NovelToon NovelToon

(Bukan) Pernikahan Impian

Ide Mencari Tambahan Penghasilan

Bulan terduduk bersila di lantai kamarnya, sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Dengan bibir monyong nya ia berkomat Kamit tak jelas.

"Sewa kamar!" Pekiknya dengan bibir membuka, dan wajah berbinar.

"Ya, menyewakan kamar adalah ide bagus!" Gumam Bulan, sambil matanya menatap layar televisi mengikuti serial Emily in Paris di Netflix, tapi, kini konsentrasi terpecah sudah.

Bukan tanpa alasan Bulan mencetuskan ide 'menyewakan kamar'. Dimulai dari keinginan terpendam dari beberapa tahun silam, lama kelamaan statusnya menjadi sebuah impian besar yang harus diwujudkan.

Dan kini saatnya menyampaikan impiannya itu kepada pihak-pihak yang diperkirakan akan menjadi sponsornya untuk mewujudkan impian besarnya itu dengan cara yang cepat tanpa embel-embel syarat dan aturan.

Ya keinginan Bulan adalah keliling Benua Eropa.

Sebenarnya Bulan sudah beberapa kali berlibur ke beberapa negara di Eropa, namun tidak pernah lebih dari seminggu. Ia sangat menyukai beberapa daerah di sana, dan menikmati musim dingin.

Bulan lebih sering menghabiskan liburan untuk melancong di tempat wisata dalam negeri saja. Bali, Lombok, Labuhan Bajo, dan terakhir kemarin ia dari Raja Ampat.

Jika berlibur di dalam negeri ia menyukai pantai, namun ia tetap tak melupakan salju. Ia sangat menyukai aneka musim yang terjadi di luar negeri.

Keluarga Bulan memang merupakan keluarga yang tergolong kaya, mudah saja bagi mereka untuk membeli tiket pergi pulang keliling Eropa.

Namun, bukan hanya tiket saja yang menjadi permasalahannya. Biaya hotel, jalan jalan, ke tempat wisata, belanja belanja, bahkan membeli oleh-oleh untuk sanak saudara hingga teman temannya.

Bulan ingin melakukan perjalan yang tak terbatas baik waktu maupun biaya. Dapat merasakan tinggal di kota yang dirasa ia sukai untuk beberapa saat.

Lalu bisa menikmati pemandangan di setiap kota kota di negara yang ia kunjungi. Melakukan perjalanan keliling negara ke negara antar Eropa.

Bulan mengincar kota kota besarnya, menikmati restoran, tempat clubbing, dan perawatan kecantikan, yang semuanya dengan fasilitas kelas satu.

Ia ingin sekali berbelanja di butik butik desainer kelas dunia di Milan, Paris, dan London. Ya, berbelanja tanpa batas, tinggal tunjuk ini itu, bungkus, dan angkut! Seperti Nagita Slavina, atau Bunda Maia yang jika mengunjungi kota itu tunjuk saja, tanpa mikir gimana bayarnya.

Bulan juga ingin menikmati musim dingin di negara bersalju, seperti cerita di film film Hollywood.

"Hah..!! Gila kamu, mana bisa seperti itu?" Pekik mama terkejut saat Bulan mengutarakan maksudnya, supaya papa dan mama menjadi penyandang dana sponsor untuk impiannya keliling benua Eropa.

"Ih... Mama biasa aja kali!"

"Mana bisa dianggap biasa saja?! Kalo cuma satu dua minggu, dan cuma jalan-jalan biasa, mama papa bisa bayarin kamu. Tapi ini...? Buang buang duit namanya! Mending uangnya dialokasikan untuk hal hal yang lebih penting, atau untuk kegiatan sosial." Oceh Mama.

"Ma, nanti aku tambahin deh, pake tabunganku. Nggak sekarang, masih beberapa tahun lagi." Rayu Bulan.

"Kenapa nggak Mama dan Papa saja yang nambahin?" Celetuk Papa angkat bicara.

Sebenarnya jawabannya sudah ketebak. Papa hanya ingin menyindir Bulan saja. Mama menganguk angguk setuju mendukung ucapan Papa. Kini Bulan memasang muka cemberut dan mulai merajuk.

"Potong warisan aja deh..!"

Sontak ucapan Bulan membuat Papa dan Mama ya tergelak menanggapinya.

"Yakin amat kamu dapat warisan?" Ledek Mama.

