Suasana hati Nanda sedang tidak baik-baik saja. Bagaimana mungkin suami yang telah berjanji akan terus bersamanya, kini malah lebih sering menghabiskan waktu bersama Mira. Gadis berusia 23 tahun yang selama ini menjadi istri kedua Bram.
Bram menoleh kearah Nanda, tanpa memperdulikan perasaan wanita yang selama ini menjadi istrinya.
"Kamu minta apa? Cerai!? Kita bercerai, kemudian kamu membawa Kevin dan Celo untuk hidup bersama mu di kota kecil itu? Kamu pikir aku bodoh! Sampai aku mati pun, aku tidak pernah akan menceraikan mu, Nanda! Ingat, perjanjian kita selalu bersama menjalani rumah tangga ini untuk anak-anak! Kamu boleh melakukan apapun di luar sana, asal kita tetap bersama, tanpa harus berpisah! Are you understand!!!" tegas Bram berteriak keras di hadapan Nanda.
Air mata yang selama ini dia bendung agar tidak menangis, kini mengalir deras membasahi wajahnya.
"Tapi kamu yang berjanji agar bisa mencintai aku, Mas! Kita sama-sama membesarkan anak-anak. Sekarang kamu pilih aku atau Mira?" teriak Nanda lantang menantang kedua bola mata Bram.
Bram mendengus dingin, "Aku tidak akan menceraikan mu! Kamu istri ku! Istri Bramantyo! Kita ada acara malam ini! Jadi cepat bersiap-siap! Sopir sudah menunggu kita di bawah!" tegasnya tidak ingin di bantah.
Nanda terduduk di lantai kamarnya yang mewah. Kekayaan keluarga yang tidak akan pernah ada habisnya, karena Bram merupakan pengacara hebat sekaligus pengusaha sukses, dan sering menangani kasus kelas kakap yang menjadi incaran para musuh dalam selimut.
Bram membanting pintu kamar dengan sangat keras, kedua baby sitter yang mengasuh Kevin dan Celo bergidik ngeri. Bagaimana mungkin setiap hari mereka harus mendengar kan penderitaan Nanda yang semakin hari semakin menyakitkan.
Nanda tak kuasa untuk berdiri, tubuhnya seakan-akan tidak bertulang, bahkan sangat lemah. Dia tak menyangka Bram akan menghardik nya sekeras ini.
Bergegas dia masuk ke kamar mandi, sebelum Bram berbalik masuk ke dalam kamar, kemudian memaksanya sehingga menyakiti fisik perempuan cantik itu.
Nanda sangat sempurna di mata Bram. Baginya pilihan keluarga tidak pernah salah, namun dia sama sekali tidak bisa memiliki perasaan seperti yang dia rasakan selama ini pada Mira.
Kehamilan Mira, merupakan senjata ampuh bagi wanita muda itu untuk menyiksa Nanda agar berpisah dari Bram.
Nanda menangis sekeras-kerasnya, dia menghancurkan beberapa peralatan make-up nya karena perasaan kesal dan kecewa. Kebenciannya pada sang Mama semakin membara, karena ketidaksukaan keluarga pada sang mantan kala itu.
Kini nasi telah menjadi bubur, Nanda harus kuat menghadapi apapun demi kedua buah hatinya.
Dia meraih gaun malam yang telah di persiapkan Bram, untuk menghadiri acara pernikahan rekan kerja mereka. Nanda hanya sebagai boneka yang senantiasa di mainkan Bram, saat dia terlengah dari Mira.
Nanda mengambil tas tangan yang dilapisi berlian mahal, membuat wanita cantik itu terkesan sempurna dan bahagia. Walau sesungguhnya, di dalam lubuk hati terdalam, terdapat luka yang semakin menganga.
"Percuma rumah besar, uang banyak, karir bagus, suami orang terpandang, tapi menderita. Amet, Nanda butuh kamu ..." tangisnya dalam hati.
Nanda melangkah keluar kamar, sebelum Bram menarik paksa lengannya, atau menggendong tubuhnya seperti karung beras. Seketika dirinya merasa sedikit mual, karena sudah dua hari tidak kuasa untuk menelan nasi di rumah semegah itu.
