NovelToon NovelToon

Penyesalan Almira

Almira

Kehidupan Mira jauh berbeda dengan teman-teman sabayanya. Setiap hari saat jam istirahat ada saja cerita dari teman-temannya tentang kebersamaan bersama keluarga. Sedangkan dirinya hanya bagian mendengarkan dan menanggapi. Dia tidak punya cerita tentang hangatnya sebuah keluarga.

Kedua orang tuanya sama-sama sibuk dengan pekerjaan mereka. Ayahnya bekerja sebagai manager di sebuah hotel sedangkan ibunya bekerja sebagai Direktur keuangan di sebuah perusahaan besar. Perbedaan penghasilan membuat Wisnu Ardana merasa direndahkan oleh sang istri. Alhasil sering terjadi percekcokan dan mengabaikan Mira.

Untuk menghindari percekcokan, kedua orang tua Mira memilih untuk fokus pada pekerjaan. Sehingga mereka pulang saat Mira sudah tidur dan berangkat lebih awal.

"Mir?" Gina-temannya menepuk pundak Mira yang melamun. "Mikirin apa sih, anteng banget."

"Lagi mikir setelah kita lulus nanti mungkin kita akan jarang duduk seperti ini lagi 'kan. Semua pasti sibuk dengan kehidupan masing-masing. Ya aku merasa belum siap aja gitu berpisah sama kalian," papar Mira.

"Ya aku juga kepikiran tentang itu. Mungkin aku adalah orang pertama yang akan nyebar undangan," timpal Ema membuat mereka bertiga tertawa.

"Kayanya Mira deh yang akan nyebar undangan lebih dulu. Iya kan Mir? Kan katanya sudah punya cowok."

"Emang punya pacar jadi jaminan bakal nikah lebih dulu," sanggah Mira.

"Ya bisa jadi kalau seandainya kamu gak kuat nahan godaan." Mereka kembali tertawa sampai akhirnya bel tanda pelajaran di mulai membuat mereka kembali ke kelas.

Ya Mira sudah punya pacar, namanya Dion. Wajahnya tampan, dan yang paling Mira sukai dari Dion adalah sikap royalnya. Apa yang Mira minta selalu diberikan oleh Dion.

Mira tentu merasa senang. Apa lagi dia tidak mendapatkan perhatian seperti itu dari kedua orang tuanya.

Bel tanda pelajaran usai sudah terdengar, suasana kelas menjadi ramai karena satu persatu anak mulai beranjak dari duduknya. Mira sendiri masih memasukan buku-bukunya ke dalam tas. Kemudian menyusul Gina dan Ema yang sudah lebih dulu ke luar.

"Ngopi yuk," ajak Ema.

"Yuk, dah lama kita gak ngopi. Santai dikitlah sebelum minggu depan ujian semester. Biar gak tegang." Gina menyetujui ajakan Ema. "Mir?"

"Enggak bisa soalnya ...."

Belum selesai Mira bicara, sebuah motor sport berwarna merah berhenti di depan mereka. Si pengendara yang memakai helm Fullface menaikan kacanya. "Mir, ayo naik!" Ternyata Dion menjemput Mira.

"Aku duluan ya," pamit Mira pada kedua temannya.

Mereka mengangguk tapi setelah motor itu melesak jauh, Gina dan Ema saling pandang. "Beneran itu pacar Mira?"

"Ya mungkin, tapi kok ...."

"Apa pikiran kita sama?"

"Kamu mikir apa? Kalau Aku mikirnya dia tuh kayak terlalu dewasa lah buat Mira."

"Em, bahkan aku pikir dia sudah menikah."

Tidak melanjutkan bahasan tentang Mira dan kekasihnya mereka tetap pada rencana awal. Ngopi di kafe.

***

Mira tersenyum bahagia karena Dion menjemputnya. Bahkan ia berpikir teman-temannya akan iri melihat dia punya kekasih se-keren Dion.

"Kita makan dulu ya," teriak Dion karena menggunakan helm fullface pasti suaranya tidak akan jelas.

"Apa?" teriak Mira dari belakang.

Motor Dion memasuki tempat parkir sebuah hotel. Mira mengerutkan kening karena dia di bawa ke sana. "Kalau gak salah dengar tadi mas Dion bilang mau ngajak aku makan, tapi kok kesini?"

