NovelToon NovelToon

Dinikahi Paksa

Chapter 1

Yansen menguap panjang. Semalaman ia begadang karena matanya yang sulit terpejam. Tubuhnya bahkan terasa pegal semua, semalaman duduk di kursi ternyata cukup menyiksa.

Dengan malas ia pun beranjak untuk masuk ke kamarnya. Yansen memang memiliki insomnia. Pria itu tak bisa tidur jadi memutuskan untuk merokok, tapi hingga sekarang jam 4 pagi pun matanya sulit sekali di pejamkan.

Padahal ia merasa mengantuk tapi matanya sulit sekali di ajak bekerjasama. Tubuhnya lelah ingin beristirahat tapi otaknya selalu mengirimkan sinyal untuk terus terjaga.

Insomnia yang di deritanya terjadi semenjak beberapa bulan terakhir. Hubungannya dengan sang kekasih lah yang membuatnya sulit untuk tidur di malam hari. Yansen terlalu banyak memikirkan masalahnya hingga membuatnya seperti orang gila.

Makan tak teratur, jarang tidur dan juga jadi emosional.

"Yansen, kamu begadang lagi?"

Yansen menghentikan langkahnya lalu berbalik menatap wanita di hadapannya. Senyumnya terukir tapi nampak tak tulus, justru jelas sekali tersirat kebencian di sana.

"apa peduli mu, ibu!" Serunya dengan penuh penekanan.

Rada mengerti, putranya bersikap seperti ini karena masih marah terhadapnya. Tapi, dia tetap bersikap lembut tak peduli dengan kemarahan Yansen.

"kamu bisa sakit. jaga kesehatan itu penting. tidurlah sekarang."

Dengan kesal Yansen masuk kedalam kamarnya. Bantingan pintu yang begitu keras membuat Rada menutup matanya.

Ia tahu jika Yansen marah padanya karena perihal bulan lalu. Waktu itu, Yansen membawa kekasihnya yang bernama Alea kerumah untuk di perkenalkan kepadanya.

Tapi Rada menolaknya mentah-mentah, bahkan mengusirnya dengan kasar. Rada melakukan itu bukan tanpa sebab, ia telah mengetahui siapa Alea sebenarnya.

Gadis itu sungguh buruk. Sering sekali Rada memergokinya tengah berjalan dengan seorang pria. Bahkan bermesraan di tempat umum. Begitu tahu Alea adalah kekasih putranya, maka dengan tegas ia katakan bahwa mereka tak boleh bersama.

Rada tak mengatakan kepada Yansen apa alasannya, yang pasti ia tak setuju dan tak akan pernah setuju.

Semenjak saat itu, Yansen tak pernah lagi bersikap baik. Sulit di ajak bicara dan tak pernah lagi makan di rumah. Yansen seolah malas untuk terus berada di dekat keluarganya.

Hanya akan pulang ketika sudah larut malam. Tidur sekitar dua jam lalu kembali pergi untuk bekerja. Yansen benar-benar tak memikirkan kesehatannya.

Ia hanya akan menyibukkan dirinya di tempat kerja untuk melupakan masalahnya. Alea sampai sekarang belum dia temukan. Gadis itu pergi entah kemana. Menghilang begitu saja tanpa jejak. Semua temannya pun tak ada yang tahu gadis itu di mana. Semua kontaknya pun lenyap bagai di telan bumi.

"Apa kak Yansen masih marah Bu?" Jane menghampiri Rada yang sedang menyiapkan sarapan.

"mmm... Jane, kamu antarkan susu ini untuk kakakmu."

"iya."

Jane masih duduk di kelas 2 SMP. Ia tak terlalu mengerti sebenarnya tentang masalah yang tengah terjadi di rumah ini. Hanya saja, ia bisa menyimpulkan jika Yansen marah pada ibu mereka karena di larang melakukan sesuatu. Dirinya juga sering begitu, jika di larang akan marah. Tapi tak berlarut-larut seperti Yansen. Hanya beberapa jam saja sudah cukup,lalu kembali bersikap baik.

Tok...Tok...

Jane mengetuk pintu berwarna coklat itu dengan pelan. Terdengar suara deheman Yansen dari dalam, tandanya pria itu mengizinkannya masuk.

"Kak, ini minum dulu." Jane menyerahkan segelas susu hangat pada Yansen.

"Bawa kembali ke dapur." Ucapnya sambil menarik selimut agar menutupi tubuhnya yang terasa dingin.

Jane menghela nafas panjang. Tahu jika Yansen akan menolaknya.

"ini buatan ku kok. kakak masa ga mau minum, seteguk aja gitu."

