NovelToon NovelToon

OH! MY LIVIA

Episode 1

“Ayah jangan pergi. Jangan tinggalkan Livi.” Rengek gadis kecil yang masih berusia 5 tahun itu sembari menangis kencang. Sekuat tenaga dia memegangi tangan ayahnya yang ingin beranjak meninggalkannya.

Laki-laki itu menunduk dan mensejajarkan tubuhnya dengan gadis kecilnya, “Livia, Ayah juga ingin berada disini bersamamu, Nak. Tapi kakek . . .”

“Lepaskan tangan cucuku!” suara laki-laki tua itu terdengar sangat marah, “Jika kamu tetap ingin mempertahankan hubungan gelapmu dengan perempuan itu, maka pergilah dari rumah ini. Aku tidak sudi mengakuimu sebagai anakku lagi. Tinggalkan Livia disini, hanya dia cucuku satu-satunya yang akan mewarisi seluruh hartaku. Dan kamu! kamu anak kurang ajar, yang telah mencoreng nama baik Admaja.”

Ayah gadis yang sedang menangis itu berdiri dari duduknya dan memandang dengan tegas kearah laki-laki tua yang ada dihadapannya. “Aku tidak akan mengubah keputusanku, Ayah! Aku akan tetap memilihnya!”

“Dasar anak tidak berbakti! Apakah kamu tidak melihat anakmu sedang menangis karenamu, hah!”

“Ayahhh . . .” Livia kembali merengek dan memohon sambil memandang ayahnya.

“Ayah!” teriak seorang gadis kecil dari luar pintu. Gadis kecil itu terlihat masih berusia 3 tahun. Dan dibelakangnya ada seorang wanita dewasa yang juga mencoba tersenyum walaupun hatinya terasa muram.

Gadis kecil itu setengah berlari karena melihat laki-laki yang selama ini merupakan ayah kandungnya, tapi baru beberapa langkah, gadis kecil itu terjatuh dan menangis.

“Tari!” Hendra berlari untuk menolong putri keduanya, dan tanpa dia sadari, jika dia telah melukai hati Livia seketika, saat Hendra melepaskan genggaman tangannya dan beranjak meninggalkan Livia.

Livia masih menangis, tapi dia tak bisa melangkahkan kakinya untuk mencoba kembali menahan ayahnya. Livia kecil takut jika dia akan dicampakan kembali oleh ayahnya.

“Sekarang pilihlah, jika kamu tetap memilih mereka, maka keluarlah dari rumah ini. Dan jangan pernah membawa nama Admaja dibelakangmu.” Pernintah laki-laki tua itu.

Dengan pasti dan tanpa ragu, Hendra menggendong Tari dan menggandeng istrinya tanpa memperlihatkan wajah penyesalan kepada Livia. Sejak itulah, Livia tahu jika dia tidak berarti bagi ayahnya.

Bayangan punggung ketiga orang itu samar-samar masih terbayang saat Livia terbangun dari tidurnya, dengan tetesan air mata yang sudah turun dari kedua matanya.

Livia duduk dan mengusap kedua matanya, “Kenapa aku tiba-tiba memimpikan orang itu lagi setelah sekian lama? Dasar Livia bodoh!” gumamnya pada diri sendiri.

Gadis cantik itu beranjak dari ranjang empuknya dan menuju kamar mandi. Tepat jam enam pagi, dia bersiap-siap untuk melakukan aktivitas rutinnya, yaitu pergi untuk bekerja diperusahaan milik kakekknya. Saat ini Livia masih menduduki jabatan sebagai wakil direktur. Sedangkan direktur utama masih dipegang pamannya dari pihak keluarga ibu Livia. Kakeknya sedang menyiapkan dirinya untuk menduduki posisi dengan tanggung jawab yang cukup berat ini. Di usia yang masih menginjak 27 tahun, Livia sudah harus terus menerus meningkatkan keahliannya agar dia pantas berada di posisi atas. Umur itu adalah umur yang cukup muda jika dibandingkan dengan pendahulunya, namun Livia sudah harus menanggung beban itu lebih awal karena dia adalah pewaris tunggal di saat kakeknya sudah tidak mampu lagi menakodai perusahaan besar yang bergerak di bidang

kosmetik kecantikan itu.