"Yakin dong. Kalian memang terkadang sering membuat kesal, tapi kalian tetap orang tua yang baik dan peduli pada anak anaknya." Sahut Bulan, sambil tetap merayu orang tuanya itu.

"Berarti masih ingat kebaikan dan kepedulian kami yang masih harus melunasi setengah pembayaran rumahmu, dan membayar penuh mobilmu, tanpa memotong warisan." Celetuk Mama dengan senyum penuh kemenangan.

"Gini, sebagai orang tua yang terlalu baik, bagaimana kalo Papa bayarin tiketnya pulang pergi keliling Eropa." Ucap Papa.

"Ditambah biaya hotel dan uang jajan selama seminggu juga ga apa apa, kan, Pa?" Sahut Mama mengusulkan, sambil tersenyum bak malaikat.

Bulan tertunduk sambil manyun menanggapi Papa Mamanya. Mereka membuyarkan impiannya untuk berkeliling Eropa tanpa batas waktu dan biaya.

"Hei, gimana kalo kamu minta sponsor sama Eyangmu saja!?" Saran Papa sambil merangkul pundak Bulan.

Eyang Kakung adalah Ayah dari Papa, yang selama ini tinggal bersama Papa dan Mama.

Perusahaan yang dijalankan Papa adalah milik Eyang. Selama ini Papa menggantikan Eyang, karena alasan kesehatan Eyang yang makin menurun, namun tetap saja keputusan terkadang harus dengan persetujuan dari Eyang Kakung.

Selama ini Eyang sangat dekat dengan Bulan, bisa dibilang ia adalah cucu kesayangan. Eyang adalah sumber harta dan kasih sayang bagi Bulan.

Hubungan yang dekat itu membuat sang Eyang sangat menyayangi Bulan dan Bulan sangat memuja Eyang.

Sejauh ini Bulan telah menerima rumah beserta isinya di pusat kota yang dibayar berdua oleh Eyang dan orang tuanya. Dan beberapa kartu kredit dengan limit yang tinggi.

Tentu saja dengan persyaratan yang harus dipenuhi oleh Bulan. Karena tak ada yang gratis di dunia ini.

Karena Eyang telah memberi banyak selama ini, Bulan merasa tidak etis dan tidak tau diri jika meminta yang lebih besar lagi. Apalagi, Eyang pasti tak akan mengijinkan Bulan bepergian seorang diri ke negara lain, sejauh itu, dalam waktu yang lama. Eyang sangat menyayanginya.

Itulah masalah yang selama beberapa hari menari nari di kepala Bulan. Ia memikirkan bagaimana cara memperoleh uang ekstra dengan cepat, selain dari gaji, tentunya.

Hingga film terputar beberapa episode. Bulan masih tetap memikirkan rencana dan idenya tersebut.

Berhubungan dalam rumahnya, tidak ada barang barang yang berharga, maka ia memiliki ide untuk menyewakan salah satu kamar kosong untuk mencari tambahan uang.

"Hhhmmm lebih aman, jika aku mengiklankan pada teman teman dekat saja." Gumam Bulan, sambil mengusap dagunya seraya berpikir.

Ia mengambil kertas dan pena, ia sedang menghitung nominal yang tepat supaya ia dapat segera memperoleh uang tambahan.

Ia mulai memasang iklan pada story instagramnya maupun whatsapp.

Penyewa Kamar

Siang hari, jam makan siang di sebuah kafe, yang sebenarnya masih masuk dalam pengelolaannya, karena merupakan milik Eyangnya. Bulan masuk menuju sudut kafe, di sana Langit telah menunggunya.

"Jadi, barang barangnya ada di mana sekarang?" Tanya Bulan, matanya memutar mencari cari tumpukan tak milik Langit.

"Di motor." Jawab Langit santai.

"Hah..! Dan motormu ada di parkiran motor?" Bulan mendelik dengan gemas, saat Langit menjawabnya dengan anggukan.

"Haduh.. gak mikir apa, kalo ada yang akan ngambil buntelan barang barangmu yang ada di parkiran motor!" Omel Bulan. Lalu ia menelpon pos satpam untuk mengawasi motor Langit yang penuh akan barang bawaannya.

"Berat, Lan. Jadi aku tinggal di sana. Maaf!" Jawab Langit sambil nyengir.

"Mengapa mendadak banget? Kamu ga kasih aku kesempatan untuk berpikir dan mempersiapkan semuanya."

Langit hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan memasang wajah polos tak berdosa.

