NovelToon NovelToon

The Fake Dating Game

Prolog

DAPHNE MARIE HARPER. Usia 25 tahun. Gadis dengan rambut pirang dan pupil mata berwarna green-greyish ini memiliki paras yang cantik dan menawan. Hobinya adalah melukis dan menari. Satu-satunya putri kesayangan dari pasutri Keenan Harper dan Evangeline Harper ini terkenal dengan julukan sebagai shopaholic girl.

Berada ditengah gempuran para sepupu perempuannya yang sudah memiliki gandengan kekasih dan beberapa dari mereka sudah menikah di usia muda, menjadikan Daphne merasa ketakutan sendiri karena tidak laku. Ditambah lagi Kakek dan Neneknya memaksa Daphne untuk segera menikah karena suatu hal yang bersifat urgensi.

Opsinya ada dua. Menikah dengan pilihan sendiri atau dinikahkan secara paksa. Dengan kata lain, Daphne akan dijodohkan dengan pria asing yang bibit, bebet, dan bobotnya memenuhi kriteria dari keluarga Harper.

Menolak usulan perjodohan yang diprakarsai oleh sang Nenek dan Kakek, secara tidak sengaja Daphne mengatakan bahwasanya ia memiliki seorang kekasih yang siap untuk menikahinya dihadapan keluarga besarnya pada acara resepsi pernikahan sepupunya.

Akibat dari kecerobohannya itu, Daphne pun diminta oleh Kakek Harrison membawa sang kekasih untuk menghadapnya. Daphne seketika kalang kabut. Pasalnya selama ini ia tak pernah memiliki kedekatan dengan pria manapun. Kepribadiannya yang cukup introvert membuat Daphne jarang bergaul sehingga teman yang dimilikinya sedikit.

Keluarga besar Harper memberikan Daphne waktu 2 bulan dari sekarang untuk memperkenalkan sang kekasih di acara pesta ulang tahun pernikahan Kakek dan neneknya nanti. Melebihi dari ketentuan yang sudah ditetapkan, maka dengan sangat terpaksa Daphne harus menerima perjodohan keluarga secara lapang dada.

***

Sementara itu disisi belahan negara lain, DECLAN JOSEPH PARKER juga bernasib sama. Anak tunggal pasangan Wyatt Parker dan Irene Parker ini juga harus merasakan pahitnya hidup karena selalu saja dipaksa untuk menikah. Di usianya yang menginjak kepala tiga membuat kedua orangtuanya ketar-ketir karena Declan tak kunjung mendapat jodoh.

Kehidupan cinta Declan memang rumit tak semulus jalan tol. Berbeda dengan kehidupan finansialnya yang begitu melimpah dan penuh akan keglamoran. Dikhianati berkali-kali oleh para mantannya membuat Declan malas untuk berkomitmen.

Pacar pertama? Selingkuh.

Pacar Kedua? Matrealistis.

Pacar Ketiga? Selingkuh plus Matrealistis.

Wanita mana yang kini harus ia percayai? Jawabannya tidak ada. Saking frustasinya, Declan sempat berikrar agar selamanya dia ingin menjadi single saja!

Namun sayangnya ia tak bisa. Declan tak boleh egois. Keluarga Parker membutuhkan seorang pewaris bisnis kerajaan mereka, mengingat Declan hanyalah seorang anak tunggal yang tak mempunyai kakak ataupun adik. Begitupun juga Ayah dan Ibunya yang sama-sama tak memiliki saudara kandung. Sehingga garis keturunan Keluarga Parker bisa dibilang mengalami sebuah krisis.

Maka dari itu, Declan memutuskan merantau ke negeri lain untuk mencari wanita tulus yang mau ia nikahi tanpa embel-embel apapun. Declan akan menanggalkan nama Parker dibelakangnya untuk melakukan sebuah penyamaran dimana ia akan menjelma menjadi karyawan kantoran biasa.

Bagaimana jadinya jika pada sebuah kesempatan Daphne dan Declan bertemu secara tanpa sengaja, lalu keduanya membuat kesepakatan untuk berpura-pura pacaran dan berujung dengan sebuah pernikahan?

