Kediaman Keluarga Adhinatha
Azka saat ini berada di kamarnya. Dirinya sedang bersiap-siap untuk berangkat ke kampus.
Tok..
Tok..
"Tuan Muda Lucas apa anda sudah bangun? Nyonya dan Tuan sudah menunggu di meja makan," panggil bibi Hanna di luar kamar Azka.
"Ya, Bi! Aku sudah bangun. Lima menit lagi aku akan turun," balas Azka dengan berteriak di dalam kamarnya.
Setelah mendengar jawaban dari majikan kesayangannya, bibi Hanna pun pergi menuju lantai bawah.
^^^
Ruang Makan
Sesampainya di bawah, Bibi Hanna langsung ke dapur dan menyiapkan keperluan Tuan mudanya.
"Pagi Dad, Pagi Mom." Azka menyapa kedua orang tuanya.
"Pagi juga sayang," jawab Dhava dan Danisa bersamaan.
"Ayo, sayang duduk dan habiskan sarapanmu. Mommy tidak mau kamu jatuh sakit lagi," ucap Danisa Mahendra yang sekarang berubah menjadi Danisa Adhinatha karena menikah dengan Madhava Adhinatha seorang pengusaha tersukses dan terkaya di Jakarta.
"Baiklah, Mom!" jawab Azka.
"Ini Tuan muda susu pisangnya."
"Terima kasih Bibi."
...***...
Kediaman Keluarga Hanendra
Suasana di meja makan tampak hening. Tidak ada yang bersuara. Biasanya dulu di meja makan itu selalu terdengar celoteh-celoteh lucu yang selalu dilontarkan oleh sibungsu untuk kakak-kakaknya. Tapi sekarang?? Semenjak hilangnya sibungsu, tidak ada lagi suara celoteh sibungsu. Yang ada hanya suara dentingan sendok.
"Kakak merindukanmu, Yazka. Kamu ada dimana sekarang?" batin Farraz
"Kapan kau akan pulang, Yazka. Kakak sangat merindukanmu," batin Aryan.
"Yazka," batin Kaivan.
"Yazka sayang. Kamu ada dimana Nak!" batin Karina Agni Hanendra dan Bagas Sadana Hanendra.
"Habiskan sarapanmu Aryan nanti kamu bisa terlambat ke kampus," ucap Karin kepada putra ketiganya.
"Baik, Mi!" jawab Aryan.
"Kakak akan mengantarmu," ucap Kaivan.
"Nanti pulang kakak akan menjemputmu. Jangan pulang sendiri. Kalau kakak telat lima menit. Kamu pulanglah bersama Pandy atau yang lainnya. Mengerti!" ucap Farraz.
"Baik Kak," jawab Aryan.
"Kalau begitu kami berangkat dulu Pi, Mi, kak!" pamit Kaivan dan Aryan.
...***...
Kampus Binus University
Suasana kampus di pagi hari tampak ramai dimana para mahasiswa dan mahasiswi tengah sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Alfan, Randy, Attala, Alman dan Pandy telah sampai dikampus tepatnya di parkiran Kampus. Setelah selesai memarkirkan mobil mewah mereka, Alfan dan keempat saudara sepupunya melangkahkan kaki menuju kelas mereka masing-masing.
Saat baru beberapa langkah, langkah mereka terhenti dikarenakan mendengar suara motor yang berhenti di parkiran. Mereka membalikkan badan dan melihat kearah pemuda yang membawa motor tersebut.
Saat pemuda itu melepaskan helm yang menutupi wajahnya, Alfan dan keempat saudaranya terpaku dan takjub saat melihat wajah pemuda itu.
"Waahh! Wajahnya sangat tampan," ucap mereka bersamaan.
"Siapa dia?" tanya Alfan.
"Baru pertama kalinya kita melihatnya," kata Pandy.
Sementara Azka yang merasa diperhatikan tampak bingung. Tapi dirinya memilih untuk mengabaikannya dan berjalan di hadapan Alfan dan keempat saudaranya tanpa menoleh dan menyapa sama sekali.
"Yaaah!! Sombong sekali tuh bocah," sungut Randy.
Mereka terus memperhatikan Azka sambil terus melangkahkan kaki menuju kelas masing-masing.
"Hei, Azka!" teriak Aarav sambil berlari menghampiri Azka.
