Matahari tenggelam dibalik gunung menyisakan semburat merah pada dinding-dinding langit. Angin sepoi-sepoi menerpa dedaunan, menghasilkan irama yang bergemuruh. Suara kodok dan jangkrik saling bersahutan, di antara gemericiknya air sungai yang mengalir. Keindahan ini tercipta seakan-akan sedang menyambutnya pulang setelah 12 tahun merantau di kota besar.
Suara deru mobil menambah irama kegaduhan, setelah sebelumnya menurunkan seorang pemuda dengan menggendong tas ransel yang cukup besar, dan menenteng 2 kantong buah jeruk sebagai oleh-oleh. Ia tersenyum dan sesekali menghirup udara segar pesawahan, mengingat kembali aroma tempat tinggalnya yang dulu pernah ia tinggalkan.
Hanya butuh beberapa menit menyusuri jalanan setapak di tengah sawah, kini ia sudah sampai di depan rumahnya. Tak banyak yang berubah, hanya terlihat lebih kokoh dari terakhir ia melihatnya.
Tok… tok… tok…
"Assalamu'alaikum," sapanya.
Hening, tak ada yang menyahut. Ia mencoba lagi mengetuk pintu. Dan kali ini terdengar suara kunci pintu dibuka dari dalam.
"Wa'alaikum salam," jawab seorang wanita paruh baya dari balik pintu.
"Ya Allah Ya Gusti!" Pekiknya. "Bima! Beneran ini kamu, Nak?" Dengan suara bergetar ia bertanya.
"Iya Bu, ini Bima, anak Ibu." Jawabnya sambil meraih tangan wanita itu yang tak lain adalah ibunya sendiri, Bu Ratih.
"Ya Allah, Bima anakku." Bu Ratih memandang Bima dengan seksama, sedikit tak percaya anak lelakinya kini tengah berdiri di hadapannya. Setelah meyakinkan diri bahwa pemuda di hadapannya benar-benar anaknya, Bu Ratih memeluknya dan menumpahkan semua kerinduan di dada bidang milik anaknya. Bima membalas pelukan ibunya, dan membiarkannya sampai Bu Ratih puas.
"Ayuk masuk Nak!" Ajak Bu Ratih setelah reda tangisannya.
"Ini Bu, tadi Bima beli di jalan." Bima menyerahkan 2 kantong plastik yang ditentengnya.
Bu Ratih tersenyum haru saat menerimanya, "kamu masih inget buah kesukaan Dila ?"
"Tentu saja Bu. 12 tahun tak bertemu tak akan membuat Bima lupa kesukaan Ibu dan Dila," ucapnya.
Lagi-lagi perkataan Bima membuat hati ibunya terenyuh dan berkaca-kaca. "Terima kasih ya, Nak!"
"Sudah Bu, Bima udah ada disini, jangan ditangisi lagi!" Bima malah menggoda Bu Ratih sambil memeluknya. Bu Ratih hanya tersenyum malu dan buru-buru mengusap air matanya.
"Dila mana Bu ?" Tanya Bima, dari tadi ia belum melihat sosok adik perempuannya.
"Ada di kamarnya."
"Keadaannya bagaimana sekarang ?"
"Kamu lihat sendiri saja." Bima mengangguk.
Bima ke kamarnya terlebih dahulu, menyimpan tas ranselnya. Lalu berjalan ke kamar Dila yang berada tepat di samping kamarnya.
Perlahan Bima membuka pintu kamar Dila, wangi aroma jeruk dari pengharum ruangan menyambutnya. Terlihat seorang wanita tengah duduk di bangku yang menghadap ke jendela, dari sana bisa terlihat jelas kebun sayur dan beberapa tanaman bunga milik ibunya. Pemandangan tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi Dila. Sambil menghirup udara segar yang masuk lewat jendela yang terbuka lebar. Dila sangat betah duduk di sana, bahkan bisa sampai berjam-jam tanpa mengubah posisinya sedikit pun.
Dila masih tak bergeming, ketika Bima masuk ke dalam kamarnya. Entah dia menyadari kehadiran Bima atau tidak. Bima perlahan menghampirinya. Memandang Dila dari ujung rambut sampai kaki. Seketika perasaan amarah menyusup ke hatinya. Marah karena tak bisa berbuat apa-apa untuk menolong Dila.
