Di sebuah jalan sepi berkelok dan belum di aspal menuju kearah desa kecil yang bernama desa pasir, terlihat tiga orang bocah berangasan berseragam SD sedang mengeroyok seorang bocah kecil kurus yang pakaian sekolahnya sudah robek juga sangat kotor dengan banyak lebam di wajahnya. Walau perkelahian tiga lawan satu ini jelas tidak seimbang, bocah yang di keroyok itu sambil menangis terus saja melawan mengayunkan tangan dan kakinya biarpun dirinya sudah lemas dan babak belur.
Bocah yang di keroyok itu bernama Rian. Memiliki tubuh kecil dan kurus yang selalu menjadi bullyan di sekolahnya. Sedangkan tiga bocah yang lainnya bernama Dutar Seno dan Maco.
Sebenarnya keempat bocah berumur sepuluh tahun ini sekolah di tempat yang sama, bahkan mereka belajar di kelas yang sama. Tapi Dutar Maco dan Seno yang memiliki karakter bandel bin nakal dan sedikit jahat suka bertindak seperti genk di kelasnya, selalu menjadikan Rian sebagai pelampiasan darah muda mereka yang bandel dan sok jagoan. Bukan hanya sekali atau dua kali Dutar Maco dan Seno memprovokasi Rian yang berujung pada perkelahian, tapi sudah berkali tidak itu di sekolah maupun di tempat lain. Malah kejadian yang selalu berulang itu pernah menimbulkan pertengkaran di antara orang tua mereka. Mungkin karena orang tua Dutar Seno dan Maco termasuk golongan orang berada di desanya, juga di segani karena mulut ember mereka yang suka gecor membela anaknya yang di anggap tak pernah salah. Menyebabkan Dutar Seno dan Maco suka berbuat sesuka hatinya, memiliki sifat demit sombong dan congkak segede gaban yang sudah melebih tapal batas negara.
Saat itu sudah pukul satu siang ketika Rian masuk kedalam rumahnya, sambil menangis dia langsung duduk di atas tikar melemparkan tasnya yang sudah rusak begitu saja kearah samping. Ketepatan saat itu nenek dari sebelah ayahnya yaitu nek Timah datang menjenguk, mereka sekeluarga dalam keadaan akan makan siang. Ibunya yaitu Alia terlihat sangat sedih melihat keadaan Rian yang wajahnya sudah penuh dengan lebam, dan pakaian sudah robek kotor juga kusam. Sementara Pian ayah Rian mulai naik pitam melihat kondisinya, tanpa di beritahu pun dia sudah bisa menebak apa yang telah terjadi pada anaknya.
"Mereka memukulmu lagi? " seru Pian yang sudah emosi tingkat tinggi hinga bisa mengeluarkan tanduk yang menjulang di kepalanya saking geramnya.
Rian tidak menjawab, dia hanya mengangguk di sela isak tangisnya.
"Dasar anak-anak bajingan, tingkah mereka tak ubah binatang seperti orang tuanya" gerutu Pian yang memang memiliki sifat tempramen. Dia langsung beranjak berdiri ingin melakukan perhitungan pada orang tua tiga bocil yang sudah memukuli anaknya.
"Sabar bang, sabar!" ucap Alia panik melihat suaminya yang mulai menggila. Tapi belum saja sempat Pian benar-benar berdiri, sudah terdengar suara kericuhan di depan rumahnya.
"Dasar anak orang miskin, taunya membuat kekacauan saja" 1
"Ini bagaimana ini, tidak bisa di biarkan begitu saja kan? Lihat, pakaian anakku sudah kotor seperti ini" 2
"Betul. Anak si Pian ini mungkin gak pernah di ajar kebaikan sama orangtuanya, jadi dia suka berbuat sesuka hatinya. Lihat, dia selalu saja berkelahi dengan anak-anak kita" 3
"Sudah, panggil saja si Pian itu keluar dari rumahnya. Suruh dia bertanggungjawab atas perbuatan jahat anaknya pada anak kita" 4
"Woi Pian, keluar woi! Jangan ngendok aja di dalam. Apa kau tidak berani mempertanggungjawabkan perbuatan anakmu itu ha?" 5
Pian yang sudah geram mendengar cemooh bukannya berjalan keluar. Dia pergi ke dapur dulu mengambil sebilah parang sebelum pergi keluar dari rumahnya.