"Memang, kita akan makan di dalam. Lagian aku tuh capek baru pulang dari luar kota, makanya kita nge-date nya di sini aja. Biar aku bisa sambil istirahat. Gak papa ya. Oh ya aku juga sudah menyiapkan hadiah di dalam. Masuk yu!"

Mira mulai merasa khawatir tapi dia tetap melangkah mengikuti Dion. Dion sengaja menyewa sebuah kamar untuk mereka.

"Kita gak nginep, kan?" tanya Mira.

"Ya enggak lah, nanti sore aku antar kamu pulang. Oh ya gimana sekolahnya seru?" Dion mengalihkan pembahasan.

"Seru lah, kan masa-masa SMA itu masa-masa paling indah. Ya bersyukur aku masih bisa sekolah di tengah keluarga yang ... ya begitulah." Mira mendudukan tubuh pada sebuah sofa.

"Mereka masih seperti biasa?" Mereka yang dimaksud adalah orang tua Mira. Inilah yang Mira suka dari Dion, lelaki itu selalu memperhatikan perasaannya. Menghiburnya kala ia merasa tidak memiliki siapa pun.

"Lebih parah malah, sekarang mereka itu kayak dua orang asing yang hidup satu rumah. Bertahan karena aku, tapi mereka juga lupa kalau yang aku butuhkan bukan sekedar mereka bersama dalam satu atap. Tapi sebuah kehangatan dalam keluarga."

Dion duduk di sebelah Mira dan merengkuh tubuh itu. "Sabar ya, mungkin mereka masih butuh waktu. Tapi aku akan selalu ada untuk kamu. Kamu mau kan nikah sama aku?"

"Nikah? Kamu yakin mau nikah sama anak korban broken home seperti aku?" Ada rasa bahagia tapi juga cemas.

Dion mengangguk, "kalau kamu mau, kalau enggak ya aku gak akan maksa."

Mira tampak berpikir, benarkah lelaki ini yang akan menemani perjalanannya. Kasih sayang yang diberikan Dion laksana pupuk yang menyuburkan harapannya.

"Mir?" Dion mengangkat wajah Mira, memberikan kecupan pada kening lalu turun ke bibir. "Aku mencintaimu, nikah sama aku ya!"

"Ya, aku mau," jawab Mira penuh keyakinan.

Dion bersorak dalam hati, umpan yang ia lempar sudah dimakan buruannya. Dion semakin berani, dari sebuah kecupan pergerakan bibirnya berubah menjadi pemantik gairah. Dia mendorong Mira agar rebah di atas sofa.

Mira menahan tangan Dion kala kekasihnya itu hendak meraba bagian dada. Ia menggelengkan kepala.

"Please hanya meraba, aku tidak akan minta lebih," pinta Dion memasang wajah memelas. Dia kembali menyatukan nafas nya dengan Mira, membuai Mira dengan sentuhan-sentuhan kecil di area leher.

Mira yang terbuai tak mampu menyingkirkan tangan Dion dari bagian dada. Rasa aneh yang belum pernah ia rasakan, meminta tubuhnya bereaksi lebih.

"Boleh ya, aku akan menikahi kamu setelah ujian sekolah kamu selesai. Hanya tinggal menunggu beberapa bulan lagi kan?" Dion kembali meleparkan umpan. Dia juga merayu Mira dengan kalimat pujian. "Kamu sangat cantik, aku takut kumbang lain membawamu pergi. Aku ingin menandai bahwa kamu adalah milikku. Hanya milikku."

Sebenarnya Mira sangat pintar dalam urusan akademik tapi dia bodoh membaca karakter orang. Sehingga Dion berhasil merayunya membuat tubuh mereka tak berjarak. Hanyut dalam gelora yang belum seharusnya Mira rasakan.

Mira sesekali tertawa ringan kala Dion menggodanya dengan cumbu dan rayu. Sampai akhirnya mereka tiba di puncak haram nirwana. Bahkan lelaki yang belum pasti menjadi suaminya itu menebar benihnya di ladang Mira tanpa pengaman.

"Berjanjilah tidak akan meninggalkanku," pinta Mira pada Dion yang terbaring di sebelahnya.

Ada rasa sesal juga khawatir dalam diri Mira. Begitu mudahnya ia melepaskan apa yang menjadi simbol kesucian seorang perempuan pada lelaki yang mengatakan akan menjadi suaminya melalui kalimat bukan pembuktian.

