Menantu
☘️Cerita ini hanya karangan semata, bukan kisah pribadi atau orang-orang yang ada di sekitarku☘️
Jangan lupa tinggalkan jejak, maacih
"Rima, kamu kok betah, sih tinggal sama mertuamu itu?" tanya Lusi saat aku melintasi rumahnya.
Aku terkesiap mendengarnya. "Pagi-pagi jangan ngajak gosip. Apa lagi tentang mertua."
Selain tidak baik untuk otak, jantung dan kesehatan aku juga tidak mau jadi sasaran mertua dan suamiku nanti. Aku punya kewajiban menjaga nama baik suami dan mertuaku meskipun terkadang menyebalkan.
"Nggak ngegosip kalau aku langsung ngomong sama kamu. Rima, kamu harus tau kalau selama ini mertuamu itu sering nyepelehin kamu dan nggak tulus sayang sama kamu."
Aku tidak mau terpancing. Selain takut salah bicara aku juga takut ada pihak ketiga yang sengaja ingin memecah belah keluargaku. Bisa gawat kalau aku menyampaikan ubi, tapi yang sampai di telinga mertua adalah kolak yang telah dibolak-balik.
"Jujur aku ragu mau kasih tau kamu karena aku takut kamu kepikiran. Tapi, kalau aku diam aja aku nggak tega liat kamu digosipin sama mertuamu itu."
Aku terdiam sejenak, perasaanku mulai tidak enak, selama ini Lusi selalu berkata jujur dan tidak pernah berniat jahat sedikitpun padaku.
"Kemarin, mertuamu membanding-bandingkan kamu sama menantunya yang lain. Katanya, kakak iparmu itu menantu yang paling pengertian. Kalau pulang selalu bawa oleh-oleh dan ngasih uang. Menantu yang no 2 juga begitu, hidupnya udah terjamin mapan, punya rumah warisan dari orang tuanya. Sementara Rima ... jangankan warisan, dulu bisa sekolah dan kuliah aja karena dapat beasiswa! Rumah orang tuanya di kampung aja mau roboh!"
Deg!!
Hatiku terasa sakit seperti dihantam palu godam. Ntah mengapa secara langsung aku merasa direndahkan. Aku memang berasal dari keluarga sederhana berbeda jauh dengan kedua iparku itu. Tapi, mengapa hati ini rasanya sangat sakit ketika ibu mertuaku sendiri membanding-bandingkan aku dengan ipar lain? Sementara selama ini ibu tidak pernah mengungkit atau mempermasalahkan tentang itu.
"Untuk apa bertahan di rumah itu? Mending kamu ajak suamimu itu pindah rumah biar ibu mertuamu tau rasa!"
"Beneran ibu bilang seperti itu?"
"Iya, banyak kok yang denger. Intinya ibunya Rama nyepelehin kamu. Tapi, gak segan memuji menantu yang lain."
"Aku nggak tahu kenapa ibu bisa ngomong begitu. Makasih kamu sudah sampaikan sama aku." Aku buru-buru pergi meskipun Lusi tetap memanggil namaku.
Jujur saja aku kecewa jika ibu mertua memang mengatakan hal demikian. Mengapa aku dibanding-bandingkan dengan mereka yang memang berbeda kelas denganku? Bukankah dari awal ibu tidak keberatan bermenantukan aku? Tapi mengapa di belakang ku ibu mertua mengungkit tentang harta? Apa ketulusanku selama ini tidak cukup untuk memenuhi kriteria sebagai menantunya?
Setibanya di rumah, aku langsung menyibukan diri di dapur . Memasak makanan untuk makan siang para penghuni rumah ini. Ya, beginilah rutinitasku setiap pagi. Masak tiga kali dalam satu hari. Ibu, adik ipar dan suamiku tidak mau makan dengan menu itu-itu saja.
"Kangkung lagi?" Ibu menggelengkan kepala melihatku. "Kamu nggak bosan hampir setiap hari makan itu-itu aja?"
"Hitung-hitung menghemat, Bu. Uang belanja yang dikasih bang Rama tidak terlalu besar hingga bisa makan enak setiap hari."
"Rama kerja cari uang untuk kita makan. Kenapa kamu harus menghemat? Hah, ibu jadi kangen sama Tanti dan Sarah. Kalau ada mereka ibu selalu makan enak!"