Nantikan kisah mereka berdua hanya di THE FAKE DATING GAME.

***

Jangan lupa untuk memberi like, comment, dan vote sebagai sebuah bentuk dukungan pada author ya 😁 Semoga kalian semua bisa menikmati karya ketigaku ini. Terima kasih.

VISUAL

- DECLAN JOSEPH PARKER -

- DAPHNE MARIE HARPER -

Life of Harper's Family

DAPHNE

"Daph..apa kau sudah siap sayang? Mari berangkat, keluarga besar Harper sudah menanti kehadiran kita di venue acara!" Mami berjalan memasuki kamarku dengan menenteng Birkin Bag favoritnya yang merupakan hadiah ulang tahun dari Papi.

"Sebentar Mami, aku akan memakai anting terlebih dahulu!" ucapku santai seraya mengeluarkan sepasang anting berjenis teardrop dengan permata merah jambu pada bandulnya.

"Baiklah, Mami akan turun dulu ke bawah. Kamu segeralah menyusul, nanti Papi bisa marah kalau menunggu terlalu lama."

Aku terkekeh pelan. "C'mon Mam, Papi tak akan pernah marah padaku meski ia harus menungguiku berdandan hingga 5 jam sekalipun!"

"Ya..ya..ya..Mami tahu itu, Papi memang sayang sekali padamu sehingga ia tak bisa marah. Tapi ingat, masih ada kakakmu yang suka mengomel jika kita terlambat."

Aku memutar kursi riasku untuk menghadap Mami. "Okay Mam..just hold on for a minute. I'll be downstairs!"

Mami mengecup puncak kepalaku sekilas sebelum keluar dari ruang riasku yang berada didalam walk in closet.

Tak ingin berlama-lama lagi, aku segera mengaitkan anting yang kupilih tadi pada kedua lobulus telingaku. Tak lupa, aku juga memasang sebuah kalung dengan liontin bergambar bunga lavender untuk menambah aksen manis.

Jika kalian ingin tahu ada acara apa hari ini, maka jawabannya adalah pesta yang paling menakutkan dalam hidupku. Yang tidak lain tidak bukan, yaitu pesta pernikahan.

Sepupu perempuanku--Hadley Harper, akan melangsungkan acara resepsi pernikahan dengan suami barunya, Ajax Michael. Acara pemberkatan pernikahan mereka sebenarnya telah selesai kemarin. Jadi hari ini tinggal merayakan resepsinya saja.

"Halo semua...Princess Daphne datang!" aku menyapa keluargaku yang tengah berkumpul dibawah sambil menuruni anak tangga satu persatu.

"Finally! Yang ditunggu-tunggu turun juga akhirnya. My beautiful princess Daphne.." Papi menyambutku dengan tangan yang terbuka lebar.

"Bagaimana Pi? Aku terlihat cantik bukan?" aku sengaja memutar-mutar tubuhku untuk memperlihatkan one-shoulder dress yang kukenakan ini pada Papi.

"Cantik. Princess kesayangan Papi akan selalu terlihat cantik dan bersinar bagaikan berlian." Papi memelukku dari arah samping dan mendaratkan sebuah kecupan pada pelipisku.

Lain dengan Papi, Kakak laki-lakiku yang bernama Darius Mark Harper ini justru berkomentar sebaliknya.

"Astaga Daph...riasan make-up mu terlihat tebal sekali. Apakah kau sengaja berdandan menor seperti ini?"

Refleks aku meraba-raba bibirku. "Kakak bilang aku menor? Maksudnya berlebihan begitu??"

"Iya berlebihan. Lihat saja itu, lipstikmu warnanya begitu terang. Perona pipimu juga terlihat tebal seperti menumpuk." ungkap Kak Darius yang membuatku sebal bukan main.

Mood-ku berubah turun drastis mendengar perkataan Kak Darius. Tahu begini, lebih baik aku panggil jasa make-up artist saja untuk datang ke rumah. Padahal saat mengaca tadi aku sudah percaya diri kalau dandananku hari ini begitu mempesona. Tapi ternyata tidak.