Yansen menyibakkan selimutnya lalu bangun dengan terpaksa. Ia sangat menyayangi adiknya, tak mungkin bisa membuatnya sedih karena penolakan darinya.

"baiklah, tapi setelah ini kamu keluarlah. Kakak mau tidur. dua jam lagi harus berangkat kerja." Ucapnya sambil meraih gelas itu lalu meneguk habis isinya.

Jane tersenyum puas. Ia keluar dengan gelas kosong.

"Bu, lihat. aku berhasil membujuk kakak untuk meminumnya." Lapornya senang.

Rada tersenyum ikut senang. Setidaknya perut Yansen tak terlalu kosong.

...************...

Di tempat berbeda, seorang gadis bertubuh mungil tengah duduk lesu di pinggir jalan. Sudah seharian ini dia mencoba melamar pekerjaan. Mulai dari pabrik, toko baju hingga beberapa rumah makan. Tapi semua menolaknya.

Dengan lesu dia bangkit. Sepertinya usahanya untuk mencari kerja di kota adalah kesalahan besar. Uangnya menipis, perut keroncongan bahkan tak ada tempat untuk istirahat.

"Bener kata Mak. Jangan memaksakan diri." Ucapnya penuh sesal.

Gadis itu bernama Moana. Dia datang ke kota dengan modal nekad. Ingin merubah nasibnya yang hanya anak seorang tukang gorengan di kampung.

Moana ingin sekali membahagiakan ibu dan ayahnya yang sudah tak lagi muda. Sebagai anak satu-satunya membuat Moana harus bisa hidup lebih mandiri lagi. Tak ada saudara yang bisa ia andalkan selain dirinya sendiri.

"Neng, mau kemana?" Tanya seorang wanita yang hanya memakai daster.

Penampilannya cukup sederhana tapi wanita itu terlihat cantik juga anggun. Moana tersenyum lalu menjawab dengan malu.

"saya lagi nyari kerja Bu."

"ooh...sini masuklah." Tawar wanita tua itu.

Moana dengan ragu memasuki warung makan yang berukuran kecil itu. Tapi meski begitu di dalamnya banyak sekali pembelinya.

Bahkan sampai semua meja terisi penuh.

"dari tadi ibu perhatikan kamu lesu gitu, pasti lapar?"

"uumm...i..iya Bu." Jawab Moana malu.

Apa sebegitu jelasnya ia terlihat kelaparan. Sampai-sampai orang bisa menebaknya dengan benar.

"jangan malu, kamu makan saja di sini."

"ta...tapi, uang saya ga cukup Bu. cuma ada buat ongkos pulang saja." Moana menggeleng cepat.

Wanita itu kembali tersenyum.

"ga usah bayar pake uang, kamu cuci piring saja di belakang."

Mata Moana melebar sempurna. Apa ini yang di namakan pertolongan Tuhan. Ia langsung meraih tangan wanita itu.

"ibu memperkerjakan saya?"

"iya. ibu kekurangan orang di belakang. kamu mau kan?"

"tentu saja Bu."

Akhirnya Moana pun bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah warung makan. Tak apa, baginya ini adalah sebuah anugerah. Setelah capek mencari kerja kesana kemari pada akhirnya dia dapat juga pekerjaan. Meski hanya sebagai tukang cuci piring, itu sudah lumayan.

Lagipula ibunya tak akan tahu dia kerja apa di kota. Cukup memberinya uang setiap bulan tanpa harus memberitahukan pekerjaannya pada mereka.

Sebenarnya Moana, lulusan SMA. Ia ingin sekali kuliah, tapi terkendala biaya. Gadis ini cukup pintar di sekolah, selalu masuk tiga besar. Tapi namanya juga orang susah, mau sepintar apapun kalau tak ada uang tetap saja macet di tengah jalan. Jika hanya sekedar pintar, tak cukup untuk mendapatkan beasiswa. Harus benar-benar pintar atau bisa dikatakan cerdas.

Hari pertama berjalan lancar, ibu pemilik warung puas dengan Moana. Semua piring dan peralatan masak lainnya sangat bersih dia cuci.

"Jadi...kamu tinggal di mana, Moana?" Tanyanya.

Warung sudah tutup. Para pekerja lain sudah pulang. Hanya tinggal Moana dan wanita inilah sekarang.

"saya tinggal di kampung Bu, jauh dari sini. butuh 3 jam perjalanan. saya niatnya mau cari kerja di kantoran, jadi office girl lah minimal karena hanya modal ijazah SMA." Tuturnya. "tapi sulit sekali ternyata cari kerja di kota. saya pikir mudah, jadi hanya modal nekad saja kemari."