Sedangkan Azka tidak merespon panggilan serta teriakan dari Aarav.
"Kau ini dengar tidak aku memanggilmu," kesal Aarav yang sudah berdiri disamping Azka.
"Kau mau apa? Bicara sekarang. Kalau tidak terlalu penting, lebih baik kau pergi dan jangan ganggu aku." ucap Azka dingin.
"Yak! Kau tega sekali mengusirku, Azka! Aku hanya ingin berteman denganmu saja. Apa susahnya sih menerimaku menjadi temanmu?" tutur Aarav.
"Aku tidak mau berteman denganmu. Lebih baik kau cari yang lain saja," jawab Azka.
"Memangnya kenapa? Apa ada yang salah denganku?" tanya Aarav.
"Tidak ada yang salah denganmu. Cuma aku saja yang tidak mau menjadi temanmu. Bukan padamu saja pada orang lain juga. Aku tidak mau berteman dengan siapapun," jawab Azka.
"Kenapa kau tidak mau mau berteman denganku atau dengan yang lainnya?" tanya Aarav penasaran.
"Berteman itu ribet. Banyak masalah. Selalu bertengkar. Dan hal itu yang tidak aku inginkan. Jadi aku lebih memilih sendiri. Bebas tanpa ada ikatan pertemanan," jawab Azka.
Setelah mengatakan itu, Azka pun pergi menuju perpustakaan meninggalkan Aarav sendiri
"Aku akan terus mendekatimu, Azka!
Aku akan membuatmu menjadi sahabatku. Kita lihat saja nanti," batin Aarav lalu pergi menuju kelasnya.
Alfan dan keempat saudaranya yang sedari tadi mendengar percakapan antara Aarav dan Azka membuat mereka menjadi penasaran.
"Jadi nama pemuda itu, Azka!" ucap Alman.
"Siapa dia sebenarnya? Kenapa dia tidak mau berteman dengan orang lain?" tanya Pandy.
"Sudahlah. Kenapa malah mikirin dia sih? Lebih baik kita ke kelas lalu pergi ke kantin!" seru Randy.
Mereka pun pergi meninggalkan halaman kampus menuju kelas masing-masing. Setelah dari kelas mereka semua menuju ke kantin.
^^^
Di Kantin
"Tumben Aryan belum datang. Apa dia tidak kuliah hari ini?" tanya Pandy
"Aryan pasti kuliah hari ini. Aryan itu tidak pernah absen yang namanya kuliah," ucap Attala.
"Benar kata Attala. Aryan kalau soal kuliah itu nomor satu," ucap Alfan.
"Kita tunggu saja mungkin sebentar lagi Aryan datang," kata Randy.
^^^
Halaman kampus
Aryan yang baru sampai di kampusnya. Dia mengedar pandangannya untuk mencari keberadaan saudara-saudaranya.
"Selamat pagi, Aryan!" Deva datang menyapa.
"Pagi juga Deva,." balas Aryan.
"Kau baru datang ya. Tumben sekali?" tanya Deva.
"Hehe, Iya! Biasalah aku dilarang bawa mobil sendiri oleh kedua kakakku. Jadi beginilah kalau resikonya diantar. Kakakku mengantarkan disaat sepuluh menit waktu masuk ke kelas dengan alasan aku tidak terlalu banyak buang waktu di kampus. Kesal bukan?" jawab Aryan.
"Tapikan kedua kakakmu melakukan itu untuk menjagamu dan melindungimu. Mereka tidak mau terjadi sesuatu denganmu setelah apa yang terjadi pada adik bungsu kalian?" ucap Deva.
"Ya, kau benar Deva. Kami sangat merasa kehilangan adik kami. Kami tidak tahu ada dimana dia sekarang. Semoga dia baik-baik saja," Kata Aryan.
"Aku berdoa semoga kalian berkumpul kembali dengan adik manis kalian," ucap Deva.
"Terima kasih Deva. Aku mau ke kelas dulu," pamit Aryan.
"Ok! Oh ya, Aryan. Kalau kau ingin mencari para kakak sepupumu. Mereka ada di kantin. Aku melihat mereka ada disana!" teriak Deva.
"Ya!" teriak Aryan.
^^^
Di Kantin
Aryab sudah berada di kantin. Saat dirinya melihat kakak-kakaknya, Aryan pun langsung menghampiri mereka.