"Apa kalian! Mari sini biar ku im babat satu-satu batang leher kalian!" teriak Pian dengan tubuh yang sudah bergetar-getar menahan amarahnya.
"Sudah bang... . Sudah" cicit Alia yang panik dengan suara sepelan mungkin seraya menarik lengan suaminya kearah belakang. Sebenarnya yang terjadi di sini di luar Realita. Harusnya Pian yang melabrak karena anaknya yang selalu di bully, tapi kejadiannya malah sebaliknya.
"Woi! apanya kau. Sudah miskin berlagak pula mengancam orang pakai parang. Apa kau mau kami masukkan kedalam penjara?" teriak Parto yaitu ayah dari Dutar dengan suara yang berapi-api.
"Apa kalian tidak punya otak, bodat!. Harusnya aku yang marah karena anak kalian mengeroyok anakku" teriak Pian kelepasan saking kesalnya.
"Halah anak mu yang pasti salah, dasar kau yang tidak becus mendidik anak sebagai orang tuanya. Sudahlah miskin, belagak. Punya anakpun kurus ceking macam cacing, sudah begitu jahat pula" cemooh Muri ibunya Dutar dengan menyudutkan Pian melalui Rian.
"Betul itu mbak Muri, anak dia yang kurus itu pasti yang jahat. Lihat ini si Seno tubuhnya sudah terluka, pakaiannya pun sudah kotor. Bagaimana ini? Siapa yang bayar perobatan dan belikan baju baru untuknya?" omel Minten ibunya Seno sambil menunjukan goresan tipis setipis kulit bawang saking tipis lukanya, dan baju kotor karena keringatnya sendiri karena kecapean mukulin Rian.
"Dia yang harus bayar dan belikan baju untuk si Seno. Biar di jual rumahnya ini. Diakan miskin. Mana punya uang untuk bayar perobatan rumah sakit dan beli baju baru. Untuk makan keluarganya saja ngutang sana ngutang sini kok belagak" ucap Darmin ayahnya Seno seraya menunjuk Pian sambil mengucapkan kata-kata merendahkan.
"Heh! Kalian\_\_\_\_"
"Tidak usah banyak bacod kamu!" potong Rinjol dengan cepat sebelum Pian sempat menyelesaikan kata-katanya . Rinjol mengangkat cangkul yang ada di tangannya karena pada saat itu Pian mengacungkan parang kearah mereka. "Cepat ganti rugi lalu bawa keluargamu pergi dari desa ini" Seru Rinjol, ayah dari Maco. Dia orang kaya nomor satu di desa pasir. Memiliki ber hektar-hektar kebun sawit dan berpetak-petak garapan sawah di luar maupun dalam rumahnya.
"Betul itu Mazze. Kita usir saja orang miskin ini dari desa, biar mampusss dia jadi gelandangan di luar sana" cerocos Miah ibunya Maco dengan mata berbinar setengah melotot dan mulut mencucu setengah inci kearah Pian.
Orang-orang yang berkumpul melihat pergaduhan itu dari jarak jauh menatap iba simpatik dan kasihan melihat keluarga Pian yang sudah terzolimi, tapi mereka tidak berani melakukan apapun untuk membantunya dari kejahatan orang-orang kaya se seantero desa pasir yang sudah teramat kondang gesreknya. Sedangkan Pian sendiri sudah tidak bisa berkata-kata secuil pun setelah di hujani cemoohan dari orang-orang paling berpengaruh di desanya. Dia hanya mampu menahan amarah dengan tubuh yang semakin bergetar dan bibir ketar-ketar.