Wanita itu mengangguk mengerti.

"begini saja, kamu tinggal bersama ibu. mau kan?"

"beneran Bu? serius?"

"iya. Nama ibu, Sarah. kamu panggil ibu seperti yang lainnya. Bu Sarah, ya?"

"iya Bu Sarah." Moana bersyukur bisa bertemu orang baik di tempat seluas ini. Mungkin karena kebaikan orangtuanya selama ini menjadi imbas yang bagus baginya.

"tapi...Bu Sarah bagaimana dengan keluarga ibu?"

Sarah menepuk bahu Moana. Dari awal melihatnya entah kenapa Sarah merasa menyukainya. Makanya tanpa berpikir panjang ia langsung menawarkan hal ini pada Moana. Sarah seperti melihat dirinya ketika menatap Moana.

"Ibu seorang janda. Kamu tenang saja, tak ada siapapun di rumah ibu."

"terimakasih atas kebaikan ibu. saya akan kabari Mak dan Apa di kampung."

Moana langsung mengeluarkan ponselnya. Sarah sempat kaget melihatnya. Seorang gadis muda di zaman sekarang masih menggunakan ponsel keluaran jadul. Tapi, Moana nampak biasa saja menggunakannya.

Setelah mengabari kedua orangtuanya, Moana pun mengikuti Sarah. Mereka pulang menggunakan mobil Sarah. Meski sendiri dan tak ada suami, Sarah cukup bahagia dengan hidupnya. Di tambah kehadiran Moana sekarang.

...***************...

Malam sekitar pukul 9, Yansen baru menyelesaikan pekerjaannya. Pria itu mengutak-atik ponselnya, berharap ada keajaiban.

Ia terus saja mencoba menghubungi Alea. Tapi nomor yang dia hubungi selalu saja di luar jangkauan.

Brak...

Saking kesalnya ia banting ponsel berharga puluhan juta itu.

"Kemana kamu pergi Alea." Desisnya putus asa.

Johan dan Karan hanya mematung melihat kemarahan atasannya. Kedua pria itu memilih untuk diam, tak mau terkena imbasnya.

"Karan, boking club' malam. aku mau hanya kita saja di sana." Perintahnya dengan tegas.

Karan langsung melakukan apa yang di pinta Yansen. Pria keturunan India itu tak mau membuat Yansen semakin marah. Sementara Johan, bule satu itu hanya menelan ludahnya.

Ia gugup karena Yansen menatapnya begitu tajam.

"belikan ponsel baru untuk ku." Perintahnya.

Johan semakin tergugu di tempatnya. Malam-malam begini mau beli ponsel di mana. Semua toko pasti sudah tutup.

"tapi Pak, ini sudah larut." Ujarnya dengan takut-takut.

Yansen menatapnya semakin tajam.

"Ba...baik, akan saya cari." Johan langsung berlari keluar.

Beginilah jika memiliki bos yang kejamnya luar biasa. Tapi, Johan dan Karan tak bisa meninggalkan Yansen. Meski pun kadang kejam dan tak berperasaan tapi Yansen sangat peduli kepada keduanya.

Bahkan keluarga Karan bisa hidup lebih baik berkat Yansen. Ibu Johan pun, bisa melakukan operasi atas bantuan Yansen. Keduanya berhutang banyak terhadap Yansen.

Semua karyawan pun segan terhadapnya. Yansen terkenal tegas dan disiplin. Tapi soal gaji ia tak pernah pelit. Asalkan kinerja para karyawan bagus, maka Yansen akan memberikan bonus yang lumayan besar.

"Club'malam di sebelah barat sudah di boking. kita bisa kesana sekarang." Karan akhirnya lega karena berhasil menuruti keinginan Yansen.

"kita pergi."

Yansen dan Karan pun pergi. Tak lupa juga Karan memberitahu Johan agar menyusul mereka secepatnya.

Sementara itu, Moana tengah membereskan semua baju yang di bawanya. Tak banyak, hanya beberapa pasang saja.

Cukup puas dengan apa yang di dapatkannya hari ini. Pekerjaan dan tempat tinggal sekaligus, Moana tak hentinya bersyukur. Tuhan memang selalu ada di setiap langkah para umatnya.

"Moana, kamu sudah selesai?"

"sudah Bu." Moana keluar dari kamar yang baru saja resmi menjadi kamarnya.

"ibu mau keluar sebentar, kamu ga papa kan sendiri?"

"ga papa Bu."