Semuanya sudah terjadi, dan Mira hanya berharap Dion tidak mengingkari janjinya.

Dion Menghilang

Dion mengantarkan Mira pulang, pria itu tidak khawatir akan bertemu dengan orang tua kekasihnya. Toh rumah memang tampak sepi. Hanya ada dua pekerja di rumah ini, itu pun mereka sering pulang kala menjelang sore. Jadilah Mira selalu kesepian. Dia memiliki seorang adik, tapi adiknya tidak tinggal di sana.

"Aku pulang dulu ya," pamit Dion setelah memberi satu kecupan di kening Mira. Wajah Dion tampak berseri karena telah mendapatkan apa yang ia mau dari Mira.

Mira mencekal tangan Dion, "Mas tidak akan meninggalkan aku kan?" Jelas Mira merasa cemas apa lagi Dion sudah menebar benihnya. Mira takut benih itu akan tumbuh dan Dion menghilang.

"Seperti yang aku bilang tadi, jangan khawatir ya. Mandi sana. Jangan lupa dicuci," jawab Dion dengan senyum yang selalu membuat Mira meleleh. Lantas lelaki itu menaiki motor sportnya dan menghilang setelah pintu gerbang kembali tertutup.

Mira menghela nafas, entahlah dia merasa cemas Dion akan mengingkari janjinya. Dia pun menatap pantulan dirinya di cermin, jejak yang ditinggalkan Dion di sekitar dada masih terlihat jelas. Pun dengan langkah kaki yang terasa mengganggu.

Bi Minah dan Bi Susi mengetuk pintu kamar Mira dan mengatakan kalau mereka akan pulang. "Untuk makan malam sudah bibi siapkan di meja ya, Non."

"Ya sudah, makasih ya, Bi. Oh ya mama sama papa sudah pulang?" Mira selalu bertanya hal yang ia sendiri tahu jawabannya.

"Belum, Bapak dan Ibu juga tidak mengabari, Non."

"Oh," Mira mengangguk dan mempersilahkan pekerjanya pulang. Dia mengantarkan mereka sampai ke pintu gerbang karena tidak ada yang menutupnya dari dalam.

Dia menatap bangunan yang ia tempati sejak lahir, teringat jelas bayangan ia dan sang adik yang hidup dalam kehangatan keluarga. Seiring perjalanan waktu, semua berubah tanpa ia duga.

Berawal dari usaha papa-nya yang gulung tikar. Kemudian mama-nya berniat membantu perekonomian keluarga dengan bekerja. Dari situlah pertengkaran mulai sering terjadi. Ibunya sering mangatur sang suami mentang-menatang penghasilannya lebih besar. Suaminya pun jadi pemarah karena merasa tidak dihargai.

Pertengkaran itu membuat sang adik tidak nyaman berada di rumah. Sehingga adiknya memilih mondok di sebuah pondok yang ada di Jawa Timur. Ia bertahan di rumah karena masih berharap orang tuanya akan berubah. Kenyataannya tetap saja begitu.

Mira masuk ke dalam kamar dan merebahkan diri. Jam dinding sudah menunjuk angka delapan tapi tanda-tanda orang tuanya sudah pulang belum terlihat. Ia juga cek ponselnya tapi tidak ada pesan dari sang kekasih. Padahal biasanya Dion akan menemani malamnya meski hanya sekedar lewat pesan atau bicara di telepon.

Dia mengusap perutnya dan bergumam, "semoga tidak sampai jadi ya."

"Aku gak selingkuh. Aku hanya bekerja." Terdengar teriakan dari ruang tengah. Mira bangun dan mengintip dari pintu.

"Bohong, mana ada bekerja sampai malam seperti ini. Kecuali kamu memang selingkuh," teriak Ardan-papanya Mira.

"Pekerjaanku banyak, makanya aku pulang malam," balas Dina tak kalah sengit, ia tidak terima dituduh selingkuh.

"Termasuk melayani atasan kamu. Iya?" bentak Ardan.

"Iya, lebih baik aku melayani pria berduit dari pada harus menatap wajah surammu itu." Dina menujuk wajah sang suami. Kemudian berbalik dan masuk ke dalam kamar disusul suara pintu dibanting.

Mira memejamkam mata. Dia sudah tidak heran dengan keadaan ini tapi tetap saja dia merasa sakit.