“Pagi, Kek.” Sapa Livia saat dia menjumpai kakeknya sudah duduk di meja makan di rumahnya. Tak lupa Livia mengecup ringan pipi kakekknya itu. “Tumben Kakek sudah ada di sini pagi-pagi?” tanya Livia sembari duduk disebelah kakeknya.

“Apa sekarang kakek sudah tidak boleh datang kerumahmu, hm?”

“Tentu saja, boleh. Kapanpun Kakek mau. Bukannya Livia sudah pernah mengajak Kakek untuk tinggal bersama disini?”

“Apa bedanya jika kamu saja yang kembali kerumah utama?”

“Tidak, Kek. Rumah itu terlalu besar untukku. Rasanya sangat sepi.”

“Lalu . . . apakah kamu tidak merasa jika orang tua ini juga kesepian?” kakek Anwar menatap sengit cucu kesayangannya.

“Maka dari itu, Kek. Pindahlah kesini denganku.”

“Tidak, tidak. Kakek harus tetap tinggal dirumah itu. Rumah itu adalah rumah kesayangan nenekmu. Seluruh keluarga besar Admaja juga berkumpul dirumah itu. Jadi Kakek akan tetap berada disana. Tapi tolong, sering-seringlah menjenguk Kakek.”

Livia

menggenggam tangan kakeknya, “Maafkan Livi, Kek. Kedepannya Livia akan sering-sering menjenguk Kakek.”

“Pasti kau hanya berbohong, seperti yang sudah-sudah.” Gumam kakek Anwar.

“Apa, Kek?”

“Tidak. Ayo kita makan. Nanti kamu telat kekantor. Makanlah yang banyak, lihatlah, badanmu mulai kurus.”

Livia hanya tersenyum melihat kecerewetan kakekknya yang sebenarnya adalah bentuk perhatian yang diberikan padanya. Sejak kecil, kakek Anwar adalah segala-galanya untuk Livia. Sejak neneknya meninggal disaat dia berusia 18 tahun, kakek Anwar lah yang sudah membesarkannya hingga saat ini.

Episode 2

Tepat jam 07.45, Livia sampai didepan lobi kantornya. Didepan pintu, sudah berdiri tegap dan setia sekretaris pribadinya yang juga merupakan teman kuliahnya di masa lalu.

“Pagi, Bu.” Sapa Andra Permana pada Livia.

Livia menganggukan kepalanya ringan dan berjalan masuk kedalam kantor dengan Andra yang setia berada di belakangnya.

“Apa saja jadwalku hari ini, Ndra?” tanya Livia saat mereka sudah masuk kedalam lift.

“Pagi ini akan ada rapat dengan klien dari Jepang, lalu ada rapat dengan direksi.”

“Direksi? Apa paman hari ini akan datang ke kantor?”

“Pak Samuel tadi sudah menghubungiku untuk memberitahu jika dia tidak bisa ke kantor, karena sedang terjadi masalah di perusahaan utama Rehardi.”

“Apa masalahnya cukup besar?”

“Kata Pak Samuel, kamu tak perlu khawatir, Liv.” Andra memanggil nama Livia secara langsung jika mereka berdua berada diruang sepi yang hanya ada mereka berdua.

Rehardi adalah nama keluarga besar dari pihak ibunya. Setelah kakek Anwar tidak mampu lagi memimpin perusahaan Admaja karena kesehatannya, perusahaan itu dibantu oleh paman Livia yang bernama Samuel. Dia adalah adik dari ibu kandung Livia.

“Ok. Setelah jam makan siang, apa ada lagi rapat luar?”

“Tidak ada, Liv. Setelah jam makan siang, kamu bisa menyelesaikan pekerjaanmu di dalam ruanganmu.”