Kaki jenjangnya menuruni anak tangga, tentu kedua bola mata Bram semakin terpukau dengan pesona dan kemolekan tubuh istrinya.
"Hmm, kamu sangat cantik sayang! Lebih bagus kamu mengikuti semua perintah ku, sebelum aku melakukan hal yang tidak kamu sangka-sangka, dan akan menyakiti mu ..." gumamnya dalam hati.
Nanda menggandeng lengan suaminya, menuju mobil sedan hitam yang telah tersedia di depan parkiran halaman rumah mereka. Ia sedikit menahan rasa mual nya, karena tidak ingin menambah masalah dengan Bram.
Nanda duduk bersebelahan dengan Bram, dia sedikit berbicara, karena merasa ada yang tidak beres dalam tubuhnya.
"Mas ..."
"Hmm ..."
"Aku sudah dua bulan tidak periode, tapi belum sempat untuk ke dokter spesialis kandungan. Bisakah kamu mengantarkan aku ke rumah sakit?"
Bram menoleh kearah Nanda, menatap wajah yang enggan menatapnya.
"Apa kamu hamil?"
Nanda menggelengkan kepalanya, dia menunduk.
"Aku tidak yakin, tapi aku merasa kurang enak badan saja ..."
Bram terdiam, dia berpikir kapan terakhir kali berhubungan dengan wanita yang sudah delapan tahun menikah dengannya.
"Terakhir kali kita melakukannya saat kamu masih berada di kota kecil itu, kan? Hmm, berarti sudah tiga bulan usia kandungan mu?"
Nanda mengunci bibirnya. Dia tak membayangkan terakhir kali dirinya bercinta dengan Amet kala itu. Dua bulan yang lalu.
"Hmm, makanya lebih baik kita ke dokter untuk memeriksa kan kondisi aku ..."
Bram mengangguk meng'iya'kan. Namun dia kembali berpikir, "Besok adalah jadwal Mira memeriksa kandungan. Tidak mungkin dia pergi sendiri tanpa aku ..." gumamnya dalam hati.
"Ya sudah, mungkin jam pulang kerja saja kita memeriksakan kondisi mu! Aku sangat senang jika kamu hamil lagi. Semoga anak ketiga kita ini perempuan, jadi aku bisa merasakan merawat anak perempuan! Apakah seperti Mama kamu yang matre itu, atau bahkan kita akan menjadi orang tua yang lebih mengutamakan pendidikan, seperti pemikiran Papa kamu!"
Nanda hanya bisa menelan ludahnya. Hatinya seketika hancur jika mengingat kebodohan sang Mama yang tega menikahkan nya dengan pria seangkuh Bram.
Mereka tiba di salah satu gedung hotel bintang lima. Yang di hadiri para pejabat dan pengusaha. Tentu saja ini merupakan satu kebanggaan untuk Bram, namun satu petaka bagi Nanda. Karena harus berpura-pura mesra di hadapan para rekan sejawat untuk menjadi istri yang baik juga patuh pada suami.
Bram menggandeng jemari tangan Nanda dengan sangat mesra, sesekali tangannya melilit di pinggul istrinya agar terlihat romantis dan menjadi pasangan harmonis.
Tanser yang menghadiri acara pernikahan rekan mereka, mendekati Nanda. Namun Bram sama sekali tidak memberi ruang pada istrinya untuk bersenda gurau di saat-saat seperti ini.
Nanda hanya tersenyum tipis, menoleh kearah Tanser.
Tanser seperti orang yang sangat tidak berarti apa-apa bagi Bram jika di hadapan para koleganya.
Saat acara makan malam, Nanda meminta izin pada Bram untuk ke toilet, tanpa banyak bertanya pria yang duduk di sebelah istrinya itu memberikan izin, dengan memberikan perintah pada seseorang yang berdiri di sudut tiang ballroom hotel tersebut.