Aku tidak menghiraukan keluhan ibu, sebab ucapan Lusi tadi masih membuat pikiranku suntuk. Aku berusaha menahan mulutku agar tidak bicara yang bisa menyinggung perasaan ibu. Biar bagaimana pun ibu tetap harus aku hormati.
"Rima, jangan lupa besok bayar listrik," ucap ibu sembari berlalu ke kamar mandi.
Aku mendesahkan nafas panjang, berharap bisa tetap menjaga kewarasanku. Setelah menikah semua kebutuhan di rumah ini menjadi tanggung jawab suamiku. Sedangkan kedua abangnya angkat tangan. Selama ini aku tidak pernah keberatan karena aku mencintai keluarga ini dengan tulus. Tapi, hati ini tidak terima bila ibu membanding-bandingkan aku dengan para iparku itu.
Huh, memang yang jauh lebih harum daripada yang ada di dekat ibu.
***
Tumis kangkung yang aku masak siang tadi masih utuh. Bahkan, di atas meja sudah ada menu baru yang aku masak untuk makan malam. Tapi, ibu belum menyentuhnya sedikitpun.
Saat ini kami duduk di ruang tv sambil menunggu bang Rama.
"Kayaknya bang Rama lembur lagi, Bu. Lebih baik ibu makan duluan aja biar maghnya nggak kambuh."
"Nanti aja ibu masih nggak selera makan. Kalau kamu mau ya makan aja duluan. Nggak perlu nunggu Rama!" jawab ibu tanpa mengalihkan perhatiannya pada layar datar itu.
Aku hanya mengelus dada. Padahal aku nggak bermaksud makan mendahului bang Rama. Lagi-lagi ibu salah sangka padaku. Sudahlah, lebih baik diam daripada cekcok.
"Hore... ayah udah pulang! " Putriku Susan yang masih berusia lima tahun bersorak menyambut kedatangan ayahnya. Kulihat bang Rama datang membawa tiga kantung plastik warna putih berlogo makanan.
"Anak ayah, coba lihat apa yang ayah bawa untuk kamu." Bang Rama menyerahkan bawaannya padaku. "Ini bawa ke dapur untuk makan malam kita," ujarnya lagi sesaat sebelum menggendong Susan.
"Akhir-akhir ini abang pulangnya selalu kemalaman. Biasanya jam 5 udah di rumah."
Bang Rama yang tadinya tertawa bercanda dengan Susan langsung terdiam menatapku. Kulihat ekspresi wajahnya menjadi gugup.
"Kerjaan numpuk."
"Kamu bawa pesanan ibu?" Pertanyaan ibu menyita perhatian bang Rama. "Mana ayam gorengnya?"
"Iya, Bu. Ayo kita makan malam." Bang Rama berlalu ke dapur dengan masih menggendong Susan. Disusul ibu yang tampak lebih asusias.
"Jadi, ini pesanan ibu?"
Akhir-akhir ini bang Rama tampak Royal. Uang belanjaku selalu pas-pasan. Dapat uang dari mana? Tanggal gajian masih jauh.
***
Ayam goreng yang iklannya selalu muncul di televisi sudah tersaji di atas meja. Ibu dan Susan tampak lahap menyantapnya.
"Jangan siapkan makanan untuk Abang. Kamu makan saja," ucap Bang Rama sembari memainkan ponselnya. Sedari tadi setelah habis mandi senyumnya tidak berhenti mengembang seolah ada yang menarik hatinya. Dengan siapa bang Rama berkirim pesan?
"Abang udah makan? Terus siapa yang mau makan masakanku?"
"Makanya kamu masaknya yang enak. Jangan kangkung terus," sembur ibu padaku. "Ngikuti kamu ibu nggak bisa makan enak kayak begini."
Aku memilih mengalah, sebab tidak mau berdebat di depan Susan.
"Besok giliran bayar listrik jangan bilang uangnya nggak ada," gumamku, namun sepertinya bisa didengar Bang Rama.
"Iya, ini uangnya!" Bang Rama mengambil uang ratusan ribu dari dompet. Ia letakkan di atas meja tepat di hadapanku. "Besok kamu bayar, ya."
"Biar ibu aja yang bayar. Selama ini Rima terlalu boros. Takutnya uang listrik hangus juga!" Ibu mengambil uang itu sebelum aku menerimanya.
