NovelToon NovelToon

Gadis Kecilku

Bab 1

Awal tahun selalu menjadi puncak musim penghujan. Hampir setiap hari sebagian besar wilayah diguyur hujan.

Namun, siang itu sang surya bersinar terang. Awan cumulus, yang bentuknya menyerupai kembang kol, menghiasi langit kota Z yang berwarna biru cerah.

Di bawah pohon mangga yang rindang, seorang pria duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu mahoni. Dia berkulit putih dengan rambut hitam halus yang menutupi separuh dahinya. Hidungnya mancung dan alisnya tebal. Matanya yang berbentuk almond memancarkan kehangatan. Sebatang rokok terselip diantara jari-jarinya yang panjang dan ramping.

Pada saat itu telepon genggam di sakunya berdering. Pria itu mengetuk ikon jawab sebelum mendekatkan benda pipih itu ke telinga. "Ada apa, Mega?"

—Ayo putus

Pria itu mengerutkan kening. Tak ada angin tak ada hujan, kekasihnya tiba-tiba ingin mengakhiri hubungan.

—Kau mendengarku? Kubilang kita putus.

Meskipun terkejut, sikap dan suaranya setenang danau ketika pria itu menjawab, "Ya, aku dengar."

—Mulai detik ini kita tidak punya hubungan apapun lagi.

"Baiklah."

—Baiklah? hanya itu yang kau katakan?

"Haruskah aku mengatakan hal lain?"

—Tidakkah kau ingin tahu mengapa aku meminta putus?

Pria itu menghisap rokoknya sebelum melemparnya ke tanah. Dia menginjaknya sambil berkata dengan acuh tak acuh, "Apakah itu penting sekarang?"

—Yah, itu tidak penting. Sejak awal hingga akhir, aku tidaklah penting bagimu.

Wanita diseberang telepon mulai terisak. Akan tetapi tangisnya tetap tak mampu menggerakkan hati Farhan, pria sombong itu.

—Ijinkan aku bertanya untuk yang terakhir kali, apa kau pernah mencintaiku?

“Apa aku mencintainya?”

Usianya hampir mencapai kepala tiga. Namun, sejujurnya hingga saat ini Farhan masih tidak mengerti apa itu cinta.

Jika menyukai atau tertarik pada seseorang disebut cinta, maka dia mencintainya.

—Mengapa diam saja? Mas Farhan hanya perlu menjawab ya atau tidak, apakah sesulit itu?

Tak peduli dengan desakan Mega, Farhan tetap bungkam. Pria itu seolah tuli dan juga bisu.

—Tidak perlu dijawab lagi, aku sudah tahu jawabannya. Kau tidak pernah mencintaiku.

"Kalau begitu tidak ada yang perlu kukatakan lagi."

—Apakah kau punya hati nurani? Tidakkah kau merasa bersalah?

Mereka bukan lagi sepasang kekasih. Farhan merasa tidak perlu menjelaskan apapun tentang dirinya. Dia juga tidak berniat mendengar keluhan, rengekan ataupun makian darinya lagi. Baginya, ketika hubungan mereka berakhir, maka segala sesuatunya juga berakhir.

Suaranya lembut ketika Farhan berkata, "Apa kau sudah selesai? Jika tidak ada hal lain, aku akan menutup telepon."

—Dasar pria egois brengsek! Kuharap selamanya kau tetap sendiri dan tidak pernah mendapatkan istri!

Mega mengakhiri panggilan dengan marah. Sementara Farhan hanya mengernyitkan alis sambil meletakkan ponselnya ke meja.

Farhan baru saja dicampakkan sekaligus mendapat kutukan. Namun, dua hal itu tampaknya tidak menggangu ataupun mempengaruhinya sama sekali.

Menyandarkan punggungnya ke belakang, Farhan kembali merokok dengan santai. Bahkan sudut mulutnya melengkung ke atas saat memperhatikan gadis-gadis di seberang.

"Kecoanya benar-benar sudah pergi?" kata gadis mungil yang berdiri di kursi rotan.