Ternyata soto Betawi, gado gado, risoles, dan es campur yang ada di meja, tak cukup untuk membungkam mulut Bulan dari mengomelinya.

"Atau kamu sengaja ya, ga memberikan ku kesempatan untuk berpikir, selain mengiyakan permintaanmu, karena kamu yakin aku ga akan tega menelantarkan seorang teman tidur di jalan." Bulan terus berlanjut mengoceh.

Sungguh Langit sudah hapal dengan apa yang akan terjadi pada dirinya saat mengatakan, bahwa ia akan mulai tinggal di rumah Bulan hari itu juga.

Ya, semalam ia membaca story instagram Bulan, yang menawarkan satu kamar di rumahnya untuk disewakan. Kebetulan rumah kontrakan tempat tinggal Langit akan direnovasi.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, malam itu juga, ia menghubungi Bulan, dan mengatakan secara langsung berminat dengan iklan yang ditawarkannya.

"Langit!" Pekik Bulan menyadarkan dari lamunannya.

"Oh, aku sudah memutar otak berkali kali, dan sebisa mungkin tidak ingin merepotkanmu, tapi, apa daya, uang sudah ga bisa balik lagi, sudah kepake buat biaya renovasi. Dan aku telah terlanjur membayar lunas selama setahun." Ucap Langit lirih hampir tak terdengar.

"Kebetulan kamu menyewakan satu kamar di rumah. Biasanya jika teman sendiri yang menyewa bayarnya bisa tidak seketat biasanya. Bisa nunggak gitu.." Langit memamerkan deretan giginya dengan nyengir.

Sontak membuat mata Bulan melotot.

"Enak saja!"

"Dan, bisa diskon!" Sambung Langit, dengan memasang wajah memelas.

"Dasar teman ga berperasaan!" Jawab Bulan nyolot dan wajahnya menyiratkan penolakan.

"Lan, jika ada budget lebih aku ga bakal sewa di tempatmu. Aku akan ngekost selama beberapa bulan. Dan jika aku nglaju dari rumah ke tempat kerja, itu biayanya sama dengan ngekost. Berat diongkos." Langit menjelaskan kesulitannya pada Bulan.

"Kenapa kamu ga tinggal bersama temanmu yang punya rumah kontrakan itu." Tanya Bulan dengan ketus.

"Dia tinggal di rumah saudaranya."

"Kenapa ga ikut di sana saja? Dia harusnya juga menanggung nasibmu juga!" Umpat Bulan.

"Aku juga maunya gitu, tapi sepertinya sulit Lan. Lagian selama ini, Bayu tak pernah mengambil untung banyak untuk biaya kontrakkan." Jawab Langit sambil merapikan rambutnya yang berantakan.

"Aku pinjemi uangku, untuk kost kamu?" Bulan menawari Langit.

"Tapi aku sama sekali ga punya tabungan ,Lan. Jujur bisa dibilang minus. Lagian aku masih baru bekerja, mana ada cicilan motor." Keluh Langit.

Langit merupakan seorang guru matematika di sebuah sekolah internasional. Dia baru sebulan mengajar di sana.

Anak anak didiknya biasa memanggilnya 'Math Teacher'.

"Ya Ampun Langit, hidupmu kok mengenaskan sekali sih?!" Celetuk Bulan sinis.

"Memangnya kemana saja kamu selama ini?" Ucap Langit sambil tersenyum kecut.

"Aku pasti akan bayar, Lan. Aku gak akan lari kemana mana. Kita kan berteman sudah lama." Langit menatap Bulan dengan sungguh-sungguh.

Bulan menatap tajam temannya itu. Mimik wajahnya mulai berubah, tidak setegang sebelumnya. Mengisyaratkan bahwa Bulan telah luluh dengan keadaan darurat yang dialami oleh Langit.

"Jika kamu khawatir soal Mario, yang tak bisa menerima penyewa laki laki, biar aku yang berbicara dengannya secara langsung." Imbuh Langit meyakinkan hati Bulan.

Mario adalah kekasih Bulan.

"Nggak perlu!" Sahut Bulan.

"Boleh nunggak, tapi ga ada potongan harga!" Imbuhnya lagi.

"Duh, kita kan berteman baik, Lan." Rayu Langit.

"Kamu kan udah bilang tadi!" Seloroh Bulan dengan ketus.

"Sadar nggak Lan. Jika Tuhan sedang memberi kesempatan untukmu untuk berbuat baik di dunia fana ini." Langit masih berusaha merayu temannya itu.