Nanda melangkahkan kakinya lebih cepat, untuk masuk kedalam toilet, di susul oleh Tanser dari belakang setelah menerima pesan singkat dari wanita itu.
Setibanya Nanda di toilet yang tampak sepi, ia membalikkan tubuhnya, menatap lekat kearah Tanser, berhambur memeluk tubuh pria bertulang lunak itu, kemudian menangis sejadi-jadinya.
Tanser hanya bisa mengusap lembut punggung sahabatnya, merasakan apa yang dirasa oleh Nanda selama ini.
"Aku hamil ... Aku hamil anak pria itu!" tangisnya pecah di bahu Tanser.
Tanser tertegun, matanya berembun. Seperti dunia akan runtuh mendengar pengakuan sahabatnya.
"Are you sure about your pregnancy, and what's in your womb is your ex's fetus, baby ...?"
(Apa kamu yakin dengan kehamilan mu, dan yang ada di dalam rahim benih mantan mu, sayang)
Nanda mengangguk di dada Tanser. Dia tidak mungkin membicarakan hal ini pada Bram. Pasti suaminya itu akan membunuh Amet atau bahkan menghancurkan seluruh keluarga sang mantan kekasih masa sekolahnya.
"Aku takut ... Aku takut, Ser!" isaknya.
Tanser menoleh kearah lain, mengalihkan pandangannya agar tidak menjadi bahan gunjingan bagi yang melihat Nanda yang tengah menangis terisak-isak.
"Cup, cup, cup ... Jangan nangis lagi! Kita masih di acara resmi. Nanti dinding ini bicara pada suami mu, satu lagi mantan kamu dalam bahaya ..." bisiknya mengingatkan Nanda.
Nanda mengangguk, mengusap lembut wajahnya, menatap wajah cantiknya di cermin toilet. Ia melihat orang asing yang tanpa di sadarinya tengah mendengar pembicaraan mereka berdua. Secepat kilat, iya meninggalkan toilet kembali ke meja pesta.
Nanda duduk di kursi semula, sementara Bram masih asyik berbincang-bincang, melirik kearah istrinya yang telah kembali.
"Tolong jangan buat masalah di sini! Aku tidak ingin orang-orang melihat kamu dengan wajah seperti itu," sesalnya berbisik ketelinga Nanda.
Nanda memejamkan matanya, membayangkan bahwa Bram akan mengetahui semua ini cepat atau lambat.
Cukup lama Nanda hanya termenung sendiri, memikirkan masalah pribadinya, "Bagaimana mungkin aku harus menghadapi semua ini sendiri. Sementara Mas Bram tidak mau berpisah dengan ku! Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus menggugurkan kandungan ini?" hanya bisa menundukkan kepala, menangisi nasibnya yang tidak pernah merasa kebahagiaan selama pernikahan.
Kebahagiaan yang selama ini di ciptakan Bram terasa semu, tak berarti apa-apa baginya, walau di cukupi dalam materi yang tak pernah kekurangan.
Bram menoleh mesra kearah Nanda, "Sayang ... Kita salaman, dan foto," senyumnya bak malaikat.
Nanda mendongakkan kepalanya, tersenyum mesra, meski hatinya masih terasa perih.
Mereka semua bersalaman dengan pasangan yang tengah berbahagia, berfoto bersama, dan meninggalkan hotel mewah tersebut. Tentu dengan semua drama yang di ciptakan Bram, semakin menyesakkan bagi Nanda.
Bram membukakan pintu mobil, menahan tangannya di pintu agar kepala Nanda tidak terbentur.
Nanda duduk termenung, menatap cahaya lampu, seketika Bram langsung meremas kuat jemari tangan halus istrinya.
"Apakah yang kamu katakan pada Tanser itu benar?" ucapnya tanpa melihat.
Nanda terlonjak kaget, dia sedikit khawatir, menoleh kearah belakang, dan sekelilingnya. Wajahnya seketika kaku tak mampu berkata-kata.
"Mas, kita bisa bahas ini di rumah, jangan di sini. Ada sopir ...!"
Bram tersenyum lirih, dia menggeram, melepaskan tangannya dari tangan wanita yang ketakutan di sampingnya.