“Terimakasih.”

“Apapun untukmu.” Jawab Andra riang.

Setelah semua pekerjaan Livia lewati, tiba juga jam istirahat untuknya. Livia menghempaskan tubuhnya dikursi kebesarannya dan menghembuskan nafas berat.

“Akhirnya selesai juga pekerjaan beratku. Kenapa rasanya sangat berat sekali?”

“Minumlah. Kamu pasti sangat lelah tadi.” Andra menyodorkan satu gelas orange jus dingin.

“Aku tidak masalah dengan rapat bisnis dengan klien, tapi kenapa tadi saat rapat direksi rasanya begitu berat? Begitu banyak argumen. Ternyata paman Samuel sangat kuat, dia mampu memegang dua perusahaan besar seperti ini.” Kagumnya pada pamannya.

“Tentu saja Pak Samuel tak akan selamanya mampu, Liv. Untuk itu, kamu harus segera naik keatas menggantikan beliau.”

“Aku tahu, Ndra. Tekanan yang di dapat oleh paman sangat besar. Tapi tekanan yang kudapat juga tak kalah hebatnya.”

“Aku akan tetap berada disisimu. Aku akan menguatkanmu.”

“Terimakasih, Ndra. Kamu memang teman yang sangat berharga.”

Andra terdiam sejenak, dan tersenyum ringan setelahnya. “Ada yang ingin kamu makan untuk makan siang?”

“Hmmmm . . . lebih baik kita turun kekantin aja. Makanan disana tidak kalah enak dengan resto disekitar kantor kita.”

“Baiklah. Ayo kita turun.”

Livia dan Andra berjalan berdampingan saat mereka menuju kantin kantor. Bukan sebuah rahasia lagi, jika seluruh karyawan diperusahaan mengetahui jika Andra adalah teman kuliah Livia dulu. Bahkan ada rumor yang mengatakan jika sebenarnya mereka berdua berkencan. Visual keduanya cukup menyita perhatian seisi penghuni kantor. Livia yang bertubuh langsing, dengan rambut hitam sebahu, berkulit putih, dan berwajah cantik khas campuran Arab-Indonesia, karena kakek dari ibu Livia adalah asli orang Arab. Jadi Livia mewarisi beberapa kelebihan yang orang Arab miliki, seperti hidung yang mancung, mata yang cantik, dan kulit yang putih.

Sedangkan Andra, menguarkan aura maskulin dari dirinya. Kulit kuning langsat, membuat menambah ketampan yang ada padanya. Dada yang bidang, pundak yang lebar, dan otot yang mencuat dikala Andra menggulung lengan bajunya sampai keatas, cukup mampu membuat para perempuan berteriak meminta dipeluk oleh tubuh atletis itu.

Apalagi selama ini beredar kabar jika Livia terus saja menolak perjodohan dengan beberapa pria, hal itu mencuatkan kecurigaan bahwa memang keduanya memiliki hubungan serius.

Episode 3

“Mau pesan apa, Bu Livia?” tanya salah satu koki dikantin itu.

“Saya mau sup tulang sapi aja, Bu Tisa. Dan nasi hangat sedikit saja.” Pesannya kepada Bu Tisa kepala koki dikantin itu, “Kamu mau apa, Ndra?”

“Seperti biasanya saja.”

“Tambah nasi goreng teri, dengan telur ceplok setengah matang. Minta dua orange jusnya juga ya, Bu.”

“Siap, Bu!” jawab Bu Tisa.

“Eh, lihat-lihat. Bu Livia sampai hapal dong, makanan kesukaannya Mas Andra. Iiihhh . . . jadi kabar itu benar dong, ya. Iri . . .” bisik beberapa karyawan perempuan yang masih duduk makan didalam kantin.