2
Susan terlelap usai makan malam. Ibu juga sudah istirahat di kamar setelah minum obat. Ya, akhir-akhir ini kesehatan ibu terganggu hingga harus rutin mengonsumsi obat dari dokter.
"Bang, kayaknya dari dulu ibu kurang suka sama aku, ya?" Aku bertanya sembari menatap langit-langit kamar. "Mengira aku boros dan menghambur-hamburkan uang, padahal penguaran untuk memenuhi kebutuhan di rumah ini."
"Perasaan kamu aja." Suara Bang Rama nyaris tidak terdengar, seperti enggan menanggapi pertanyaanku.
"Memang begitu adanya, mungkin ibu pengen menantu yang punya warisan banyak seperti para iparku."
"Kita nggak mungkin menikah kalau ibu gak setuju sama kamu."
"Ntahlah, Lusi bilang ibu bandingkan aku sama kak Sarah dan kak Tanti. Secara nggak langsung ibu menganggap aku rendah. Katanya orang tuaku mau roboh. "
"Apa yang salah? Memang itu kenyataannya 'kan? Kenapa kamu harus sakit hati? Harusnya kamu pengertian sedikit biar gak gampang sakit hati."
Kali ini suara Bang Rama berhasil menembus gendang telinga hingga aku menoleh melihatnya. Bang Rama masih dengan posisi yang sama. Berbaring sambil main handpone.
"Kenapa harus membandingkan harta dengan orang lain? Sementara selama kita menikah aku nggak pernah menuntut banyak sama abang. Aku bahkan legowo berbagi uang belanja dengan uang kuliah adikmu. Terus, aku kurang pengertian apa lagi?"
"Haish!!" Bang Rama meletakkan ponselnya di atas nakas lalu beralih melihatku. "Lebih baik kamu introspeksi diri sendiri aja. Jangan nyalahin ibu seperti itu. Aku jadi malas pulang ke rumah kalau sikapmu seperti ini terus!"
Setelah mengatakan itu dengan nada marah. Bang Rama meraih selimut lalu memunggungiku.
"Memangnya ada apa dengan diriku? Kenapa jadi aku yang disalahkan?"
Bang Rama tidak meresponku lagi. Kulihat punggungnya mulai bergerak teratur. Aku tidak tahu apa Bang Rama benar-benar tidur atau pura-pura saja.
Introspeksi diri? Ucapan bang Rama membuat aku tidak bisa tidur. Aku tidak tahu apa salahku. Apa sebagai menantu aku kurang memperhatikan ibu? Apa sebagai ipar aku kurang perduli? Apa sebagai istri aku kurang memuaskan? Apa selama ini aku terlalu baper hingga mudah tersinggung dengan omongan yang aku dengar?
Aku putuskan membasuh muka di kamar mandi. Berharap air jernih itu bisa membersihkan hati dan fikiranku. Baru melewati keranjang pakain kotor yang terletak tidak jauh dari ambang pintu kakiku tidak sanggup melangkah. Harum parfum yang menguar dari sana mengundang rasa penasaran.
Ternyata kemeja kerja bang Rama lah yang menjadi sumbernya. Kuhirup aroma parfum asing yang baru tercium di hidungku.
"Ini bukan wangi parfum yang biasa dipakai bang Rama. Ini kayak wangi parfum perempuan."
Pikiran negatif mulai bermunculan di kepala. Apa ini yang membuat bang Rama akhir-akhir ini sering terlambat pulang ke rumah? Apa diam-diam bang Rama punya wanita idaman lain?
Aku putuskan kembali ke kamar untuk mencari kejelasan kepada suamiku itu, tapi aku tidak yakin bang Rama mau berkata jujur. Daripada membuat bang Rama semakin kesal aku putuskan tetap tenang dan memeriksa ponselnya. Aku berharap bisa temukan kebenaran di sana. Aku harus berfikir positif kalau bang Rama nggak mungkin selingkuh di belakangku.
"Dikunci." Aku tidak tahu pola apa yang bisa digunakan untuk membuka layar handpone bang Rama. Dan sejak kapan bang Rama menggunci ponsel ini? Apa serahasia itu sampai aku tidak boleh tau apa isi di dalam sini?
***
Keesokan harinya.