Dada Nanda berdegup kencang, seketika dia semakin kalut. Karena Amet akan menghadapi hal yang sangat menyakitkan.
"Mas, jangan lakukan apapun padanya. Aku mohon! Dia tidak salah, aku yang salah! Aku yang telah menggodanya ...!"
Bram menoleh kearah Nanda, tersenyum tipis mendengar suara wanita cantik itu terdengar sangat menggairahkan di telinganya.
Bram menelan salivanya, karena sejak awal mereka tiba di ballroom hotel bintang lima itu, dia sudah meminta Nanda tidak melakukan hal yang bodoh.
Namun, Nanda tak mengindahkan perintah Bram, sehingga semua telah terdengar ke telinganya secepat kilat. Dia merupakan pria yang sangat pintar dan telah meminta orangnya untuk menghabisi Amet tanpa sepengetahuan istrinya.
Rasa memiliki Bram terhadap Nanda sangat tinggi, karena telah berhasil mendapatkan gadis cantik itu, walau harus memberikan uang satu tas besar kepada kedua orang tua Nanda tanpa sepengetahuan wanita itu.
Nanda turun dari mobil, bergegas masuk ke kamar mereka. Namun Bram, seketika menerobos masuk, dan mengunci kamar mereka agar tidak terdengar lagi keributan oleh kedua pengasuh putranya.
"Apa maksud mu tidur dengan pria itu, jawab aku! Dia tidak lebih dari sampah! Tidak memiliki apapun, pantas saja kamu sulit sekali untuk meninggalkan kota itu, hmm!" bentak Bram.
"Mas ... Jaga ucapan mu! Nanda mencintai dia! Ceraikan aku, Mas! Rumah tangga seperti apa ini! Seperti neraka, dan tidak ada kebahagiaan disini! Lebih baik kita berpisah, Nanda bisa ngomong sama Papa juga Mama. Nanda akan menjelaskan pada mereka, Mas!" isaknya.
Bram menatap nanar wajah wanita yang meminta cerai padanya.
"Ini kedua kalinya kamu minta cerai! Apa kamu mau balik sama pria pecundang seperti itu! Lihat dirimu yang sekarang! Dengar sayang, sampai kapanpun kamu masih tetap sama Mas!" tegasnya.
"Mas ... Tolong jangan paksakan Nanda! Ceraikan Nanda, Mas! Ceraikan!"
Bram mendekap tubuh ramping Nanda yang terlihat sangat cantik, gaun malam yang iya kenakan membuat dirinya tak kuasa menahan hasrat yang bergejolak seketika, saat kedua netra itu saling bertemu.
Akan tetapi, Nanda menolak tak ingin melayani suaminya, karena di perlakukan kasar sejak tadi.
Namun, Bram tidak memperdulikan isak tangis istrinya, dia tetap melakukannya, dengan sangat buas. Bahkan membuat Nanda merintih memohon, agar tidak di perlakukan kasar seperti itu.
Bram tak peduli, kali ini dia benar-benar seperti orang kesetanan. Masih terngiang-ngiang di telinganya, saat salah seorang yang menyampaikan kondisi Nanda tengah mengandung benih sang mantan, saat berada di ballroom hotel.
Nanda menangis sekeras-kerasnya, saat Bram menghujamkan miliknya yang sangat menyesakkan di bawah sana. Sungguh kasar, bahkan kali ini pria yang berstatus suami itu, menghentakkan pinggulnya dengan sangat keras, membuat Nanda berteriak keras.
"Mas, lepaskan!" isak Nanda saat tubuhnya sudah tak berdaya.
"Jangan berharap aku akan berhenti! Karena aku tidak ingin kamu mengingatnya, bahkan memberi kabar tentang kehamilan mu ini padanya! Jika kamu melakukan hal itu, aku akan melakukan hal lebih gila lagi dari pada ini!" ancamnya seperti orang kesurupan.
Nanda memiringkan tubuhnya, saat penyatuan mereka terlepas, dan Bram terlelap disamping tubuh telanjangnya.
