"Bagaimana para saksi?"
"Sudah siap?"
Penghulu yang memiliki jenggot panjang itu memastikan para saksi pernikahan untuk fokus menyaksikan momen sakral ini. Pria itu menoleh ke kanan-kiri untuk melihat respon.
''Siap.. siap.'' jawab mereka yang sudah bersiap untuk jadi saksi pernikahan.
Desi mendengar kalimat itu dari balik kamarnya, jantungnya berdebar kencang dan pikirannya menegang di kala menanti pelafalan ijab qobul yang tidak lama lagi akan dilaksanakan.
Desi berada di kamar bersama teman dan juga kakaknya. Ia akan keluar jika sudah mendengar kata sah dari para saksi.
''Ya Allah, tenangkanlah jantungku ...'' gumam Desi memohon.
''Sudah-sudah, jangan gugup. Slow aja.'' ujar kakaknya Desi sembari menaikturunkan alisnya.
Desi berdesis kesal melihat ekspresi kakaknya yang sangat suka menggodanya. Tidak mengerti kabar jantungnya yang kini hampir turun ke telapak kaki.
Mereka terdiam, acara sudah dimulai. Desi terus berdo'a di dalam hatinya supaya lelaki pujaan hatinya itu bisa lancar. Jangan sampai yang katanya akan disiram air jika gagal lebih dari tiga kali itu terjadi pada seseorang yang ia cintai.
''SAAAAAHHHHHH!!''
Suara itu menggema keras. Desi menghela nafas lega. Tak lama kemudian, ada yang membuka tirai pintu kamarnya dan memerintahkan Desi untuk segera keluar menemui sosok yang kini sudah resmi menikahinya itu.
''Ayo keluar sekarang.'' ujar wanita yang masih berdiri di tengah pintu kamar Desi.
''Iya, Mbak.'' jawab Desi.
Teman dan juga kakak Desi menggandeng tangannya. Balutan busana brukat berwarna putih itu membuatnya semakin anggun, riasan wajah yang tidak menor sesuai dengan keinginannya. Desi juga tidak mau mengenakan kebaya karena ia tidak bisa sabar jika harus berjalan pelan-pelan.
Pria yang sudah resmi menikahinya itu menatap wajah istrinya yang muncul dari balik pintu, Desi pun ikut tersenyum meskipun jantungnya berdebar kencang. Semua orang yang menyaksikan momen bahagia itu saling berbisik, hal yang sudah biasa terjadi di lingkungan.
Laki-laki itu berdiri untuk menyambut kedatangan Desi. Desi semakin mendekat, kakak dan temannya langsung melepaskan tangan masing-masing ketika Desi sudah tiba di hadapan suaminya.
''Ayo berjabat tangan.'' titah pembawa acara.
''Sudah halal lho, Des, haha!!'' seru seseorang yang berasal dari bawah tenda biru.
Desi menjabat tangan suaminya, mereka saling memasangkan cincin pernikahan. Terlihat begitu manis sekali. Suaminya itu sudah bersiap-siap untuk memberikan ciuman di kening Desi untuk pertama kalinya. Namun, tiba-tiba kepala Desi terasa pusing, perlahan pandangannya gelap.
BRUG! AWW!
''DESII!! BANGUN!!''
''HAH?''
Desi celingukan melihat kondisi sekitarnya, ia belum sadar, nyawanya masih melayang di dalam mimpi, ia langsung juga memeriksa dirinya. Ternyata ia terjatuh dari tempat tidur, untung saja ia tidur di kasur busa tanpa dipan.
''DESI BANGUN!'' suara mamak kembali terdengar dengan lantang.
''Hmm, iya Mak, sudah bangun.'' jawab Desi sedikit menaikkan suaranya yang khas bangun tidur.
Kembali hening, pasti mamak sudah kembali ke dapur.
Desi kembali celingukan, mengusap pantatnya yang terasa sedikit sakit.
''Aku mimpi ya?''
''Kenapa nanggung banget sih mimpinya?''
''Hadeeehhhh!'' gerutu Desi.
Ia langsung bergegas bangun, jam di dinding masih menunjukkan pukul 05.05 WIB.
∆∆
Seorang gadis remaja bernama Desiana Putri atau yang akrab disapa Desi, putri bungsu dari tiga bersaudara. Ia bersekolah di SMK swasta yang ada di kampungnya, usianya saat ini 16 tahun dan belum lama naik ke kelas XI (sebelas).