Farhan telah melihat banyak sekali wanita cantik. Namun, baru kali ini dia melihat wanita cantik yang begitu memikat.

Matanya yang seperti rusa betina—besar dan berair, memancarkan kelembutan, polos sekaligus ingin tahu. Bibirnya kecilnya montok dan merah alami, membuat seseorang tertentu tidak sabar untuk mencicipinya. Hidungnya kecil.

Farhan memalingkan muka. Menyeruput kopinya sedikit sebelum menatap gadis itu lagi.

Tubuhnya tampak lemah dan rapuh. Kaki kecilnya yang tidak terlalu panjang mungkin akan patah atau terkilir jika dia tidak berhati-hati. Untungnya gadis itu berhasil mendarat di tanah tanpa cedera. Farhan menghela nafas lega tanpa disadari.

Gadis itu mengenakan celana jeans dan kaos oversize putih berpotongan pendek. Ketika dia mengangkat kedua tangan untuk mengikat rambutnya, pinggang dan perutnya tak sengaja terekspos.

Farhan, yang sejak tadi memperhatikannya menangkap pemandangan indah itu. Jakunnya naik turun karena hasrat. Adegan dewasa nan liar seketika memenuhi kepalanya.

Dia ingin membelai pinggang rampingnya. Membasahi perutnya yang putih dengan liurnya dan menanam beberapa stroberi kecil di sana.

Suara sepeda motor membuyarkan lamunan Farhan. Ketika menoleh dia melihat Sandi sudah mematikan mesin dan sedang melepas helm. Setelah itu berjalan menuju ke arahnya.

"Apa yang membawamu kemari? Kau tidak bekerja?"

Sandi mengabaikan pertanyaannya. Dia terus melangkah mendekati Farhan sambil menyembunyikan sesuatu dibalik punggungnya. Dengan seringai di wajahnya, Sandi berkata, "Coba tebak apa yang aku bawa?"

Alih-alih menjawab, Farhan justru memalingkan muka. Maksudnya jelas. Pria itu tidak tertarik dengan apa yang dia bawa dan enggan menebaknya.

Farhan mengambil sebatang rokok, menyelipkannya diantara bibir dan menyalakan korek. Segera, asap putih menyelimuti sisi wajahnya yang tampan.

Meski sudah terbiasa, Sandi tetap merasa kesal setiap kali melihat kekurang ajaran serta sikap acuh tak acuhnya. Mengingat temannya pemegang sabuk hitam di taekwondo, Sandi mengurungkan niatnya untuk menendangnya. Dia hanya bisa melampiaskan kekesalannya dengan membanting benda di tangannya ke atas meja. "Selamat, kamu dicampakkan."

Farhan melirik kertas itu, yang tertera beberapa baris kata yang diukir dengan tinta emas. Detik berikutnya salah satu sudut mulutnya melengkung ke atas. Tatapannya penuh ejekan.

“Satu jam belum berlalu semenjak kami resmi berpisah. Kini undangan pernikahannya sudah terpampang di depan mata. Betapa hebatnya!”

"Mengapa kau malah tersenyum? Apa kau sudah gila?" Sandi merasa campur aduk. Dia sangat senang karena temannya—yang sangat tampan, memiliki nasib yang sama seperti dirinya, dicampakkan. Namun, dia sedikit khawatir kalau-kalau Farhan menjadi gila karena putus cinta.

"Apa yang kau harapkan dariku? Apa kau ingin melihatku menangis?"

Sandi menganggukkan kepala. "Ya. Orang normal seharusnya menangis saat putus cinta."

"Kalau begitu anggap saja aku tidak normal."

Dia menangis? terlebih lagi menangisi seorang wanita?

Dalam mimpi pun Farhan tidak akan melakukannya, takkan pernah.

Bab 2

SMA Panas Dingin melarang siswanya memakai riasan selama di sekolah. Oleh karena itu, setelah mandi Ara hanya perlu menata rambut dan mengaplikasikan tabir surya guna melindungi kulitnya dari sinar UV.

