja tidak bekerja?" tanya Aura. Bukan apa-apa dia hanya peduli pada kesehatan keponakannya.

Baru tadi pagi keponakannya itu pulang dari Inggris untuk menandatangani kontrak dengan perusahaan yang ingin bekerjasama dengan perusahaannya. apa dia tidak merasa lelah? sesehat apapun tubuh manusia, tetap saja ada batasnya bukan?

"masih banyak berkas yang harus di periksa dan di tanda tangani." balas Daren tanpa menatap tantenya karena kedua mata dan jarinya fokus dengan ponsel yang dari tadi terus berbunyi.

"CEO super sibuk." cibir Aura mengerucutkan bibirnya.

"aku berangkat." pamit Daren tanpa mempedulikan protes dari tantenya. langkahnya begitu tergesa-gesa seperti ada sesuatu yang terjadi di kantor.

Aura hanya menatap punggung keponakannya yang semakin jauh. Dia hanya bisa menghela napasnya saat melihat keponakannya itu bekerja tanpa mengenal lelah. Bahkan terkadang dia sering bertanya-tanya apa keponakannya itu benar-benar seorang manusia atau bukan?

Konyol! namun, dia benar-benar tidak mengerti. Krisna suaminya juga seorang CEO di perusahaannya, tapi dia tidak sesibuk keponakannya. Dia masih memiliki waktu bersama keluarga, pulang tidak larut malam, bahkan di akhir pekan selalu mengajaknya liburan meski

hanya berjalan-jalan di taman atau sekedar melakukan olahraga.

hukuman untuk Jaira

"Jaira." panggil Wilson berteriak. Dari nada suaranya sepertinya pria itu sedang emosi.

Merasa namanya di panggil, wanita yang memiliki nama lengkap Lavina Auliani Jaira Putri Tabitha itu langsung menghampiri Papinya. Dia tidak ingin Papinya semakin marah jika dia tidak segera datang menemuinya.

"Papi." panggil Jaira takut-takut.

"duduk!" perintah Papinya mencoba menahan emosinya.

Jaira langsung menjatuhkan bokongnya ke kursi yang ada di belakangnya, dia semakin menggigit bibir bawahnya saat melihat tatapan Papinya yang begitu tajam seperti seekor singa yang siap menerkam mangsanya.

Wilson mengambil sesuatu dari laci kerjanya dan langsung dia lemparkan ke atas meja tepat di depan putrinya duduk.

mata wanita itu terbelalak lebar saat mengetahui benda yang baru saja di lempar Papinya.

Ya, sebuah tagihan kartu kreditnya.

bagaimana bisa tagihan kartu kredit itu ada pada Papi?

dengan susah payah dia menelan salivanya, semua pikiran-pikiran buruk mulai bermunculan di dalam kepalanya. Entahlah apa yang akan Papi lakukan sekarang pada dirinya. Jaira benar-benar tidak bisa mengelak, sekarang dia hanya pasrah dengan takdirnya.

"mana dompet kamu." tanya Wilson lebih tepatnya seperti meminta.

Jaira langsung mengerjapkan matanya.

"Dompet?" ulangnya, perasaannya benar-benar tidak enak.

"cepat!" perintah Papi dengan suara berat khas bapak-bapak.

Dia langsung mengeluarkan dompetnya dan di letakkan diatas meja yang ada di depannya.

"kunci mobil." ucap Papi meminta, dan lagi-lagi Jaira hanya bisa pasrah.

"sekarang bereskan pakaian kamu." ucap Wilson, dan itu berhasil membuat Jaira membulatkan matanya. Apa dia di usir?

"maksud Papi apa? kenapa aku harus membereskan pakaian?" tanya Jaira dengan suara bergetar menahan tangis.

"Sebelum kamu menghilangkan sifat boros kamu itu, kamu tidak boleh tinggal di sini dan juga di larang memakai fasilitas yang Papi berikan." ucap Wilson dengan tegas.

"Ma-maksud Papi? Papi usir aku?" tanya Jaira sudah menangis sambil memeluk Maminya yang baru saja datang karena tidak sengaja mendengar suara tinggi suaminya.

"Mami, tolong Jaira! Papi jahat, Mi. Papi sudah tidak sayang sama Jaira." ucap Jaira mengadu pada Maminya.

"maaf, Nak. ini semua demi kebaikan kamu juga." ucap Mami lagi sambil mengusap rambut kepala putrinya.