Desi merupakan murid yang aktif di berbagai kegiatan, ia bukan termasuk murid yang paling pandai dikelasnya, tapi, juga bukan yang terbawah, ia masih setia masuk ke dalam peringkat sepuluh besar, meskipun paling mentok di peringkat enam.
''Nanti ada rapat osis kan?'' tanya Desi kepada Siska sebelum istirahat.
''Iya Des, males banget sebenarnya kalau rapat-rapat begini.'' keluh Siska lalu mendengus kesal.
''Lah kalau males ngapain dulu minat jadi anggota osis? yang lain banyak yang minat, tapi, kamu yang dipilih, harusnya bertanggungjawab dong, Sis.'' protes Desi.
''Iyaa bos, iyaaaa ... aku cuma ngantuk kalau jam segitu.'' gerutu Siska lalu beranjak dari kursinya dan langsung menuju kantin.
Desi menarik nafas lalu meletakkan tasnya ke dalam laci, kemudian ia menyusul Siska yang sudah duluan ke kantin bersama teman lainnya.
Kantin akan selalu penuh saat jam istirahat siang seperti ini. Saat hari Senin sampai dengan Kamis, memiliki dua kali waktu istirahat yaitu jam 09.45-10.00 dan jam 12.00-12.45 WIB.
Masing-masing murid yang berada di kantin sudah pesan menu sesuai seleranya, sedangkan Desi sendiri memilih mie ayam kesukaannya.
Kantin yang satu ini sudah menjadi langganan Desi beserta teman-teman sekelasnya sehingga tidak canggung lagi bagi mereka untuk saling bercerita, tak jarang beberapa temannya yang tertawa terbahak-bahak.
°°
Pukul 14.00 WIB, seorang guru menyudahi mata pelajarannya karena tanda jam pulang sekolah sudah berbunyi.
Seluruh murid tampak sumringah ketika jam pulang, waktunya beristirahat dan bermain.
Tetapi tidak dengan Desi dan beberapa teman lainnya yang merupakan anggota osis di periode ini. Mereka sudah terjadwal akan melaksanakan rapat menjelang hari pekan olahraga nasional.
Desi, Siska, dan ketiga teman lainnya langsung ikut bergabung di ruangan lain untuk segera mengikuti rapat.
Jantung Desi berdegup kencang saat ketua osis itu masuk ke dalam ruangan. Ketua osis yang seangkatan dengannya, namun, berbeda kelas.
Sejak pertemuan pertamanya di pendaftaran, Desi merasakan ada sesuatu dihatinya. Rasa penasaran tentang laki-laki itu kian menghantui pikirannya setiap hari, apalagi keduanya berada di organisasi yang sama.
Setelah waktu terus berjalan, perasaan Desi tidak berubah, ia sering mengamati laki-laki itu secara diam-diam, mengagumi sosok itu dalam diamnya. Ntah perasaan apa yang bisa Desi simpulkan, sejauh ini ia juga tidak memiliki keberanian, terlebih dirinya adalah seorang perempuan, sangat gengsi memulai terlebih dahulu.
Prastiyo, ketua osis periode ini mulai membuka acara rapat osis. Semua mata menatap ke arahnya dan menyimak apa yang disampaikan, tak terkecuali dengan Desi. Hanya saja apa yang disimak oleh Desi pasti bercabang.
''Silahkan yang ingin memberikan usulan mengenai cabang olahraga apa saja yang akan kita pertandingkan nanti.'' ujar Pras dengan tegas, mengedarkan pandangannya pada seluruh peserta rapat.
Desi langsung berdiri sembari mengangkat tangan dengan yakin.
''Ya, silahkan.'' ujar Pras dengan tatapan datarnya, sementara jantung Desi seperti mau copot.
Seluruh peserta rapat langsung menatap Desi, menanti apa yang akan disampaikan oleh gadis itu.
''Aku memiliki usulan, berhubung pembangunan gedung untuk cabang bulutangkis sudah selesai dan siap digunakan, aku berharap cabang ini dimasukkan dalam daftar cabang yang akan diperlombakan nanti. Mengingat sebenarnya banyak yang gemar terhadap olahraga ini, dan olahraga ini juga tidak kalah tenarnya dengan sepakbola.''
''Tapi, bulutangkis membutuhkan waktu yang panjang, Des ... apalagi kalau sektor tunggal.'' sahut peserta rapat lainnya.
Peserta rapat beralih menatap peserta yang menyahut usulan Desi.
