Di sebuah ruangan, lelaki itu bersandar di kursi kerja, dengan mata terpejam. Ketukan pintu dari luar membuat matanya terbuka. Sorot matanya terlihat tajam, ketika menatap pintu yang terbuat dari kayu.
Perlahan pintu dibuka dari luar, seorang perempuan menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Melangkahkan kakinya menuju meja Velden.
“Velden, seseorang gadis mengirimkan lamaran padamu!” ujarnya terus terang.
Velden tersenyum menyeringai, sungguh lucu. Bagaimana mungkin seorang gadis berani melamarnya.
Apa gadis itu, tidak tahu siapa dia?
“Siapa yang membawa lamaran itu, dan siapa nama gadis itu?” tanya Velden memutar kursinya, menatap ke arah dinding yang terbuat dari kaca.
“Dia meminta asprinya untuk menyampaikan lamaran ini padamu.”
Velden mengangguk pelan, sepertinya gadis yang melamarnya. Bukan orang biasa, buktinya gadis itu nekat menyuruh seseorang untuk menyampaikan lamaran konyol ini padanya.
“Gadis itu bernama Khadeja Schwarzenegger! Umur dua puluh delapan tahun. Lulusan AS, jurusan—“
Velden mengangkat tangannya. Neisha seketika diam, tertunduk.
“Schwarzenegger? Aku pernah mendengar marga itu,” pikir Velden memijat pelipisnya, mencoba mengingat marga Schwarzenegger.
“Tentu saja kau pernah mendengar, marga Schwarzenegger! Perusahaan yang bergerak di bidang property,” sahut Neisha, menata tumpukan kertas yang berserakan di meja kerja.
“Ouwh!”
“Dulu perusahaan itu sangat maju. Karena yang mengelolanya adalah pewaris pertama. Dan sekarang yang menangani perusahaan itu, bukan Tuan Aksa Schwarzenegger! Melainkan adik iparnya. Dan konon katanya tiga bulan yang lalu. Putrinya baru ikut mengelola perusahaan, setelah lulus kuliah S2 tahun lalu. Sedangkan kedua putranya. Mereka memilih bidangnya sendiri-sendiri.” Info Neisha.
“Dan aku dengar, sekarang Tuan Aksa! Tinggal bersama istrinya di kota Kembang.”
“Akan tetapi ...ketiga anaknya kabarnya, menepati rumah utama, yang Tuan Aksa bangun waktu baru menikah ...kalau tidak salah,” sambung Neisha.
“Tadi siapa nama gadis yang melamarku?” tanyanya beranjak dari kursi. Velden berdiri menatap ratusan mobil melintasi jalan.
“Khadeja Schwarzenegger!”
Velden memutarkan tubuhnya, menghadap Neisha. “Apa gadis yang melamarku ini putrinya Aksa?” tanya Velden ragu.
Neisha terdiam, dia rasa beda orang.
“Kau diam? Itu berarti kau tidak percaya. Sama denganku, boleh jadi gadis yang melamarku ini, bukan dari keluarga Schwarzenegger yang asli.” Komentarnya sembari duduk diujung meja. Menyilangkan kedua tangannya.
“Karena seingatku, waktu Tuan Aksa, bertemu rekan bisnisnya, termasuk almarhum ayah! Dia mengenalkan ketiga anaknya. Termasuk denganku, waktu itu umurku 13 tahun. Dan nama putrinya itu, kalau tidak salah. Em ...Zzzz apa....” Velden mencoba mengingat kejadian pertama kali, ia bertemu dengan Aksa, belasan tahun silam.
“Dzakia! Iya namanya Dzakia! Aku jadi ingat kejadian belasan tahun lalu! Putrinya Tuan Aksa. Yang bernama Dzakia itu sedang bercanda dengan kakak dan adiknya. Hingga tak menyadari, jika kakinya sedikit lagi akan tercebur ke kolam,” ujarnya mencoba kilas balik masa lalunya.
Dimana ia masih menjadi Velden yang rendah hati dan baik. Akan tetapi cacian teman sekolah, mampu membuat ia berubah. Hingga akhirnya ia memutuskan ke Amerika, untuk mengemban ilmu. Dan di negeri Paman Sam pula ia, kehilangan semuanya. Kehilangan nilai-nilai baik yang orang tuanya tanamkan padanya sadari kecil.