Tanpa sadar air mata sudah membasahi pipinya tatkala ingatan peristiwa naas yang menimpa Dila muncul kembali.
"Bu Ratih! Bu Ratih!" Dengan suara yang lantang, seorang bapak-bapak memanggil Bu Ratih sambil menggedor-gedor pintu dengan keras. Bu Ratih yang sedang berdzikir setelah menunaikan shalat Isya, langsung berhenti dan bergegas ke ruang tamu untuk membukakan pintu. Begitu pun dengan Bima yang sedang berada di kamarnya langsung keluar. Alangkah terkejutnya Bu Ratih dan Bima, ternyata di depan rumahnya sudah ada Pak RT dan beberapa warga.
"Ada apa Pak RT kok ramai-ramai ke rumah saya?" Bu Ratih bertanya dengan suara yang bergetar karena sangat kaget dengan kedatangan warga yang tiba-tiba.
Pak RT menghiraukan pertanyaan dari Bu Ratih.
"Cepat bawa Dila masuk!" Perintah Pak RT.
"Ya Allah! Kenapa Dila Pak RT?" Sekali lagi Bu Ratih bertanya dengan suaranya yang makin bergetar. Air matanya sudah tak terbendung lagi tatkala melihat Dila yang tak sadarkan diri dibopong beberapa warga dengan berselimutkan kain sarung saja.
"Kamarnya dimana Bu ?" Tanya salah satu warga yang membopong Dila.
"Disini Pak!" Dengan sigap Bima langsung membuka pintu kamar Dila. Sementara Bu Ratih sudah terduduk lemas di lantai dengan pertanyaan yang masih belum terjawab.
Setelah para warga keluar kamar, Bima langsung memakaikan baju dan menyelimuti adiknya dengan selimut. Lalu mengamati wajah Dila dengan seksama. Ada gurat ketakutan yang tergambar pada wajah adiknya. Lalu ia pun mengusap lembut pipi adiknya yang sedikit lebam, seperti bekas pukulan. Kemudian menghapus air mata yang menggenang di kelopak mata adiknya.
"La, apa yang sebenarnya terjadi padamu?" Tanya Bima. Dila masih tak sadarkan diri. Kemudian Bima beranjak dari duduknya, karena mendengar ibunya berteriak histeris.
"Kenapa Bu ?" Tanya Bima dan langsung memeluk ibunya. Karena tak mendapatkan jawaban dari ibunya, Bima langsung bertanya pada Pak RT.
"Sebenarnya apa yang terjadi dengan adik saya Pak ?"
"Begini Nak Bima, tadi Pak Somad menemukan Dila tergeletak di kebun dekat kandang kambing miliknya. Dila sudah tak sadarkan diri dan tak memakai baju sehelai pun," ucap Pak RT hati-hati.
"Apa?" Teriak Bima tak percaya. Sementara Bu Ratih masih hanyut dengan tangisannya.
"Betul Nak Bima, ba'da Maghrib Bapak ke kebun mau ngasih makan kambing-kambing. Dan Bapak menemukan Dila tergeletak begitu saja dekat kandang kambing. Beruntung Bapak selalu membawa sarung, jadi Bapak tutupin pake sarung. Lalu Bapak lapor Pak RT dan kita membawanya kesini," terang Pak Somad.
Bima terdiam, hatinya sangat syok mendengar penuturan Pak Somad.
"Kita ikut prihatin dengan apa yang terjadi pada adik Nak Bima. Semoga apa yang kita sangka tak pernah terjadi pada Nak Dila," ucap Pak RT.
"Terima kasih Pak sudah mengantarkan adik saya ke rumah."
"Tidak usah sungkan. Ya sudah, Bapak dan warga yang lain pamit dulu. Kalau ada apa-apa hubungi Bapak." Bima mengantarkan mereka sampai teras depan. Namun tiba-tiba terdengar suara teriakan dari kamar Dila.
"A… Tolong! Tidak!"