Ara memiliki alis tipis yang secara alami tertata rapi. Seolah itu sengaja dilukis dengan hati-hati oleh sang pencipta. Bulu matanya panjang dan lentik, membingkai mata hazel nya yang seperti rusa betina—besar dan berair, indah sekali. Kulitnya yang seputih salju membuatnya tampak seperti vampir cantik yang sangat memikat.

Kemeja putih serta rok lipat sebatas lutut membalut tubuh mungilnya dengan sempurna. Rambutnya yang bergelombang, yang diikat tinggi-tinggi, bergoyang ke kanan dan ke kiri ketika gadis itu menuruni anak tangga.

"Selamat pagi, Bibi," Sapanya pada asisten rumah tangga yang sedang menyusun piring di meja makan.

"Selamat pagi, Nona Ara."

Ara menghampiri meja panjang yang di kelilingi enam kursi itu. Peralatan makannya didominasi warna putih dan emas. Semuanya berkualitas tinggi dengan kesan mewah. Harganya tentu saja mahal.

Semangkuk besar nasi goreng seafood, telur rebus, sereal dan sandwich dengan isian daging dan keju tersaji di atasnya. Air mineral dan sekeranjang buah segar selalu tersedia di meja itu.

Ara meletakkan ranselnya di kursi dan duduk di kursi lainnya. Dia baru saja meletakkan sepotong sandwich di piringnya ketika terdengar langkah kaki dari atas. Dia mendongak untuk melihatnya.

Kakak sulungnya terlihat tampan dengan setelan armani abu-abu. Dengan kaki panjangnya, setiap langkah Samsul melewati dua anak tangga sekaligus.

"Selamat pagi, Kakak."

"Pagi, Sayang." Samsul menghampirinya dan membungkukkan badan untuk mengecup pipi Ara yang kemerahan. Setelah itu menarik kursi dan duduk di sampingnya.

Samsul menatap wajah adiknya yang berseri-seri.

"Kau tidur nyenyak, semalam?"

Mulutnya dipenuhi makanan. Ara hanya bisa menganggukkan kepala sebagai jawaban.

Samsul tak bisa menahan senyum melihat kedua pipinya yang menggembung.

“Dia seperti tupai saat sedang makan, sungguh menggemaskan.”

Samsul mengupas telur dan meletakkannya di piring Ara. Kemudian menuangkan sereal dan susu ke dalam mangkuk kecil dan kembali menyodorkannya ke gadis itu. "Makanlah lebih banyak, kamu terlalu kurus."

Ara memandang makanan yang disodorkan kepadanya, lalu melirik sang kakak. Tatapannya seolah mengatakan 'apa menurut kakak aku ini babi?'

Meskipun enggan Ara menghabiskan telur yang dikupas Samsul khusus untuknya.

"Aku sudah kenyang," katanya sambil menyingkirkan sereal di hadapannya.

"Apa menurutmu kakakmu ini bodoh?" Samsul tidak percaya seseorang merasa kenyang hanya dengan sepotong sandwich dan sebutir telur rebus.

Samsul mendorong sereal itu ke hadapannya lagi. "Habiskan."

Dengan wajah cemberut Ara mengambil sendok dan mulai memakan sereal itu.

Sementara Samsul tampak mengunyah roti yang diolesi butter sembari menunggu steak daging sapi tanpa lemak yang sedang dibuat.

Beralih dari rumah besar itu, yang jaraknya tidak terlalu jauh, berdiri sebuah rumah yang jauh lebih sederhana. Rumah itu hanya memiliki tiga kamar tidur, satu ruang keluarga dan ruang tamu, serta dapur kecil yang bersebelahan dengan kamar mandi.

Perabotannya tampak biasa saja. Tidak ada rak kaca berukuran raksasa, hiasan keramik, apalagi lampu kristal yang menggantung di langit-langit. Setiap meja dan lemari terbuat dari kayu jati.

Tidak seperti dikediaman keluarga Ara, yang memiliki beberapa menu berbeda, meja makan Farhan hanya tersaji dua porsi nasi uduk yang di bungkus dengan daun pisang dan dilapisi koran bekas.