“Tolak lamarannya! Aku tidak butuh ikatan suci untuk mendapatkan apa yang aku butuh kan,” ujar Velden sinis.
Waktu terus berlalu, seperti biasa jam sembilan Velden sudah ada di kantor. Layar ponselnya berkedip, seseorang telah mengirimkan pesan padanya. Ia segera mengambil ponselnya yang tergeletak di meja kerjanya.
Matanya melotot, membaca pesan yang dikirim sepupunya. Lebih terbelalak lagi, saat Neisha mengirimkan foto.
“Sebenarnya apa yang diinginkan gadis itu?” gumamnya heran.
Kini gentian telepon kantor yang berdenking. Segera dia mengangkatnya.
“Siang Tuan! Seseorang ingin bertemu dengan Anda. Namun katanya ia belum memiliki janji temu sebelumnya.”
Velden menghembuskan nafas pelan.
“Minta dia bertemu dengan Raffa! Dia bisa mengutarakan tujuannya, kepada asisten saya,” ujarnya dengan nada malas.
“Baik Tuan!”
Di lobby kantor, wanita berambut panjang diikat tinggi dengan setelan blazer. Sedang berbincang dengan Resepsionis wanita.
“Begini, jika memang, ada hal penting, yang harus diutarakan. Anda bisa bertemu dengan asisten pribadinya Tuan Velden!” Kata resepsionis penuh ke hati-hatian, saat menyampaikan informasi dari bosnya.
Wanita berambut panjang itu membenahi maskernya, terlebih dahulu. Sebelum bersuara.
“Maaf sebelumnya, akan tetapi pertemuan kali ini, tidak bisa diwakilkan oleh siapa pun. Saya ingin bertemu dengan pemilik kantor ini secara langsung.” Suara wanita itu mengalun indah di telinga resepsionis. Begitu pelan nan halus, penuh tata krama.
“Bisakah Mbak, menghubungi bos Mbak kembali, jika saya hanya ingin bertemu dengannya saja.” Mintanya dengan penuh kesopanan. Yang membuat resepsionis itu sulit menolak.
“Baiklah, akan tetapi ... jika Tuan Velden tidak ingin menemui. Saya dengan penuh kesopanan meminta Anda tidak membuat keributan!” Kembali Resepsionis itu mengangkat telepon genggam.
“Bilang saja Khadeja! Ingin bertemu,” ujar Dzakia memilih menyebut nama tengahnya yang jarang diketahui banyak orang.
Di dalam ruangan, Velden sedang membolak-balikkan lembaran. Ada beberapa hal yang harus ia teliti, sebelum ia tanda tangani.
Dering telepon kantor mendengking keras, membuatnya mengalihkan pandangannya.
Ia menggeser kursi kerjanya ke samping, untuk menggapai telepon genggam.
“Apa lagi? Saya rasa hari ini tidak ada janji dengan orang atau klien. Kenapa kau selalu menelepon?” geramnya, berhasil menciutkan nyali orang yang meneleponnya.
“Cepat katakan! Apa yang ingin kau sampaikan,” bentaknya.
“Gadis itu, hanya ingin bertemu dengan Anda saja Tuan! Dia tidak bisa mengatakan keinginannya kepada siapa pun, kecuali dengan Anda!” Suara resepsionis itu terdengar bergetar penuh ketakutan.
“Siapa nama gadis itu?”
“Nona Khadeja!”
Velden berdecak kesal, ternyata gadis yang tadi mengirimkan mobil ke rumah. Sudah datang ke kantornya.
Padahal beberapa menit yang lalu, Neisha baru saja, mengirimkan foto mobil berwarna hitam, parkir di pekarangan rumahnya. Yang diketahui dari Khadeja wanita yang melamarnya.
“Sebenarnya apa maunya gadis ini? Aku bahkan tidak pernah mendengar namanya. Apalagi memiliki hubungan dengannya ...aneh,” gumamnya mengelus dagunya.