Bima bergegas ke kamar Dila. Disusul Bu Ratih dan Pak RT serta beberapa warga yang belum pulang. Disana terlihat Dila sedang meronta dengan mata yang masih terpejam, seperti sedang berusaha melepaskan diri dari sesuatu yang mencengkramnya. Sontak Bima langsung memeluk Dila, tapi Dila makin menjadi.
"Dila! Tenang! Ini Kakak!" Bima mencoba menenangkan adiknya.
"Tidak! Lepaskan! Tolong!" Dengan sekuat tenaga Dila mendorong Bima. Dan Bima pun terjengkang. Sigap Pak RT langsung membantu Bima berdiri. Bu Ratih langsung menghampiri Dila.
"Dila, sayang. Ini Ibu Nak!" Dengan derai air mata, Bu Ratih perlahan mendekap anaknya. Tapi tak berhasil, Dila tetap menolak.
"La, sayang. Ini Ibu!" Bu Ratih kembali mendekat, perlahan mencoba meraih kedua tangannya. Dan tak disangka, tak ada penolakan dari Dila. Mungkin dia mulai percaya bahwa suara yang didengarnya benar-benar berasal dari ibunya.
"Dila, anakku! Ini Ibu! Jangan takut! Ada Ibu disini," dengan lembut Bu Ratih menenangkan Dila.
Perlahan Dila membuka matanya. " Ibu!" Pekiknya, Dila langsung menghambur ke pelukan ibunya. Kekuatan cinta ibu kepada anaknya memang tak bisa disangkal lagi. Lebih dari segalanya.
Bima dan warga lain yang melihat adegan tersebut tak kuasa menahan air mata. Tak ingin menjadi pengganggu, Pak RT langsung mengajak warga lain untuk keluar dari kamar Dila. Begitu pun dengan Bima, ia mengikuti Pak RT keluar kamar Dila.
"Nak Bima, sepertinya keadaan Dila sedang tidak baik. Bapak sarankan sebaiknya beberapa orang berjaga di sini," ucap Pak RT.
"Saya nurut aja Pak," jawab Bima pelan.
Lalu Pak RT dan para warga mulai berdiskusi. Dan hasilnya 3 orang mulai berjaga mulai malam ini termasuk Pak RT, dan bergiliran setiap harinya sampai keadaan Dila membaik.
Sudah beberapa hari berlalu sejak peristiwa yang menimpa Dila terjadi, tetapi Dila tak kunjung membaik. Setiap kali didekati seorang lelaki pasti akan berteriak histeris, tak terkecuali Bima. Sepertinya Dila mengalami kejadian yang sangat mengerikan, sehingga membuat trauma yang begitu dalam bagi dirinya. Hanya Bu Ratih yang tak
mendapatkan penolakan, mungkin karena Dila memang sangat dekat dengan ibunya. Walaupun usianya sudah 17 tahun, Dila masih suka bermanja kepada ibunya.
Dengan keadaan Dila yang seperti itu, Bima dan keluarganya sulit mendapatkan informasi tentang kejadian yang dialaminya. Bahkan Pak RT dan warga yang lain sudah berkeliling kampung, mencari sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Namun hasilnya nihil, tak ada jejak apapun. Seperti tak terjadi apa-apa.
Dila sempat dirawat di rumah sakit, namun tetap saja tak ada perubahan yang signifikan, hanya tak terlalu sering mengamuk saja. Mungkin itu juga karena pengaruh obat penenang. Sudah berbagai cara keluarga Dila mengobatinya, baik medis maupun non medis. Tapi tetap tak membuat Dila kembali seperti semula. Bahkan harta benda yang dimiliki Bu Ratih ikut habis hanya untuk mengobati Dila. Hingga akhirnya Bima memutuskan pergi ke kota besar untuk mencari pekerjaan. Ia ingin mengambil alih beban yang selama ini dipikul ibunya sendiri. Sejak kepergian suaminya 10 tahun yang lalu, Bu Ratih tak pernah ingin menikah lagi. Ia ingin fokus membesarkan anak-anaknya dengan berjualan nasi uduk dan nasi kuning sebagai sarapan. Dan mungkin inilah saatnya Bima untuk mengambil alih tugas sang ayah, yaitu mencari nafkah. Agar ibunya bisa fokus merawat Dila dengan baik.