Bulan menatap tajam ke arah Langit dan mendengus dengan keras.

Langit mengubah strateginya. Ia berdehem, dan menyetel mimik muka menerawang dengan mata dibuat satu dan sendu. Wajahnya jauh dari ganteng, tapi yang penting ia dapat menaklukkan hati Bulan.

"Masih ingatkah kamu, saat sedang bertengkar hebat dengan Eyangmu. Kamu dalam keadaan kalut, kamu berlari dan tak ada tempat untuk berlari. Siapa yang akhirnya menyisihkan tempat untukmu beristirahat di malam yang hujan lebat itu?" Langit berusaha merayu dengan membalik kisah sedih Bulan.

Kini, Bulan hanya geleng-geleng kepala, angkat tangan dan mengalah.

Atas nama kemanusiaan dan hubungan pertemanan mereka akhirnya ia berdiri dan merapikan pakaiannya.

"Oke, fine. Hari ini Mbak yang bersih bersih rumah dan cuci baju akan datang. Aku akan minta tolong ke dia membersihkan kamar belakang. Ada beberapa barang di sana, nanti akan aku atur." Ucap Bulan sambil berlalu.

Bulan segera meninggalkan kafe itu kembali ke kantornya yang terletak di sebelah kafe.

Bulan bekerja mengelola gedung area olahraga dan bermain, plus kafe tempat nongkrong. Dan kantornya ada di samping kafe, masih di area itu.

Langit bersorak girang, karena berhasil menaklukkan hati Bulan untuk memberikan tempat tinggal bagi dirinya untuk beberapa bulan ke depan.

Ia berdiri, berlari menyusul temannya itu. Ia merangkul lengan dan bahu Bulan.

"Terima kasih Bulan." Soraknya dengan gembira.

Bulan melepaskan rangkulan Langit.

"Risih tau! Apaan ini, ga enak dilihat orang." Tolak Bulan.

****

"Dia menerima kamu?"

Langit menganguk. Sontak kedua temannya bereaksi antara takjub dan sangsi atas keputusan Langit pindah ke rumah Bulan meskipun hanya sementara.

Mereka saling mengenal Langit, Bagas, dan, Bimo. Bulan mengenal mereka semua karena satu lingkaran pertemanan.

"Kamu yakin kuat?" Tanya Bimo setengah bergurau setengah serius.

"Kuat dong! Aku kan sudah menekan Bulan supaya memberi harga setengahnya. Dia gak rugi banyak kok. Jika renovasinya cepat, mungkin dia atau tiga bulan lagi selesai. Lagian dia akan dapat pahala karena menolong teman yang sedang kesusahan." Seringai Langit.

"Bulan bakal rugi pahalanya, nolong teman golongan hitam kaya dirimu itu!" Sahut Bagas sambil terkekeh.

Bimo ikut tertawa. "Yang aku maksud, bukan kuat itu, tapi kuat iman menahan godaan karena serumah dengan mahluk berlawanan jenis yang tergolong oke seperti Bulan?" Ujarnya.

"Kalian ini, kayak ga kenal Bulan. Dia kan teman kita!" Jawab Langit.

"Kalau teman, lantas ga boleh tergoda gitu? Kamu tuh sok naif atau gak normal?" Bimo menyeringai.

"Semua pria normal Indonesia akan bilang Bulan itu adalah perempuan cantik dan menyenangkan, dan semua pacar pria itu akan ketat ketir, jika tau pasangannya tinggal serumah bareng cewek cantik seperti Bulan." Imbuh Bagas.

Teman satu atap

"Aku adalah lelaki yang setia, dan aku telah memiliki kekasih." Ucap Langit membalas setiap peringatan dari temannya.

"Bro, ingat, kamu harus membuka setiap kemungkinan yang akan terjadi pada kalian berdua. Saat hubungan kalian semakin akrab, saling mendukung satu sama lain, saling curhat, bersenda gurau bersama. Lalu dia mengenakan hot pant, tank top, duduk malas di sofa, kaki selonjoran, kedua tangannya diangkat ditekuk di belakang kepalanya. Kemudian dia mengantuk, memejamkan mata, pakaian tersingkap, bahas tubuh relaks, dan tak ada siapa siap di sana, selain kalian berdua. Kekasihmu sedang menjengkelkan, dan kekasihnya sedang entah ada di mana." Ucap Bimo sambil merangkul pundak Langit.

"Bisa kuatasi!" Jawab Langit sambil menaikkan bahunya.