Tidak ada buah, roti maupun sereal. Apalagi steak daging sapi yang harganya cukup mahal. Menu tersebut tidak pernah tersaji di meja kecil itu.

Meskipun kondisi kedua keluarga itu sangat jauh berbeda, tapi suasananya tampak sama. Farhan dan adiknya duduk berdampingan, menikmati sarapannya masing-masing.

"Kak Farhan hari ini masuk siang?" Salsa bertanya di sela-sela makannya.

"Hari ini libur." Menoleh ke arahnya, Farhan bertanya balik. "Kenapa?"

"Tidak apa-apa, cuma bertanya."

Salsa kembali menjejalkan sesendok nasi ke dalam mulutnya. Dia mengunyahnya secara perlahan dan mengulangnya hingga nasi uduk miliknya habis tak bersisa.

Gadis itu masuk ke kamarnya sebentar sebelum kembali menghampiri Farhan dengan ransel di pundaknya.

Farhan mengerutkan kening, menatap tangan kecil yang diarahkan padanya. "Apa ini?"

"Minta uang," Jawab Salsa.

"Bukankah ibu sudah memberimu uang?"

"Bukan untuk jajan, ada buku yang harus di beli."

"Berapa harganya?" tanya Farhan sambil menghabiskan sarapannya dalam satu suapan besar.

"Seratus lima puluh ribu."

"Tunggu sebentar."

Setelah meneguk segelas air, Farhan bangkit dari kursi dan berjalan menuju kamarnya. Ketika kembali dia membawa dua lembar uang kertas pecahan seratus ribu dan menyerahkannya pada Salsa.

"Ambil saja kembaliannya."

Salsa menerimanya dengan senyum lebar.

"Terima kasih, Kakak."

***

"Sandi ke mana, Bim?" tanya Farhan sembari menjatuhkan tubuhnya di sofa lusuh yang memiliki lubang dibeberapa tempat.

"Lagi beli sparepart." Bimo menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari sepeda motor yang sedang ia perbaiki.

Farhan mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celana. Mengambil sebatang, dia menyelipkannya diantara bibirnya yang pucat. Kedua tangannya memegang korek dan melindungi apinya dari angin. Detik berikutnya asap tipis menyelimuti sisi wajahnya yang tampan.

Hendra datang dan menyapanya tak lama kemudian. "Hai, Bro. Kau di sini juga?"

"Kau tidak bekerja?" tanya Bimo sambil melirik Hendra.

"Sudah pulang."

Dahinya mengernyit saat Bimo bertanya, "Pulang? Jam segini?"

Saat itu masih tengah hari. Pekerjaan macam apa yang membiarkan karyawannya pulang secepat itu.

Tidak seperti Bimo yang tampak kebingungan, Farhan mengerti mengapa temanya itu pulang kerja lebih awal.

Gumpalan abu berjatuhan saat Farhan menjentikkan rokoknya ke asbak. Dia bertanya pada Hendra tanpa memandangnya, "Kali ini apa yang telah kau lakukan sehingga membuatmu di pecat?"

"Siapa bilang aku dipecat? Aku tidak dipecat." kata Hendra dengan percaya diri. Pria itu mengambil sebatang rokok milik Farhan. "Bos hanya menyuruhku pulang dan tidak perlu bekerja lagi."

Bimo memutar matanya sebelum berbalik dan kembali melanjutkan pekerjaannya.

Hendra melempar korek ke meja sambil berkata, "Apa kau tahu, hari ini aku bertemu seseorang yang sangat menyebalkan."

"Orang menyebalkan itu yang membuatmu kehilangan pekerjaan kan?" tebak Farhan.

"Bagaimana kamu bisa tahu, apa kau dukun?" ucap Hendra dengan nada bercanda

"Apa yang dia lakukan?" tanya Farhan.

"Tua Bangka itu terlalu menjijikkan. Bisa-bisanya dia meraba waiters disiang bolong dan ditengah kerumunan. Dia pikir restoran kami warung remang-remang? Masih untung aku hanya mengguyurnya dengan air putih dan bukan air keras.