Moana ikut berjalan keluar mengantarkan Sarah. Begitu Sarah memasuki mobilnya, Moana pun bergegas membukakan pintu pagar.

"hati-hati Bu." Ucapnya sambil melambaikan tangannya.

Sarah tersenyum. Ini hal yang paling dia rindukan selama ini. Kehadiran seseorang yang bisa membuatnya merasa hangat. Moana adalah gadis yang baik, baru mengenalnya beberapa jam saja sudah membuat Sarah yakin jika Moana amat baik, lugu juga penuh kasih.

"aah...iya, aku lupa." Moana menepuk jidatnya.

Ia celingukan keluar pagar. Jalanan masih ramai dengan beberapa kendaraan yang melintas. Bahkan beberapa orang terlihat berjalan kaki di sekitarnya.

"memang beda ya, di kampung sama di kota." Ucapnya.

Dengan cepat ia kembali kedalam untuk mengambil uang juga memakai jaketnya. Moana harus membeli alat mandi, atau besok tidak bisa mandi karena tak ada sabun.

Ia berjalan menyusuri jalan. Tersenyum begitu melihat warung yang cukup besar masih buka di sebrang jalan.

Dengan hati-hati melangkah menyebrang jalan. Membeli sabun mandi, sikat gigi dan pasta gigi. Setelah di rasa cukup, ia pun bergegas pulang.

Ckiit...

"aaaahhhh...." Moana menjerit histeris ketika sebuah mobil tiba-tiba saja berhenti mendadak tepat di hadapannya.

Jantungnya terasa mau copot. Moana dengan gemetar melihat siapa pemilik mobil tersebut.

"maafkan saya. Anda tak terluka?" Seorang pria berperawakan tinggi keluar dari mobil.

Moana sempat tertegun. Wajah pria itu begitu tampan. Hidungnya bangir dan alisnya tebal. Wajah khas India yang begitu memikat.

"ga papa kok." Jawab Moana gugup.

"syukurlah. Saya sedang terburu-buru."

"Karan, cepat atau aku pecat kamu." Seru seseorang dari dalam mobil.

"i...iya Pak." Karan bergegas kembali masuk kedalam mobil.

Moana masih terdiam di tempatnya. Wajah pria yang tadi amat tampan tapi ketika melihat pria satunya yang ada di dalam mobil membuat Moana harus berpikir lagi. Wajah itu lebih tampan, hingga membuatnya semakin tertegun di tempat.

"oh...ya tuhan. di kota banyak pria tampan." Desisnya takjub.

...**************...

Chapter 2

Seminggu sudah Moana tinggal di rumah Sarah. Seorang janda yang tak memiliki siapapun. Penampilannya sederhana dan hanya mengenakan daster kesehariannya. Siapa sangka ternyata Sarah merupakan seorang pebisnis.

Warung makan yang ia kelola sudah berada di beberapa wilayah. Dan di kota ini hanya sebuah warung makan kecil saja, memiliki 4 karyawan dan Moana yang bertugas mencuci piring.

Sementara di kota-kota lain, warung makan miliknya bukan sekedar warung makan biasa. Cukup besar juga memiliki nama yang begitu terkenal. Rumah makan BuSar. Singkatan dari namanya, Bu Sarah.

"aku ga nyangka loh, ternyata Bu Sarah itu wanita hebat." Moana tak hentinya memuji Sarah.

Temannya Gesia, terus bercerita bagaimana hebatnya Sarah. Gesia bertugas di dapur, memasak juga menyiapkan bumbu-bumbu. Semua sudah terbiasa melakukan pekerjaan itu tanpa instruksi dari si pemilik warung.

"Iya, aku betah kerja di sini karena Bu Sar itu baik. Soal gaji pun tak pelit, kalau laper pun tinggal makan saja. Enak pokoknya."

"bener mbak. aku beruntung banget bisa ketemu Bu Sarah."

Keduanya sedang istirahat untuk makan siang. Warung pun hanya di tutup setengah jam saja hanya untuk mereka bisa makan dan istirahat sebentar.

"oh...iya, kamu tinggal di rumahnya? ngekos atau bagaimana?" Tanya Putri, yang sedari tadi hanya menyimak akhirnya penasaran juga.

"katanya sih gratis, kasian liat aku ga punya tempat tinggal."

Gesia dan Putri manggut-manggut mengerti. Mereka tahu jika Moana jauh-jauh dari kampung datang kemari. Berbeda dengan mereka yang asli orang sini. Rumahnya saja cukup dekat dengan warung Bu Sarah ini. Hanya butuh naik sekali angkutan umum, sudah sampai.