"Darius...berani sekali kamu mengatai adikmu menor! Itu bohong!" Papi menatap mata Kak Darius tajam seperti hendak mengeluarkan taringnya. "Jangan percaya padanya Daph, dia hanya iseng. Tak ada istilah menor-menor itu. Make-up mu terlihat sempurna sayang."

"Ishh..Papi selalu saja membelanya." Darius memutar bola matanya malas.

"Tentu saja, dia kan putri kesayangan Papi!"

"Ya, putri kesayangan yang suka berdandan menor. Hahahaha..." Darius tertawa cekikikan sambil memegangi perutnya karena menahan gelak tawa.

"Hentikan omong kosong itu Darius! Stop menggoda adikmu. Lihat, kamu membuat wajah cantiknya jadi cemberut. Keterlaluan sekali!" kakak iparku--Candice, yang baru saja keluar dari toilet datang membela.

"Daph..kamu terlihat cantik hari ini. Jangan dengarkan Darius ya! Awas saja dia, tak akan kuberi jatah untuk malam ini karena dia sudah mengejekmu." Kak Candice menangkup sisi wajahku dan mengelus pipiku dengan lembut.

"Terima kasih teruntuk kakak iparku yang baik sekali! Aku sayang Kakak.." dan kami pun berpelukan.

Aku dan Kak Candice memang cukup dekat karena kami berdua adalah saudara ipar yang begitu kompak, suportif, dan selalu rukun satu sama lain. Dia menikahi kakakku Darius sejak 5 tahun yang lalu dan sudah dikaruniai seorang putri cantik bernama Corrine.

Kebetulan keponakanku itu sedang berlibur bersama orang tua Kak Candice ke Roma, sehingga ia tak bisa ikut hadir bersama rombongan kami ke acara resepsi Hadley.

"Kenapa menggigiti bibirmu Daph? Apa kamu sedang merasa gugup?" tanya Mami saat pelukanku dengan Kak Candice sudah terlepas.

"Bagaimana aku tidak gugup Mam, di acara nanti aku pasti akan bertemu Kakek dan Nenek. Mami pasti tahu kan apa yang akan terjadi setelahnya.." ucapku lirih.

Wajah Mami dan Kak Candice tiba-tiba berubah murung. Mereka pasti paham betul dengan apa yang aku ucapkan.

"Sayang, abaikan saja ucapan Kakek dan Nenek. Tidak perlu merasa tertekan dengan kehadiran mereka." Papi mencoba menenangkan aku.

"Aku takut Mam, Pap...Hadley sudah menikah sekarang. Itu artinya, hanya tersisa aku saja cucu perempuan Kakek dan Nenek yang belum berkeluarga."

"Kata siapa? Masih ada Ashlyn dan juga Courtney yang belum menikah." sanggah Papi.

"Tapi mereka sudah memiliki kekasih Pap! Cepat atau lambat para kekasih mereka akan melamar dalam waktu dekat. Beda dengan aku yang masih single!" aku menunjuk diri sendiri dengan telunjukku.

"Memang kenapa kalau kamu masih sendiri? Tak ada masalah bukan? Kalau belum dapat jodohnya, jangan memaksakan diri Daph!" begitu tanggapan Kak Darius.

"Kakak ini sudah amnesia atau bagaimana? Ingat tidak, aku akan dijodohkan dengan pria pilihan Kakek jika aku tak kunjung memiliki pacar! Tamatlah riwayatku, Kak!" aku bergidik ngeri membayangkan perjodohan itu.

Sebab selama ini, Kakek dan Nenek kurang berhasil dalam hal memilih pasangan untuk para anak dan cucu-cucunya. Kebanyakan dari mereka selalu berakhir gagal. Entah itu selingkuh, cerai, berkhianat, pokoknya ada bermacam-macam.

Beruntung Papi dan Mamiku adalah pasutri yang bukan berasal dari hasil perjodohan. Mereka murni bertemu karena perasaan saling mencintai satu sama lain.

"Papi tidak akan membiarkan hal itu terjadi, Daphne. Kamu tenang saja, biar Papi yang akan berbicara pada Kakekmu."

"Benarkah Pap?"

"Iya sayang..Papi akan coba bicara dengan Kakekmu."