"Kak," sapa Aryan lalu duduk disamping Pandy.
"Kenapa kamu telat?" tanya Randy.
"Biasalah. Kak Kaivan memang sengaja mengantarkanku sepuluh menit sebelum masuk kelas. Biar waktu tidak terbuang percuma katanya," jawab Aryan.
"Kau sudah sarapan?" tanya Alfan.
"Sudah di rumah. Tapi aku mau pesan Jus jeruk, boleh?" tanya Aryan pada Alfan.
"Ya boleh dong. Jadi kau mau jus jeruknya?" tanya Alfan. Aryan mengangguk.
"Bibi Rani aku pesan satu Jus jeruknya ya!" teriak Alfan.
"Baiklah, Alfan!" balas Bibi Rani.
Suasana Kantin yang tadinya hening. Tiba-tiba menjadi ribut. Salah satu mahasiswi tidak sengaja menabrak salah satu mahasiswa yang dikenal sombong, angkuh, galak dan suka buat keributan. Dan mengakibatkan kemeja yang dikenakan oleh pemuda itu tersiram minuman.
"Yak!! Kau punya mata tidak, huh?! Kau lihat apa yang sudah kau lakukan? Kau mengotori bajuku!" bentak pemuda itu.
"Maaf saya, kak! Saya tidak sengaja," jawab gadis itu ketakutan.
"Apa kau bilang?! Minta maaf. Enak saja. Setelah kau mengotori bajuku segampang itu kau meminta maaf. Kau harus dihukum!" bentak pemuda itu lalu menarik kasar tangan gadis itu ketengah lapangan dan kemudian pemuda itu mendorong gadis itu sampai tersungkur di tanah. Gadis itu meringis kesakitan dan tangannya pun terluka.
"Maafkan saya, kak!" ucap gadis itu ketakutan.
Semua mahasiswa dan mahasiswi hanya bisa menyaksikan kejadian itu dengan tatapan Sedih. Tidak yang berani menolong gadis malang itu.
Sebenarnya Alfan dan kelima saudara-saudaranya bukan tidak berani melawan Geng Cobra. Hanya saja mereka tidak mau ikut campur dalam urusan mereka. Jadi mereka juga ikut menyaksikan kejadian itu, walau mereka merasa kasihan pada gadis tersebut.
Saat pemuda itu hendak melayangkan satu tamparan ke wajah gadis tersebut, tapi tangannya sudah terlebih dahulu ditahan oleh seseorang. Ya! Orang itu adalah Azka.
Azka masih memegang kuat tangan pemuda tersebut tanpa ada niat untuk melepaskannya. "Beraninya hanya sama perempuan. Apa kau tidak malu? Kau lahir dari rahim perempuan. Seharusnya kau bisa lebih menghormati perempuan. Bagaimana kalau adik perempuanmu bernasib sama seperti gadis itu?" ucap Azka dengan menatap tajam pemuda itu.
"Memangnya siapa kau. Jangan ikut campur urusanku?" tanya pemuda itu.
Pemuda itu adalah Arga Zahir.
"Aku bukannya mau ikut campur urusanmu. Tapi aku tidak suka melihat seorang perempuan disakiti. Apalagi didepanku," jawab Azka dingin.
"Cih! Jangan sok jadi pahlawan!" bentak Arga sambil menarik kuat tangannya yang masih dipegang oleh Azka.
"Terserah. Yang aku mau kau tidak mengganggu gadis itu lagi," kata Azka.
"Tapi dia sudah mengotori bajuku!" teriak Arga sambil menunjuk kearah gadis itu.
"Tapi gadis itu sudah berulang kali meminta maaf padamu. Kau saja yang memperpanjang masalah ini. Memangnya harga bajumu itu berapa? Biar aku yang mengganti bajumu yang kotor itu. Asal kau tidak menggangu gadis itu lagi. Bagaimana?" tanya Azka.
"Jangan belagu jadi orang. Apa kau pikir, kau bisa mengganti bajuku ini? Kau tidak tahu berapa harga bajuku ini, huh?!" bentak Arga tepat di wajah Azka. Anggota Cobra tertawa meremehkan
"Makanya aku bertanya padamu. Berapa harga bajumu itu?" tanya Azka yang sudah mulai kehabisan kesabarannya.
