Hidup kadang menyebalkan namun tidak sedikit juga menyenangkan. Pertemuan singkat dengan lelaki itu nyatanya membuatku terus mengingat semua tentang dirinya, mulai dari senyumnya, tawanya hingga ucapan dan tingkahnya yang buatku sulit untuk melupakan momen tersebut.
Siang itu di sebuah kafe kopi ternama di Daerah Senayan tepat berhadapan dengan gedung pencakar langit aku tidak sengaja bertemu dan mengenalnya. Perkenalan tersebut bukanlah dari hal yang indah atau cerita menyenangkan bak ftv di siang hari, melainkan dari hal konyol yang menurutku memalukan. Ya, sangat amat memalukan untuk aku seorang wanita. Impresi pertama kali dari orang yang mengenalku adalah sombong, angkuh, pemilih dan lain-lain. Bagiku pertemanan ya pertemanan, bukan urusan untuk mencampuri kehidupan pribadi. Semua yang berekspektasi itu sebetulnya salah, lebih tepatnya adalah aku orang yang penuh dengan gengsi dan segala hal yang aku lakukan adalah keanggunan oleh karena itu sulit bagiku mengakui sebuah kekalahan.
Namun, pada hari ini langit seperti memberi teguran melalui kecerobohan yang mengantarkanku untuk bertemu dengan pria aneh. Aku ceroboh pada hal yang menurutku konyol dan tidak seharusnya terjadi terlebih di depan umum. Suasana terik siang sepertinya membuatku murka hingga salah mengambil pesanan minuman yang seharusnya bukan punyaku.
“Maaf Mbak, itu sepertinya kopi saya kok Mbak minum ya,” sapanya dengan hangat dan menorehkan wajah bingung kepadaku.
Karena siang itu cukup terik, dan ketika sampai di kafe aku langsung memesan caramel macchiato lalu menunggu di depan barista. Setelah kopinya selesai ya lantas saja aku langsung menyeruputnya. Lalu dengan percaya diri dan didorong oleh rasa emosi akibat kepanasan dengan tegas aku berkata pada lelaki itu.
“Maaf ya Mas, ini pesanan saya caramel macchiato dengan susu almond,” jawabku sambil terus menyeruput kopi yang sudah ada ditanganku.
Mendengar perdebatan kami, sepertinya barista merasa ada kesalahan komunikasi yang harus segera ia lerai antara aku dengan mas-mas pengaku kopi ini.
“Maaf, ini pesanan Mbak caramel macchiato, dengan susu almond dan extra caramel. Sementara yang Mbak minum itu punya Mas ini,” tegurnya sambil memberikanku secangkir kopi yang tertera namaku di samping gelas plastiknya dan tangan kirinya seolah menunjuk mas pengaku kopi ini.
“Have a nice day Mbak Nala,” tulis barista tersebut pada secangkir gelas plastik kopi yang telah aku pesan.
Mendengar ucapan barista itu aku sudah tidak tahu harus bertingkah seperti apa, rasa malu pun sudah tidak bisa aku tunjukkan karena harga 1 kopi ini tidak murah ditambah malunya luar biasa belum lagi menjadi pusat perhatian pengunjung lain. Tanpa sadar wajahku memerah, otakku seakan berpikir apa yang harus aku lakukan, ingin rasanya lari dan tidak pernah datang ke kafe itu lagi meskipun kafe itu merupakan kafe terfavoritku.
“Betul kan Mbak ini punya saya, ya sudah tidak apa-apa untuk Mbaknya aja ya,” ia tersenyum sambil merogohkan tangannya ke dalam saku celana dengan wajah yang seakan-akan berbicara “Di bilang juga apa Mbak, itu ya punya saya.”