Bimo dan Bagas bersiul dan menyeringai lebar, seringai khas lelaki.

"Bro, kita sedang membicarakan Bulan.. Ya, Bulan..!" Tukas Bagas.

Langit dan teman temannya merupakan satu lingkaran pertemanan yang luas, bahkan mereka saling mengenal Bulan.

Bukannya kekasih atau teman perempuan mereka ga secantik Bulan. Namun, Bulan mempunyai daya pikat tersendiri.

Bulan merupakan teman yang mudah bergaul, ramah, dan ringan tangan. Bulan juga nyambung dengan obrolan para lelaki itu. Jika ada yang memerlukan bantuan, Bulan dengan sukarela membantu tanpa pamrih. Dan tentu saja, penampilan Bulan yang bisa dibilang cantik.

"Kalian terlalu mendramatisir keadaan!" Dengus Langit pada temannya.

***

Sementara itu di rumah Bulan, ia sedang merapikan rumahnya, dibantu oleh sahabatnya, Maura.

"Apa? Langit? Sudah gila apa kamu, Lan? Dia kan cowok!" Pekik Maura saat Bulan menceritakan bahwa Langit akan tinggal sementara di rumahnya.

"Oh, ya? Cowok ya? Makasih sudah memberi tahu!" Bulan melengos dengan sinis.

"Maksudku, apa ga lebih baik menerima penyewa cewek saja, untuk menghindari tanggapan yang miring atau hal hal yang tak diinginkan. Dan terlebih supaya pacarmu gak mencak mencak!" Maura menasihati Bulan.

Bulan menghempaskan tubuhnya ke sofa, wajahnya cemberut. Dia pun berpikiran yang sama dengan sahabatnya itu. Terlebih menghadapi Mario yang pasti akan sangat marah padanya, jika mengetahui, Langit yang menyewa kamar di rumahnya.

Tak hanya Mario, keluarga besarnya pun akan bereaksi sama, bahkan lebih mengerikan lagi. Tapi, ya sudahlah... Bulan hanya bisa pasrah.

"Langit kemarin datang tiba tiba, lengkap dengan barang barangnya, katanya cuma beberapa bulan saja. Dia gak ada duit, dan hanya padaku dia bisa memohon keringanan masalah pembayaran." Bulan menjelaskan pada Maura.

"Katanya mau cari duit yang banyak, buat stay lama keliling Eropa?" Maura mempertanyakan tujuan awal Bulan menyewakan kamar.

"Iya sih, tapi, kamu kan tau, aku orangnya ga tegaan..!" Bulan pasrah.

"Lalu, Mario sudah tau?" Tanya Maura, Bulan menggeleng lemah.

****

Kamu pulang jam berapa? Aku jemput ya!

Bulan tersenyum membaca whatsapp dari Mario. Kekasihnya sudah gak ngambek lagi. Ini hari ke tiga setelah Mario ngambek padanya.

Bulan cerita ke Mario, jika Langit menyewa kamar di rumahnya. Hanya dua bulan saja, kata Bulan pada Mario.

Mario telah mengetahui Langit. Bulan pernah mengenalkannya pada Mario.

Mario sangat kesal sangat Bulan menceritakan hal tersebut. Bayangkan kekasihnya tinggal satu atap dengan lelaki lain!

Maka, Bulan mengeluarkan jurus beralasan yang logis.

"Dia baru sebulan bekerja, belum ada simpanan untuk pengeluaran tak terduga. Poin yang pertama.

Tidak perlu cemburu, karena dia telah memiliki kekasih. Bahkan mereka telah lebih lama dari kita. Poin yang kedua.

Dia menganut monogami, begitu juga aku. Poin ketiga.

Dan kamu kekasihku, aku mencintaimu. Poin keempat." Ucap Bulan. Poin keempat lumayan menyentuh, membuat Mario melunak.

"Ya, ini kan rumahku, aku bebas mau ngapain saja!" Ucap Bulan dalam hati.

Jujur, reaksi Mario bukan faktor pemberat bagi Bulan mengenai hidup berbagi atas dengan seseorang atau siapa saja. Bukan hanya dengan Langit.

Sejak tahun kedua semasa kuliah, Bulan telah memutuskan untuk keluar dari rumah dan tinggal sendiri, meski pun keluargnya masih satu kota dengannya.