"kalian sudah cukup ngerumpi nya. warung nya ga mau buka? mau tutup sampe sore?" Bu Sarah melipat kedua tangannya, melihat ketiga gadis muda yang sedari tadi asyik mengobrol sambil makan siang.

"eh...iya Bu. kami buka sekarang." Putri bergegas membuka rolling door dan Gesia kembali ke dapur membantu yang lain.

Sementara Moana sendiri, langsung mencuci piring bekas mereka makan. Baru beberapa hari saja Moana sudah bisa berbaur dengan semuanya. Sikapnya yang ramah juga mudah bergaul yang membuatnya tak sulit mendapatkan teman.

"Moana, sore ini ibu mau ke kota sebelah. kamu pulang sendiri ya?"

"iya Bu." Moana mengangguk.

Sarah harus melihat perkembangan rumah makan miliknya yang lain. Selama ini ia hanya fokus di sini saja, sementara rumah makan yang lainnya ia serahkan pada pekerjanya.

Jam 8 malam, Moana akhirnya bisa pulang. Ia berdiri di pinggir jalan menunggu angkutan umum.

Hingga hal yang tak ia dua pun terjadi. Sebuah mobil hitam berdiri di depannya. Moana sempat bingung karena mobil itu terus saja diam di sana. Ia pun menggeser tubuhnya ke arah lain.

"Kenapa sih nih orang, parkir sembarangan." Gerutu Moana kesal.

Tapi, detik kemudian mobil itu pun maju. Kembali parkir tepat di depannya. Moana menarik nafas dalam-dalam, kesal lama-lama.

"hei...kamu...Aahhh...apa yang kamu lakukan?" Moana menjerit ketika akan memarahi si pemilik mobil.

Tangannya malah di tarik kuat dan tubuhnya pun tersungkur kedalam. Moana menyentuh jidatnya yang terantuk cukup keras, hingga merah di sana.

"kamu...penculik ya?" Moana ketakutan. Tubuhnya gemetar.

Pria yang menariknya hanya memakai kaos oblong dan celana pendek. Tapi wajahnya tertutup masker, hingga tak terlihat seperti apa rupanya.

Moana semakin ketakutan. Mata merah pria itu dan bau aneh dari tubuhnya membuat Moana menggigil di tempatnya. Ia berusaha kabur, namun sayang pintunya terkunci.

Grep...

Tangan kecilnya di genggam cukup kuat. Moana berontak, menjerit dan berusaha melepaskan diri.

"diam atau mati." Ancam pria itu. Suaranya serak dan berat.

Kerongkongan Moana terasa kering. Baru saja dia bersyukur karena hidupnya yang beruntung telah di pertemukan dengan orang baik. Dan sekarang Moana harus mendapatkan kesialan.

Plak...

Moana cukup keras menampar wajah pria di hadapannya saat tangannya menyentuh sesuatu yang begitu berharga miliknya.

"Dasar cabul." Pekiknya.

Rupanya apa yang di lakukan Moana justru membuatnya semakin marah. Pria itu membuka maskernya, matanya menatap tajam penuh amarah.

"Kamu... berani nya menampar ku." Desisnya penuh amarah.

Moana tertegun, ia ingat sesuatu. Wajah pria ini mengingatkannya pada kejadian malam itu. Ingat sekali jika pria di hadapannya ini adalah pria yang sama dengan pria yang dilihatnya malam itu.

"ka...mmm.." Moana tak bisa berontak lagi. Bibirnya telah terbungkam oleh tangan besar si pria.

Detik kemudian Moana tak sadarkan diri. Dengan cepat ia melajukan mobilnya. Membawa Moana bersamanya.

...*************...

Rada terus mencoba menghubungi Yansen. Ini sudah tengah malam, tapi putranya belum juga pulang. Karan dan Johan bahkan tak tahu dimana pria itu. Mereka mengatakan jika Yansen memintanya untuk tidak mengikuti kemana dirinya pergi.

"kita tunggu saja, dia sudah dewasa." Gutomo tetap tenang, duduk santai sambil menonton acara TV tengah malam.

Rada mendesah pelan. Semenjak Alea pergi, Yansen jadi berubah liar. Sering mabuk dan juga melakukan hal-hal yang buruk. Berganti-ganti pasangan sesukanya. Seolah melampiaskan kemarahannya kepada para gadis lain.

"Apa gadis itu begitu penting baginya? Alea gadis yang buruk. kenapa Yansen harus terjerat oleh nya."

Gutomo menarik nafas panjang. Tahu jika Alea memang bertabiat buruk. Beberapa rekan bisnisnya pun ada yang pernah memboking gadis itu. Bahkan dia sendiri pernah di tawari, hanya saja Gutomo tak pernah tertarik untuk itu.