"5 juta," jawab Arga dengan sombongnya.
Azka langsung mengambil dompet dan mengeluarkan uangnya sebesar 5 juta won lalu memberikannya pada Arga dengan kasar.
"Ambil uang ini 15 juta. Kau bisa membeli tiga baju sekaligus. Dan setelah ini jangan ganggu gadis itu lagi. Sekarang pergi dari sini. Urusan kalian dengan gadis itu sudah selesai!" bentak Azka.
"Brengsek! Awas kau. Aku akan membalasmu," batin Arga.
"Ayo," ajak Arga.
Setelah kepergian Arga dan geng nya. Azka mendekati gadis tersebut. "Kau tidak apa-apa?" tanya Azka.
"A-aku baik-baik saja, kak! Terima kasih sudah menolongku," jawab gadis itu.
"Jangan terlalu formal. Panggil saja Azka. Namaku Rafif Azka Adhinatha. Apa kau bisa berdiri?" tanya Azka.
"Ya, aku bisa."
"Ya, sudah kalau begitu jagalah dirimu baik-baik. Jangan sampai bertemu lagi dengan tikus-tikus busuk itu. Aku mau ke kelas dulu," ucap Azka dan langsung pergi meninggalkan gadis itu.
Alfan dan kelima saudaranya kagum melihat keberanian dari seorang Azka.
"Aku salut sama Azka. Dia berani melawan Arga," Attala.
"Aku makin penasaran sama dia. Siapa dia sebenarnya?" batin Pandy.
Sedangkan Aryan sedari tadi saat kejadian sampai selesai. Matanya tak hentinya memandangi Azka. "Siapa kau sebenarnya?" batin Aryan.
^^^
Bell pulang kuliah berbunyi. Seluruh mahasiswa dan mahasiswi berhamburan keluar dari kelas masing-masing.
"Apa kau akan dijemput, Aryan?" tanya Alfan.
"Seperti Iya, kak. Tapi kata kak Farraz kalau dirinya telat lima menit, aku disuruh pulang dengan kalian," ucap Aryan.
"Ya, sudah. Kita tunggu kak Farraz datang," kata Alman.
Saat mereka sedang berdiri tepat di parkiran kampus. Mereka mendengar suara seseorang. Lalu mereka melihat keasal suara dan suara itu berasal dari Azka. Azka sedang berbicara dengan seseorang di telepon.
"Ya, Mom! Sekitar dua puluh menit aku sampai di rumah. Mommy tidak usah khawatir padaku. Aku baik-baik saja. Untuk saat ini sakit di kepalaku tidak kambuh," jawab Azka lalu mematikan sambungannya setelah Azka berada didekat motornya.
Setelah kepergian Azka. Tersisa hanya Alfan dan kelima saudaranya. Mereka sempat mendengar dengan jelas apa yang diucapkan oleh Azka.
"Apa bocah itu sakit?" tanya Randy.
"Sepertinya Iya, kak. Dari cara dia berbicara dengan ibunya di telepon, sepertinya si Azka itu sedang sakit," ujar Pandy.
"Aryan, seperti kak Farraz telat sepuluh menit. Lebih baik kita pulang sekarang!" seru Attala.
"Ya sudah. Kau bersama kami saja," kata Pandy.
Mereka pun memasuki mobil mereka. Dan pergi meninggalkan kampus.
Di Kediaman Keluarga Hanendra tampak ramai dimana semua anggota keluarga tengah berkumpul diruang keluarga setelah selesai menyantap sarapan pagi. Disana telah berkumpul adik dari Bagas Sadana Hanendra yaitu Arzan Kinza Hanendra dan Adora Lia Hanendra, Rendra Favio Hanendra dan istri Calista Acelin Hanendra. Serta adik dari Karina Agni Hanendra yaitu Danar Zahir Pramudya dan istri Adelia Faranisa Pramudya, Andreas Alexi Pramudya dan istri Agnes Adelia Pramudya.
"Bagaimana kabar pencarian tentang sibungsu kak Bagas?" tanya Arzan.
"Belum ada kabar sama sekali dari orang-orang suruhanku, Arzan. Aku sangat berharap kalau mereka berhasil menemukan keberadaan sibungsu," tutur Bagas dengan wajah sedih. Bagas begitu merindukan putra bungsunya itu.