Eyang membelikannya sebuah rumah. Tidak bisa dibilang gratis ya. Karena dia harus meneruskan memegang usaha Area olahraga dan bermain, hingga saat ini ada sebuah kafe di sana. Usaha yang didirikan oleh Eyangnya, dan Bulan harus membantu meneruskan mengelola sebagai imbalannya.

Dulu usaha Kakek kurang menghasilkan, belum terlalu menghasilkan keuntungan yang besar. Papanya Bulan dan Omnya tidak ada yang mau meneruskan usaha itu.

Cucu yang sudah cukup umur adalah Bulan dan Raka. Raka, kakaknya Bulan memilih menjadi pialang saham. Jadilah Bulan yang memegang mandat untuk meneruskan usaha di sana.

Sejak saat itu, Bulan menikmati yang namanya tinggal sendiri, yang dapat diartikan kebebasan privasi yang seluas-luasnya.

Memang para teman, sanak saudara, dan kekasih sering berkunjung, tapi pada akhirnya mereka pulang. Dan Bulan kembali memperoleh waktu pribadinya.

Sekarang, geraknya jadi tidak bebas. Dia tidak bisa semau maunya lagi.

Bulan tidak bisa berkeliaran dengan hanya memakai pakaian dalam sambil bernyanyi tanpa peduli kunci nada, vibrasi, pitch control, dan menari nari, berjingkrak semaunya seperti monyet dari sudut ruangan ke ruangan yang lain. Atau kentut dengan sembarang semaunya.

Terlebih ia tidak bisa lagi bermanja-manja dengan Mario, berpelukan di sofa depan televisi. Ruang gerak jadi sangat terbatas.

Bermanja-manja di rumah Mario, nggak mungkin, karena dia tinggal bersama orang tua dan saudaranya.

"Oke, fine! Aku bisa tetap melakukan semuanya, karena ini adalah rumahku, tapi... Aku harus jaga image ku di depan Langit!" Gumam Bulan.

Sebagai penghiburan diri, berkali kali ia berkomat kamit dalam hati, menyakinkan diri, bahwa semua ini hanya berlangsung selama beberapa bulan saja, tidak lebih!

Selanjutnya, jika penyewanya perempuan, Bulan dapat bertingkat lebih longgar, meskipun untuk adegan bermesraan dengan Mario tetap harus disensor.

Jadilah, Bulan lebih memilih pulang malam. Menghabiskan waktunya di kantor, atau jalan jalan bersama Mario atau dengan teman yang lain. Kecuali saat dirinya sedang sangat lelah dan butuh istirahat.

"Duh, aku kan yang punya rumah, mengapa aku malah yang menghindar dan sengsara?!" Maki Bulan pada dirinya sendiri.

***

Sesampainya di rumah, Bulan tidak langsung masuk ke kamar seperti malam malam sebelumnya. Saat itu sekitar pukul sepuluh lebih, namun, ia belum merasa mengantuk.

Iseng iseng dia melongok ke kamar Langit.

"Tumben jam segini, pintu kamarnya masih kebuka?" Gumam Bulan. Ia mendekati dan menghampiri dan melongok kepala di ambang pintu kamar.

Ada dua plastik besar, entah apa isinya tergeletak di lantai.

"Hai, tumben belum tidur?" Sapa Bulan.

Langit yang tadinya sedang berjongkok membelakangi pintu menoleh.

"Iya, lagi cari celana renang." Jawabnya.

"Besok mau renang?"

"He eh, sama anak anak." Jawabnya sambil meneruskan pencarian celana renangnya.

Bulan menyimpulkan dua tas plastik besar itu pastilah untuk anak anak di sekolah gratis yang diajar oleh Langit.

Mereka adalah anak anak tidak mampu yang menjadi murid Langit dan beberapa teman relawannya.

Langit dan beberapa temannya, baik yang sesama pengajar atau bukan, mengajar anak anak di pemukiman kumuh yang tidak mengenyam pendidikan formal di sekolah. Mereka belajar dari sore hingga malam.

Biasanya tiap kelompok anak dipegang dua orang, masing masing tiga kali seminggu.

Karena sudah lama dilakukan, jaringan relawan makin tersebar dan di beberapa titik daerah. Seiring dengan bertambahnya relawan dan donatur.

"Perlu bantuan kah?" Bulan beranjak masuk, duduk berselonjor.

"Halah, ga usah. Terima kasih atas basa basinya." Sahut Langit.

"Daripada kamu begadang cuma gara gara celana renang! Lagian aku tau kok celana renangmu itu. Yang garis garis vertikal kuning biru, kayak lapis legit." Balas Bulan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!