Hahhh...

Setidaknya ada perasaan lega dalam hatiku karena Papi akan membujuk Kakek untuk hal ini.

"Ya sudah kalau begitu, semuanya sudah siap kan? Kita akan semakin terlambat jika ditunda-tunda terus," tukas Mami.

"Siap, Mam!" jawabku semangat.

Biasanya aku tak pernah merasa se-excited ini kala menghadiri acara pernikahan. Itu semua karena ulah Kakek dan Nenek yang selalu ribut dan mencecar diriku dengan berbagai paksaan untuk menikah.

Hal itulah yang membuat aku risih sehingga aku kerap merasa terbebani jika ada seseorang yang menikah.

"Nah begitu dong..itu baru adikku Daphne yang ceria! Aku suka melihat senyum manis dan parasmu yang elok itu!" ucap Kak Darius gombal.

"Hmm..tadi saja menghinaku karena aku menor. Nyatanya sekarang malah dipuji-puji. Aneh sekali kau Kak!" cibirku balik.

"Yang tadi itu hanya jokes, jangan dimasukkan ke hati yah! Kakak minta maaf, okay?"

Aku pun langsung mengangguk saja biar cepat.

***

A Dare

DECLAN

"Good Morning Decs..." sapa Mommy dan Daddy-ku secara berbarengan.

Namaku yang sebenarnya itu Declan. Tapi entah kenapa Mommy dan Daddy lebih suka memanggilku dengan sebutan Decs.

"Morning too Mom..Dad..." aku bergantian mengecupi pipi orang tuaku satu persatu.

"Semalam kamu pulang jam berapa, nak? Sepertinya masih mengantuk ya? Kedua bola matamu sampai merah begitu!" tanya Daddy.

"Iya, Dad. Pesawat yang aku tumpangi kemarin harus delay sekitar 2 jam akibat terkendala cuaca. Alhasil aku baru mendarat di London pada pukul 3 dinihari tadi. Dan sampai di rumah sekitar jam setengah 4."

"Astaga! Berarti kamu hanya tidur selama 3 jam?" giliran Mommy yang bertanya.

"Exactly!" ucapku seraya menuang sekotak susu cokelat pada mug favoritku. "Mungkin setelah sarapan aku akan tidur lagi, Mom."

"Hmm...kamu mempersulit dirimu sendiri Decs! Bukankah Daddy sudah katakan jika kamu bepergian, pakailah pesawat pribadi milik Daddy!"

"Aku lebih nyaman duduk di kursi pesawat dengan kelas ekonomi, Dad." sahutku santai sambil terkekeh.

Daddy dan Mommy hanya bisa menggeleng serta saling memandang. Mereka berdua pasti merasa aneh dengan prinsip yang aku terapkan.

Dalam 4 tahun terakhir ini, aku memang lebih menikmati hidupku dengan status low profile. Bukan sebagai pewaris tunggal dari kekayaan keluarga Parker, dan bukan pula CEO dari Parker Group.

"Oh ya Dec, jam 10 pagi nanti kamu ada pertemuan dengan rekan bisnismu ya dari Amerika? Siapa namanya, Daddy lupa?! Kalau tidak salah Mr. Johansson bukan?"

"Maksud Daddy, Romeo Johansson?" tanyaku memastikan.

"Yah..itu dia! Maaf kalau sedikit lupa dengan namanya. Daddy selalu memiliki ingatan yang buruk."

"Supposedly, yes. Tapi jadwal pertemuanku dengan Romeo terpaksa harus reschedule sebab ia tengah menemani istrinya melahirkan anak ketiga mereka."

Sontak kedua bola mata Mommy dan Daddy terbelalak. Mereka tampak terkejut dengan berita yang aku kabarkan.

"Anak ketiga? Wah..cepat sekali punya momongan lagi. Setahu Mommy istrinya baru melahirkan tahun lalu, tapi sekarang anggota keluarga mereka sudah kembali bertambah," kata Mommy.

"Romeo memang suka sekali dengan anak kecil, Mom. Aku tak terlalu heran jika tahun depan istrinya akan hamil lagi."