Jaira semakin kuat Menggelengkan kepalanya

dengan deraian air mata yang semakin banyak, terus meminta tolong pada Maminya untuk membujuk Papinya agar tidak mengusirnya.

"sudahlah, Nak. ayo Mami bantu membereskan pakaian kamu." ucap Sofia berhasil membuat Jaira kehilangan kata-katanya.

"Mami, apa Mami benar-benar tidak bisa membantu aku? Papi pasti luluh kalau Mami yang memintanya." rengek Jaira seperti anak kecil.

Wanita paruh baya itu hanya tersenyum sambil kembali mengelus puncak kepala putrinya.

"Papi melakukan ini karena dia sayang sama Jaira. Papi sama Mami tidak ingin kamu terus menghambur-hamburkan uang hanya untuk sesuatu yang tidak begitu penting." jelas Mami pada Jaira.

"tapi, Mi, apa salahnya aku bersenang-senang? aku yakin tagihan itu tidak akan membuat uang Papi habis. Lagi pula aku putri satu-satunya, kalau bukan aku yang pakai terus siapa?" protes Jaira lagi.

"Papi saja yang pelit." sambung Jaira.

Sofia menatap putrinya yang kini kembali menangis. Jujur saja hatinya sangat iba, tapi dia tidak boleh lemah. Dia harus tega melepaskan putrinya itu untuk hidup mandiri, karena Sofia yakin hanya dengan cara ini Jaira bisa berhenti dari sifat borosnya. Yang perlu dia lakukan sekarang hanyalah memberi sedikit pengertian padanya.

"Nak, dengarkan Mami! justru karena Mami dan Papi sayang pada kamu, kami melakukan ini, usia kamu bukan lagi usia remaja. Kamu sudah harus bisa mengatur keuangan kamu sendiri. memang sekarang ini Papi memiliki banyak uang, tapi bukan berarti uang itu tidak akan habis kan? roda kehidupan itu selalu berputar, Nak. lihatlah di luar sana anak seusia kamu sudah mulai bekerja untuk memenuhi keinginannya sendiri bahkan banyak yang bekerja sebagai tulang punggung keluarganya." jelas Sofia panjang lebar pada putrinya agar mengerti.

Jaira melihat Mami dengan tatapan sedihnya.

"jadi maksud Mami, Papi ingin aku bekerja?" tanya Jaira dan diangguki Sofia.

"Mami kan tahu aku tidak suka bekerja. ayolah Mi, aku mohon bujuk Papi." rengek Jaira lagi.

Sofia hanya bisa menggelengkan kepalanya, benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran putri tunggalnya itu. apa ucapannya dari tadi tidak di dengar atau bagaimana? kenapa putrinya selalu bertingkah sesuka hatinya?

"apa sudah selesai?" tanya Wilson mengecek istri dan putri manjanya itu.

"Papi." lirih Jaira, "maafin Jaira." ucap Jaira sambil sedikit merengek.

Tidak ingin terpengaruh dengan tatapan memohon putrinya, Wilson langsung berbalik arah dan meminta Jaira untuk segera turun dan ikut dengannya.

melihat respon Papinya, Jaira hanya bisa menghela napas pasrah.

"Papi, kita mau ke mana?" tanya Jaira di sepanjang perjalanan.

"Papi benar-benar akan membuang aku?" tanya Jaira.

"Papi jawab! kenapa Papi diam? Hiks..." Dan akhirnya Jaira menangis seperti anak kecil yang tidak dibelikan permen oleh orang tuanya.

Tiba-tiba mobil berhenti tepat di sebuah rumah yang terbilang kecil. mungkin rumah itu seukuran kamarnya, pikir Jaira.

"Papi, kita ngapain kesini? ini rumah siapa?" tanya Jaira sambil menatap heran bangunan yang di depannya.

"mulai sekarang ini akan menjadi tempat tinggal kamu." ucap Wilson.

"rumah ini? yang benar saja, Papi. bahkan ukurannya sama dengan kamar aku atau mungkin lebih besar kamar aku." protes Jaira.

"kamu pikir Papi peduli?" tanya Wilson lagi membuat Jaira menghentak-hentakkan kakinya kesal.

"Papi jahat." pekik Jaira.

"sudahlah Jaira, terima saja. masih syukur Papi memberi kamu tempat tinggal." ucap Wilson pada putri semata wayangnya, sambil mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompetnya.

"ini jatah kamu bulan ini." Wilson memberikan sepuluh lembar uang seratus ribuan.

Jaira menatap uang itu dan Papinya bergantian seperti orang linglung.