Aku yang masih tidak sanggup untuk melihat matanya dan wajahnya tertunduk malu dengan segala skenario kabur di otakku yang terus muncul. Selang beberapa detik aku mulai menemukan jalan skenario yang benar untuk aku lakukan tidak lain dan tidak bukan adalah meminta maaf sambil senyum-senyum meskipun aku tahu rasa gengsi dan malu ini tidak pernah terbayarkan terlebih apabila momen ini terekam oleh cctv dan ditonton oleh internal kafe, sudah pasti setiap aku datang kesana wajahku seperti dikenal oleh mereka. Mungkin bertemu lagi dengan mas nya seperti peluang 1 banding 1000, sehingga dengan mudah aku pura-pura tidak mengenalnya apabila berpapasan di tempat lain, terlebih Jakarta yang memiliki luas 66.5 kilometer persegi, tentu saja akan sulit bagiku untuk bertemu dia di tempat keramaian lagi.
“Mas, maaf ya saya salah soalnya dari tampilan fisik mirip banget jadi saya kira punya saya. Saya ganti aja ya punya Mas, silahkan Mas mau pesan apa aja saya yang traktir,” tegurku sambil senyum dengan wajah memelas serta panik karena rasa malu yang masih saja dilihatin oleh pengunjung sekitar serta gumaman dalam hati yang terus berkata “tolong tidak mau untuk gue traktir, uang gue limit banget ini akhir bulan.”
“Wah, tidak perlu Mbak, tapi kalau Mbak maksa ya saya ikut saja,” tawanya.
“Waduh ternyata dugaan gue salah dan gue harus bayarin minuman dia sebagai gantinya,” batinku menggerutu.
“Ya sudah Mas ayo kita ke kasir lagi, silahkan Mas pesan, saya yang bayar,” dengan wajah sedikit asam sambil merogoh dompet yang berada di dalam tas.
Beberapa menit kemudian tercium aroma segar kopi dan pertanda bahwa pesanan caramel macchiato nya telah jadi. Lalu, Mbak barista menyebut namanya dengan sebutan “Caramel Macchiato atas nama Mas Firza”. Lelaki itu dengan segera mengambil segelas caramel macchiato dan berputar menghadapku dengan mengatakan,
“Mbak, terima kasih ya lain kali semoga kita ketemu lagi.”
Setelah mendengar ucapan singkatnya itu aku hanya mengumbar senyumku lalu mengacungkan jari jempol sebagai ucapan “oke” dan segera bergegas meninggalkan kafe tersebut. Langkahku perlahan menuju pintu keluar, ku sanggahkan tangan ke gagang pintu dan akhirnya aku bisa menghirup udara bebas sembari menghembuskan nafas dalam pertanda hari ini ingin ku tutup dengan segera. Aku berada tepat di paparan sinar matahari dengan pemandangan gedung-gedung tinggi dan pantulan sinar seakan saling bersapa dengan memantulkan sinar dari satu kaca gedung ke kaca gedung lainnya. Aku ayunkan langkah kakiku menuju trotoar yang jaraknya ada di sekitar 100 meter dari kafe.
“Pesan ojek online atau naik trans aja ya,” pikirku sembari melihat jam yang tertera pada layar ponsel.
“Waduh sudah jam 3 sore, Ardi jadi ga ya mengembalikan buku,” gerutuku sambil membuka ponsel dan memastikan ada notifikasi yang masuk.
“Hmm sepertinya naik ojek online aja deh, untuk mempersingkat waktu khawatir mama bawel,” tambahku.
Dari perdebatan batin itu, akhirnya aku memutuskan untuk memesan ojek online. Selain karena waktu yang sudah sore, jarak dari Senayan ke rumahku yang berada di daerah Jakarta Utara sangatlah jauh, dan mama merupakan orang yang paling protektif. Lebih dari jam 5 sore aku belum sampai rumah, sudah pasti mama sibuk seperti operator untuk menghubungiku.
Aku menunggu di pinggir jalan sembari menunggu ojek online yang telah ku pesan.
Tidak lama kemudian, ponselku berdering tanda adanya notifikasi yang telah masuk di halaman pesanku.
[La, lo dimana? Gue mau mengembalikan buku nih] 15.02
Belum sempat aku membalas pesannya tiba-tiba ada ojek online menghampiriku. “Mbak Nala dengan tujuan Kelapa Gading?” sapanya.