Nanda berlari ke kamar mandi, melihat tubuhnya yang banyak bekas cakaran tangan Bram. Dia sangat tertekan karena perlakuan Bram, yang sengaja menyiksanya.
"Amet, jemput Nanda, lakukan sesuatu ...!" tangisnya mencari keberadaan handphone yang sejak tadi tidak tahu di mana letaknya.
.
Di kota kecil yang masih terlihat Amet tengah mengurus Susi yang merupakan istri sahnya selama ini, tengah melalui proses pemulihannya. Dia menyuapkan wanita itu dengan penuh perasaan iba.
Bagi Amet memulihkan keadaan Susi lebih utama, apalagi semenjak mendengar kematian Paman Sutarno dan keponakannya sangat tragis.
Kali ini Amet melakukannya atas dasar kasihan, dan tanggung jawab sebagai seorang pria yang berstatus sebagai mantan suami.
Namun sangat berbeda dengan pemikiran Susi, dia merasa terbang di awan mendapatkan perhatian khusus seperti itu oleh Amet. Wajahnya tampak berseri-seri, bahkan bersemangat setelah mendapatkan perhatian lebih dari pria yang masih merasa bahwa mereka sudah mantan.
Amet mengusap lembut kepala Susi, "Tidurlah, Ayah sedang menunggu Tini untuk membawa Angga pulang ke rumah. Jangan tidur terlalu larut, besok kalau sudah enakan kamu kerja Ayah antar saja. Enggak usah pakai motor, takut kenapa-kenapa di jalan," jelasnya.
Susi tersenyum sumringah, saat mendapat perhatian sangat baik dari pria sebaik Amet.
Namun, berkali-kali dia mencari keberadaan handphone milik suaminya, hanya untuk mencari tahu tentang komunikasi Amet dengan mantan yang bernama Nanda.
Saat Amet tengah duduk di luar rumah, menikmati segelas kopi hitam buatan sendiri. Dia melihat dua kali mobil yang sama melintas di depan rumahnya.
Amet melihat plat nomor yang tampak samar, namun tidak dapat menebak, "Kenapa mereka melewati rumah ku? Apakah mereka sedang mencari-cari alamat rumah, atau mungkin mereka tersesat ...! Bukankah tinggal lurus saja mencari jalan keluar ...?"
Amet berdiri tegap di depan rumah, sambil menyesiasati situasi sekelilingnya, "Aku rasa mereka sedang mengawasi kediaman ku saat ini ...!"
Pagi menyapa, matahari bersinar terang menyinari kota metropolitan dengan hiruk pikuk kehidupan di kota besar, membuat Nanda perlahan menggeliatkan tubuhnya, dan mengerjabkan kedua bola mata, mencari keberadaan Bram yang sudah tidak berada di sebelahnya.
Sesekali matanya melirik kearah balkon, terlihat Bram tengah sibuk mondar-mandir seperti setrikaan uap, yang tengah asyik berbincang-bincang melalui telepon.
Bram : "Dengar sayang, kali ini aku tidak bisa pulang kerumah. Nanda lagi hamil, dan aku ingin memastikan bahwa anak itu perempuan. Apalagi kamu mengandung anak laki-laki, Mira. Aku menginginkan anak perempuan, dan aku tidak ingin Nanda mengugurkan kandungannya."
Entah apa yang dikatakan Mira diseberang sana, membuat Bram mencaci maki istri keduanya itu, dengan amarah yang meledak-ledak.
Bram : "Kamu bisa dengarin aku enggak? Aku juga sayang sama Nanda! Dia Ibu dari kedua putra ku, Mira! Jangan pernah paksa aku, karena kamu bisa pergi dengan orang suruhan ku, yang akan menjemput mu!"
Bram mengakhiri panggilannya, mendengus kesal, memukul keras tembok pembatas dengan sangat keras ...
BHUG ...!