"ambil!" perintah Papi sambil memberikan uang itu pada Jaira.

"untuk sebulan?" tanya Jaira untuk memastikan apakah indera pendengarannya rusak atau tidak.

Wilson hanya mengangguk kemudian kembali melajukan mobilnya meninggalkan Jaira sendirian yang masih berdiri mematung menatap uang yang ada di genggamannya.

"Papi jangan becanda!" rengek Jaira entah pada siapa.

"Papi jahat!" teriak Jaira pada rumput yang bergoyang seakan mereka sedang mengejek nasibnya sekarang.

Jaira melihat ke kiri dan ke kanan keadaan rumah itu, sungguh sangat berbeda dengan rumahnya dulu. Tidak ada AC, tidak ada lemari es, bahkan tempat tidurnya bukan lagi king size.

"menyebalkan." dengusnya sambil menjatuhkan barang bawaannya di sembarang tempat.

Lalu Jaira kembali menatap uang yang masih berada di dalam genggamannya. Satu juta untuk sebulan? yang benar saja.

Jelas saja Jaira syok dengan jatah bulanan yang di berikan oleh Papinya, jatah bulanannya sekarang bahkan tidak ada setengahnya dari jatah bulanan yang biasa dia terima. bahkan dulu jika masih kurang dengan mudahnya dia akan memakai black card-nya. sedangkan sekarang dia harus bisa menggunakan uang satu juta untuk biaya hidupnya selama satu bulan di kota metropolitan ini.

"apa Papi ingin membunuh anak satu-satunya secara perlahan?" pikir Jaira.

"Aish! kepala aku jadi sakit memikirkan ini?" ucap Jaira mengeluh sambil menekan pelipisnya yang berdenyut-denyut.

Jaira memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak. biarlah untuk masalah kehidupannya satu bulan ke depan nanti saja dia pikirkan, atau lebih bagus Papinya berubah pikiran dan mengembalikan semua fasilitasnya.

Jaira masuk ke dalam kamarnya dan lagi-lagi hanya menghela napas, ingin sekali dia menangis sampai keluar darah pun percuma, Papinya tidak akan mengubah keputusannya.

Setidaknya dia masih bisa bernapas lega karena tempat tidurnya lumayan nyaman. Papinya masih berbaik hati memberikan tempat tidur yang nyaman untuknya mengarungi dunia mimpi. Dan benar saja tidak menunggu waktu lama, Jaira sudah tertidur lelap memasuki ke dalam alam mimpinya.

Daren pergi dari rumah

Setelah sampai di kantor, Daren langsung menuju ruang kerjanya dan mulai sibuk dengan tumpukan dokumen yang harus dia periksa.

Dia mendengkus menatap tumpukan dokumen yang sudah menjadi makanannya selama 2 tahun ini.

Ya, begitulah kerjaan Daren setiap hari, memeriksa berbagai dokumen, bertemu dengan dewan direksi perusahaan lain baik itu perusahaan dalam negeri ataupun luar negeri, dan berbagai pekerjaan lainnya.

bahkan dalam satu bulan dia bisa pergi ke berbagai negara beberapa kali, belum lagi mengurus urusan kakak pertamanya, Dafi.

bila ada orang yang menginginkan hidup seperti Daren, mungkin dengan senang hati dia akan menukarnya.

Tok tok tok!

Tok tok tok!

"masuk." ucap Daren tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen-dokumen itu.

seorang pria bertubuh tinggi tidak jauh berbeda dengannya langsung masuk dan dengan santainya merebahkan tubuhnya di sofa yang ada di ruangan itu.

Daren melirik sebentar, dia kembali sibuk mengecek dokumen di depannya, dia sudah terbiasa dengan kelakuan sesuka hati sahabatnya itu.

"ayo makan!" ajak pria itu yang sudah mengubah posisinya yang semula berbaring menjadi duduk tegap.

"aku sibuk." tolak Daren tanpa melihat kearah pria itu.

"Aish! aku ini paman kamu, berlakulah sopan sedikit." cibir pria yang bernama lengkap Krisna Arya Narendra itu.

Daren hanya memutar bola matanya, apa pria yang berdiri di depannya ini sadar dengan apa yang baru saja dia ucapkan? memintanya berlaku sopan sedang dia sendiri? Daren tidak habis pikir

kenapa tantenya itu bisa menikah dengan pria yang menyebalkan seperti Krisna.