"Kita semua juga berharap semoga orang-orang suruhan kita berhasil menemukan titik terang dimana keberadaan sibungsu," ucap Andreas menambahkan
^^^
Di Kamar Aryan
"Aryan, Ayolah!" Sampai kapan kau akan mengurung diri di kamar saat berada di rumah? Kau hanya keluar saat ke kampus saja," ucap Pandy.
"Sampai adikku kembali," jawab Aryan.
"Tapi tidak seperti ini juga, Aryan. Bagaimana pun kau harus tetap semangat? Jangan seperti ini," tutur Randy.
"Kami juga merindukannya, Aryan. Sama sepertimu," kata Attala.
"Semangat dan keceriaanku telah dibawa pergi oleh adikku, kak Attala. Aku benar-benar merindukannya. Rindu senyumannya, rindu tawanya, rindu rengekkannya, rindu keusilannya." Aryan berucap dengan matanya yang sudah berkaca-kaca.
^^^
Di Teras
"Bagaimana usaha orang suruhanmu, kak?" tanya Sandy pada Kim Farraz
"Belum ada hasil sama sekali, Sandy. Padahal pencarian ini sudah dilakukan selama sepuluh tahun," ucap Farraz.
"Pencariannya sedikit terhambat, Sandy. Karena kita tidak memiliki foto Nayazka yang sekarang. Yang kita miliki sekarang foto Nayazka saat umurnya sepuluh tahun," kata Kim Kaivan menambahkan
"Jangan putus asa kak Farraz, kak Kaivan. Kita harus tetap optimis. Kita pasti akan berhasil menemukan keberadaan adik kita," ucap Kevin menghibur kedua kakak sepupunya.
"Ya. Kau benar, Kevin!" seru Farraz.
...***...
Di Kediaman keluarga Adhinatha
Di kamar yang begitu luas dan besar dihuni oleh seorang pemuda berwajah tampan dan manis. Ya, siapa lagi namanya kalau bukan Azka Ahza Adhinatha. Seorang mahasiswa jurusan Ilmu Komputer dan jurusan Ekonomi. Azka masih tertidur lelap dan pulas.
Dhava dan Danisa sudah berada di meja makan. Mereka pagi ini ingin berangkat ke Amerika urusan Bisnis.
"Bibi Hanna," panggil Danisa lembut.
"Ya, Nyonya. Ada apa?" tanya bibi Hanna.
"Azka nya belum bangunkan, Bi? Tolong bangunkan dia ya, Bi Hanna karena kami pagi ini akan berangkat ke Amerika. Jadi kami ingin berpamitan sebelum berangkat," ucap Danisa.
"Baik, Nyonya." Bibi Hanna menjawab perkataan dari Danisa sang majikan. Lalu Bibi Hanna langsung melangkahkan kakinya menuju kamar Azka lantai di lantai atas.
Tok..
Tok..
"Tuan Muda Azka. Tuan dan Nyonya sudah menunggu di meja makan," panggil Bibi Hanna diluar kamar Azka.
CKLEK..
Pintu kamar terbuka. Terlihat seorang pemuda tampan yang berdiri di depan pintu kamar. "Bibi Hanna," sapa Azka.
Bibi Hanna tersenyum gemas melihat wajah bangun tidur tuan mudanya. "Kau sangat lucu tuan muda," goda Bibi Hanna lalu mengacak-acak rambut Azka dan kemudian dirinya memasuki kamar majikannya untuk menyiapkan keperluannya.
"Ayo, Buruan bersihkan diri tuan muda. Kasihan Nyonya Danisa dan Tuan Dhava sudah menunggu di meja makan. Tuan Muda ingatkan kalau mereka pagi ini akan berangkat ke Amerika,?" tutur Bibi Hanna memberitahu.
"Astaga! Aku lupa Bi. Ya, sudah aku mandi dulu!" seru Azka langsung berlari ke kamar mandi.
Sedangkan Bibi Hanna hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala melihat kelakuan majikannya itu. "Dasar Tuan muda. Masih muda sudah lupa."
"Keperluan Tuan muda sudah Bibi siapkan di tempat tidur. Kalau begitu Bibi keluar dulu! teriak Bibi Hanna.
"Ya, Bi! Terima kasih!" teriak Azka balik dari dalam kamar mandi.