Dan kini, perempuan yang berada di hadapannya, tak ubahnya seperti mayat hidup. Tak ada gairah sama sekali. Tubuhnya hanya berisi tulang yang terbungkus kulit saja. Wajahnya pucat, dan mata yang dulu bersinar penuh semangat, kini meredup. Senyumnya pun sudah tak pernah nampak lagi.
"La, Kakak pulang," ucapnya dengan suara pelan. Dila masih tak bergeming. Bima mengangkat tangannya dan mengusap lembut kepala adiknya.
"Bima!" Panggil Bu Ratih sambil berjalan menghampirinya.
"Iya, Bu!"
"Sudah mau magrib, mandi dulu!" Titah Bu Ratih. Lalu Bu Ratih menutup jendela kamar Dila. Bima pun menurut. Badannya memang sangat lengket karena perjalanan yang cukup panjang.
"Bu, Bima mau ke warung." Ucapnya sesaat setelah makan malam selesai.
"Ke rumahnya Mak Isah aja, sekarang buka warung sembako."
"Mak Isah depan gang ?"
"Iya. Sekarang ada anaknya yang pindah kesini."
"Siapa Bu ?"
"Bi Marni. Mak Isah sekarang udah ga bisa apa-apa lagi, ga ada yang ngurusin juga disini. Jadi Bi Marni sekeluarga pindah ke sini. Tapi anaknya ga ikut pindah, katanya sih kerja. Kalau ada libur panjang baru pulang kesini."
"Ibu suka sama anaknya Bi marni, selain cantik dia juga baik. Dia sesekali main kesini nemenin Dila. Rasanya Ibu pengen mantu kayak dia, Bim."
"Ibu kok ceritanya malah jadi ngawur."
Bu Ratih malah tertawa. "Ya sudah, sana ke warung, nanti keburu tutup,"
"Iya."
Hanya membutuhkan waktu 5 menit saja menuju warung Mak Isah.
"Ramai juga," batinnya. Ada beberapa orang laki-laki yang sedang mengobrol sambil minum kopi dan tak lupa sebatang rokok terselip di jari mereka.
"Pak! Rokok sebungkus." Ucap Bima kepada seorang bapak-bapak yang tengah memasak mi instan. Sepertinya untuk pelanggannya.
"Bentar ya A," ucapnya. "Neng Sahla! Tolong Bapak sebentar, layani si Aa ini, mau beli rokok. Bapak tanggung lagi bikin mi."
Tak lama, seorang perempuan muda memakai kerudung hitam sebatas dada datang dari dalam.
" Rokok apa A ?" Tanyanya sopan.
Bima menyebutkan salah satu merk rokok, dan Sahla langsung mengambil dan menyerahkannya. Bima pun menerimanya sambil memberikan selembar uang berwarna biru.
"Ini kembaliannya, terima kasih." Ucap Sahla. Lalu pergi begitu saja, masuk ke dalam rumahnya. Bima yang masih di tempat hanya bengong saja, memandangi Sahla yang kembali ke dalam rumahnya.
"Pak Edi, kopi item satu ya!" Teriak seorang laki-laki yang baru saja tiba. Suaranya mengembalikan kesadaran Bima. Bima pun langsung pergi meninggalkan warung tersebut menuju rumahnya.
Bima tak langsung masuk ke rumah, ia duduk di depan rumahnya sambil menghisap sebatang rokok.
Menyadari anaknya sedang duduk sendiri di depan rumah, Bu Ratih langsung menghampirinya.
"Mau dibikinin kopi, Bim ?"
"Boleh Bu."
Tak lama Bu Ratih kembali dengan secangkir kopi hitam dan duduk menemani putranya.
"Dila tidur Bu ?"
"Sudah, sehabis minum obat langsung tidur." Bu Ratih duduk di samping anaknya. Bima pun langsung mematikan rokoknya yang masih tersisa setengahnya.
"Ibu senang kamu pulang."
Bima mengambil cangkir kopi dan menyeruputnya pelan-pelan. "Bima juga senang bisa kumpul lagi bareng Ibu dan Dila." Bima menjeda ucapannya sambil meletakkan cangkir kopi ke atas meja. "Andai Dila sembuh dan kembali seperti dulu lagi. Mungkin sekarang kita sedang berkumpul bertiga," lanjutnya.