''Ya, benar, untuk itu aku memiliki pemikiran sektor tunggal tidak dimainkan. Cukup sektor ganda saja, hitung-hitung untuk mencoba lapangan baru.'' timpal Desi.
''Ya benar juga.''
''Setuju Des.''
''Setuju sih usulan Desi.''
Beberapa peserta rapat menyetujui usulan Desi.
''Baiklah, karena masih menuai pro-kontra, kita lihat presentase usulan Desi.'' ujar ketua osis kesayangan Desi itu.
Desi seketika ingin ambruk saat namanya disebut. Hatinya lemah, namun, seketika ia langsung bisa sadar untuk profesional. Padahal bukan kali pertama namanya disebut.
Meleyot hati adeek😭 begitulah bathin Desi.
''Kamu sendiri gimana, Pras? setuju apa nggak sama usulan Desi?'' tanya peserta rapat yang kurang setuju dengan usulan Desi tadi.
Pras pun beralih menatap gadis cantik itu.
''Aku pribadi menyukai bulutangkis, jadi tidak ada salahnya jika tahun ini kita masukkan ke daftar yang akan diperlombakan, sekalian coba lapangan baru, 'kan.'' jawab Pras.
Mendengar jawaban Pras, senyum Desi langsung mengembang karena seperti mendapatkan support system. Gadis tadi mendengus kesal lalu memberi tatapan sinis kepada Desi.
Sebenarnya mereka sedang tidak ada masalah. Hanya pro kontra antara pendapat saja. Desi tidak mau ambil pusing.
''Oke baik.. yang tidak setuju bulutangkis diadakan tahun ini silahkan angkat tangan ..!'' seru Pras dengan suara tegasnya yang memang sangat cocok dengan gelarnya sebagai ketua osis.
Semua peserta rapat celingukan.
Senyum Desi kembali mengembang ketika melihat yang mengangkat tangan hanyalah tiga orang. Dan sudah dipastikan itu adalah se genk yang sudah kompak untuk kontra dengan keputusan Desi.
''Berarti yang lain setuju ya?'' tanya Pras memastikan kembali.
''Setuju, Kak.'' jawab dari peserta rapat kelas X.
''Setuju, Pras.''
Sahut mereka.
''Oke kalau begitu, yang pertama bulutangkis.'' Pras menuliskan bulutangkis pada papan putih dengan spidol yang sedari tadi ia pegang.
''Futsal sama voli, itu aja deh nggak usah banyak-banyak .'' sahut lainnya.
''Gimana dengan yang lain?'' tanya Pras.
''Setuju, tiga itu aja sudah memakan banyak waktu, kita juga perlu biaya yang tidak sedikit untuk melaksanakan acara ini agar berjalan dengan baik.'' cetus lainnya.
Pras pun mengangguk setuju, lalu melanjutkan kembali menulis dua cabang olahraga berikutnya yaitu futsal dan bola voli.
''Baik ya, untuk cabang yang diperlombakan cukup tiga ini saja.''
Yaaaaaaaaaaa...
Sahut peserta rapat kompak kecuali tiga gadis yang tidak menyetujui usulan Desi.
''Oke, untuk peserta yang akan ikut lomba, silahkan kalian koordinasi dengan teman-teman sekelas kalian.'' ujar Pras.
''Untuk panitia lomba, nanti kita rapatkan lagi.'' imbuh Pras.
"Ada pertanyaan lagi?" ujar Pras.
Beberapa detik tampak saling celingukan.
"Oh ya, apa anggota osis boleh ikut lomba?" tanya satu teman dari kelas Desi.
"Boleh." jawab Pras. Karena dalam benaknya pun juga menginginkan ikut serta dalam perlombaan itu.
"Semoga tidak semuanya ikut lomba ya, nanti nggak ada yang jadi panitia kalau semua ikut lomba." canda Pras.
Semuanya peserta rapat pun menyetujui dan Pras menyudahi rapat hari ini.
°°
Desi tiba rumah sekitar jam 15.00 lebih. Ia diantar oleh temannya yang berbaik hati selalu memberikan tumpangan.
''Makasih ya Sis.'' ucap Desi setibanya di rumah dan diantar oleh Siska.
''Oke, langsung pulang ya.'' seru Siska sembari memutar arah motor maticnya.
''Oke, hati-hati.''
''Yaa..!'' seru Siska.
Desi besar di keluarga yang sederhana, kedua kakaknya sudah menikah dan memiliki rumah masing-masing. Kedua orangtuanya berprofesi sebagai seorang pekebun. Kendaraannya hanya satu dan selalu di bawa ke kebun oleh bapaknya.