^^^
Di Meja Makan
"Apa Azka nya sudah bangun, Bibi?" tanya Danisa.
"Sudah Nyonya. Tuan Muda Azka sedang bersiap-siap," balas Bibi Hanna.
"Baiklah," ucap Danisa.
Tap..
Tap..
Tap..
Terdengar suara langkah kaki menuruni tangga.
"Selamat Pagi Papi, Mami!" sapa Azka.
"Selamat Pagi juga sayang," jawab mereka berdua dengan kompak.
"Ayoo, sayang duduk dan habiskan sarapanmu," titah sang ibunya.
"Baik, Mami." Azka menjawab perkataan ibunya dengan lembut.
"Sayang. Bagaimana kuliahmu. Apa semuanya lancar?" tanya Dhava.
"Lancar dan tak ada masalah," jawab Azka.
"Syukurlah! Setelah selesai kuliah nanti kau yang akan menggantikan Papi di perusahaan. Kau yang akan mengolah semua usaha Papi," ucap Madhava Ahza Adhinatha.
"Baik Papi. Aku akan berusaha sebaik mungkin dan aku akan membuat Papi dan Mami bangga," jawab Azka.
Dhava dan Danisa tersenyum bahagia mendengar ucapan dari putra kesayangannya. "Papi dan Mami yakin dan percaya kau pasti bisa menjadi CEO yang sukses, sayang! tutur Danisa Aurelia Adhinatha.
"Oh ya! Papi dan Mami jam berapa mau berangkat ke Amerika?" tanya Azka.
"Sebentar lagi sayang. Sekitar setengah jam lagi. Sebelum itu, ada yang harus Papi dan Mami urus terlebih dahulu sebelum berangkat," jawab Dhava.
"Jadi putra Mami yang tampan ini apa ada waktu untuk mengantarkan Mami dan Papi ke bandara?" tanya Danisa menggoda putranya.
"Aku akan selalu ada waktu untuk Mami dan Papi. Karena Mami dan Papi adalah kebahagiaanku dan hartaku. Aku menyayangi kalian berdua," tutur Azka tersenyum.
Dhava dan Danisa tersenyum mendengar penuturan sang putra. Mereka bangga dengan kepribadian putra mereka. Mereka sangat dan amat sangat menyayangi Azka dan mereka ingin yang terbaik untuk putra mereka. Azka adalah harta mereka, kebahagiaan mereka, anugerah terindah untuk mereka yang telah diberikan oleh Tuhan.
Di sebuah kamar yang begitu besar terlihat seorang pemuda tampan yang sedang terlelap. Dia adalah Aryan Sadana Hanendra. Dirinya tidur di kamar adik kesayangannya Nayazka. Di kamar itulah dia melepaskan rasa rindunya pada adiknya. Kamar sang adik tidak pernah berubah dekorasinya. Masih sama seperti dulu. Ini sebagai bentuk kenangan dari adiknya.
CKLEK..
Pintu dibuka oleh seseorang. Dan orang itu adalah Farraz Sadana Hanendra kakak tertua. Farraz mendekati ranjang Nayazka yang ditempati oleh Aryan. Tangan mengelus rambut Aryan dan juga tak lupa mencium keningnya. Dan itu berhasil membuat Aryan membuka kedua matanya.
"Kakak," sapa Aryan dan dirinya langsung duduk.
"Karena kau sudah bangun. Sekarang bersih dirimu lalu turunlah ke bawah kita sarapan bersama," tutur Farraz lembut.
"Baiklah, kak." Aryan pun langsung beranjak dari tempat tidur dan langsung pergi ke kamar miliknya. Sedangkan Farraz pergi ke bawah. Tapi saat dirinya hendak melangkah. Matanya tak sengaja melihat bingkai foto adik bungsunya. Farraz kemudian mengambil bingkai foto itu lalu mencium foto tersebut menandakan kalau dirinya sangat amat merindukan adiknya. Dan tanpa sadar air matanya mengalir di pipinya.
"Nayazka! Nayazka Sadana Hanendra! Kakak merindukanmu, adikku. Kau berada dimana? Tinggal dengan siapa? Apa kehidupanmu baik disana? Apa kau bahagia? Apa kau tidak ingat dengan kakakmu ini, hum?" monolog Farraz.