"Pergi dari sini atau kalian semua akan mati"
Tiba-tiba terdengar suara menggelegar seperti pertir dalam hujan es dengan aura membunuh yang begitu kental mendominasi seluruh areal tempat itu. Dengan cepat tonasi suaranya itu merebak hingga kejantung merubah suhu yang mulanya panas menjadi dingin seketika. Semua orang menoleh kearah pemilik suara itu yang terdengar parau namun sangat menakutkan. Kemudian terlihatlah seorang wanita tua memiliki rambut yang sudah putih keseluruhannya dengan mata yang merah menyala berdiri tegak setengah bungkuk memandangi orang-orang sinting di depannya.
"Ibu?" Gumam Alia sangat pelan menatap mertuanya yang sudah melangkah maju dari arah belakang dan kini berdiri tegak di sisi kanannya. Alia tau kalau mertuanya itu bukanlah orang sembarangan. Dia pernah melihat mertuanya menarik sesuatu yang tidak terlihat dengan mata kepalanya sendiri, menggunakan tali tambang seakan menyeret hewan peliharaan mengelilingi pondok saat di kebun durian. Karena penasaran diapun memberanikan diri bertanya pada mertuanya, apa sebenarnya yang telah mertuanya itu lakukan. Ketepatan pada saat itu baru Alia satu-satunya menantu dalam keluarga nek Timah, sehingga dia sangat di sayangi dalam keluarga mertuanya itu. Kemudian nek Timah pun menjelaskan semua pertanyaan yang Alia tanyakan tanpa menutupinya. "Aku menyeret harimau. Tapi harimau dari bangsa jin. Aku menyuruhnya untuk berjaga siang dan malam, agar tidak ada satu orangpun yang berani mencuri di kebun ini." ucap nek Timah dengan santai, namun tidak dengan Alia. Dia terperangah hingga matanya melotot hampir saja melompat keluar saking kagetnya.
"Hehe, tidak usah terkejut seperti itu Al. masih banyak lagi yang belum kau ketahui" ucap nek Timah yang langsung di sambut cengiran oleh Alia di masa lampau.
"Kalian lihat burung-burung itu?" ucap nek Timah menengadah melihat burung-burung yang terbang bebas di atas sana. "Pergi, ambil nyawa mereka" Kemudian dia mengangkat tangan kanannya lalu membuka jarinya yang terkepal seakan melepaskan sesuatu. Lalu terlihatlah bias cahaya biru yang terlihat samar menebar di udara dengan cepat. Sepersekian detik kemudian burung-burung yang terbang bebas di atas sana berjatuhan menggelepar di atas tanah mati seketika dengan mulut menganga menampakkan buih kehitaman. "Lihatlah, aku bisa membunuh kalian semua hingga tiada seorangpun lagi di antara kalian yang tersisa. Seperti burung-burung itu" ucap nek Timah dengan tonasi suara pelan namun memiliki aura mengerikan. Membuat perasaan takut pada siapapun yang sudah mendengarnya.
'Ma ma ma maf Nek. Sa saya akan pergi' batin orang-orang yang tadi mencemooh karena sudah tidak dapat lagi menggerakkan mulut saking takutnya. Satu persatu orang-orang itu membawa tubuhnya pergi dari halaman rumah Pian dengan tubuh menggigil dan kaki gemetaran. Apa gunanya punya uang dan harta yang banyak kalau hari ini dia dan keluarganya akan mati? Pikir mereka dengan langkah berat dan hati yang memburu ingin segera meninggalkan tempat itu.