Aku mengangguk pelan dan segera menaiki sepeda motor lalu ku letakkan helm di atas kepalaku dan berlalu pergi meninggalkan kafe yang mungkin tidak akan ku datangi kembali.
“Kriiinggg kringg…..”
Pertanda pagi mulai datang dengan sambutan matahari yang memberikan sinar cerah pagi ini. Aku terbangun dari lelapnya tidur dan mimpi-mimpi klasik bersama mantanku. Ah, aku juga tidak tahu apa yang sedang terjadi pada diriku. Beberapa bulan terakhir ia selalu hadir dalam mimpi dengan sejuta harapan yang membuatku senyum ketika terbangun, namun ketika sadar itu hanya mimpi membuat batinku kembali rapuh.
Sudahlah, pagi ini aku tidak ingin galau untuk mengenang mantan kekasihku. Aku ingin diriku bahagia tanpa hadirnya dia lagi di hidupku. Akan ku buka lembaran baru pagi ini dengan mengisi to do list dalam sebuah catatan kecil kesayangan.
“Nalaaaa, mandi sayang udah jam berapa ini!” Teriakan mama menghebohkan satu rumah di setiap paginya. Mama berteriak dari dapur yang berada di lantai satu dan suaranya merambat hingga sampai kamarku yang berada di lantai 2. Kadang aku berpikir, mama ini sepertinya memiliki bakat terpendam sebagai penyanyi seriosa sehingga punya suara yang kekuatannya sangat tinggi hingga mungkin berada di posisi 8 oktaf.
“Iyaa Maa, sabar!!” Teriakku dari lantai 2.
Dengan segera aku menyelesaikan catatan to do list, membuat beberapa poin tentang apa yang akan dilakukan hari ini dan tentu saja durasi serta jam merupakan komponen penting untuk segala urusan di luar rumah. Lalu, aku berjalan menuju pintu untuk meraih handuk merah dan menuju kamar mandi yang berada di sudut kamar. Tepat sampai di depan pintu kamar mandi, aku berhenti.
“Aku harus temui mama dulu supaya mama ga berpikir aku tidur lagi,” batinku.
Dengan segera aku letakkan kembali handuk di atas kasur, lalu bergegas turun melewati satu per satu anak tangga menuju dapur tempat mama sedang meracik hidangan.
“Pagi Ma, Nala udah bangun nih,” sambutku berada di sisinya sambil melihat mama sedang menuangkan beberapa potong ayam dalam wajan dan tampak sesekali minyaknya menyembur.
“Nalaa, udah jam berapa ini gegas mandi. Kuliah jam berapa sayang?” Tanya mama sembari sibuk mengaduk bumbu lainnya.
“Ma, hari ini Nala ada kelas jam 1 siang, jadi bisa santai dulu di rumah,” jawabku sambil berjalan mengambil gelas dan menuangkan air dari dispenser.
“Waduh itu siang banget, jam berapa lagi dong kamu pulang. Ingat ya sampai rumah harus jam 5 atau paling telat setengah 6 sore ya sayang,” jawab mama lagi.
“Kegiatannya hari ini ada kelas tambahan dan laboratorium sih Ma, kemungkinan Nala sampai rumah ya sekitar jam 4 sore,” jawabku sembari meletakkan gelas di atas meja dan menambahnya dengan jus jeruk yang telah tersedia di atas meja makan.
“Yaudah bagus deh, sana kamu mandi dulu setelah itu sarapan,” tambahnya.
Aku bergegas kembali menuju kamarku dan meraih handuk yang tadi aku letakkan di atas kasur lalu menuju kamar mandi.
“kring… kring… kring….”
“Aduh siapa sih pagi-pagi sudah ada yang telfon!” Gerutuku yang baru saja melangkah masuk kamar mandi, dan akhirnya aku harus kembali lagi ke atas kasur untuk meraih ponsel.
“Nalaaa, kamu dimana? Udah ditungguin anak-anak nih!” Celoteh Dini.