“Suruh dia ke ruangan saya sekarang." Velden segera mengakhiri panggilan telepon.
Sepertinya ini saat yang pas untuk menyelesaikan, permasalahan yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
Dimana seorang gadis terus melamarnya. Meskipun telah ia tolak, namun tetap melamarnya. Dan kali ini dengan seserahan mobil.
“Nona! Tuan Velden! Meminta Anda ke ruangannya,” pinta Resepsionis tersenyum simpul.
Dzakia tersenyum, dibalik maskernya. Setelah menanyakan dimana ruangan Velden. Ia segera meninggalkan Resepsionis.
Cepat ia berjalan kearah lift, dengan tujuan lantai kedua dari yang teratas. Pintu lift terbuka Dzakia segera keluar dari lift. Dan mencari ruangan Sagar Velden Raharja.
Kali ini Dzakia sudah berdiri di depan pintu ruangan Velden. Tanpa keragu-raguan ia mengetuk pintu.
Menunjukkan jika tekat yang ia miliki sudah bulat.
“Masuk!” Suara datar itu menyahut.
Dzakia mulai menarik gagang pintu ke bawah. Sedikit didorong, membuat pintu terbuka lebar. Kini tatapannya tertuju ke arah kursi kerja, yang membelakanginya.
Dzakia mencoba menenangkan dirinya yang gugup. Perlahan tapi pasti, ia melangkahkan kakinya, mendekat ke meja kerja Velden.
Disaat yang bersamaan, seseorang yang duduk di kursi memutarkan kursinya.
Deg!
Dzakia terkejut tatkala Velden memutarkan kursinya.
Manik keduanya saling bertemu, membuat mereka kompak mengalihkan pandangan ke arah lain.
Jantung Velden berdebar kencang, entah karena terkejut atau karena tak sengaja matanya bertatapan dengan wanita bermasker itu.
Diliriknya wanita di depannya itu menunduk dalam. Sembari meremas tali tas, mengisyaratkan jika lawan bicaranya begitu gugup. Berhadapan dengannya.
“Ehem!” Dehaman pertama kali memuat ruangan yang tadi hening sedikit hidup.
“BMW i8 ...Anda pikir saya tergiur dengan itu?” katanya menggebrak meja.
Bahu Dzakia bergetar, kaget.
Pertemuan pertama meninggalkan kesan yang tidak baik. Bagaimana tidak, jika Velden langsung to the points, membahas tentang mobil yang dikirim ke kediaman Raharja. Tidak tanggung-tanggung mobil BMW i8 berkisar hingga 4,24 Milyar.
Sepertinya wanita bermasker itu sudah kehilangan kewarasannya. Buktinya rela merogoh kocek yang lumayan hanya untuk melamar Velden.
“Dan bukankah saya sudah menolak lamaranmu. Kenapa masih ngejar-ngejar saya?” Velden duduk di kursi kerjanya dengan nyaman. Tangannya meraih bungkus rokok yang tergeletak di meja kerja.
Mengambil satu batang, dan meletakkan lagi ke meja. Kini lelaki itu mencari korek api di sakunya.
Secepat kilat korek api yang membakar rokok menyala. Sedikit tiupan, dari mulut. Membuat api mati. Ia menyesap rokoknya, mengeluarkan asap dari mulut. Mata elangnya melirik kearah wanita yang berdiri di depannya. Ia tersenyum menyeringai, tak terpikirkan olehnya untuk mempersilahkan tamunya untuk duduk.
“Kau mau?” tanya Velden seraya menyodorkan bungkus rokok ke Dzakia.
Hingga bungkus itu hampir jatuh dari meja. Secepat kilat Dzakia menangkap bungkus rokok itu.
Membuat Velden tersenyum sinis.
Hal ini tak lantas membuat Dzakia marah. Wanita itu kembali meletakkan bungkus rokok itu ditengah-tengah meja.
Tangan kekar Velden ingin mengambil bungkus rokok, yang kebetulan masih dalam genggaman Dzakia.
Namun sebelum itu terjadi Dzakia segera menarik tangan, guna tidak bersentuhan dengannya.