Nek Timah bukanlah dukun. Tapi dia bisa mengobati seseorang apalagi orang itu mengalami penyakit yang ganjil. Dia juga bukan Penjahat. Tapi dia mampu membunuh dari jarak jauh maupun dekat, tanpa harus melihat dan menyentuh targetnya. Orang-orang sepertinya memiliki ilmu seperti itu berdasarkan keturunan. Ilmu yang hadir karena syarat akibat perjanjian dengan setan yang di lakukan orang-orang sebelumnya. Tapi sebenarnya semua itu bukanlah di lakukan tanpa alasan. Nenek moyang mereka melakukan hal seperti itu demi melindungi diri dan keluarganya dari kekejaman para penjajah yang datang mengusik negrinya.
Setelah semua perusuh yang datang melabrak sudah membubarkan diri dan pulang membawa harapan hampa. Pian Alia dan nek Timah kembali masuk kedalam rumah. Saat itu Riani adiknya Rian duduk meringkuk di pojokan, mungkin bocil itu merasa takut melihat banyaknya orang yang datang seperti akan mendemon keluarganya. Sedangkan Rian, entah karena dia merasa lelah maupun sakit pada tubuhnya. Sudah terbaring lelap di atas tikar seraya menunjukkan rasa kesedihan yang mendalam di wajahnya.
Nek Timah duduk mendekat memandangi wajah cucunya yang kuyu dan penyakitan sejak dia di lahirkan dengan tatapan prihatin. Rian memang terlahir tidak normal, dia lahir prematur saat usia kandungan ibunya masih berumur tujuh bulan. Mungkin itulah yang membuatnya lemah dan perkembangan tubuhnya sangat lamban.
"Apa perlakuan seperti ini sering terjadi padanya?" Tiba-tiba nek Timah berkata seraya melirik Pian dan Alia. Tidak ada yang menjawab ucapannya, selain anggukan kepala Alia yang yang hatinya meringis sedih atas penderitaan anaknya.
"Huh... mulai hari ini tidak ada satupun manusia yang bisa melukai cucuku" ucap nek Timah seraya mendengus kesal.
Perlahan nek Timah meraih kedua belah tangan kecil Rian yang sedang tertidur lelap. Kemudian bibirnya komat-kamit entah itu membaca do'a ataupun mantra. Tapi yang jelas, sepersekian detik setelah itu tubuh nek Timah bergetar keras begitupun tubuh Rian walaupun Rian tidak terbangun dari tidurnya. Sebab nek Timah sengaja menghipnotis tubuh Rian agar tetatap tertidur di tempatnya.
"Mulai hari ini aku wariskan apa yang aku miliki kepada Rian cucuku. Maka sejak hari ini juga ikatan tali perjanjian padaku telah terputus. Aku perintahkan pada kalian tunduklah padanya sesuai perjanjian. Ingat siapapun yang ingkar di antara kita atas perjanjian itu maka dia akan menerima akibatnya. Dengar, jangan perlihatkan wujut kalian sebelum umurnya genap dua puluh tahun. Mengerti?"
"Kami menerima perjanjian ini dan akan setia pada Tuan kami yang baru. Sejak hari ini kami akan pergi dari Tubuhmu mengikuti Tubuhnya. Selamat tinggal Tuanku"
Begitulah interaksi antara nek Timah dan tiga mahluk halus yang selama ini telah setia mengikutinya. Mereka telah di pindahkan ketubuh lainnya. Ilmu turunan seperti itu memang bisa di pindahkan asal manusianya masih dalam satu ikatan keluarga. Mereka tidak bisa di pindahkan ketubuh orang lain yang bukan keluarganya.
Setelah selesai melakukan pemindahan itu tubuh nek Timah meluruh kebawah, dia jatuh ke lantai. Tubuhnya yang selama ini kuat sekarang menjadi lemah, bahkan kulitnya terlihat keriput dan tampak lebih tua sepuluh tahun dari sebelumnya.
"Ibu, ada apa!?" ucap Pian yang terlihat cemas melihat keadaan orang tuanya. Alia juga tak kalah cemasnya. Dia buru-buru pergi kedapur mengambil air minum untuk di berikan pada mertuanya.