"Sial, punya istri dua tapi tidak pernah memberikan ketenangan apapun. Menuntut saja, mentang-mentang usianya lebih muda, dan maunya di mengerti. Dia pikir aku mau melepaskan istri pertama ku. Apa kata dunia, jika aku melepaskan Nanda ... Bodoh! Bodoh!!" geramnya merutuki diri sendiri kemudian melompat-lompat untuk meluapkan kekesalannya.
Sudah lebih dari dua jam Nanda menghindari Bram, melakukan ritualnya, dan merias wajah cantiknya di depan meja rias. Kali ini ia hanya fokus pada diri sendiri, sementara Bram masih sibuk dengan berbalas pesan tengah duduk di sofa kamar mereka.
Tak lama, Bram menyapa Nanda, "Sayang ... Kita mau sarapan di mana? Kata kamu, mau ke dokter, jadi?" Bram mendekati Nanda, memberi pijatan pada pundak sang istri yang terlihat sangat lelah.
"Hmm enggak usah deh, Mas! Nanda pergi sendiri saja ..." jelasnya dengan suara lembut, dan wajah menegang kaku.
Bram mendudukkan bokongnya di bibir meja rias istrinya, seraya bertanya, "Apa kamu mau menghubungi pria itu? Memberitahu bahwa 'sayang, aku sedang mengandung anak kita' ... Ha-ha-ha kamu begitu lucu, Nanda!"
Nanda menghentikan aktivitas merias wajahnya, melirik kearah Bram yang juga menatap padanya. Menarik nafas dalam-dalam, hanya menggelengkan kepala atas ketidaksukaan terhadap sindiran suaminya.
"Bisa kita bicara tentang hal lain, tentang apapun saja, yang lain. Kemaren kita sudah berjanji mau membuka lembaran baru. Nanda berusaha untuk mencintai Mas. Please ... Jangan bahas mantan lagi," ucapnya tegas namun Bram tersenyum tipis.
Bram merupakan pria kejam dan tidak setia. Dia berkata jujur, bahwa dirinya memang tidak mencintai Nanda sejak awal menikah.
"Hmm ... Besok Mas akan keluar kota. Kamu tidak usah kerja dulu, istirahat saja. Nanti pengawal yang akan memberikan semua kebutuhan kamu dirumah," tepuknya pelan di wajah Nanda.
Nanda hanya mengangguk patuh, dia tidak ingin banyak bertanya, ataupun tentang rencana sang suami. Hanya bisa tersenyum lirih dengan berkata, "Terserah Mas saja. Lakukan yang Mas suka! Asal jangan ganggu kehidupan orang lain ...!"
Bram tertawa kecil mendengar permintaan sang istri yang sangat lucu, bahkan baru kali ini Nanda meminta dengan wajah penuh ketakutan, dan membuatnya semakin tersenyum senang.
"Dari awal, Mas selalu bilang sama sayang. Kita akan memperbaiki hubungan ini. Mas juga merasa gagal menjadi seorang suami, tapi apa kamu pernah berpikir untuk Kevin dan Celo? Mereka anak-anak hebat, Nanda. Kamu enggak membuka hati sama sekali untuk, Mas. Sejujurnya, Mas yang bingung dengan pernikahan kita!" jelasnya dengan wajah bengis.
Nanda menundukkan wajahnya, selama ini komunikasi mereka memang jauh dari kata baik, sehingga tidak mengetahui akan di bawa kemana pernikahan ini, terjun bebas ke dasar jurang kah ... Atau tenggelam di dasar lautan.
"Kamu bayangkan saja, selama delapan tahun kita tinggal bersama, tidur di kamar yang sama, kita tampak kaku dan kamu sangat ketakutan, melayani Mas juga karena terpaksa. Jujur Mas seperti menikah dengan boneka seharga dua milyar, seperti yang Mas berikan sama Mama kamu yang mata duitan itu!!" tambahnya lagi dengan nada menggeram.