“Din, lo kenapa? Gue rasanya hari ini tidak ada janji untuk bimbing anak-anak,” balasku dengan raut wajah bingung dan alis mengerucut.
“Loh La, terus hari ini jadwal siapa dong? Soalnya disini belum ada yang datang dan anak-anak sudah pada rapi untuk belajar,” balasnya dengan suara tergesa-gesa
“Tenang-tenang Din, gue coba cek jadwal ya seingat gue hari ini Tita dan Ardi deh yang bimbing,” jawabku sambil terburu-buru membuka laptop untuk memastikan jadwal yang seharusnya ada di lokasi tersebut.
“Tuh kan bener Din, hari ini Tita dan Ardi. Tapi kok mereka belum datang ya. Duh, gue minta tolong banget untuk lo handle dulu ya. Gue mandi sebentar setelah itu langsung ke lokasi,” tambahku.
“Hmm, iya deh La, cepet tapi ya soalnya kan gue juga masih baru belum paham cara pengajaran anak-anak ini seperti apa, gue takut salah La,” suara Dini disana seperti memelas dan penuh kebingungan.
“Iya Din, gue langsung mandi dan siap-siap nih menuju lokasi,” balasku.
Dini, Tita dan Ardi merupakan sahabatku sejak di bangku sekolah menengah pertama. Kami berempat berasal dari salah satu provinsi di Sumatera. Ketika masuk sekolah menengah atas, aku berpisah dari mereka bertiga untuk melanjutkan sekolah di Ibukota karena papa ku yang dipindah tugaskan. Lalu, Dini, Tita, dan Ardi baru datang ke Jakarta ketika memasuki dunia perkuliahan.
Semenjak kedatangan mereka dan secara kebetulan berada di satu kampus yang sama namun beda jurusan, hidupku berwarna banget. Bagaimana bisa tidak berwarna, setiap harinya kami selalu bercerita dan berbagi kisah dari masing-masing perspektif perkuliahan. Belum lagi tentang kisah asmara satu sama lain, setiap hari rasanya penuh dengan episode cerita drama ketika menyisihkan waktu di akhir minggu untuk kumpul.
Dengan cerita yang selalu satu frekuensi sejak masa SMP itu, akhirnya kami berempat memiliki gagasan untuk membuat aksi nyata kontribusi. Tujuan kami dengan adanya kegiatan ini agar menambah nilai kebahagian satu sama lain sekaligus membuat dampak positif dari circle persahabatan ini. Berbagai ide sudah kami utarakan mulai dari buat komunitas tentang isu lingkungan, peduli desa, namun yang paling berkesan dari kami adalah memberikan edukasi pada anak-anak jalanan. Oleh karena itu, setiap minggunya kami selalu bergantian untuk mengunjungi anak-anak jalanan agar memberikan edukasi dasar untuk mereka.
Oh ya, terkecuali Dini, aku, Tita, dan Ardi sudah sering banget mengunjungi anak-anak, karena memang kesibukan kami bertiga hanya kuliah, organisasi dan pulang. Sementara Dini baru saja menyelesaikan studi 1 semesternya di luar negeri karena mengikuti program student exchange. Sehingga agenda peresmian hingga berjalannya kegiatan, Dini belum sempat mengikuti. Oleh karena itulah ia masih sangat ragu untuk melakukan pengajaran kepada anak-anak.
Drama hari ini adalah Tita dan Ardi secara mendadak belum datang padahal jadwal giliran mereka untuk mengunjungi anak jalanan. Sementara Dini yang baru saja bergabung kebingungan sebab ia belum paham bagaimana mengkondisikan anak-anak meskipun ia sudah tahu silabus dan progres anak-anak binaan ini. Untuk meminimalisir kepanikan Dini, dengan sigap aku bergegas untuk bersiap dan langsung menuju lokasi pengajaran.
Tanpa ku sadari, ternyata aku belum mengontak Tita maupun Ardi, dengan cepat aku rogoh kantong sakuku dan buka ponsel langsung menuju menu chat grup.