"Mas orang tuaku bertengkar lagi." Mira mengirim pesan pada Dion. Terkirim, centang abu-abu tapi tak kunjung mendapat balasan.

Sambil menunggu balasan, dia membuka buku pelajaran. Mempelajari dengan baik karena hari senin sudah ujian semester. Sampai Mira menutup buku, menyudahi belajarnya, pesan yang ia kirim tak kunjung dibalas. Dia masih berpikir positif, mungkin kekasihnya tengah di jalan atau lagi sama teman-temannya.

Pukul 05:15 Mira baru bangun. Kedua orang tuanya jangankan membimbing Mira untuk ibadah, sekedar membangunkan saja tidak. Dan ketika Mira keluar dari kamar tentu mereka sudah tidak ada di rumah.

Mira sudah rapih dengan seragam sekolahnya. Dia menyapa Bi Minah yang tengah bersih-bersih. "Masakan bibi gak enak ya, Non, sampai gak dimakan gitu tadi malam."

"Bukan, Bi. Memang semalam aku ketiduran aja. Ini enak kok," ucap Mira menyuapakan sarapannya. Ah kapan keluarganya akan membaik. Entah sudah berapa tahun dia selalu sarapan seorang diri.

Selesai sarapan dia lekas berangkat menggunakan taksi online. Untuk urusan uang, orang tuanya memang selalu berusaha agar Mira tidak kekurangan. Nyatanya tetap saja ada yang kurang.

Gina dan Ema sudah tiba lebih dulu, mereka masih di depan gerbang saat Mira tiba. Mereka saling sapa kemudian menuju kelas bersamaan.

Ada yang beda hari ini dengan Mira, ia lebih banyak bengong menatap ponsel. Gina dan Ema saling lirik. "Kenapa Mir?" tanya Ema.

"Em, gak papa." Mira memasukan ponselnya ke dalam tas. Dia heran kenapa Dion tiba-tiba seperti menghilang. Dion memang tidak termasuk orang yang cepat merespon pesan, tapi tidak pernah mengabaikan Mira sampai seperti ini.

"Beneran loh?" Gina ikut bertanya. "Oh ya yang kemarin itu pacar kamu?"

"Iya lah masa bodyguard," kelakar Mira untuk menyembunyikan rasa cemas akan Dion.

"Maaf nih, Mir. Kok aku kurang sreg ya kamu pacaran sama dia," ucap Ema membuat Mira menaikkan satu alisnya.

"Maksudnya kamu yang lebih cocok gitu, Em?"

"Enggak bukan gitu maksud kita. Kayaknya dia ketuaan deh buat kamu. Kenapa sih harus pacaran sama yang dewasa amat. Anak-anak seangkatan juga banyak loh yang naksir kamu," jelas Ema.

"Heeh bener. Dia belum nikah kan?" tanya Gina.

"Ya enggaklah, mana mau aku dapat gelar pelakor," sanggah Mira.

Perkataan kedua temannya membuat pikiran Mira kacau. Dia juga sempat berpikir kalau Dion sudah menikah, apa lagi saat kemarin menyentuhnya Dion begitu tampak lihai. Seperti sudah hafal titik-titik kelemahan perempuan.

Mas kok pesan aku gak dibalas? Kamu sibuk apa gimana? Jangan mengingkari janji ya, Mas

Mira kembali mengirim pesan. Ceklis satu. Mira semakin khawatir.

Mas, kok kamu tiba-tiba ngilang begini. Mas kamu harus tanggung jawab loh.

Mas?

Mira mengirimkan serentetan pesan tapi semua hanya ceklis satu. Dia mulai gamang, dan hendak menangis. Beruntung Bel sekolah sudah berbunyi.

Pulang sekolah Mira kembali menghubungi Dion. Tidak tersambung, nomornya tidak aktif. Pun pesan-pesan yang ia kirim statusnya masih centang satu. Ia mulai takut Dion tidak menepati janji.

Dia berusaha menunjukan bahwa dirinya baik-baik saja pada dua pekerjanya saat mereka bertanya. Dia tetap mengulas senyum meski rasa cemas kian melanda.

Sampai malam bahkan hari sudah kembali pagi. Dion tidak lagi menghubungi Mira. Dion menghilang setelah merenggut kesucian Mira. Lelaki itu mengingkari janjinya.