"Kau seharusnya mematahkan tangannya," kata Farhan.

"Aku ingin melakukannya, tapi manager sialan itu menghalangiku. Bosku juga aneh. Alih-alih menghukum pelaku kriminal, dia justru memecatku. Kurasa mereka sama-sama sinting. Aku tidak bersalah, tapi dua orang tolol itu memperlakukanku dengan tidak adil."

Bimo menjatuhkan tang di tangannya ke tanah dan menggantinya dengan kunci inggris.

"Berhenti mengeluh. Kau bukan satu-satunya orang yang menderita di sini."

Hendra mengernyitkan dahi. "Siapa?"

Bimo menunjuk Farhan dengan kepalanya.

"Farhan? Memangnya dia kenapa?"

"Pacarnya akan menikah dengan orang lain. Dia pasti sangat sedih sekarang."

Hendra menoleh ke arah Farhan. "Emang iya, Han?"

"Jangan dengarkan omong kosongnya. Kami sudah putus."

"Hah, kapan? mengapa kalian putus?" Hendra ingat, dua minggu lalu Farhan masih jalan dengan Mega. Saat itu mereka tampak baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda sedang bertengkar apalagi akan berpisah.

Hendra terdiam, menunggu jawaban. Namun, tiga menit telah berlalu dan Farhan masih tidak mengatakan apa-apa. Pria itu terus merokok dengan santai.

"Hei, aku bertanya padamu, mengapa kau diam saja?" seru Hendra tidak sabar.

Farhan menyandarkan punggungnya ke belakang dan berkata dengan malas. "Berhenti bertanya hal-hal yang tidak penting. Kapan dan mengapa aku putus dengannya tidak ada hubungannya denganmu. Aku juga tidak punya kewajiban menjelaskan apapun pada siapapun."

Bimo mengamati ekspresi Farhan yang sangat tenang. Dia menjadi bingung. "Kau benar-benar tidak merasa sedih, Han?"

Farhan menggelengkan kepala. "Tidak."

"Sama sekali?" tanya Hendra.

"Sama sekali." Farhan berkata dengan tegas.

Semua temannya tahu bahwa Farhan tipe orang yang suka berterus terang. Jika dia berkata tidak maka selamanya akan tetap tidak. Itu berarti benar bahwa dia tidak merasa sedih sedikit pun.

"Kau dan Mega menjalin hubungan cukup lama, sudah lebih dari dua tahun kalau tidak salah. Namun, sekalipun aku tidak pernah mendengarmu memanggilnya dengan panggilan khusus. Kau selalu menyebut namanya. Kau juga sering mengabaikannya dan terkesan acuh tak acuh padanya. Aku agak penasaran...."

Bimo berhenti mengutak-atik motornya dan menoleh ke arah Farhan, "Selama ini, apa kau hanya ingin bermain-main dengannya? Tidak pernah menganggapnya serius?"

"Seperti yang kau bilang, sudah dua tahun. Jika tidak serius, untuk apa aku menjalin hubungan dengannya selama itu?" Dia bukan lagi remaja yang ingin mencoba-coba atau sekedar mencari kesenangan.

Diusianya yang sekarang Farhan tentu sudah memikirkan masa depan. Dia ingin membina rumah tangga dan meneruskan keturunannya.

"Lalu, mengapa kau tak kunjung menikahinya?" tanya Bimo. Jika Farhan bergerak cepat, pacarnya tidak akan diambil orang.

"Kau pikir menikah itu mudah?" Farhan menunduk, menatap jari-jarinya yang menjentikkan abu ke asbak. Dia kembali menghisap rokoknya sebelum melanjutkan, "Bukan hanya satu atau dua juta, tapi butuh puluhan hingga ratusan juta untuk menikahi seorang wanita. Dimana aku mendapatkan uang sebanyak itu? Tidak mungkin aku menjual salah satu ginjalku demi bisa menikahinya. Kau tahu sendiri, aku punya keluarga yang harus kuberi makan setiap hari. Kedua adikku masih perlu banyak biaya untuk menyelesaikan pendidikannya."