"Rapi bener kamu, Ram," ucap ibu ketika melihat bang Rama baru bergabung di meja makan.
"Team marketing memang harus seperti ini, Bu. Biar bisa menarik perhatian banyak pelanggan."
"Semoga kerja kamu semakin lancar dan semakin disayang sama atasan."
"Pasti, Bu! Atasan Rama di kantor memang the best!" Bang Rama menunjukan kedua ibu jarinya memuji atasannya itu.
"Ini tehnya, Bang." Kuletakkan segelas teh seperti biasa, lalu menyiapkan sepiring nasi goreng untuk bang Rama.
"Nanti malam ibu makanlah saja jangan menungguku pulang." Bang Rama bicara sembari menyantap sarapannya, tidak menyapaku seperti aku benda transparan yang tak terlihat.
"Mau lembur lagi, Bang?" tanyaku penasaran bersama siapa bang Rama di luar jam kerja. Jangan-jangan bersama wanita pemilik parfum itu.
"Iya, abang sibuk banyak kerjaan di kantor."
"Itu lihat suamimu gigih cari duit. Nggak kayak kamu setiap hari bisanya tiduran di rumah aja," sahut ibu tiba-tiba.
"Rima bukanya sengaja nggak mau kerja di luar sana, Bu. Ibu 'kan tahu Rima harus ngurus rumah jagain ibu dan Susan juga."
"Alasan aja, percuma sarjana tapi nggak kerja! Lagian ibu nggak keberatan kalau kamu kerja. Mending kamu kerja aja biar Susan ibu yang ngurus. Tapi, ibu nggak yakin ada yang mau nerima kamu yang dekil begini. Setiap hari pakai daster dan di rumah terus."
Ucapan ibu selalu membuat aku naik darah. "Tap--
"Kamu mau protes?" Bang Rama memungkas ucapanku. "Apa yang dibilang ibu memang benar. Coba lihat kamu itu seperti apa. Setiap hari pakai daster itu-itu aja. Rambut gak dirawat. Aku aja hampir lupa seperti apa kamu yang dulu."
"Aku yang dulu memang berbeda dengan yang sekarang. Dulu aku cantik dan pandai mengurus diri. Setelah menikah dan punya anak aku fokus ngurus keluarga. Aku bahkan mengorbankan waktuku sendiri demi mengabdi di rumah ini. Jelas sekarang aku gak secantik dulu! Apa lagi kamu gak pernah kasih uang lebih untuk beli scincare-ku!"
Sepertinya kesabaranku mulai menipis hingga berani meninggikan suara di depan ibu dan bang Rama. Tidak kusangka suamiku sendiri bisa bicara seperti itu padaku.
"Itu udah jadi kodrat kamu sebagai wanita. Tapi, bukan berarti kamu gak bisa cari duit!" Ibu menimpali ucapanku.
"Ibu...."
Perdebatan kami terhenti ketika Susan dan Leon datang. Leon adalah adik bang Rama yang paling kecil dan masih kuliah.
"Bu, Susan mau main ini di depan." Susan menunjukkan mainan yang baru dibelikan Leon untuknya.
"Iya, jangan jauh-jauh mainnya."
Kulanjutkan sarapan setelah Susan pergi. Rasa kesalku masih bergemuruh di dada. Sedangkan bang Rama tidak bicara lagi.
"Bang, tadi aku ketemu sama kak Citra."
"Uhuk! Uhuk!"
Ucapan Leon membuat bang Rama tersedak. Aku menyodorkan segelas air putih untuknya. Wajah bang Rama tampak memerah setelah air itu berhasil membasahi tenggorokannya.
"Kamu ketemu Citra di mana?" tanya ibu antusias seperti sangat kenal dengan wanita bernama Citra itu.
"Di persimpangan jalan yang mau masuk ke rumah kita."
"Kenapa nggak kamu ajak main ke rumah kita? Citra masih ngenalin kamu 'kan?"
"Masih, katanya udah sering ketemu sama bang Rama," ucap Leon seraya menunjuk bang Rama yang tampak salah tingkah.
Bang Rama sibuk membersihkan mulutnya dengan tisu.
"Citra siapa, Bang?" Aku bertanya dan menuntut jawaban. "Di mana abang ketemu sama Citra itu? Sesering apa?"