"Minum dulu Bu" Alia menyodorkan segelas air putih itu kemulut ibu mertuanya.
"Jangan cemas, ibu tidak apa-apa. Pian bisakah kau mengantar ibu pulang?"
"Bisa Bu, tapi sepertinya sekarang ibu sedang sakit"
"Tidak apa-apa, nanti ayahmu bisa mengurus ibu"
"Baiklah Bu"
Setelah di pikir-pikir oleh Pian, dia merasa apa yang di katakan ibunya memang benar. Ayahnya memang sudah di kenal ahli dalam mengobati seseorang. Dan caranyapun berbeda dengan ibunya.
Jika nek Timah bisa di katakan memiliki ilmu hitam. Maka suaminya yaitu kek Rahman memiliki ilmu putih. Dan perbedaan antara ilmu Hitam dan Putih adalah Mudharat dan Maslahat.
Bersambung
Setelah di antar Pian dengan motor butut ke desa Titi lama dengan memakan waktu lebih dari setengah jam dari desa Pasir. Akhirnya nek Timah sudah sampai di rumahnya beberapa menit yang lalu. Sekarang dia tertidur lelap di pembaringan ditunggui suaminya yang terlihat sabar, yaitu kek Rahman. Sedangkan Pian sendiri langsung berpamitan pada ayahnya setelah meletakkan rantang di atas meja yang tadinya di bawa ibunya untuk membawa makanan kerumahnya. Dia pulang dengan tenang setelah melihat ibunya nyaman di dekat suaminya, yaitu ayah Pian sendiri. Mungkin sudah lumrah bagi manusia setiap insan akan lebih nyaman pada pasangan tulang rusuknya sendiri. Jadi para reader harus akur dengan pasangan, biar nyaman. Oke?
Sebenarnya kalau nek Timah tidak memindahkan tiga mahluk halus yang jadi pengikutnya pada cucunya yang malang itu. Dia tidak membutuhkan pertolongan orang lain jika hanya sekedar untuk melindungi diri dari bahaya, mengangkat benda yang berat, atau bepergian kemanapun yang dia mau. Dia cukup memerintah tiga mahluk gaib suruhannya untuk memenuhi kepentingan dan keinginannya. Contohnya saat dia ingin pergi kedesa pasir seperti sebelumnya. Nek Timah hanya membutuhkan beberapa saat untuk sampai kesana dengan selamat. Dengan cara menunggangi harimau jin suruhannya yang mampu berlari lebih cepat dari motornya Rosi.
Setelah bersabar sekian lama kek Rahman menunggui istrinya yang terbaring, akhirnya nek Timah terbangun juga dari tidurnya. Seulas senyum kek Rahman ukirkan dari bibir tua yang sudah menghitam seraya menatap teduh wajah istrinya yang telah keriput termakan usia. Begitupun mereka masih bisa di katakan mesra kan Bro? mengingat umur mereka yang sudah senja. Harusnya mereka bisa jadi contoh bagi orang lain maupun para pembaca.
"Kenapa kau memberikan ilmu Hitam itu kepada cucumu? " ucap kek Rahman setelah memastikan mata nek Timah terbuka lebar.
"Aku mau dia terlindungi. Aku tidak rela orang terus menindasnya merendahkan lalu menyakitinya" balas nek Timah seraya berusaha mengangkat tubuhnya untuk duduk.
"Hehe, kau benar Nek tua!?" kata kek Rahman lembut seraya membantu nek Timah untuk duduk dengan benar. "Tapi caramu itu salah. Apa kau yakin saat Rian sudah besar nanti, dia tidak akan salah langkah menggunakan kemampuan yang di miliki? Sebenarnya kekuatan yang dia perlukan adalah Iman. Sisi terlemah pada dirinya terletak di hatinya sendiri. Kalau kau tidak percaya, andai suatu hari kita masih hidup saat masa itu datang. Maka kau akan melihatnya."