Hingga akhirnya Yansen pun mengenalkannya sebagai kekasih. Gutomo tentu terkejut dan shock melihatnya. Kenapa putranya bisa mengenal gadis nakal seperti Alea.

"Alea sudah menghilang. setidaknya kita tak perlu takut Yansen bersamanya." Seolah tak peduli dengan tingkah Yansen saat ini, Gutomo berkata dengan begitu santai.

"Pah. putra kita jadi berantakan sekarang. dia bahkan tak mau lagi berbicara dengan kita."

"cukup. kau hanya perlu diam dan jadi ibu rumah tangga yang baik. Soal Yansen biar aku yang urus." Gutomo membentak Rada.

Pria tua itu memang sama keras kepalanya dengan Yansen. Tak mau kalah juga selalu bertindak sesukanya.

Rada terdiam. Setiap Gutomo marah, ia tak berani melawan. Pria itu cukup kasar jika sedang emosi. Bisa melakukan kekerasan tak peduli pada istri atau anaknya sekali pun.

Itu jugalah yang membuat Yansen tumbuh seperti ini sekarang. Dari kecil hanya melihat sikap ayahnya yang kasar terhadap ibunya. Hanya saja, Yansen masih memiliki hati nurani ketimbang Gutomo.

Jane menangkup bibirnya dengan kedua tangan. Melihat ibunya yang di bentak seperti itu membuatnya terkejut. Meski bukan untuk pertama kali ia melihatnya.

"Ayah memang jahat." Ujarnya.

Jane sama sekali tak menyayangi ayahnya. Ia hanya menyayangi Rada dan Yansen. Baginya, Gutomo tak berarti sama sekali.

"ibu..." Jane langsung menghampiri Rada begitu Gutomo pergi. "ibu, tinggalkan saja ayah. dia jahat."

Rada memeluk tubuh Jane. Tahu jika putrinya cemas saat ini. Tapi Rada tak bisa memenuhi apa yang di katakan Jane. Jika ia pergi meninggalkan Gutomo maka dirinya dan Jane akan berpisah. Gutomo pernah mengancamnya, jika Rada nekat meminta cerai atau kabur maka Jane yang akan jadi korbannya.

"tidak sayang."

"kenapa? ayah jahat dan kasar."

Rada hanya bisa menangis saja. Dia terlalu lemah untuk melindungi dirinya saja tak bisa.

"Bu, kita cari kakak ayok." Ajak Jane.

"kemana? ibu sudah bertanya pada asisten dan sekertarisnya. mereka tak tahu kakakmu di mana."

Tanpa mereka tahu, saat ini Yansen tengah berada disebuah hotel. Pria itu menatap gadis yang baru saja di bawanya secara paksa.

Keadaannya cukup memprihatinkan, gadis itu nampak berantakan. Bajunya telah tertanggal tak ada yang tersisa satu helai pun. Rambutnya acak-acakan, matanya bengkak karena terus menangis.

"hhhaaaaahhh..." Yansen berteriak keras, mengacak rambutnya sendiri.

Dia bisa gila sekarang. Kenapa bisa melakukan hal buruk ini. Selama ini Yansen mungkin sering bermain dengan para gadis di luar sana semenjak Alea pergi, tak pernah hingga seperti ini.

Semua terjadi karena alkohol yang di minumnya. Ia hanya mengingat Alea dan hal itu pun terjadi. Semua terjadi tanpa kesadarannya, Yansen mabuk berat hingga tak sadar jika gadis yang telah dia gauli bukan Alea.

Tanpa bicara sepatah katapun, Yansen melemparkan lembaran uang yang cukup banyak pada gadis itu.

"itu hadiah untukmu." Ujarnya, terlihat seperti pria yang brengs*k juga tak bertanggungjawab.

Gadis itu marah. Ia tak sehina itu. Kegadisannya telah hilang, masa depannya hancur sekarang. Ia ke kota ini untuk mencari nafkah demi kedua orangtuanya. Bukan jual diri seperti ini.

Dengan cepat ia memakai bajunya, langkahnya terseok-seok. Dengan menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya ia pergi meninggalkan pria itu tanpa mengambil selembar pun uang nya.

Dia tak bodoh, sebelumnya telah mengambil foto pria itu menggunakan ponsel jadulnya. Meski butut, tapi kameranya cukup bagus. Ia akan laporkan pelec*han ini.