“Apa yang Anda miliki? Hingga berani melamar saya. Dan ingat satu hal, saya tidak butuh barang mewah. Camkan itu!” tegasnya acuh.
“Saya memiliki apa yang perempuan lain tidak miliki.” Suaranya terdengar tegas, bahkan bisa dipastikan Velden tersihir oleh ketegasan yang dimiliki oleh Dzakia.
Velden memang lebih menyukai perempuan yang tegas, kuat memegang prinsip dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
“Dan saya pastikan Anda tidak akan pernah tahu hal yang saya miliki. Kecuali Anda menikah dengan saya.”
Mode kongslet tampaknya telah terjadi diotak Velden. Lelaki itu langsung mengarahkan jawaban Dzakia, ke arah yang berbau ranjang.
Velden meletakkan batang rokoknya di asbak. Sepertinya ini pembahasan yang menyenangkan.
“Anda bisa duduk sekarang!” ujarnya mempersilahkan.
Dzakia menarik kursi dan duduk dengan kehati-hatian. Terlihat elegan.
“Dinegara ini perempuannya masih banyak yang virgin. Jadi? Apa Anda pikir hanya Anda yang masih tersegel?” Bibirnya tersungging ke atas.
Dzakia tertohok oleh perkataan Velden. Sepertinya lelaki didepanya itu salah paham dengan jawabannya yang terkesan ambigu, didengar.
Ia tersenyum dibalik maskernya. Tadi malam mimpi apa, hinga bertemu lelaki mesum seperti Velden. Jujur saja ini kali pertama ia melihat wajah Velden dengan jelas.
“Sepertinya, Anda telah keliru memahami perkataan saya.” Sedikit jawaban, terkesan membuatnya berwibawa.
Velden diam, hanya suara ketukan bolpoin di meja. Yang mengisi ruangan.
“Katakanlah apa yang kau miliki, yang tidak perempuan lain miliki.” Velden terlihat penasaran. Namun tak lantas membuat wajah datarnya tertarik.
“Sudah saya katakan. Anda akan tahu jika Anda menikah dengan saya! Bukan hanya itu, saya pastikan Anda juga bisa merasakan hal itu. Hal yang mungkin tidak Anda dapatkan di perempuan lain.”
'Sial! Perempuan ini benar-benar berhasil membuatku penasaran' batinnya kesal.
Velden berdiri dari duduknya, berjalan mengelilingi mejanya. Memindai tubuh Dzakia.
Berhenti, menyandarkan bokong di ujung meja. Jarak selangkah dari kursi yang digunakan Dzakia duduk.
“Bagaimana mungkin saya menikah dengan perempuan seperti Anda. Tidak mengenal garis keturunannya, tidak tahu karakternya. Bahkan melihat rupamu saja tidak.” Perkataan Velden seperti memberikan sedikit harapan, jika ia mengetahui ketiganya. Kemungkinan besar ia akan menerima lamaran dari Dzakia.
“Dan jika pun saya tahu semuanya. Belum tentu juga saya mau nikah dengan Anda!” ujarnya tertawa lepas.
Tak perlu diragukan lagi. Kemampuannya menyanjung lawan bicaranya. Kemudian menghempaskan tanpa ragu-ragu. Adalah satu skill yang sudah mendarah daging dalam dirinya.
Velden terkekeh penuh kemenangan.
Akan tetapi kekehan itu berhenti. Tatkala yang diejek menanggapi dengan cara santai.
“Semua itu bisa Anda dapatkan. Pertama ...jika Anda berniat menikahi saya. Saya akan memperlihatkan paras saya tanpa sungkan. Kedua ... jika Anda menikah dengan saya, Anda sudah pasti akan mengenal karakter dan keluarga saya.”
“Menikah-menikah saja yang kau ucapkan,” keluh Velden mulai kesal.
“Jatuhnya ini mirip saya menghamili Anda. Dan saya diwajibkan tanggung jawab,” gerutu Velden gemas rasa geregetan
“Sekarang gini, buka maskermu. Biarkan saya melihat wajah Anda!” ujarnya tak mau berdebat dengan ucapan. Lebih baik menggunakan tindakan, bersiap mengesekusi.
Dzakia mengalah, dan mulai melepaskan tali masker di bagian telinga.