Nanda tersentak mendengar ucapan suaminya, dia mengangkat kepalanya mendongak kearah Bram, "Aku pikir Mas tidak menyukai sentuhan ku, aku pikir Mas sudah puas dengan Mira. Kenapa kita malah membahas tentang ini? Bukannya selama ini, Mas hanya di sibukkan dengan dunia Mas diluar sana, hingga melupakan aku, hanya karena aku sebagai istri seorang pengacara handal, pengusaha sukses. Tapi kita gagal, Mas! Kita gagal membina rumah tangga ini. Untuk apa kita menikah jika penuh kepalsuan seperti ini! Mas yang enggak bisa lepas dari Jihan, Niken, Amara dan siapa lagi ... Yang di panggil Mama oleh anak-anak! Nanda lupa namanya, oogh Mira yah, Mira istri kedua kamu ... Mas terlalu sibuk sama mereka dari pada Nanda!" kesalnya.
Bram menelan ludah, semua kesalahan memang ada padanya. Tidak semua kesalahan berawal dari Nanda, tapi keegoisan seorang pria yang berstatus sebagai suami itu, lebih melimpahkan semua kesalahan pada wanita cantik nan menawan tersebut.
"Terus, apakah pagi ini kita akan berdebat dengan seperti ini? Bagaimana kita melakukannya lagi, dan kamu akan Mas berikan uang yang banyak hari ini? Mas kangen sama kamu, sayang. Setelah itu, kita ke rumah sakit, dan makan di restoran mewah. Sekalian kamu boleh meminta apapun hari ini. Tas branded, sepatu, sendal, perhiasan, dan kemewahan apapun sayang ..." rayunya mendekatkan wajahnya pada telinga istrinya, agar mau melakukan sesuatu yang berbeda.
Nanda menutup matanya, berusaha menerima sentuhan jemari suaminya yang sudah mendarat di wajah dan leher indahnya.
Bram berbisik perlahan, "Kamu cantik Nanda, kamu sangat menggairahkan, tapi sayang ... Kamu terlalu mengecewakan aku karena telah tidur dengan laki-laki miskin itu!!" hardiknya penuh amarah.
Nanda terdiam kaku, wajahnya menegang mengisyaratkan ketakutan, karena Bram akan menyakiti fisiknya lagi seperti tadi malam.
Nanda meringkuk di kaki Bram, "Mas ... Bunuh saja Nanda, Mas! Jangan siksa Nanda seperti ini, sakit Mas ..." isaknya dengan deraian air mata.
Cinta yang tidak pernah ada diantara mereka, membutakan perasaan dan hati Bram untuk berbuat lembut pada Nanda.
Dengan angkuh Bram menundukkan wajahnya sedikit agar bisa menatap netra indah Nanda yang sangat teduh, mengangkat dagu lancip sang istri, mellumat bibir tipis yang selalu menjadi permainan nya jika memiliki masalah dengan Mira, seperti saat ini. Memperdalam ciuman mereka hanya untuk menyakiti wanita yang sudah mengigil ketakutan.
"Nikmati sayang ... Kita akan bermain-main selama dua jam, dan baru kita melakukan aktivitas lainnya ..." tawanya, mengikat kedua tangan istrinya di kepala ranjang.
Nanda menangis dengan tubuh bergetar hebat, "Mas, aku lagi hamil! Jangan lakukan ini, please Mas ...!"
Akan tetapi Bram tak menghiraukan tangisan istrinya, dia semakin bersemangat untuk melanjutkan permainannya dengan berbagai alat yang sangat menjijikkan bagi Nanda.
"Mashh, jangan!! I-i-itu akan menyakiti anak ku ... Ahh, sa-sa-sa-sakit sekalihh ..."
Bram tertawa kecil, dia terus melakukan apa yang diinginkan nya pada tubuh Nanda, tanpa mau mendengar teriakkan wanita yang tengah semakin ketakutan, dengan jeritan yang sangat menyenangkan baginya ...
"Teruslah menjerit sayang, Mas suka ..."
PLAK ...!
PLAK ...!
Sabetan ikat pinggang milik Bram yang terbuat dari bahan kulit, membuat Nanda berteriak karena kesakitan, ditambah sebuah alat yang tengah bekerja dibagian intinya ...
"Ahh Mashh sakit!" teriaknya semakin kalut tak berdaya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!