Hatiku menjadi panas saat menebak Citra adalah wanita idaman lain yang parfumnya menempel di kemeja suamiku.
Wanita Bernama Citra
"Citra teman sekolah abang dulu. Kami nggak pernah komunikasi lagi setelah lulus SMA. Kebetulan kemarin nggak sengaja ketemu."
Bang Rama bicaranya terkesan dipaksakan. Bahkan, kali ini tidak mau menatap mataku seperti ketika tadi memojokan aku. Kami sudah 7 tahun membina rumah tangga. Aku sangat hapal seperti apa gelagatnya ketika menyembunyikan sesuatu dariku.
"Kok bisa nggak sengaja tapi udah sering ketemu. Memangnya kalian ketemu di mana?" Giliran aku mengintimidasi bang Rama.
"Sudah jangan kita bahas, aku nggak mau kamu curiga dan berfikir yang macem-macem."
Bang Rama menggenggam tanganku, tatapan matanya yang tadi menajam berubah jadi lembut dan dalam. Namun, aku merasa bang Rama sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Lain kali kalau kalian ketemu sama Citra ajak main ke rumah. Bilang sama Citra kalau ibu kangen sama dia," ucap Ibu sebelum aku bicara lagi.
Aku semakin penasaran seperti apa hubungan masa lalu antara keluarga ini dengan wanita bernama Citra itu.
"Iya, Bu. Kak Citra makin cantik. Tadi katanya buru-buru jadi nggak bisa mampir," sambung Leon.
"Ngapain ya Citra di sana? Apa janjian ketemuan sama orang? Tapi, siapa yang dikenal Citra di kompleks ini?" Ibu tampak berfikir keras. Sepertinya sangat menyayangkan wanita bernama Citra itu tidak mampir ke rumah.
"Mana Leon tau. Tapi, yang pasti kak Citra berubah banget. Tambah cantik dan kayaknya kaya. Mobilnya aja mewah dan bagus," ucap Leon lagi.
"Sayangnya Citra nggak jadi menantu ibu," ucap ibu lirih sembari melirikku. "Eh, ibu nggak nyangka kalau akhirnya Rima yang jadi menantu ibu bukan Citra. Padahal Citra itu cantik tapi Rama milih kamu, Rim."
"Oh, jadi Citra itu mantan pacarnya bang Rama?" Tuhkan, lagi-lagi secara tidak langsung ibu membandingkan aku dengan orang lain lagi. "Ibu nyesel punya menantu kayak aku?"
"Ibu nggak bermaksud menyinggung perasaan kamu. Lagian Abang sama Citra cuma temen," sergah bang Rama semakin salah tingkah. Bahkan, nasi goreng itu masih utuh di piringnya. Bang Rama mana bisa makan kalau pikirannya menjalar ke mana-mana.
"Jangan tersinggung Rima. Yang ibu bilang ini 'kan memang kenyataan. Citra itu lebih baik daripada kamu. Ibu rasa kamu harus ketemu sama dia biar tau perbedaan kalian apa!" ketus ibu padaku.
"Kenapa sih ibu suka ngebandingkan aku sama orang lain? Sama kak Tami dan kak Sarah juga. Sekarang, ibu bandingkan aku sama Citra. Padahal, kalau ibu sakit aku yang ngurusin ibu bukan mereka. Tapi, kenapa ibu nggak bisa lihat ketulusanku?"
Akhirnya aku tidak tahan juga. Dadaku bergemuruh hebat saat mengeluarkan unek-unek yang sedari kemarin mengganjal di dada.
"Kamu mengungkit? Nggak ikhlas ngurus ibu dan ngurus rumah ini?"
"Sudahlah kenapa jadi ribut? Rima, ibu sudah tua dan sudah seharusnya kamu bisa memaklumi sikap ibu. Bukan malah menyalahkan ibu terus!" seru Bang Rama, aku tidak tahu mengapa suamiku itu tidak lagi mendukungku malah menyudutkan aku terus.
"Iya, maaf." Lebih baik aku diam, sebab percuma bicara kalau tidak ada yang mengerti apa yang aku katakan. Malah yang ada aku dianggap sengaja memancing keributan.
Bang Rama pergi tanpa menghabiskan sarapannya. Meninggalkan aku dengan curiga yang masih melekat di dada. Harusnya aku tanya saja tentang parfum itu. Oh, salahkah aku jika berfikir itu wangi parfum Citra?