"Kamu sendiri kapan akan memberikan kami cucu, Decs?"

Deghh...

Ini dia pertanyaan yang paling aku hindari. Aku sangat tidak suka jika kedua orang tuaku mulai membahas tentang pernikahan, anak, ataupun hal-hal lainnya yang berkaitan.

"Dad..we've already talked about this." aku menatap Daddy dengan wajah yang datar.

"Ayolah Decs, usia kamu sudah kepala 3 sekarang. Ini waktunya kamu untuk hidup settle dan berkeluarga. Tidakkah kamu ingin menikah dan mempunyai anak seperti teman-teman kamu yang lain?" ucap Daddy dengan nada yang serius.

Aku memalingkan pandanganku ke sembarang arah dan berdecak malas. "Aku tak memiliki keinginan untuk menikah." ungkapku secara gamblang.

"Declan Joseph Parker!"

Mommy menyebut nama panjangku secara lengkap dengan penuh penekanan pada setiap katanya, menandakan bahwa hatinya sedang diliputi amarah.

Aku menegaskan lagi, "Sudah berulang kali kukatakan pada kalian bahwa aku tak mau menikah. Dan tak akan pernah menikah."

"Kenapa begitu? Apa alasannya?" tanya Mommy penasaran. Ia bahkan menjatuhkan garpu serta sendok yang dipegangnya, lalu digeletakkan begitu saja.

"Jangan pura-pura. Mommy sudah tahu jawabannya." aku tak menggubrisnya lagi dan memilih lanjut mengolesi selai pada selembar roti tawarku ketimbang meladeni mereka.

"Alasan kamu tidak masuk akal Decs!" sanggah Daddy.

"Tidak masuk akal bagaimana? Faktanya memang begitu bukan? Semua perempuan yang dekat denganku selalu memanfaatkan privilege yang aku punya. Mereka semua tak lebih dari seorang pengkhianat, tukang selingkuh, dan yang paling utama mereka juga matrealistis!" aku balik berbicara ketus.

"Tidak semua perempuan di dunia ini berhati buruk, Declan. Jangan kamu sama ratakan semua perempuan itu sama dengan para mantan kekasihmu. Buang jauh-jauh pemikiran yang seperti itu!" Daddy menasehatiku.

"Ckk..nyatanya memang wanita seperti itu, Dad! Mereka sama--"

Daddy kemudian menyela, "Hey, jaga bicaramu jagoan! Buktinya Mommy-mu tidak tergolong dalam kategori wanita dengan sifat-sifat yang baru saja kamu sebutkan tadi!"

"Mommy adalah sebuah pengecualian. Selain itu, aku tak pernah benar-benar menemukan orang yang tulus padaku. Aku tak percaya dengan wanita diluaran sana kecuali Mommy. Itulah mengapa aku betah menyendiri," jawabku jujur.

Selama ini aku selalu kesulitan mendapatkan pasangan yang menerimaku apa adanya tanpa syarat. Buktinya selama aku hidup menjadi orang biasa dalam beberapa tahun terakhir, tak ada satupun wanita yang tertarik memacariku.

Kebanyakan dari mereka tak mau jika kuajak menjalin kejenjang yang lebih serius. Mereka hanya menganggapku sebagai teman biasa. Padahal dari segi fisik, wajahku ini tidak terlalu buruk. Sekali lagi, sifat mereka yang seperti itu semakin menguatkan teoriku bahwa pada dasarnya wanita itu matrealistis.

"Mau coba Mommy kenalkan dengan anak gadis dari teman-teman Mommy?" tanya Mommy lagi.

"No." jawabku singkat.

Mommy adalah seorang wanita dengan status sosial tinggi. Predikat high-class begitu melekat pada citranya. Circle pertemanannya pun juga terkenal elit.

Kalau sampai Mommy menjodohkanku dengan anak dari salah satu temannya, maka itu sama saja bohong. Mereka pasti akan langsung menerimaku karena aku berasal dari keluarga Parker.

Daddy ikut-ikutan menawari, "Atau kamu mau kenalan dengan anak perempuan dari rekan bisnis dan para sahabat Daddy?"

"No Dad..Mom..Stop pushing me!"