Sebetulnya bapaknya juga bersedia mengantar jemput, sejak awal masuk ke SMK pun sudah melakukan hal itu. Tapi, keberuntungan selalu Desi dapatkan, sama halnya ketika ia masih duduk di bangku SMP. Sayangnya teman yang selalu mengantar jemputnya saat masih SMP itu tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya karena alasan ekonomi, dia memilih masuk ke yayasan penyalur tenaga kerja di ibukota.
Ketika sudah masuk SMK, Desi bertemu dengan teman-teman baru, dari sekolah-sekolah yang berbeda. Kebetulan Desi sekelas dengan Siska, dia berasal dari desa lain, tapi, untuk menuju ke sekolahan, ia melewati rumah Desi sehingga justru Siska lah yang awalnya memberikan penawaran itu saat mereka sudah kenal baik, itung-itung agar dia tidak sendirian ketika masuk ke gerbang sekolah.
Penawaran yang baik tentu saja diterima baik oleh Desi. Setiap pagi Siska selalu menghampirinya, kecuali saat izin. Saat satu minggu sekali, Desi memberikan beberapa uang untuk membantu beli bensin. Yang pasti uang dari mamaknya dong, hehe.
''Assalamu'alaikum..'' ucap Desi sembari memutar handle pintu.
''Wa'alaikumussalam.'' jawab mamaknya dari dalam.
''Kok baru pulang, Des?''
''Iya Mak, rapat osis dulu.'' jawab Desi mencium punggung tangan mamaknya.
''Ya sudah ganti baju sana.''
''Oke Mak.'' jawab Desi langsung menuju kamarnya yang minimalis itu.
Desi segera masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian. Seragam sekolahnya sudah mengeluarkan aroma keringat karena sudah dari kemarin di pakai.
..
''Desi.. makan dulu!'' seru mamak dari luar memanggil putrinya.
''Iya Mak, sebentar.'' balas Desi yang tak kalah seru.
Ceklek
Desi menutup pintu kamarnya lagi.
''Hapeannya nanti lagi!'' omel mamak melirik putrinya sekilas lalu kembali menatap layar televisi.
''Enggeh Ndorooooo..'' jawab Desi menirukan suara wanita Jawa yang sangat halus.
Mamak tidak menjawab, hanya melirik sekilas.
Desi mencuci tangan dan wajahnya terlebih dahulu, dan juga kakinya yang berjam-jam terbungkus kaos kaki. Kalau di cium pasti yang mencium kakinya langsung pingsan.
''Makan-makan.'' sorak Desi seperti belum makan setahun.
Desi membuka tutup saji di atas meja, memperhatikan satu persatu menu disana. Tidak banyak, tumis labu dan tempe goreng. Menu sederhana yang penting mengenyangkan.
Desi sudah memenuhi piring yang diambilnya, menikmati makan sorenya tanpa menggunakan sendok. Hal yang biasa ia lakukan ketika dirumah, makan tanpa menggunakan sendok kecuali sayur bening, dan menu berkuah lainnya.
''Kelamaan pake sendok, nggak nikmat.'' gumamnya.
Desi menikmati makanan itu dengan sangat lahap. Ia tidak pernah repot soal makanan, asalkan jangan dimasakin jantung pisang, pare, cepokak, rebung, dan batang talas. Nama-nama itu masih aneh di lidah Desi. Padahal di desanya sudah hal biasa orang-orang mengolah itu, bahkan banyak yang menyukainya. Ya begitulah hidup, yang menurut orang lain enak, belum tentu menurut kita juga enak.
Desi langsung mencuci piringnya dan meletakkan di rak setelah selesai makan. Ia tidak suka menumpuk piring kotor. Saat masuk ke dapur dan melihat satu gelas kotor pun langsung ia bersihkan. Menunda dan menumpuk justru membuat Desi semakin malas mengerjakannya. Begitu juga dengan pakaian, ia mencuci pakaian dua hari sekali.
Daripada memasak, Desi memilih untuk bersih-bersih rumah beserta halaman depan, samping, hingga belakang. Ia hanya memasak jika menginginkan makanan tertentu dan ingin ia olah sendiri. Tapi, soal masakan sehari-hari, ia tak pernah ikut campur kecuali keadaan mendesak seperti saat itu, ketika salah satu kakaknya dirawat di tempat salah satu seorang mantri yang berada di desa sebelah dan mamaknya menemani, mau tidak mau, ia harus memasak sendiri untuknya dan juga bapak.