***
"Ayo, masuk. Anggap aja ini rumah sendiri. Tapi, maaf ya rumah ibu agak berantakan."
"Tidak apa-apa, Bu. Maaf aku ngerepotin ibu."
"Jangan sungkan, ibu nggak merasa direpotkan, kok."
Suara ibu menyita perhatianku. Tadi ibu memang pergi untuk membayar tagihan listrik. Sekarang sudah pulang dengan seseorang.
"Rima... buatkan minum untuk tamu ibu!" teriak ibu dari ruang tamu.
Tidak biasanya ibu kedatangan tamu. Aku jadi penasaran siapa tamunya. Kutinggalkan tumpukan pakaian yang masih belum selesai disetrika. Lalu aku bergegas mengerjakan perintah ibu.
"Bener kata Leon kalau kamu semakin cantik. Untung tadi kamu manggil ibu kalau nggak ibu gak tanda sama kamu."
Samar-samar di dapur aku mendengar suara ibu. Tapi, mengapa membawa nama Leon? Apa wanita itu kekasihnya Leon.
"Rima.... "
"Iya, Bu. Ini tehnya." Aku membawa dua gelas teh untuk ibu dan tamunya itu.
Di ruang tamu seorang wanita cantik dan asing duduk bersebelahan dengan ibu. Tapi, mereka terlihat sangat dekat.
"Ini minumnya, Bu," ucapku sembari meletakan teh itu di atas meja. Jarakku yang cukup dekat dengan wanita ini membuat aku bisa menghirup aroma parfumnya dengan jelas. Sepertinya wangi parfum ini yang tertinggal di kemeja bang Rama kemarin.
"A-apa ini istrinya mas Rama?"
Siapa wanita ini hingga begitu fasih memanggil suamiku dengan sebutan Mas?
"Iya, ini Rima suaminya Rama. Dan Rima kenalin dia ini Citra yang kita omongin tadi pagi," ucap ibu memperkenalkan kami berdua.
Aku cukup terkesiap mengetahui wanita bernama Citra itu ada di hadapanku. Ku akui Citra memang cantik dan tampak ramah. Tapi, untuk apa dia datang ke sini?
"Hai, ... senang bisa ketemu sama kamu." Citra mengulurkan tangannya padaku. "Kebetulan tadi aku ketemu ibu di depan, jadi sekalian mampir. Kamu gak keberatan aku main ke sini 'kan?"
"Kenapa harus keberatan? Pintu rumah ini selalu terbuka lebar untuk kamu. Mau nginap di rumah ini juga boleh."
Ibu meraih tangan Citra yang belum sempat aku sambut. Di saat yang bersamaan bang Rama datang tanpa mengetuk pintu.
"Loh, ada tamu?" Bang Rama tampak kaget melihat Citra. Tapi, gestur tubuhnya terlihat berbeda. Bahkan, wajahnya itu tampak berseri.
Citra hanya tersenyum tanpa berkata sepatah katapun.
"Abang udah pulang? Katanya malam ini mau lembur." Aku menyambut bang Rama seperti biasa. Heran, tidak biasanya bang Rama bisa pulang di jam seperti ini.
"Abang kurang enak badan. Jadi, sengaja minta izin pulang lebih awal. Nggak taunya di rumah ada tamu."
Bang Rama duduk di sofa yang berhadapan langsung dengan Citra.
"Iya, Ram. Ibu yang ajak Citra main ke rumah sekalian makan malam. Udah lama nggak ketemu ibu pengen Citra tidur di rumah kita. Boleh 'kan?"
"Tapi Citra nggak bisa nginep di sini, Bu. Citra nggak mau ganggu," ucap Citra.
"Iya, Bu. Mana boleh wanita dewasa sembarangan menginap di rumah orang lain. Apa lagi di rumah itu ada anak lajangnya." Aku Menolak keras usulan ibu.
"Kenapa nggak boleh? Nanti Citra tidurnya sama ibu." Ibu tetap memaksakan kehendaknya.
"Ya udah gak apa-apa kalau Citra mau tidur di sini. Hitung-hitung bisa mengobati kerinduan ibu sama kamu."
Aku melongo mendengar ucapan bang Rama. Tidak kusangka bisa-bisanya Bang Rama mengabaikan keberatanku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!