"Mungkin juga sekarang Ibu sudah punya cucu dari kalian berdua," ucapnya sambil tersenyum.
Bima langsung menoleh kepada Ibunya. Tak menyangka akan dijawab seperti itu oleh ibu.
"Mungkin sudah jalan hidupnya harus seperti itu," lanjut Bu Ratih, raut wajahnya berubah muram.
"Bima ingin Dila seperti dulu lagi."
"Kita semua menginginkannya."
Hening. Tak ada lagi perkataan yang keluar dari mereka berdua.
"Bima, jika kamu ingin menikah, menikahlah. Jangan pikirkan adik dan ibumu lagi." Tiba-tiba saja Bu ratih berkata seperti itu. Sontak saja Bima terkejut.
"Ibu ngomong apa sih ? Siapa juga yang mau menikah ?" Elak Bima.
"Usiamu sudah cukup matang untuk berumah tangga. Teman-temanmu banyak yang sudah menikah."
Bima terdiam, tak tahu harus berkata apa. Ia tak pernah memikirkan masalah pernikahan. Yang ada dipikirannya hanya kesembuhan Dila.
"Ibu tidak ingin Dila dan ibu menjadi penghalang kebahagiaanmu," lanjut Bu Ratih.
"Bu, Dila dan Ibu adalah kebahagian Bima."
Bu Ratih tersenyum. "Terima kasih, Nak! Sudah jadi anak yang baik bagi Ibu dan Kakak yang baik bagi Dila."
Bima tersenyum getir. "Aku tak sebaik yang Ibu kira," batinnya.
"Sudah Bu, nanti kalau sudah waktunya, Bima pasti akan menikah," ucapnya, hanya sekedar untuk menyenangkan hati Ibunya.
"Cari perempuan yang bisa nerima keadaan keluarga kita, terutama adikmu. Ibu tidak akan selamanya bisa menjaga Dila. Suatu saat nanti, Ibu pasti akan menyusul ayahmu." Bu Ratih berucap dengan mata yang berkaca-kaca.
"Bu sudah, jangan bicara seperti itu. Ada Bima disini, Bima akan selalu menjaga Dila. Kalau tak ada perempuan yang mau nerima Dila, lebih baik Bima tak menikah sama sekali."
"Sudah malam, kita masuk ya." Bima mengajak ibunya masuk ke rumah dan mengantarkannya ke dalam kamar.
"Ibu istirahat ya, jangan berpikir yang macam-macam lagi. Ada Bima disini. Bima tidak akan ninggalin Ibu dan Dila lagi." Bu Ratih hanya mengangguk saja. Ia sangat terharu anak lelakinya begitu bertanggung jawab dan sayang kepadanya dan adiknya. Lalu Bima pun pamit pergi ke kamarnya.
Dan tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang sedang menumpahkan air matanya. Suasana malam yang sepi, membuat suara mereka leluasa masuk ke dalam telinga siapa saja, termasuk Dila. Namun entahlah, hanya dirinya sendiri yang tahu untuk apa air matanya keluar.
"Ratih, tumben belanja banyak hari ini ?" Tanya Marni saat bertemu di warung sayur.
"Iya Mar, anak bujangku kemarin pulang."
"Wah, aku ikut senang dengarnya."
"Makasih loh Mar. Oh ya, Neng Sahla gimana kabarnya sekarang ?"
"Alhamdulillah baik, kemarin sore baru nyampe."
"Udah lama Neng Sahla ga main ke rumah."
"Iya, katanya banyak kerjaan di sana, disuruh lembur terus. Padahal udah aku suruh berhenti kerjanya, biar tinggal disini aja. Kalau anak jauh rasanya khawatir terus, apalagi anak perempuan," cerocos Bu Marni, ibunda Sahla.
"Biarin aja Mar, mumpung masih muda. Buat cari pengalaman juga."
"Iya sih, tapi aku udah pengen nimang cucu, Tih."
"Sabar Mar. Kalau sudah waktunya, Neng Sahla bakal nikah juga."
Bu Marni terdiam, tak bisa berkata-kata lagi.