[Taa, Arr, kalian pada dimana ya? Dini udah di lokasi anak-anak tuh, gue baru mau jalan dari rumah] 08.30.
Setelah mengirim pesan di chat grup, dengan cepat aku memesan ojek online. Butuh waktu yang lumayan lama hingga pesananku disetujui oleh pihak ojek. Sembari menunggu ojek sampai di depan rumah, aku mencari sepatu ket lalu memasangnya, dan bergegas menuju dapur untuk pamit kepada mama.
“Nala, katanya masuk siang kok sudah siap ini,” sapa mama yang sedang merapikan meja.
“Maa, Dini sendirian di lokasi pembelajaran, terus dia bingung sendiri. Jadinya, aku mau bantu Dini dulu ya, setelahnya aku langsung jalan ke kampus kebetulan juga searah Ma,” balasku sambil mencium tangan Mama.
“Oh ya udah hati-hati ya sayang, jam pulangnya diingat ya,” jawab Mama sambil melambaikan tangan ke arahku.
"Iya Ma, Nala pergi dulu ya," balasku.
Aku langsung menuju halaman rumah dan tampak bapak ojek online sudah menungguku, aku pun langsung bergegas menuju rumah belajar.
“Kak Nalaaaaa…..” Sapa seorang anak.
Kegiatan yang aku ciptakan bersama ketiga sahabatku ini benar saja membuatku senang. Aku senang bisa bertemu anak-anak yang punya semangat belajar tinggi namun disayangkan dengan kondisi ekonomi yang rendah. Aku senang berbagi ilmu apa yang telah aku ketahui kepada mereka, dan antusias serta pertanyaan mereka seringkali membuatku berpikir, Tuhan andaikan saja aku punya uang dan rejeki yang melimpah pasti telah aku sekolahkan mereka secara gratis. Namun, sepertinya Tuhan masih menyimpan doaku untuk dikabulkannya suatu saat nanti agar bisa berbagi kepada mereka yang membutuhkan pendidikan.
Pagi itu, aku menuruni ojek online, mencoba berjalan beberapa puluh meter dari pemberhentian sebab lokasi mengajarnya berada di dalam gang kecil dan hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki. Tampak beberapa ibu-ibu yang habis belanja sedang membawa belanjaannya dan berpapasan di depanku. Dengan senyum dan teguran hangat aku menyapa mereka.
“Pagi Bu, izin lewat ya Bu,” sapaku dengan senyum lebar.
“Pagi Neng Nala, kok Neng Nala lagi yang kemari, bukannya Minggu kemarin sudah ya?” Balasnya dengan sesekali meraih rambut yang mengganggu pemandangannya ketika melihatku.
“Oh iya Bu, kedua teman saya lagi berhalangan hadir hari ini, jadi saya menggantikan mereka,” balasku.
Lalu ku lanjutkan ayunan langkah kaki hingga tampak sebuah bangunan kayu kecil dengan 1 pintu yang terbuka dan terlihat pula Dini yang berdiri dari samping menghadap ke anak-anak. Dengan segera aku mendekati pintu dan melepas sepatu ket putihku.
“Halo selamat pagi adik-adik kakak!” Sapaku sambil memasuki ruangan dan melepas tas yang masih ada di bahu kiriku, lalu aku letakkan tas tersebut di meja persis dekat dengan papan tulis.
“Kak Nalaaaaa…..” Teriak mereka dengan senyum sumringah.
Ah entah kenapa, melihat mereka semua perasaan kesal, sedih, lelah merasa telah terbayarkan. Mereka adalah penghiburku di dalam kondisi apapun.
“Sudah pada belajar apa aja nih dengan Kak Dini? Oh ya sudah pada kenalan kan ya dengan Kak Dini?” Tanyaku pada mereka dengan posisi masih berdiri dan sesekali memainkan gestur tanganku.
“Sudah Kak, Kak Dini cantik banget,” celetuk Pian.