Terang-terangan aku menolak keras tentang apapun yang ada kaitannya dengan perjodohan. Aku tak suka pembicaraan ini. Membuat kepalaku pecah rasanya.

"Mau sampai kapan kamu akan begini terus Declan? Keluarga kita butuh seorang pewaris untuk meneruskan bisnis Parker Group! Hanya kamu satu-satunya harapan yang kami punya."

Mereka sungguh tak mengerti dengan jalan pikiranku. Jangankan mereka, aku sendiri saja tak mengerti masa depanku akan seperti apa nantinya.

"Jika keinginan kalian begitu, maka Mommy dan Daddy bisa mengadopsi anak dari panti asuhan saja. Kemudian didiklah anak itu dengan baik agar kelak dia bisa memegang kendali kursi kepemimpinan Parker group." sengaja aku menanggapinya dengan sarkas.

"Ya Tuhan Decs, semudah itukah kamu berbicara? Ini bukan hanya tentang pewaris saja nak..tapi ini juga tentang Daddy serta Mommy yang memiliki keinginan besar untuk menimang seorang cucu. Anak kandung kamu..keturunan yang merupakan asli darah daging kami."

Aku menggigit roti selaiku dan berkata, "But sadly I can't give you that.."

Mommy memejamkan matanya menetralkan perasaannya. Hal yang sama terjadi pada Daddy. Mereka berdua menghembuskan nafasnya kasar sambil mengelus dada karena menahan emosi yang berada pada puncak kepala.

Yakin 100 persen jika mereka kehabisan kata-kata menghadapiku yang keras kepala ini.

Aku merasa hidupku sudah lengkap, jadi aku tak butuh seorang wanita. Aku happy dengan kondisiku yang sekarang. Hidup bagaikan kupu-kupu yang berterbangan kesana kemari mencari kebebasan.

Andai kata aku sudah menikah sekarang, hidupku pasti akan membosankan. Secara tidak langsung, aku dipaksa untuk terikat dan berkomitmen pada satu orang. Yang artinya, aku tak lagi bisa melenggang pergi semauku.

Suasana pagi yang mendung ini mendadak jadi semakin kelam. Burung-burung taman yang tadinya sempat berkicau menemani sarapan pagi kami pun juga enggan mengeluarkan suaranya lagi.

Keheningan menggantung cukup lama diantara kami sebelum Daddy kembali membuka suara.

"Daddy akan berikan kamu kesempatan dan waktu untuk membawa calon istri pilihanmu datang ke rumah!" celetuk Daddy tiba-tiba.

"Dan bagaimana jika itu tidak aku lakukan?" Aku menyunggingkan senyuman menyeringai di sudut bibirku.

"Terpaksa Daddy akan menjodohkan kamu dengan gadis pilihan Daddy. Suka tidak suka kamu harus menerimanya dengan lapang dada."

Aku menyugar kasar rambutku ke belakang dan menyandarkan tubuhku pada kursi dengan rasa frustasi.

"Ckk..ini lagi..ini lagi pembahasannya. Tak bisakah kita sebagai keluarga duduk bersantai bersama tanpa sekalipun berbicara tentang pernikahan, Dad? Lelah sekali rasanya jika dipaksa terus menerus. Apa Daddy mau melihatku mati muda karena stress akibat perjodohan?"

"Take it or leave it, Decs. Ini adalah tantangan untukmu. Jika kamu gagal, Daddy akan langsung atur tanggal pernikahanmu dengan anak perempuan dari rekan bisnis Daddy."

"Percaya diri sekali, Daddy pikir perempuan itu mau menikah dengan pria sepertiku?"

Daddy tersenyum mengejek. "Diluar sana, banyak sekali wanita yang mengantri untuk menjadi istrimu! Kamunya saja yang jual mahal dan terlalu memasang standar yang begitu tinggi. Sehingga ketika ekspektasi kamu tak sesuai realita, kamu jadi merasa drop." balas Daddy dengan menohok.

Dan sarapan pagi kami di hari itu akhirnya harus berakhir dengan perdebatan sengit yang tiada berujung antara aku dan kedua orangtuaku.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!