Hal itu membuat Velden mengamati dengan intens. Jika melihat dari matanya bagus, terlihat indah. Tapi apa yang tertutup masker juga sama indahnya?
Dengan penuh kehati-hatian, Dzakia mencoba melepaskan maskernya. Namun sebelum maskernya terbuka memperlihatkan semua wajahnya. Ia berucap, “Saya pikir Anda orang yang rasional ...ternyata tidak!”
Rahang Velden mengeras. Apa maksud ucapan Dzakia. Nadanya terlihat mengejek.
“Bagaimana seorang penjual berani menawarkan dagangannya. Jika barang dagangannya tidak memiliki kualitas tinggi....”
Bersamaan dengan itu, masker yang menutupi wajah Dzakia terbuka. Namun di waktu yang sama pintu juga dibuka dengan kasar. Membuat Velden gelagapan.
Pintu terbuka dari luar, bersamaan dengan itu bocah lelaki berbadan gemuk dengan potongan rambut front puff, memunculkan diri.
“Kenapa?” tanya Velden, menatap Ansel menahan tangisnya.
Membuat Dzakia mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Sembari memasang maskernya kembali.
Menatap intens bocah berseragam TK, yang menutupi kepala bagian belakang dengan kedua tangan.
“Huaaaaaa!” Tangisan Ansel seketika pecah, membuat Velden beranjak dari duduknya di meja. Mendekati bocah itu, dan menyejajarkan tingginya dengan Ansel
“Kenapa nangis?” tanya Velden mengusap pipi si bungsu keluarga Raharja.
Sedangkan Dzakia hanya menjadi pengamat antar dua orang beda umur itu.
Tangisan Ansel kian menjadi-jadi, bersama dengan itu. Ia mulai memperlihatkan telapak tangan kearah Velden.
“Darah,” pelik Velden.
Dzakia terperanjat kaget.
Perlahan penglihatan Ansel mulai kabur. Tubuh kecil Ansel, mengudara ke belakang. Dengan gesit Velden menahan tubuh Ansel. Wajahnya terlihat gusar.
“Ikut saya sekarang!” titahnya mengangkat tubuh Ansel.
“Kemana?” tanya Dzakia bergeming.
Berhasil menghentikan langkah Velden. Lelaki itu menoleh dan berkata, “Mau diterima lamarannya tidak?”
Dzakia mengelus dada ketika Velden membentaknya. Ia pun lantas mengikuti Velden dari belakang. Namun tiba-tiba saja, lelaki yang berjalan di depannya berhenti.
“Jas, ponsel, dan rokok saya, tolong dibawa ...dan jangan lupa matikan laptop saya,” perintah Velden. Membuatnya berbalik arah.
“Hus ribet,” gerutunya kesal.
Sebab Velden secara tak langsung. Menjadikannya sebagai budak. Cepat ia mematikan laptop dan menutupnya.
Menarik jas yang tersampir di kursi. Dan berlari keluar. Langkahnya terhenti, ketika ingat sesuatu. “Ah ... bagaimana aku bisa lupa. Dengan permen si galak,” pekiknya memukul jidat, berbalik ke meja kerja Velden. Untuk mengambil ponsel dan rokok yang tergeletak di samping laptop.
“SINGKONG ... MASKER!” teriakan dari luar, membuatnya segera berlari keluar ruangan, sambil menenteng jas yang tersampir di pergelangan tangannya. Sedangkan tangan satunya berusaha memasukkan bungkus rokok dan ponsel ke dalam tasnya.
“His ngapain teriak-teriak,” gumamnya, memandang Velden sedang menunggu lift terbuka. Ia segera mempercepat langkahnya. Tak sudi jika kena semprot dari Velden untuk yang kesekian kalinya.
Sesampainya di lantai dasar Velden segera keluar dari lift. Dan berlari menggendong Ansel yang masih tak sadarkan diri.
Dzakia mengikuti dari belakang. Sedikit banyak karyawan yang berada di lobby kantor melihat kejadian ini, penuh tanya.
Pasalnya tadi si bungsu dari Raharja, masuk ke dalam kantor dengan keadaan baik. Hanya saja bocah itu menutupi kepalanya bagian belakang.