"Setidaknya kau bisa melamarnya dulu, Han. Jadi orang lain tidak bisa merebutnya darimu," ujar Hendra.

Farhan tersenyum. "Apa kau percaya takdir?"

Farhan menatap Hendra saat menambahkan, "Percayalah, apa yang ditakdirkan untukmu, maka akan tetap menjadi milikmu. Begitu juga sebaliknya. Tidak peduli seberapa keras kamu menjaga ataupun mengejarnya, jika orang itu tidak ditakdirkan untukmu, maka dia tidak akan menjadi milikmu."

Apa dia terlihat miskin?

Jalanan kota Z selalu ramai saat pagi hari.

Farhan berhenti sejenak ketika lampu merah. Seperti biasa, matanya mengembara ke segala arah. Kanan, kiri, depan dan belakang. Semuanya tak luput dari sapuan matanya.

Sesosok gadis di seberang jalan mengusik perhatiannya. Farhan menyipitkan mata agar bisa melihatnya lebih jelas.

Itu benar-benar dia, gadis cantik yang Farhan temui beberapa hari yang lalu, yang matanya seperti mata rusa betina, besar dan berair.

Gadis itu duduk sendirian di halte. Dia melihat jam di tangannya sebentar, lalu beralih ke jalanan. Ekspresinya menunjukan kalau dia sedang gelisah.

Satu menit telah berlalu dan Farhan masih menatapnya. Beberapa orang membunyikan klakson, menyadarkan Farhan kalau lampu lalulintas sudah berubah hijau.

Farhan buru-buru menarik gas dan kembali melajukan kendaraannya. Farhan seharusnya tetap lurus, tapi dia memutar setir ke kanan, putar balik. Tak berselang lama, dia menghentikan kendaraannya lagi, tepat di depan gadis itu.

"Hai, Ara."

Ara mengangkat wajahnya, menatap pria asing di hadapannya. Ketika berkedip, bulu matanya yang panjang dan lentik berkibar seperti sayap kupu-kupu, indah sekali. Kerutan halus muncul di keningnya yang semulus porselen.

Bagaimana dia bisa tahu namanya? Dia tidak memakai nametag.

Farhan tersenyum melihat kebingungannya. "Kamu temannya Ami, kan? Aku tetangganya."

Ara terkejut sekali lagi. Kepalanya mengangguk secara robotik.

"Apa kau sedang menunggu angkutan umum?"

Ara membuka mulut kecilnya dan hanya mengatakan satu kata. "Ya."

"Kamu mungkin harus menunggu lebih lama lagi, ada kecelakaan di jalan lingkar ketiga." Sebelumnya Farhan melihat sebuah truk terguling dan menghalangi sebagian jalan. Itu menyebabkan kemacetan parah karena mobil lain tidak bisa melintas.

Ara akhirnya mengerti mengapa bus yang ia tunggu tak kunjung datang. "Terimakasih informasinya."

Ara berdiri dan mengeluarkan ponselnya dari dalam tas.

Awalnya Farhan tidak begitu memperhatikan seragamnya. Salah satu alisnya terangkat saat melihat logo di dadanya. SMA Panas Dingin, wow.

Sekolah itu tidak biasa. Selain harus memiliki otak encer, seseorang perlu merogoh kocek cukup dalam agar bisa masuk ke sekolah elit itu.

Hanya ada dua tipe siswa di sana. Jika siswa itu tidak kaya, maka sudah pasti sangat-sangat pintar atau mendekati jenius.

Farhan menduga Ara termasuk tipe siswa yang kedua. Orang kaya cenderung menggunakan kendaraan pribadi daripada transportasi umum.

Yang tidak Farhan ketahui adalah sepatu yang dipakai Ara setara dengan harga sepeda motornya. Belum lagi tas yang menggantung di punggung kecilnya, yang sama dengan gajinya selama satu tahun.

"Bagaimana kamu akan pergi ke sekolah?" Tidak ada angkutan umum. Dia tidak mungkin pergi ke sekolah dengan berjalan kaki.