"Hahhh alhamdulillah." gumam Desi setelah meneguk air mineral yang berhasil melegakan tenggorokannya.
"Kapokmu kapan! huh! ketangkep kan! sukurin!'' seru mamak Desi dari dalam sana.
Desi menggeleng paham. Pasti mamaknya sedang terbawa cerita yang ada di layar kaca. Cerita yang intinya sama, alur ceritanya sudah bisa di tebak, hanya beda judul dan pemerannya saja, tetapi masih tetap menjadi kesukaan para emak-emak yang katanya mau mencari hiburan, walaupun kenyataannya justru emosi.
Seringkali Desi ikut duduk di samping mamaknya yang menonton televisi. Meskipun ia menatap layar hp, tetapi ntah kenapa isi televisi itu terekam di otaknya.
''Kalau ikut emosi tak matikan ini tipinya.'' ancam Desi sambil menggenggam remote.
''Yo, nggak.'' balas mamak.
Desi tidak ingin mamaknya seperti emak-emak lain yang terbawa alur cerita itu. Ikut emosi oleh adegan yang sudah diatur. Mereka dapat duit, kita darah tinggi.
''Kalau mau nonton sinetron ya nonton aja Mak, nggak usah ikut emosi. Mereka loh kerja terus dapat duit.''
''Iya.. udah sana kalau capek, tidur.'' balas mamaknya sedikit ngambek. Kebiasaannya ketika sedang tertohok dengan omongan Desi langsung berusaha mengalihkan.
Desi tidak bermaksud untuk melawan orangtuanya. Ia pun juga tidak melarang apapun yang dilakukan mamaknya, termasuk menonton televisi ini yang menjadi hiburan setiap hari ketika lelah dari kebun dan melakukan pekerjaan rumah lainnya. Hanya saja Desi tidak ingin mamaknya berlebihan, yang tadinya mau mencari hiburan lewat televisi, justru malah menambah tekanan darah.
''Kebiasaan Mamak kalau diajak ngomong serius pasti dialihkan. Sudah mau ashar ini Mak, nggak mungkinlah mau tidur.'' jawab Desi yang memilih untuk tetap duduk di samping mamaknya.
''Sudah dikamar aja sana, tadi masih hapean kan? ngapain disini..'' usir mamak.
Desi langsung tertawa.
''Hahaha.. bilang aja Mamak nggak mau di ganggu.'' ujar Desi.
Desi masuk ke dalam kamarnya dengan tawa yang masih tersisa dibibir.
''Dasar mamakku yang limited edition, haha.'' gumam Desi.
Desi meraih ponselnya dan melihat dunia maya. Gadis seusianya tentu saja sedang senang-senangnya dengan pergaulan. Termasuk pergaulan di dunia maya. Namun, Desi salah satu gadis yang tidak terlalu suka dengan dunia maya, ia memiliki akun sosial media hanya untuk sekedar punya.
Saat melihat status teman-temannya yang mencurahkan isi hati, marah-marah, dan lain sebagainya, Desi hanya bisa menggelengkan kepalanya. Sungguh perbuatan yang sangat membuang-buang waktu. Kelak akan menjadi kenangan yang menggelikan.
''Kapan sih aku terakhir upload foto?'' bathin Desi lalu mengarahkan ke profilnya.
''Haha.. ternyata aku upload foto kalau pas ada acara-acara aja.''
Belum lama Desi membuat akun sosial media ini, ia baru memilikinya saat kenaikan kelas XI. Jika dibandingkan dengan teman-temannya, Desi gadis yang ketinggalan teknologi modern.
Bukan tanpa alasan, Desi memiliki ponsel yang bisa dipakai untuk internet memang saat kelas X semester akhir. Itupun karena pelajaran di sekolahnya kerap membutuhkan internet untuk browsing, ada mata pelajaran email. Mau tidak mau Desi harus memiliki sendiri daripada harus pergi ke warnet. Seharusnya memang laptop, tetapi karena kondisi ekonomi, Desi tidak memaksa, cukup ponsel itu saja sudah membuatnya bisa mengakses internet secara pribadi tanpa kemana-mana.
''Ya ampun genk ini cantik-cantik banget.'' gumam Desi melihat postingan temannya yang mengunggah foto bertiga.
Desi melanjutkan scroll ke bawah, hingga ia menghentikan ibu jarinya saat muncul foto seseorang yang membuat jantungnya berdebar kencang.