Sesampainya di tempat parkir mobil, Velden segera mencari keberadaan mobilnya.
“Cari kunci di saku celana saya!” perintahnya tegas, membuat Dzakia melongo.
“Tidak mau!” tolaknya keras, bagaimana mungkin dia merogoh saku celana milik lelaki.
Velden membuang napas kesal.
“Singkong jika mau berdebat dengan saya. Tolong cari situasi yang pas,” ketusnya yang tak lantas membuat Dzakia melakukan perintah darinya.
“Cepat lakukan!” bentak Velden keras, membuat kedua bahu Dzakia bergetar, kaget.
Dengan keragu-raguan, akhirnya Dzakia memasukkan tangannya di saku celana bagian belakang milik Velden.
“Disaku samping bagian kanan,” tegur Velden. Membuat Dzakia langsung menarik tangannya keluar.
“Kau tidak mengatakan hal itu,” gerutu Dzakia membungkukkan badannya sedikit. Sial matanya justru tertuju pada bagian vital milik Velden.
Ia segera menggeleng pelan untuk menormalkan otaknya. Yang mulai tidak waras.
“Bilang saja lagi cari kesempatan. Kapan lagi kau bisa memegang bokongku,” sinis Velden yang membuat Dzakia yang tadi ingin memasukkan tangannya ke dalam saku ter urungkan.
“Kau pikir saya bahagia, melakukan hal kayak tadi?” omelnya tak terima.
“Jangan perbanyak bicara tapi banyaklah action,” ketus Velden, berpikir.
Wanita yang bersamanya saat ini, sering membuatnya jengkel. Tak bisa dibayangkan. Jika seandainya ia benar-benar menikahi Dzakia. Bisa dipastikan setiap hari ia akan adu mulut dengan istrinya.
Dzakia berusaha mengambil kunci disaku celana Velden, dengan kedalaman yang tak tanggung-tanggung. Membuatnya, harus bekerja keras untuk mengambilnya.
“Ini saku, apa lubang buaya. Dalam banget,” gerutunya, membuat Velden melirik kearahnya.
Pintu terbuka dari kunci remote mobil. Velden segera masuk ke dalam.
“Cepat, masuk sekarang!” titah Velden.
Dzakia masuk ke dalam mobil, melewati Velden yang sudah duduk sambil memangku Ansel. Lelaki itu mengerutkan kening, heran.
“Heh, kenapa masuk bagian penumpang?” teriak Velden mendongak, membuat matanya bertatapan dengan mata Dzakia.
Mendengar hal itu Dzakia mengurungkan niatnya untuk menghempaskan bokongnya ke kursi mobil.
“Keluar, masuk ke bagian kemudi,” tegas Velden, membuat Dzakia mendengus.
“Kalaupun saya duduk di kursi kemudi....” Menggantung ucapannya melirik kearah kursi kemudi. Sebelum melanjutkan ucapannya kembali. “Tetap saja, mobilnya tidak akan bergerak dari sini. Orang saya tidak bisa nyetir.”
Velden ternganga tak percaya akan penjelasan Dzakia. Membuatnya tak mensia-siakan kesempatan untuk mengolok-olok, lawan bicaranya.
“Perempuan macam apa kau ini, masa zaman sekarang tidak bisa menyetir mobil,” dengusnya yang mampu membuat Dzakia bergumam.
'Lihatlah Yah, putrimu di ejek karena hal semacam ini. Andai saja Ayah mengizinkan aku belajar menyetir. Kanku rubah cita-citaku yang dulunya dosen, menjadi pembalap!'
“Menyusahkan saja, kalau saya benar- nikah dengan Anda! Pengeluaran saya bertambah, karena harus bayar sopir untuk mengantarkan Anda kemana-mana,” ujar Velden beralih ke kursi kemudi. Setelah meletakkan Ansel di pangkuan Dzakia.
Ia pun memakai sabuk pengaman. Memutar setir pelan, yang membuat mobil mundur perlahan.
“Singkong satu ini tidak berguna,” makinya melirik dari kaca kecil. Yang mendapatkan tatapan tajam dari si empu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!