"Semoga kau selalu baik-baik saja disana, adikku. Doa kakak selalu menyertaimu. Dan semoga suatu saat Tuhan mempertemukan kita kembali," ucap Farraz berharap akan doanya.
Setelah puas berbicara dengan adik Kesayangannya, walau hanya dengan sebuah foto. Farraz kembali meletakkan bingkai foto pada tempatnya. Lalu pergi meninggalkan kamar Nayazka.
...***...
Di Kamar Azka
Di kediaman keluarga Adhinatha tampak sepi dimana kedua orang tua Azka sedang berada di Amerika. Sedangkan Azka sendiri masih berada di kamar kesayangannya masih bergelut dengan selimut bermotif Iron Man kesukaannya dan tidak ada niatan untuk membuka mata indahnya itu.
CKLEK..
Terdengar suara pintu terbuka. Terlihat sosok wanita paruh baya yang memasuki kamar. Wanita itu adalah pengasuh Azka. Yang tidak lain adalah Bibi Hanna.
Bibi Hanna mendekati ranjang Azka. Dan Menarik pelan selimut yang menutupi tubuh majikannya itu. Bibi Hanna tersenyum melihat wajah damai majikannya saat tertidur.
"Tuan muda Azka ayo bangun. Ini sudah pukul tujuh pagi. Apa tuan muda Azka tidak kuliah?"
"Eughh!" Azka berlahan membuka matanya.
"Bibi Hanna," sapa Azka.
"Ayoo, buruan tuan muda Azka mandi. Setelah itu turun ke bawah. Bibi sudah siapkan sarapan pagi untuk tuan muda," tutur Bibi Hanna tersenyum sambil mengacak-acak rambut majikannya itu.
"Baiklah, Bibi.
^^^
Di Ruang Makan
Sekarang Azka sudah berada di meja makan. Sarapan sudah tersedia di meja makan lengkap dengan segelas susu kesukaannya.
"Bibi Hanna," panggil Azka.
"Ya tuan muda Azka."
"Temani aku sarapan. Bibi sarapan denganku disini," pinta Azka.
"Tapi tuan muda. Bibi tidak bisa duduk di meja makan yang sama dengan tuan muda Azka," jawab Bibi Hanna.
"Memangnya kenapa? Apa itu salah?" tanya Azka.
"Bibi hanya pelayan dan juga pengasuhnya tuan muda Azka. Jadi bibi tidak pantas menemani tuan muda sarapan."
"Ya sudah. Kalau begitu aku tidak mau sarapan. Aku akan langsung ke kampus saja."
"Jangan begitu tuan muda Azka. Tuan muda harus menghabiskan sarapannya terlebih dahulu. Baru ke kampus."
"Aku akan menghabiskannya, asal bibi Hanna menemaniku dan sarapan bersamaku."
"Huff!" Bibi Hanna menghembuskan nafas kasar. "Baiklah! Bibi akan sarapan bersama tuan muda."
Terukir senyuman manis di bibir Azka dan Bibi Hanna dapat melihat senyuman tersebut. "Terima kasih, Bibi! Bibi yang terbaik!" seru Azka.
"Bibi tidak perlu khawatir. Papi dan Mami tidak akan marah bibi Hanna makan bersamaku disini. Aku jamin itu!"
...***...
Di Kampus
Suasana kantin saat ini begitu ramai. Aarav yang sedang menarik tangan Azka agar berjalan dengan cepat menuju tempat dimana teman-temannya menunggu.
"Yak, Rav! Tidak perlu begini juga. Ngapain harus cepat-cepat jika mereka telah menyiapkan tempat untuk kita," sahut Azka yang tangannya ditarik oleh Aarav.
"Bukan aku yang jalannya cepat, Azka! Kau tuh yang jalannya lambat seperti kura-kura. Lamban tahu nggak," balas Aarav tetap menarik tangan Azka cepat.
"Aish! Sebenarnya ada apa sih?" tanya Azka penasaran.
"Nanti kau tahu sendiri," jawab Aarav singkat.
Mingyu menoleh ke beberapa tempat di kantin itu hingga salah seorang temannya melambaikan tangannya pada Aarav dan Azka agar menghampiri mereka.
Aarav menghampiri mereka dengan Azka yang masih meringis kesakitan karena tarikan Aarav yang begitu kuat dan cepat.