Kata-kata itu berhasil membuat nek Timah untuk berpikir lebih jauh kedepan. Dia menatap lekat suaminya, tau ada makna tersirat dalam ucapannya. Suaminya memiliki ilmu yang jauh berbeda dengannya, selain ahli beladiri, mengobati orang dengan do'a nya. Dia seperti mengerti sesuatu yang akan terjadi.
"Kalau begitu kau buatlah sesuatu untuk menangkal nya. Agar dia bisa hidup dengan baik dan tidak terjerumus kelembah sesat di masa depan"
"Huh, tidak ada manusia yang bisa merubah takdir. Nenek tua? Manusia hanya bisa merubah nasib dengan kemauannya sendiri"
"Oh, kalau begitu ajari dia sesuatu yang membuatnya tetap yakin. Dan terus mengingat pada Tuhan nya"
"Nah! itu baru benar... ."
Keesokan harinya tengah hari di sekolah SD desa Pasir. Rian masih duduk anteng di bangkunya ketika semua murid sudah pergi meninggalkan kelas untuk pulang kerumah mereka masing-masing. 'Apa yang terjadi, kenapa hari ini tidak ada satupun dari mereka yang menggangu ku?' batin Rian penasaran.
Sebenarnya kejadian semalam saat nek Timah mengancam orang-orang dengan menunjukkan kemampuan anehnya dalam membunuh, membuat mereka takut untuk berurusan lagi dengan keluarga Pian dalam hal pertikaian. Mereka takut akan mati sia-sia seperti ratusan burung yang mati mendadak dengan mulut menganga berbuih kehitaman. Sesungguhnya kejadian itu cepat terkabar merebak ke seluruh seantero penduduk desa, dari mulut ke mulut hingga tak sengaja terdengar ketelinga setiap anak kecil di seantero itu.
Dan sejak kejadian semalam Rian merasakan ada yang aneh pada tubuhnya. Setelah bangun dari tertidur entah kenapa dia merasa lebih segar, percaya diri, sehat kuat berani. Dan perasaan takut yang selama ini bersemayam di hatinya karena seringnya di bully, menguap hilang sirna begitu saja. Kenapa aku merasa sangat cool dan keren? Hehehe.
Rian menarik buku dari dalam tas, lalu meraih pena yang tergantung di kantong bajunya. Kemudian dia menuliskan beberapa kalimat di tengah-tengah lembaran buku itu.
"Untuk bertahan hidup di masa depan, seorang lelaki harus menguasai empat faktor:
1 Kekuatan jasmani
2 Uang dan Harta
3 Pengaruh
4 Kekuasaan penuh
Dengan begitu aku akan menjadi orang yang mendapatkan semua kebahagiaan dalam dunia ini"
Rian memandangi tulisan yang sudah dibuatnya sendiri dengan seksama. Setelah puas memandangnya, diapun menutup buku itu. Lalu menulis lagi sebuah nama samaran di bawah nama aslinya pada sampul buku itu. Setelah selesai, dia kembali memasukkan buku itu kedalam Tas. Lalu beranjak berdiri seraya menyangkutkan tasnya di bahu sembari melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
* * *
Sepuluh tahun kemudian
Bersambung
Sepuluh tahun kemudian. Kurang empat jam lagi untuk Rian genap berumur 20 tahun.
"Ku bayangkan "
"Bila engkau datang"
"Tuk peluk"
"Bahagiakan aku"
"Ku serahkan"
"Seluruh hidupku"
"Menjadi penjaga Hatimu"
Seorang pemuda tengah asyik menyanyikan sebuah lagu tempo doeloe yang cukup mengenang di hatiku, lagu itu cukup tenar pada masanya. Kalau tidak salah lagu itu di rilis dua puluh tahun yang lalu, mungkin tepatnya di tahun 2001.