“Hust! Kamu ndak punya hak iri. Lihat kamu siapa? Bu Livia itu putri raja, sedangkan kamu upik abu.” Balas lainnya dengan masih tetap berusaha mengecilkan suara mereka. Namun tetap saja, pembicaraan seru itu tak luput dari telinga Andra dan Livia saat keduanya berjalan menuju meja kursi kosong.

“Maaf, aku membuatmu jadi bahan gosip karyawan lainnya.” Ucap Andra pelan-pelan.

“Tak apa. Biarkan saja mereka.” Jawab Livia dengan suara yang juga sangat pelan.

“Bagaimana kabar ibumu dikampung?” tanya Livia, setelah makanan disajikan dimeja mereka.

“Ibuku baik-baik saja. Ibuku menitip salam padamu. Aku diminta untuk mengucapkan terimakasih kepadamu."

“Hm? Untuk apa?” tanya Livia bingung.

“Karena kamu telah menolong kehidupan keluarga kami.”

“Aku hanya membantumu. Sedangkan keluargamu yang lain, semua karena jirih payahmu. Kerja kerasmu, Ndra.”

“Emm . . . ibuku juga kemarin sempat menanyakan kapan aku mengenalkan calon istriku padanya.” Andra diam-diam melirik dan menghentikan makannya untuk memperhatikan reaksi apa yang akan Livia tunjukkan padanya.

“Makanya cepat menikah, biar ibumu tidak kesepian dikampung.” Jawab Livia santai. Entah kenapa ada kekecewaan yang tiba-tiba menyerang di hati Andra. Sejak lama sekali, sebenarnya Andra memendam perasaan kepada gadis cantik yang masih asik makan didepannya itu. Tapi perasaannya tidak pernah berani ia ungkapkan, karena tahu jika dia hanya dari golongan orang biasa, dan berkat keluarga Livia-lah, sekarang Andra bisa memperbaiki perekonomian keluarganya yang sempat jatuh akibat kecelakaan ayahnya yang sampai merenggut nyawa.

“Kamu . . . apa masih tidak ingin menikah, Liv?”

“Menikah? Tidak. Aku sama sekali tidak tertarik untuk menikah.”

“Selamanya?”

“Semampuku menolak permintaan kakek. Kamu tahu sendiri, jika sudah beberapa bulan ini kakek selalu memintaku untuk kencan buta.”

“Tidak ingin mencobanya?”

“Emmm, mungkin nanti jika aku sudah terdesak. Untuk saat ini, aku masih menikmati hidupku.”

“Jika kamu tidak ingin menikah, maka aku akan selamanya berada disisimu.”

“Hah? Jangan! Untuk apa kamu mengorbankan dirimu sendiri. Carilah calon istri, dan berbahagialah.”

“Karena aku mencintaimu, Liv.” Jawab Andra dalam hati. “Jika tidak ada aku, siapa yang akan menemani dan menghiburmu lagi? Aku tahu jika aku yang terbaik.”

“Kamu sangat percaya diri sekali, Bung!”

“Tentu saja. Jika aku bisa menjadi orang kepercayaan dari Livia Zahra, artinya aku harus mempunyai kekuatan dan keyakinan pada diri sendiri.”

“Apa aku orang yang serumit itu?” tanya Livia dengan menyipitkan matanya.

“Terkadang. Terkadang aku tak mengerti ada apa dengan dirimu.”

“Hahahahaha . . . ternyata aku orang seperti itu. Aku selesai.” Livia meletakkan sendok dan garpunya karena makanan di piringnya sudah tandas tak bersisa.

“Apa kamu sudah selesai makan, Ndra?”

“Seperti yang Ibu lihat.” Andra menunjukkan piringnya yang juga telah bersih.

“Ibu?” Livia memperhatikan sekitar karena beberapa dari pelanggan kantin mulai merasa tertarik memperhatikan interaksi antara pimpinan dan sekretaris itu. “Oh, baiklah.” Livia mengerti kenapa Andra kembali bersikap formal.

“Setelah ini tidak ada jadwal luar, Bu.”

“Ok. Saya akan akan menyelesaikan pekerjaan saya.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!