''Cakep gini.. maa syaa Allah ... huuhhhh.'' Desi meraih cermin kecil yang tidak jauh darinya. Menolehkan pipinya ke kanan dan ke kiri.
''Lah bentukanku begini? naksir yang begitu?? sadar Dessss, sadaaarr ..!''
''Insinyur eh insecure''
Desi menepuk jidatnya sendiri lalu menyudahi bermain ponsel. Ia keluar dari kamarnya dan sudah tidak mendapati mamaknya.
Desi pun langsung mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat Ashar, dan setelah itu ia akan menyapu halaman rumah.
°°
Pagi seperti biasa, Desi berangkat ke sekolah bersama dengan Siska.
''Ayo berangkat sekarang aja Sis, jadwalku piket hari ini.'' ajak Desi.
Siska yang masih membersihkan matanya melalui kaca spion langsung menjawab "oke"
Kedua gadis remaja ini berangkat ke sekolah, jalanan sudah lumayan ramai kendaraan anak-anak sekolah. Dari arah berlawanan pun juga sama, menuju sekolahan SMA yang juga di desa ini.
Setibanya di sekolah, Desi dan Siska berjalan beriringan menuju kelas mereka yang berada di tengah-tengah antara ruang kelas jurusan pemasaran dan akuntansi.
Desi memasukkan tas gendongnya ke dalam laci, lalu menaikkan kursi-kursi plastik itu ke atas meja sebelum menyapu. Tak lama kemudian beberapa teman lainnya berdatangan, termasuk yang memiliki jadwal piket hari ini.
''Aku nyapu sebelah sini ya.'' ujar teman Desi.
''Oke.'' jawab Desi.
Dalam berkelompok, pasti ada aja yang cuma numpang nama. Saat ada pekerjaan, wujudnya ntah hilang kemana. Dan itu biasanya terjadi pada murid laki-laki.
Dan itu terjadi di kelompok piket Desi, teman laki-lakinya itu belum muncul sama sekali. Padahal teman kelas sebelah yang biasanya berangkat bersamanya sudah kelihatan. Tidak perlu dipertanyakan, temannya itu pasti di kantin sedang menikmati rok*k ketengan.
Dan benar saja, ketika bunyi sirine bahwa tanda masuk sudah berbunyi, laki-laki itu datang dengan santai dan berjalan sangat cool seperti tanpa dosa.
''Minggu depan ikut piket!'' omel Desi.
Laki-laki bernama Fian itu langsung menghentikan langkahnya.
''Gampang, kalau nggak lupa.'' jawabnya santai lalu menuju ke bangkunya yang paling belakang.
Konon katanya, yang milih duduk paling belakang termasuk golongan murid-murid pemalas.
''Beneran Fian! awas aja kalau bohong!'' seru Desi lagi.
''Berisik amat sih perempuan, tuh Bu Anita datang.'' tunjuknya.
Desi pun langsung menoleh, dan benar saja, guru spesialis kejuruan itu sudah melangkah kesini karena jadwalnya berada di jam pertama, sungguh membagongkan.
Mata pelajaran pagi ini sudah di mulai. Jam pertama dibuka dengan salah satu pelajaran kejuruan yaitu tentang surat menyurat. Pelajaran yang membuat isi tas penuh dengan buku besar.
''Hari ini kita praktek komputer ya anak-anak.'' ujar bu Anita.
Ya Buuu...
Semua murid menjawab serempak.
Di bandingkan dengan jurusan lain, jurusan ini lebih banyak mendapatkan jadwal praktek komputer.
Karena fasilitas komputer yang masih terbatas, sehingga membuat pihak sekolah membuat perkelompok untuk melakukan praktek komputer agar terbagi rata.
Meskipun Desi bukan murid yang paling berprestasi di kelasnya, tetapi ia selalu masuk dalam kelompok satu, perkelompok berjumlah 9 murid.
''Yang berada di kelompok satu silahkan ke lab komputer sekarang, nanti Ibu akan menyusul. Sedangkan yang berada di kelas, kalian catat materi ini.'' ujar Bu Anita dengan membuka buku besarnya.
Ya Buuu..
''Fitri.. kamu yang mendikte, halaman 22 sampai halaman 26.'' tunjuk Bu Anita kepada muridnya yang memiliki suara lantang tersebut.
''Baik Bu.'' jawab Fitri seraya menerima buku tebal itu dari tangan gurunya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!