Hamil

Mira berusaha fokus pada ujian sekolah yang tengah dihadapi. Dia berusaha untuk tidak memikirkan Dion yang hanya akan mengganggu konsentrasi belajarnya. Untuk sementara biarlah Dion bersikap seperti itu, tapi tidak setelah ia menyelesaikan ujian. Mira akan mencari lelaki itu.

Lembar soal sudah ada di mejanya. Bismillah ucapnya dalam hati. Dia mulai mengerjakan satu persatu. Meski berusaha fokus tetap saja bayangan akan terjadi kehamilan menganggu konsentrasinya.

Dia menggelengkan kepala beberapa kali, mememjamkan mata untuk mengusir katakutannya.

"Mira kamu baik-baik saja?" tanya guru pengawas yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik anak didiknya.

"Baik-baik saja kok, Bu," jawab Mira cepat.

"Kerjakan dengan baik. Biasanya kamu selalu unggul saat kamu fokus."

Akhirnya Mira berhasil menyelesaikan satu ujian mata pelajaran. Dia mengucap syukur dengan kepala tentunduk di atas meja. Gina dan Ema menghampiri sebelum memulai ujian mata pelajaran yang lain.

"Kamu sakit, Mir?"

"Iya dari tadi kamu tuh menggelengkan kepala terus," sambung Ema.

"Iya memang kepalaku terasa pusing. Ini efek kurang tidur kali ya," balas Mira.

"Kamu tuh udah pinter, Mir, ngapain belajar sampai kurang tidur segala. Dah lah yang penting lulus aja nanti."

"Justru itu, karena kelulusannya masih beberapa bulan lagi, aku memanfaatkan waktu untuk belajar. Kan belum tahu nanti aku bisa ngisi soal ujian apa enggak. Kita akan merindukan masa-masa seperti ini nanti."

"Percaya deh udah sama kamu mah," kekeh Gina yang kembali ke tempat duduk karena ujian mata pelajaran yang lain akan dimulai dan guru pengawas sudah masuk. Membagikan setiap lembar soal.

Di tengah-tengah mengisi soal, Mira merasakan tubuhnya yang mual. Di situ rasa cemasnya kembali berkumpul. Mira menatap perutnya dan berkata dalam hati, "kalau kamu memang jadi, aku mohon bekerja sama dengan baik. Izinkan aku mengerjakan tugasku dulu ya."

Mira mengusap perutnya dan teman di sebelahnya melirik. Lalu menatap Mira dengan tatapan menyelidik.

Pulang sekolah Mira menyempatkan diri mampir ke sebuah apotek. Membeli beberapa alat tes kehamilan dengan alasan disuruh oleh orang tuanya.

"Ini paling akurat gak, Mbak?" tanya Mira pada petugas apotek yang menyodorkan alat tes kehamilan. "Soalnya mama mintanya yang terbaik katanya," bohong Mira.

"Ini paling sering digunakan mbak, dan kata mereka ini sangat akurat." Si petugas menjawab tanpa rasa curiga. Toh kalau pun iya yang membeli ini dalam keadaan hamil, dia sudah tidak aneh lagi. Kejadian seperti ini bukan satu atau dua kali, beberapa anak SMA yang lain pernah membeli alat yang sama.

Mira segera membayar dan kembali ke rumah. Di dalam kamar dia masih menatap beberapa alat tes kehamilan, dia ragu untuk mencoba tapi dia pun harus memastikan.

Dia cek kolom pesan yang menampilkan percakapan dirinya dengan Dion beberapa minggu lalu. Dion masih belum ada kabar keberadaannya. Mira menyesali perbuatannya dengan Dion. Seandainya dia tidak terbuai maka saat ini setidaknya dia tidak merasakan cemas berlebihan.

Setelah menimang cukup lama dia pun memutuskan untuk melakukan cek. Dia kunci pintu kamar lebih dulu untuk mengantisipasi ada orang yang memergoki.

Air seni sudah ia tampung, dengan degup yang tak karuan ia mencelupkan dua alat tes kehamilan yang berbeda merk sekaligus. Dia mondar mandir di dalam kamar mandi sambil menggigit kuku.

Setelah menunggu sesuai waktu yang dianjurkan, dia membuang nafas kasar sebelum memeriksa hasilnya. Alat tes pertama menunjukan dua garis tapi satunya masih sedikit samar. Dia angkat satu lagi dan kedua garisnya terlihat jelas.