Krisna adalah kakak tingkat Daren di Universitas saat mereka kuliah dulu. Usia mereka memang terpaut cukup jauh lima tahun. Namun, karena Daren memiliki otak yang pintar dia bisa menyelesaikan SMP-nya hanya dalam kurun waktu satu tahun, sedangkan untuk SMA dia hanya

membutuhkan waktu dua tahun saja. Sedangkan Krisna sempat menunda kuliahnya beberapa tahun karena memilih bekerja dahulu.

Dan, ya, sekarang dia telah berganti status menjadi pamannya. Krisna menikahi Aura dua tahun yang lalu.

Saat itu memang Daren yang mengenalkan Krisna pada tantenya. namun, Daren tidak menyangka bahwa perkenalan itu akan berlanjut sampai ke jenjang pernikahan.

meskipun Krisna adalah pria menyebalkan dalam kacamatanya, tapi dia lega tante kesayangannya menikah dengan orang yang tepat. Daren yakin Krisna akan membahagiakan Aura, dan jarang melupakan perhatian Aura padanya.

"Aish! percuma saja aku mengajak manusia robot ini." gerutu Krisna menatap jengkel keponakannya. entah sudah berapa kali dia mengajak Daren makan, Daren hanya mengatakan iya dan nanti.

Krisna merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seseorang, sepertinya dia harus menelpon pawangnya langsung.

hanya dua kali suara getaran, seseorang di seberang sana sudah mengangkatnya dan Krisna langsung mengadu padanya.

Krisna tersenyum penuh arti sambil memberikan ponselnya pada Daren, sedangkan Daren menatapnya dengan kesal karena dia sangat tahu arti dari senyuman itu.

"Daren, ikut Mas Krisna makan! kamu ini kebiasaan banget." ucap Aura sedikit berteriak seperti seorang ibu yang sedang memarahi putra kecilnya yang nakal.

Daren melirik tajam ke arah pamannya yang sekarang sedang menahan tawanya seperti seekor elang yang siap mencabik-cabik mangsanya.

"Iya." hanya tiga huruf dan Daren langsung mematikan sambungan telponnya.

"Ayo!" Krisna langsung menarik tangan Daren untuk meninggalkan ruangan kerjanya agar ikut makan siang bersamanya di kafetaria kantor.

seakan tidak pernah lelah membuat seorang Krisna kesal, Daren kembali berulah dengan tidak memesan makanan. dia hanya memesan segelas kopi espresso untuk waktu makan siangnya.

"kenapa aku harus memiliki ponakan yang menyebalkan seperti kamu." ucap Krisna mengeluh sambil menatap pria yang ada di depannya.

"ceraikan saja." ucap Daren yang langsung mendapat toyoran darinya.

Dingin, galak, bermulut tajam, itulah Daren.

"aku dengar Dafi melamar Linsay, apa itu benar?" tanya Krisna ragu, karena dia yakin Daren tidak menyukai pertanyaan ini. namun, mau bagaimana lagi rasa penasarannya sudah diambang batas.

Seakan tidak mendengar apapun, Daren meneguk kopi espressonya dengan santai, tapi sangat jelas sekali sorot matanya yang awalnya cerah berubah seketika menjadi redup tidak bercahaya.

Krisna hanya bisa menghela napasnya prihatin. "itu artinya k--"

"waktu istirahat aku sudah habis, permisi." potong Daren dan langsung pergi meninggalkan Krisna.

"aish!" anak itu entah berapa puluh kali Krisna mengerutu hari ini, dia sengaja meninggalkan urusan kantornya karena Aura terus menghubunginya untuk membujuk serta mengajak ponakan kesayangannya itu makan siang. Dan sekarang apa yang terjadi? ponakannya itu malah membuatnya kesal sepanjang hari.

Daren sudah tiba di ruang kerjanya, dia terus berkutat dengan pikirannya sendiri. berbanding terbalik dengan apa yang dia ucapkan pada Krisna yang mengatakan masih banyak pekerjaan.

potongan-potongan memori itu kembali bermunculan di kepalanya, membuat rasa nyeri itu kembali menyapa.

"Argh!"

Daren menjambak rambutnya kuat-kuat dan tidak terasa lelehan kristal itu kembali jatuh membasahi pipinya.

Daren marah, kenapa takdir tidak mau berpihak padanya? kenapa dia dilahirkan seperti ini?

Daren kembali menatap lurus ke depan serta menyeka air matanya dengan kedua tangannya. dia tidak boleh seperti ini! dia seorang pria, seorang pria tidak boleh menangis.