“Loh cantik katanya Din,” balasku melirik Dini sambil tersenyum.
Dini tak bisa berkata apa-apa, ia hanya malu dan memalingkan wajahnya sesekali namun rona pipinya selalu tidak bisa berbohong bahwa ia sedang malu karena dibilang cantik oleh salah satu muridnya.
“Ini belum ada yang jawab pertanyaan Kakak tentang kalian belajar apa dari tadi,” balasku lagi sambil sesekali tersenyum karena melihat tingkah anak-anak ini yang kagum dengan wajah cantik Dini.
“Kami sudah belajar berhitung, dan kosakata bahasa inggris untuk bidang pekerjaan Kak,” jawab Lira.
Lira ini merupakan salah satu anak yang terpintar di kelas, semua pelajaran ia mendapatkan nilai terbaik serta yang paling semangat apabila kelas bahasa Inggris dimulai, sebab katanya Ia berkeinginan untuk menjadi seorang peneliti di negara tulip. Sungguh besar impian Lira, dengan umurnya yang masih 8 tahun ia sudah tahu dengan mimpinya kelak, masalah jalannya pasti akan selalu ada jalan bagi yang terus berusaha dan berdoa.
“Good job students, berarti kelas hari ini udah beres ya? Adakah yang mau didiskusikan?” balasku sambil mengacungkan jempol ke arah Dini yang berada di sisi papan tulis.
“Kak, katanya Kak Dini abis dari London ya, ceritain dong,” celetuk Pian.
“Wah kamu ini sepertinya penasaran banget dengan Kak Dini ya,” balasku sambil ketawa.
“Ayo Din, boleh kali cerita tentang kuliahnya dan aktivitasmu selama di London, supaya memotivasi anak-anak juga untuk lebih semangat belajarnya,” tambahku. Lalu aku mengayunkan kakiku dan duduk di sebelah anak-anak sambil menyimak cerita dari Dini tentang studinya di London.
“Hmmm, sebetulnya aku bingung mau ceritanya dari mana guys, boleh dong ditanya aja ya,” ucap Dini dengan pipinya yang masih merona.
“Oh ya, tapi Kak Nala sebentar lagi juga akan pergi ke luar negeri loh, siapa yang sudah tahu?” Tambahnya sambil senyum ke arahku.
Aku yang diam, tiba-tiba kaget dan diam seribu bahasa. Keinginanku untuk merahasiakan dari anak-anak ini ternyata sia-sia akibat disinggung oleh Dini. Aku hanya bisa tersenyum dan sesekali melirik anak-anak. Ekspresi anak-anak kaget dan mulai ada yang bertanya kembali.
“Loh Kak Nala mau kemana? Lalu, nanti kami gimana?” Celetuk Lira dengan wajah yang bingung.
Mataku mengarah ke Dini dengan tajam dengan kondisi mataku sudah berkaca-kaca dan tidak sanggung untuk menceritakan kepergianku kepada mereka. Sebab diriku saja belum cukup nerima untuk pergi selama 6 bulan dari mereka, apalagi diri mereka mungkin saja akan membuat bingung hingga melukai hatinya. Meskipun ini bukan perihal sesuatu yang penting, namun aku yakin mereka sudah memiliki sense yang baik kepadaku selama 7 bulan terakhir ini.
Seketika aku langsung berdiri dan mencoba untuk mencairkan suasana yang tegang. Sementara Dini hanya diam dan bingung dengan kondisi yang terjadi.
“Hmm, baik students. Jadi, Kak Nala cuma pergi sebentar kok. Kebetulan kakak dapat kesempatan sama dengan Kak Dini yaitu melakukan pertukaran pelajar, bedanya Kakak ke salah satu kampus di Belanda,” ucapku kepada mereka.
“Lalu, kalian tidak perlu takut dan khawatir siapa yang akan bersama kalian. Tentunya kan masih ada Kak Dini, Kak Ardi, dan juga Kak Tita yang bakal temenin kalian belajar. Oh ya, sebagai tambahan juga rencananya Kakak dan ketiga kakak-kakak lainnya akan membuka relawan baru yang siap mendampingi kalian belajar, jadi jangan takut ya sayang,” tambahku.