Dia tidak sendiri. Ada dua lagi pemuda yang duduk di sebelah kanan dan kirinya sedang memainkan musik. Yang satu memetik gitar dan yang satu menepuk baskom yang di dapatnya entah dari mana, mengiringi alunan merdu lagu yang telah di nyanyikan.
"Duar"
Tiba-tiba datang lagi seorang pemuda dari arah belakang sambil membanting kaleng kearah mereka. Menimbulkan bunyi bising yang sangat keras, menyebabkan tiga pemuda itu langsung melompat tiarap seperti menghindar dari serangan rudal. Sementara pemuda yang baru datang tertawa terpingkal-pingkal saking gelinya melihat polah tiga pemuda lainnya.
Menyadari kekacauan itu hasil dari keisengan temannya sendiri. Ketiga pemuda yang sedang tiarap itu mulai melakukan reaksi. Mereka tidak terima dengan perbuatan temannya yang hampir saja membuat jantung mereka meledak dan dunia kiamat.
"Anjirr" 1
"Bedebah kau sialan biadap setan babiutan" 2
"Dasar monyong. Kalau aku mati gimana bahlol" 3
Ketiga pemuda itu mengucapkan kata-kata makian saking kesalnya.
"HaHaHa... . Malah bagus itu. Bisa ngurangi sensus penduduk negara ini yang sudah ramai. Lagian kalian inikan tidak berguna. Cuma jadi sampah masyarakat saja yang bisanya cuma nyusahin orang tua"
"Diam kau. Kami juga memberimu bagian, brengsek!" Seru seorang pemuda sembari mengangkat tubuhnya untuk berdiri. Kemudian dia menyiapkan ancang-ancang untuk menyerang, di ikuti dua pemuda yang lainnya. Maka terjadilah perkelahian tiga lawan satu yang berlangsung sangat cepat.
"Bagh"
"Bugh"
"Aduh"
"Bagh"
"Ouch"
"Tulang rusukku bisa patah, brengsek!"
"Sialan. Kenapa kau cucuk mataku, jurus baru apa lagi itu. Aku bisa buta, bodoh!"
"Aduh, tolongin aku. Sepertinya pinggangku terkilir" rintih Maco berguling kesakitan. Nampaknya sakit yang di alaminya tidak boongan. Buru-buru Rian datang mendekat seraya berkata. "Kau ini laki-laki apa si? Lemah"
"Lemah matamu! " Teriak Maco. Dia jengkel setengah mati tidak terima di bilang lemah sama Rian. "Kau nendangnya yang kekuatan monyong! Mentang-mentang tenagamu melebihi Doser mukul kawan gak kira-kira. Sialan. Awas nanti kalau sampai pinggangku selip terus aku gak punya anak. Kau harus tanggung jawab sama istriku!" oceh Maco membebel tak karuan.
"Memangnya kau punya istri?"
"Tidak. Tapi nanti, calonnya"
"Oh, oke-oke. Jadi nanti maksutmu kalau kau gak punya anak aku yang gantiin buat anak sama istrimu, gitu? Ucap Rian terkekeh sengaja ngerjain. Dutar dan Seno juga ikut terkekeh walau masing-masing mereka masih merasakan sakit di tulang rusuk dan mata.
" Ha? Sialan! " Ucap Maco tambah kesal. Wajahnya seperti ingin menangis membayangkan jika hal itu benar terjadi, membuat Rian Dutar dan Seno tambah terkekeh melihatnya.