Aura sedikit terkejut karena melihat mobil ponakan kesayangannya sudah terparkir di depan rumah. sampai-sampai dia mengucek-ngucek matanya untuk memastikan penglihatannya tidak salah.

"Daren." gumam Aura seperti orang linglung.

Pria itu memberengut sambil mengecek penampilannya sendiri? apa ada yang salah dengan pakaiannya hari ini? sepertinya tidak.

karena dari tadi kakak pertamanya Dafi hanya diam menatapnya. Daren kembali melangkahkan kakinya berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai atas.

Sesampainya di kamar, Daren langsung merapikan pakaiannya untuk dimasukkan ke dalam koper yang cukup besar. Niatnya sudah bulat, dia akan tinggal di apartemen miliknya.

Dafi yang tidak sengaja melihat adiknya yang sedang membereskan pakaiannya melenggang masuk ke dalam kamar.

"perjalanan bisnis lagi?" tanya Dafi tampak tidak suka.

Jujur saja pria itu iri pada adiknya yang bisa kapan saja pergi ke berbagai negara tanpa mendapatkan larangan, sedangkan dirinya tidak bisa jauh dari rumah dan rumah sakit.

Tuhan memang tidak adil, pikirnya.

Daren hanya melirik kakaknya sekilas lalu kembali memasukkan pakaian dan sebuah kotak kecil misterius ke dalam koper.

"biar aku bantu." ucap Dafi sambil berjongkok dan berniat mengambil beberapa helai baju dari lemari pakaian milik Daren.

Namun, matanya malah tertuju pada kotak kecil misterius yang ada di atas koper. baru saja tangannya ingin mengambilnya, dengan refleks Daren langsung mengambil kotak itu dan menjauhkannya.

"Aish! pelit sekali." cibir Dafi, dan seperti biasa Daren tidak menanggapi.

"kali ini ingin pergi ke negara mana?" tanya Dafi lagi.

"apartemen." jawab Daren.

Seketika membuat kening Dafi mengerut, apa telinga adiknya ini rusak? kenapa tidak nyambung? pikir Dafi.

"aku akan tinggal di apartemen." ucap Daren mengulang.

mata Dafi terbuka lebar, mungkin jika mata itu bukan ciptaan Tuhan, benda itu sudah lepas dari tempatnya.

"kenapa? terus aku berbagi cerita sama siapa kalau kamu tidak ada?" tanya Dafi lagi.

"itu sebabnya aku pergi." balas Daren dalam hati.

Daren sudah siap dengan kopernya, untuk sementara waktu dia akan tinggal di apartemen setidaknya sampai dia bisa mengontrol perasaannya lagi.

langkahnya terhenti ketika Aura berlari ke arahnya diikuti oleh Zora yang berjalan di belakangnya.

"kamu apa-apaan mau meninggalkan rumah." marah Aura sekaligus khawatir.

Bagaimana dia tidak khawatir, di rumah saja ponakannya itu sering melupakan makannya, apalagi kalau dia tinggal sendiri? dan lagi dia sangat tahu keponakannya itu tidak pandai memasak. Lantas siapa yang akan menyiapkan makanannya? tidak Dafi, tidak Daren selalu saja membuatnya khawatir, kesal Aura.

"banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan sedangkan jarak rumah ke kantor terlalu jauh, akan sangat melelahkan kalau harus menempuh jarak jauh setiap hari." ucap Daren beralibi dan berhasil membuat Aura percaya.

"baiklah, tapi jangan lupa makan kamu, ya." ucap Aura lagi.

"Ya." jawab Daren yang langsung mendapat pelukan hangat dari tantenya.

"kenapa, kamu selalu membuat tante kamu khawatir." gumam Aura disertai suara isakan.

Daren hanya membalas pelukan tantenya, sedangkan sepasang matanya menatap sendu ke arah wanita yang juga sedang menatapnya dengan tatapan sulit diartikan.

Daren melepaskan pelukannya dan menarik napas panjang saat rasa sesak di dadanya datang.

"aku pergi." ucap Daren berpamitan.

baru beberapa langkah dia berjalan, Zora memanggil putra bungsunya dan saat Daren berbalik wanita itu memeluk erat.

"maafkan Mami." ucap Zora dengan suara bergetar.

Daren hanya memejamkan matanya rapat-rapat, hatinya sedih saat Mami mengatakan kata maaf padanya. ini lebih menyakitkan dibanding rasa sakit hatinya sekarang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!