"Astagfirullah," desis Mira mengusap wajahnya. Air mata penyesalan langsung luruh membasahi pipi. Dia menangis menyesali perbuatannya.

Dia kembali mencoba menghubungi Dion tapi keadaannya tetap sama. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana orang tuanya akan marah saat mengetahui bahwa dirinya tengah hamil.

Mas semoga kamu membaca pesan ini, aku hamil, Mas.

Mira kembali mengirim pesan dan berharap akan dibaca oleh Dion. Dia pun menyertakan foto alat tes kahamilannya.

Sampai malam tiba, Mira masih memikirkan apa yang harus ia lakukan. Aborsi? itu bisa jadi pilihan tapi apa ia akan tega membunuh darah daginnya sendiri yang tak pernah meminta untuk dihadirkan.

"Goblok kamu nuduh aku selingkuh, nyatanya kamu malah jalan dengan ****** itu." Kembali Mira mendengar teriakan dari ruang tengah. Ia kembali mengintip. Kali ini mama Mira yang berkacak pinggang.

"Sadar kamu, aku jalan sama dia juga karena kamu gak lagi memenuhi kebutuhanku. Kamu gak lagi menghargaiku sebagai suami. Kamu lupa kodrat kamu kamu sibuk dengan pekerjaan, kamu abaikan rumah, kamu abaikan anak-anak. Kamu pikir aku senang dalam keadaan seperti ini. Enggak."

"Kamu mikir dong Ardan, kalau aku gak bantu kamu kerja mana bisa Mira dan Ardit sekolah. Mana cukup gajimu untuk membiayai hidup kita. Mikir dong kamu bukan malah jalan dengan si ******."

"Kalau gitu kamu penuhi kebutuhan biologisku, aku juga pria normal yang butuh tempat untuk melepaskan hormon stres," balas Ardan.

"Gila kamu, Aku yang capek kerja harus melayani kamu. Kamu sudah pernah tidur sama si ******?"

"Iya."

Mira menutup mulut tak percaya mendengar ucapan sang ayah. Keluarganya benar-benar hancur. Pun dengan dirinya sendiri.

Ia menangis, memeluk lututnya. "Kenapa Tuhan tidak pernah adil pada keluargaku. Apa Tuhan itu ada? Kenapa tidak pernah mengulurkan tangannya untuk memeluk kami," isak Mira. Dia bahkan menyalahkan tuhan atas apa yang terjadi.

Rasa mual akibat kehamilan ditambah ia melupakan makan siang membuat Mira muntah. Setelah membasuh mulut dan membuang cairan muntahnya, Mira mengangkat wajah menatap cermin di depannya.

Wajahnya kini tak lagi berseri seperti dulu. Sungguh menyakitkan saat ia menatap wajahnya yang tampak kusut. Kelopak mata yang bengkak dan cekungan hitam di bawah mata, serta hidung yang merah.

Dia hapus air mata itu, dia bertekad untuk memperbaiki segalanya. "Mungkin aku sudah tidak punya masa depan lagi, tapi aku tidak akan membunuh bayi ini. Dia tidak boleh seperti aku, memilki orang tua tapi merasa hidup sebatang kara."

Dia kembali belajar untuk ujian hari esok. Meski sempat menyalahkan Tuhan, tapi Mira berharap masih ada kebaikan untuk dirinya.

Sebelum adzan subuh Mira sudah bangun, dia akan memperbaiki semua dari hal-hal kecil. Mira tidak menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim, dia masih enggan datang menemui Tuhannya. Dia masih marah akan keadaan.

Mira duduk di ruang tv menunggu salah satu orang tuanya keluar dari kamar masing-masing. Mira menoleh pada mamanya yang sudah berpenampilan rapih.

"Mir? tumben sudah bangun." Dina memanggang roti untuk sarapan dirinya.

"Iya karena kangen sama Mama." Mira beranjak dan memeluk ibunya dari belakang. "Mama terlalu sibuk bekerja sehingga tak punya waktu untukku."

"Gak usah manja, Mir. Kalau mama gak kerja kamu gak bisa sekolah, beruntung kalau kita gak jadi gembel."

"Kalau gitu aku tidak akan ambil kuliah, aku ingin mama tidak sibuk mengumpulkan uang untukku. Aku dan Ardit butuh Mama."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!