"Bagaimana kalau kita jodohkan aja anakmu dengan anakku ?" Tanyanya setengah berbisik.
"Kamu ini ada-ada aja. Mana mau Neng Sahla sama Bima ?"
"Jangan begitu Ratih, siapa tahu berjodoh."
Bu Ratih hanya geleng-geleng kepala. "Udah ah! Aku pulang duluan, kasian Bima belum sarapan," pamitnya.
"Iya. Nanti siang aku main ya sama Sahla. Sekarang aku belanja dulu."
"Iya."
Siang hari, sesuai apa yang dikatakannya. Bu Marni dan Sahla berkunjung ke rumah Bu Ratih.
"Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikum salam. Ayo masuk!" Jawab Bu Ratih dan mempersilahkan mereka masuk. Tak lupa Sahla menyalami Bu Ratih.
"Neng Sahla makin cantik aja," puji Bu Ratih.
"Bibi bisa aja. Dila gimana kabarnya Bi ?" Tanya Sahla.
"Ya begitu-begitu aja Neng," jawab Bu Ratih.
"Sahla nemuin Dila dulu ya Bi." Sahla langsung menuju kamar Dila. Sudah beberapa kali Sahla berkunjung ke rumah Bu Ratih, jadi sudah sangat hafal letak kamar Dila.
Tiba di kamar Dila, pintunya terbuka sedikit. Tanpa ragu Sahla membuka pintu dan ternyata ada sosok pria yang sedang duduk bersama Dila. Pria tersebut langsung menengok ke arah pintu, karena mendengar suara pintu berderit.
"Eh! Maaf mengganggu." Sahla hendak menutup pintunya kembali.
"Tunggu! Siapa ya ?"
Sahla terdiam, tak jadi menutup pintu. "Hmm, anu. Aku mau ketemu Dila."
"Temennya Dila ?"
"Iya."
Pria itu mengangguk. "Masuk, pasti Dila senang ada temannya yang berkunjung."
Sedikit sungkan Sahla masuk ke dalam kamar.
"Pasti kamu senang ada teman yang mau main ke sini. Kakak keluar dulu ya," pamitnya pada Dila. Setelah kepergiannya, Sahla menghampiri Dila dan duduk di sampingnya.
"Hai! Dila. Sudah lama kita ga ketemu. Maaf ya, akhir-akhir ini lagi banyak kerjaan." Sahla menggenggam tangan Dila. Walau tak ada tanggapan darinya, namun bukan masalah bagi Sahla. Ia begitu prihatin pada Dila setelah mendengar apa yang terjadi padanya hingga Dila bisa seperti ini.
"Oh ya. Tadi itu Kakakmu ya ? Wah… pasti kamu senang bisa berkumpul lagi dengan Kakakmu."
Tanpa Sahla sadari, Kakaknya Dila yaitu Bima, memperhatikannya dari balik pintu. Sengaja ia tak menutup pintu rapat-rapat. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan Sahla dengan Dila yang hanya terdiam bagai patung. Namun baru sesaat mendengar percakapan Sahla, Bu Ratih memanggilnya.
"Iya Bu. Ada apa ?" Bima menghampiri ibunya di ruang tengah.
"Ini ada Bi Marni, pengen ketemu sama kamu."
Bima menyalami Bi Marni. "Ganteng juga anak kamu, Tih," ucapnya sembari tertawa riang.
"Ya pastinya ganteng dong, orang laki-laki ya ganteng semua. Ga ada laki-laki yang cantik." Bu Ratih dan Bu Marni tertawa bersamaan. Sementara Bima hanya tersenyum saja.
"Bima udah punya calon belum?" Tanya Bi Marni.
"Calon apa Bi ?"
"Calon istri, Bima. Masa ga ngerti ?"
"Ga ada yang mau sama Bima, Bi."
"Ga ada yang mau, atau kamu nya yang pilih-pilih ?"
"Bener Bi, ga ada yang mau sama Bima." Ucap Bima sambil tersenyum.
"Ya sudah sama anak Bibi aja. Kebetulan, belum punya calon juga."
Bima terkejut, karena tak menyangka Bu Marni seberani itu berkata demikian. Padahal Bima dan anaknya belum saling kenal.