Yansen terdiam. Tak menyangka ada gadis seperti itu. Menolak uang yang begitu banyaknya. Tapi, justru dengan begitu hatinya menjadi resah. Rasa bersalah menjalari hatinya.

"sial." Yansen pun bergegas mengejarnya tapi gadis itu sudah pergi.

...****************...

Chapter 3

Moana sungguh kacau. Kesucian yang ia jaga selama ini telah direnggut paksa oleh seorang pria asing. Ia menangis di dalam kamar. Keadaannya sungguh kacau. Bagaimana ia menjelaskannya nanti pada ibu dan ayahnya. Mereka bisa sangat kecewa dan ikut sedih karenanya.

Dengan tangan gemetar Moana meraih ponselnya. Ia ingin sekali menghubungi ibunya, mengatakan segalanya. Tapi, sulit baginya untuk mengatakan itu semua.

"Mak... Moana sudah kotor." Isaknya. "maafkan Moana yang tak bisa menjaga kehormatan Moana."

Rasanya Moana ingin mati saja. Tak lagi berani untuk keluar apalagi sampai memberitahukan orang lain tentang apa yang telah menimpanya.

"aku tak bisa hidup lagi." Isaknya semakin keras.

Ia bergegas pergi kedapur. Matanya langsung tertuju kearah tempat penyimpanan benda tajam. Langkahnya terasa melayang dan pikirannya sangat kosong.

Tangannya gemetar mengambil pisau buah. Ia tak bisa menanggung beban ini.

"Ya ampun, Moana." Pekik Sarah terkejut melihat Moana yang hendak menusukkan pisau itu keperut nya.

"apa yang kamu lakukan." Sarah menepis tangannya. "gadis bodoh, kamu ingin mengakhiri hidup mu?"

Moana pun terduduk di lantai dengan wajah kacau. Nampak sekali ia tak baik-baik saja sekarang. Rambutnya yang terurai begitu berantakan.

"Untuk apa aku hidup. aku sudah kotor." Lirihnya putus asa.

Sarah mengerutkan keningnya tak mengerti. Waktu dia pergi tadi, Moana nampak baik-baik saja. Bahkan senyum ceria terukir jelas di bibirnya. Kenapa sekarang gadis ini begitu kacau seperti baru saja kehilangan sesuatu yang sangat berharga.

"Moana, sebenarnya apa yang terjadi?" Sarah menyentuh bahu Moana yang bergetar.

"Bu Sarah. Aku sudah tak suci lagi. seseorang telah merenggut nya."

"apa?" Sarah terkejut. Ia menyentuh kedua pundak Moana. "katakan dengan jelas, apa yang telah terjadi?"

Moana pun menceritakan semuanya dengan suara bergetar. Nyaris saja ia kehilangan dirinya untuk tetap tenang. Bayangan kelam itu masih tak bisa hilang dari ingatannya. Bagaimana kejamnya pria itu mengoyak tubuhnya, mencengkram erat kedua tangannya.

Jelas sekali rasa sakit dan ketakutan luar biasa itu masih terasa. Moana memukul perutnya kencang, hal yang ia takutkan adalah tumbuhnya benih di sana. Moana tak mengharapkan itu.

"jangan begitu, kamu menyakiti tubuh mu sendiri. maafkan Ibu ya, jika saja malam itu kita pulang bersama." Sarah ikut menangis.

Ia dekap erat tubuh Moana. Bagi seorang gadis, pelec*han seperti ini bisa merusak mental nya. Moana bisa saja bertindak nekat kembali seperti tadi.

"Apa yang harus aku lakukan, Bu?"

Sarah menarik nafas panjang lalu menghembuskan dengan kasar. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa. Hanya satu yang bisa mereka lakukan, melaporkan hal itu kepada pihak berwajib.

"kamu ingatkan wajah pria itu?"

Moana mengangguk. Ia segera bangkit untuk mengambil ponselnya. Untuk saja dia sempat berpikir untuk melaporkan pria itu jadi memotret nya secara diam-diam. Saat akan mengenakan bajunya ia pura-pura mengambil ponsel dari saku celana, hal itu ia gunakan untuk mencuri foto pria itu.

"Kamu memang gadis pintar. Kita kerumah sakit dulu untuk melakukan visum setelah itu kita ke kantor polisi." Usul Sarah.

Moana mengangguk. Hatinya sedikit tenang karena Sarah.

"biar ibu lihat seperti apa wajah pria baj*ngan itu." Sarah mengambil ponsel Moana.

Matanya melebar sempurna begitu melihat foto pria itu. Sarah yakin jika pria ini adalah seseorang yang amat ia kenal. Tak salah lagi, pria ini adalah salah satu putra temannya.