"Aku akan memesan ojek online."

"Apakah masih sempat?" Memesan ojek online memerlukan waktu, sedangkan saat itu sudah hampir jam tujuh.

"Mengapa kamu tidak ikut denganku saja? Kebetulan kita searah, aku bisa mengantarmu, gratis." Farhan berbohong tanpa berkedip. Faktanya tujuan mereka berlawanan arah.

Seseorang dari industri hiburan seharusnya merekrut dan menjadikannya sebagai aktor. Dia sangat berbakat dibidang itu. Visualnya juga sangat mendukung.

Farhan berkulit putih dengan rambut hitam yang halus terurai di dahinya. Hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis membuatnya tampak agak angkuh, sangat kontras dengan mata almond nya yang memancarkan kelembutan. Senyumnya dapat membuat seseorang diabetes, manis sekali.

Ara mengernyitkan dahi. Apa dia kelihatan miskin? Sehingga seseorang ingin memberinya tumpangan gratis?

"Sudah hampir jam tujuh. Kamu akan terlambat jika tidak pergi sekarang." Farhan mengingatkan.

Ara melihat jam tangannya. Mata besarnya melebar karena terkejut. Dia hanya punya waktu sepuluh menit sebelum gerbang sekolah ditutup.

"Apa aku tidak merepotkan?"

"Sama sekali tidak. Ayo naik."

Jok belakangnya agak tinggi, Ara naik ke atasnya dengan bantuan Farhan, yang mengulurkan tangan agar dia bisa berpegangan.

Tangannya hangat dan selembut beludru. Farhan tidak ingin melepasnya. Dia ingin membelai dan mengusapkan ke sisi wajahnya. Namun, dia sadar hal itu tidak pantas dilakukan. Jadi dengan enggan dia melepasnya.

Ara memegangi jaket Farhan dengan ujung jarinya. Posisi duduknya juga terlalu ke belakang. Jika itu dibiarkan, dia akan terpental begitu Farhan menarik gas.

"Kamu akan jatuh jika berpegangan seperti itu. Pegang lebih erat." Farhan menarik kedua tangan Ara dan meletakkan di perutnya, melingkari pinggangnya.

"Seperti ini."

Selain kedua kakaknya, dia belum pernah memeluk pria lain. Ara merasa wajahnya seperti terbakar. Dia sangat malu.

Farhan tersenyum melihat rona merah di kedua pipinya. "Kita berangkat sekarang?"

Ara hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.

Sepanjang jalan Farhan tersenyum lebar. Pasalnya setiap kali dia menambah kecepatan atau saat menyalip kendaraan lain, Ara akan memeluknya semakin erat.

"Terima kasih atas tumpangannya," kata Ara begitu turun dari motor.

"Sama-sama." Farhan mengulurkan tangan, hendak merapikan rambut Ara yang sedikit berantakan diterpa angin. Namun, gadis itu menghindari sentuhannya.

"Rambutmu berantakan," kata Farhan seraya menarik tangannya yang tergantung di udara.

"Oh." Ara menyentuh kepalanya sendiri. Kedua pipinya kembali merona karena malu. Dia menyisir rambutnya dengan jari-jarinya yang halus dan ramping.

"Terima kasih sudah diingatkan," katanya kemudian.

Farhan membalasnya dengan anggukan kepala.

Ara merasa canggung karena Farhan terus menatapnya dan tak kunjung pergi. Untungnya bel sekolah berbunyi, sehingga dia punya alasan untuk pergi lebih dulu.

"Sebentar lagi gerbangnya ditutup, aku harus masuk sekarang."

Farhan mengangguk. "Ya, masuklah."

"Sekali lagi, terimakasih." Usai mengatakan itu, Ara berbalik dan melangkah masuk ke dalam sekolah.

Farhan menatap punggungnya yang bergerak semakin menjauh. Dia baru pergi setelah gadis itu menghilang dari jangkauan matanya.

Saat itu Farhan baru sadar kalau dirinya sudah terlambat dan harus segera pergi ke tempat kerja.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!