“Kak Nala kapan berangkatnya? Kenapa sih Kak harus ikut pertukaran pelajarnya?” Celoteh Lira.
“Ah iya Kak, kenapa harus ikut Kak? Kakak sama kami aja!” Tambah anak-anak yang lain dengan mata mereka yang sudah berkaca-kaca.
“Duh, adik-adikku sayang. Gini Kakak coba jelaskan secara sederhana ya. Nanti di masa dewasa, kalian akan memahami kenapa mimpi itu harus dicapai. Sekarang aja Lira sudah memiliki mimpi yang luar biasa bagusnya yaitu menjadi peneliti di negara Belanda. Nah, Kakak juga sama, berawal dari mimpi kakak yang berkeinginan besar untuk belajar dan menempuh pendidikan di luar negeri. Tahun lalu, tepatnya pada tujuh bulan yang lalu, Kakak dan Kak Dini mencoba untuk tes seleksi masuk pertukaran pelajar dunia, namun yang dipilih hanya satu dari Indonesia yaitu Kak Dini dan akhirnya Kak Dini berhasil meraih impiannya untuk studi di London, lalu nama Kakak tepat di urutan kedua dari Kak Dini sehingga tahun ini Kakak berkesempatan untuk mewujudkan mimpi Kakak,” jawabku secara rinci dan tentunya sangat hati-hati. Sebab berbicara dengan anak-anak bukanlah perkara yang mudah. Hati mereka masih sangat lembut belum lagi pikiran mereka yang masih ingin tahu lebih dalam dari apa yang mereka pikirkan.
“Lalu Kakak berangkatnya kapan? Aku bertanya dari tadi belum Kakak jawab!” Celoteh Lira. Bisa di rasakan dan lihat sendiri sensitifitas anak-anak sangat luar biasa, bukan?
“Ah, Lira sayang maafkan Kakak. Kakak perginya masih tiga bulan lagi kok. Tenang masih lama, dan kita masih punya banyak waktu untuk belajar bersama. Jangan terlalu dipikirkan, ok?” jawabku sambil tersenyum dan meyakinkan mereka bahwa semuanya akan baik-baik saja meskipun tanpa adanya aku yang mendampingi mereka.
Tidak lama kemudian bunyi notifikasi di dari ponsel berbunyi, tentu saja itu dari chat grup sebab bukan hanya suara notifikasi dari ponselku melainkan suara itu juga berasal dari ponsel Dini.
“Ok adik-adik, kelas hari ini sampai disini dulu ya. Minggu depan kita sambung lagi. Jaga kesehatan, dan semangat selalu ya!” Tutupku mengakhiri kelas pada pertemuan hari ini.
Lalu, aku meraih ponsel dengan merogoh tasku. Aku buka layar ponselnya dan ditemukan beberapa notifikasi salah satunya dari grup chat.
[Sorry La, gue sama Tita kecelakaan. Sekarang kami masih di klinik] 10.15
[La, jadinya anak-anak siapa yang mendampingi belajar?] 10.15
Aku dan Dini di satu ruangan dengan waktu yang sama secara tiba-tiba saling bertatapan, dan bingung harus melakukan atau bertindak seperti apa.
“Din, ini gimana? Kita harus apa? Waduh, gue khawatir sama Tita dan Ardi,” ucapku.
“La, tolong diberesin yang sisi sudut sana. Gue coba balas chat mereka dulu, untuk memastikan kondisi dan saat ini mereka sedang berada di klinik apa,” balas Dini.
Dengan cepat aku membereskan ruangan belajarnya, mematikan kipas angin, dan lampu, lalu dengan segera menutup pintu serta menguncinya. Setelah mendapat alamat pasti lokasi klinik tersebut, aku dan Dini langsung bergegas menuju klinik.
“Hai Mbak, Mbak pacarnya Mas Ardi ya?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!