"Moana, kamu yakin pria ini?"

"Tentu saja. di kamar itu hanya kami berdua."

Sarah langsung mengantongi ponsel Moana. Ia tak bisa melaporkannya untuk saat ini. Sepertinya dia harus memberitahu temannya dulu, bagaimana juga Sarah berhutang budi pada orangtua pria itu.

...***************...

Brak...

Rada dan Jane berlari begitu mendengar suara pintu yang di buka dengan sangat kasar. Kedua wanita itu menutup hidung saat Yansen melintas di depannya.

"Kakak, dari mana saja? uuhh...bau sekali." Jane menyusul Yansen dengan cepat.

Sementara Rada langsung kedapur, ia tahu putranya pasti sudah minum alkohol dengan sangat banyak sehingga bau nya bisa begitu menyengat hidung. Dengan cepat membuat minuman hangat.

"jangan ganggu, kamu pergilah." Usir Yansen.

Melemparkan bajunya begitu saja ke atas kasur lalu duduk di kursi dengan hanya bertelanjang dada. Yansen masih belum bisa berpikir jernih.

Pikirannya masih melayang kemana-mana. Mengenai gadis yang telah dia tiduri sungguh membuatnya pusing. Yansen merasa bersalah, melihat bagaimana wajah itu menangis dan nampak buruk membuat Yansen tak enak hati.

Ia pijat pelipisnya yang berdenyut, matanya terpejam dengan kerutan dahi yang begitu jelas.

"Jane..." Rada membawa segelas minuman hangat untuk penghilang rasa pusing akibat alkohol. "berikan ini pada kakakmu."

Jane mengambilnya lalu segera memberikannya pada Yansen.

"jangan pedulikan aku. Kalian pergi lah." Teriak Yansen cukup keras membuat Jane dan Rada pun terpaku di tempatnya.

Dengan takut Jane meletakkan gelas itu di meja. Ia segera keluar, menutup pintu rapat-rapat.

"Ibu, apa yang terjadi dengan kakak? akhir-akhir ini sangat aneh. sering marah dan..."

"Jangan terlalu di pikirkan. Kakak mu hanya stress soal pekerjaan saja." Sela Rada cepat.

Tak mungkin dia bercerita pada Jane soal berubahnya sikap Yansen. Jane masih belum tahu apa-apa, cukup hanya memikirkan soal pelajaran saja baginya.

Jane tak bertanya lagi. Gadis itu pun memilih untuk menyimpan rasa penasarannya.

Yansen membuka matanya.

"Sial, kau harus cari gadis itu."

Kesal pada dirinya sendiri, kenapa harus memiliki perasaan seperti ini. Biasanya dia mempermainkan perasaan gadis lain tak pernah sekalipun ada sesal. Tapi kenapa sekarang, Yansen merasa amat bersalah.

Apalagi ketika sadar jika gadis yang telah dia nodai masih bersih. Ia bisa merasakannya malam itu, bagaimana rintihan kesakitan itu keluar dari bibirnya.

Sekian detik kemudian dia kembali mengumpat saat sadar jika dirinya sama sekali tak tahu tentang siapa gadis itu. Bahkan namanya pun tak tahu.

Rada berjalan kearah telpon rumah yang terus berdering sedari tadi.

"halo..."

Langsung tersenyum begitu mendengar suara yang amat familiar di telinganya.

"Sarah, ada apa? tumben sekali menelpon lewat telpon rumah."

Jane ikut duduk disamping Rada. Ia penasaran dengan siapa ibunya menelpon sampai begitu senangnya.

"Baiklah, aku akan segera kesana. di cafe bintang kan?"

Telpon pun berakhir. Rada mengerlingkan mata ke arah Jane.

"mau ikut ibu keluar?" Tawarnya.

"tentu saja." Jane amat semangat jika di ajak jalan-jalan.

Mereka pun segera berganti baju. Soal Yansen, Rada tak akan mengganggunya dulu sampai pria itu kembali ke mood yang bagus.

...************...

"Kamu ikut ya, pakai baju ini?" Sarah membujuk Moana yang sedari tadi menolak ajakannya.

Moana hanya takut dan malu harus melakukan visum. Ia tak ingin aib nya di ketahui oleh orang lain.

"Moana, semua akan baik-baik saja."

"bagaimana pandangan orang lain nanti?"

Sarah mengelus kepala Moana.

"kamu hanya korban di sini. Jangan takut, jika ingin pria itu mendapatkan hukuman maka kamu ikut ya?"

Setelah lama berpikir akhirnya Moana pun mengangguk.

...*************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!