"Mar, jangan begitu. Lihat! Bima syok mendengar kamu berkata seperti itu ," ucap Bu Ratih sembari tersenyum geli karena Bima yang terpaku, tak bisa berkata apa-apa.
Bu Marni malah tertawa. "Ya udah, Bibi kenalin aja dulu ya."
"Neng Sahla!" Panggil Bu Marni dengan suara yang lantang.
Bima mengernyitkan dahi, nama itu mengingatkannya ketika semalam ia ke warung. Ya! Ternyata wanita yang sedang bersama Dila adalah wanita yang ada di warung. Pantas saja ia seperti pernah melihatnya.
Tak lama Sahla telah berada di antara mereka bertiga.
"Sini Neng!" Bu Marni memanggil Sahla agar mendekat kepadanya.
"Kenalin Neng, ini Bima Kakaknya Dila. Dan Ini Sahla, anak Bibi." Sahla dan Bima saling mengangguk.
"Jangan canggung begini. Jadilah lebih akrab, siapa tahu kalian berjodoh," ucapnya sembari tertawa. Bu Ratih hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja sambil tersenyum. Sementara Bima dan Sahla tersenyum malu.
Malam hari, selepas makan malam. Bima duduk di teras rumah, ditemani secangkir kopi dan rokok. Kejadian tadi siang sedikit mengganggu pikirannya.
"Neng Sahla cantik ya, Bim?" Pertanyaan Bu Ratih mengagetkan Bima.
"Ibu! Bikin kaget."
"Kenapa? Kepikiran Neng Sahla ya ?" Goda Bu Ratih.
"Ibu bisa aja." Bima tersipu malu.
"Ibu sangat senang kalau kalian benar-benar berjodoh. Apalagi Neng Sahla terlihat sayang pada Dila, padahal baru beberapa kali saja bertemu. Tapi ia memperlakukan Dila seperti adiknya sendiri."
"Bu, jangan terlalu berharap. Rasanya Bima tak pantas untuk Sahla."
"Kenapa ngomong kayak gitu, Nak ?" Bu Ratih merasa heran kenapa Bima bisa bicara seperti itu.
Bima tertegun cukup lama. "Entahlah Bu, hanya tidak yakin saja Sahla bakal mau sama Bima.
Bu Ratih menghela nafas. Sebenarnya ia juga tak terlalu yakin akan hal itu. Tapi tak ada salahnya kan untuk berharap.
Bu Ratih mengangguk dan tersenyum. "Baiklah. Setidaknya Ibu mengetahui kalau kamu tak ada masalah dengan Sahla."
Bima mengernyitkan dahi. "Maksudnya, Bu ?"
"Sekarang Ibu tahu kalau kamu suka sama Sahla."
"Ibu tahu dari mana ? Ketemu juga baru, masa udah langsung suka."
"Namanya juga jodoh, walaupun baru bertemu, bisa langsung cocok. Kan ada yang kayak gitu, Bim."
Bima terdiam.
"Ibu doakan yang terbaik bagi kamu dan Neng Sahla."
"Kalau kita tak berjodoh, Ibu jangan terlalu kecewa. Ya ?"
"Iya, Ibu paham. Ya sudah, Ibu masuk duluan." Bu Ratih beranjak dari duduknya dan pergi ke peraduannya. Sementara Bima masih setia duduk di teras depan. Menikmati kembali secangkir kopi yang telah dingin dan rokok yang tadi sempat tertunda.
"Apa pantas orang sepertiku mendapatkan wanita seperti Sahla ?" Gumamnya. "Sepertinya Sahla terlalu baik buatku." Bima kembali terdiam, menikmati kesendiriannya.
"Bima!" Sekali lagi Bu Ratih mengagetkan anaknya yang masih duduk sendirian di teras rumah.
"Ibu! Seneng banget ngagetin anaknya." Bu Ratih hanya tersenyum dan kembali duduk di samping Bima.
"Ada apa Bu ? Katanya mau tidur ?"
"Ibu hanya kepikiran saja."
"Kepikiran apa ?"
"Bagaimana kalau besok kita melamar Neng Sahla ?"
"Melamar ?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!