"Maaf, kami telat!"
Setelah mengatakan itu, Aarav lalu mengambil tempat yang telah teman-temannya sediakan untuknya dan Azka.
Teman-temannya Aarav adalah kelompok Brainer dan Brainer juga berteman baik dengan Aryan, Alfan, Randy, Attala, Alman dan Pandy.
"Jadi ini teman barumu, Aarav?" tanya Varo saat melihat Azka.
"Iya, Kak!" Aarav menjawab pertanyaan dari Varo dengan bangganya.
"Wah! Wajahnya manis sekali. Seperti cewek," batin Azri.
"Wajahnya tampan dan juga cantik seperti perempuan," batin Fahri.
"Wajahnya menggemaskan layaknya anak kecil," batin Deva.
"Pengen cium tuh bibirnya. Merah banget," batin Varo.
"Kalau aku perhatikan. Wajahnya mirip Nayazka," batin Pandy.
Azka mengerutkan kedua alisnya bingung. "Tunggu dulu. Apa maksud semua ini, Aarav Pradipta?" tanya Azka dingin.
"Begini, Azka. Aku mengajakmu kesini hanya untuk mengenalkanmu pada teman-temanku. Aku hanya ingin kau memiliki teman agar tidak merasa sendiri. Kami semua benar-benar tulus ingin berteman denganmu," tutur Aarav menjelaskan alasannya.
"Ya, itu benar Azka. Kami benar-benar tulus ingin menjalin hubungan pertemanan denganmu," ujar Attala.
"Aarav sudah banyak cerita tentangmu. Kau pemuda yang sangat pintar, serba bisa, penuh talenta. Bahkan kau juga mengambil dua jurusan di kampus ini Jurusan Komputer dan Jurusan Ekonomi," ucap Farrel.
"Kami sangat kagum padamu," kata Alfan.
Azka langsung berdiri dari duduknya. Dan hal itu sontak membuat mereka kaget. "Aku menghargai niat tulus kalian ingin berteman denganku. Tapi maaf. Aku tidak berminat. Aku bangga dan bahagia dengan aku sendirian seperti ini. Kalau sekedar berteman biasa tak masalah. Tapi kalau sudah menyangkut kelompok atau yang namanya persahabatan atau persaudaraan, aku tidak percaya hal itu. Karena semua itu hanya omong kosong. Yang ada hanya kepalsuan. Jadi aku lebih baik memilih tidak punya sahabat atau saudara," tutur Azka lalu pergi meninggalkan kelompok kelompok Brainer, Aryan, Alfan, Randy, Attala, Alman dan Pandy.
"Aish! Anak itu sombong sekali," kata Randy kesal.
"Kalau salah, Randy!" ucap Deva.
"Apa maksudmu, Deva?" tanya Randy bingung.
"Sebenarnya Azka itu tidaklah sombong. Kita tidak bisa mengatakan orang itu sombong hanya karena dia tidak mau berteman dengan kita. Aku rasa ada sesuatu hal yang membuat Azka tidak mau membuka hatinya untuk menerima seseorang menjadi teman atau sahabatnya. Kitakan tidak tahu tentang kehidupannya seperti apa?" tutur Deva menjelaskan.
"Benar juga apa yang dikatakan kak Deva. Sebenarnya Azka itu anaknya baik. Cuma saja dia terlalu tertutup. Dia akan banyak bicara hanya saat urusan kuliah," ujar Henry.
"Bagaimana cara agar si Azka itu mau membuka hatinya untuk menerima seseorang menjadi sahabatnya? Didekati saja susah," ujar Leon.
"Begini saja! Kalau kita memang niat kita tulus ingin menjalin hubungan pertemanan dengan Azka. Kita secara diam-diam saja dekati dia. Kalau perlu kita mengawasinya. Dan siapa tahu saat itulah kita bisa membantunya. Dan siapa tahu juga lama-lama Azka pasti akan membuka hatinya untuk kita dan mau menerima kita jadi temannya," usul Dylan.
"Eeemmm!! Ide yang bagus juga," kata Alman dan diangguki oleh yang lainnya.
"Oke! kita semua setuju," jawab mereka semua kompak.
"Sebenarnya siapa dia? Kenapa susah sekali mendekatinya?" batin Aryan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!