"Sudah, cepat telungkup. Kalau mau sembuh dan punya anak gak usah banyak protes"
Maco mengikuti perintah Rian, sambil meringis dia berbaring telungkup di atas tanah. Sejak sepuluh tahun yang lalu setelah kejadian hari itu. Rian Dutar Seno dan Maco tidak pernah lagi berkelahi. Bahkan perlahan-lahan seiring bergulirnya waktu berjalan mereka menjadi teman yang sangat akrab. Mereka tumbuh bersama melewati waktu menjadi empat sahabat berwajah tampan yang banyak di gandrungi wanita di daerahnya. Begitupun mereka tidak mempunyai pacar sampai sekarang, bukanya tidak laku mereka saja yang tidak mau. Saking akrabnya empat pemuda ini, tak ada lagi jarak dalam bergaul maupun bicara antara mereka. Rahasia? itu sangat tidak mungkin, karena mereka saling terbuka. Bahkan dalam melakukan sesuatu hal pun mereka akan melakukannya dengan bersama, entah itu mencuri di desanya sendiri tauran di jalanan atau pergi kemanapun. Pasti mereka akan selalu bersama.
"Krak"
"Aduh mak!" jerit Maco kesakitan saat Rian membenarkan posisi tulang pinggangnya yang bergeser.
"Diem lo! Kek banci kaleng aja"
"Sakit nyet"
"Masih sakit ya? Berarti tadi aku salah posisi membenarkan tulangnya. Sepertinya aku harus mematahkan tulangmu lagi agar bisa menyusunnya dengan benar"
"Heh. Heh. Tidak usah" Mendengar akan di patahkan lagi membuatnya merinding disko, cepat-cepat Maco merangsek berdiri menggerak gerakan pinggangnya kekanan dan kekiri seperti cewek seksi yang mau jualan di tengah malam.
"Bagaimana, sudah sembuh kan?"
"Hem... " balas Maco berdehem. Dia malas meladeni guru beladirinya yang selalu membuat tubuhnya terluka dan cedera, walau sebenarnya gurunya juga yang akan menyembuhkan luka dan cederanya. Hehehe... .
Selama beberapa tahun ini. Rian selalu mengajarkan ilmu bela diri yang di dapat dari kakeknya kepada tiga sahabatnya, begitupun dia tetap saja yang terkuat di antara mereka di sebabkan tiga Jin yang bersemayam di tubuhnya tanpa dia ketahui. Dia juga belum tau entah dari mana asalnya bisa mengobati luka dan cedera pada orang lain bahkan dia selalu bingung mengapa setiap luka di tubuhnya akan sembuh dengan cepat, oleh sebab itu dia nyaris tak pernah terluka.
"Bagaimana dengan kalian. Apa masih sakit?" ucap Rian mengalihkan pandangan dari Maco kearah Dutar dan Seno.
"Ia, tulang rusuk ku sepertinya patah. Kau ini guru macam apa si? Selalu saja melukai muridmu sendiri. Atau jangan-jangan kau ini sedang balas dendam?" ucap Dutar seraya mengerutkan alisnya menatap Rian penuh selidik.
"HaHaHa..." kalimat terakhir yang di ucapkan Dutar membuat Rian tak kuasa dari menahan tawanya. "Roda pasti berputar Bro. Dulu aku di bawah, sekarang di atas. Bukannya dulu kalian yang selalu membully ku? Sekarang gantian. HaHaHa... "
"Sudah brengsek, jangan di ungkit lagi. Cepat sini obati aku! Bagaimana nanti kalau biniku melihat pasangan tulang rusuknya sudah patah, dia pasti akan sedih. Apa kau tega?"
"Heh, kau ini sama gilanya dengan dia ya? Kapan-kapan pula kau punya bini pacar aja gak punya. Lagian sejak kapan ada orang mita tolong tapi maksa? Huh, sial benar aku punya teman seperti kalian" gerutu Rian seraya berjalan mendekati Dutar. "Sen, kemari kalau matamu tidak mau buta"
Seno berjalan mendekati Rian dan Dutar sambil menahan mata yang perih dengan sebelah tangannya "Jarimu itu sangat bahaya Bro, bisa bikin mataku tidak berguna lagi"
"Halah, mata cuma di gunakan buat ngintip aja kok di sayangi"
"Heh! kalau aku ngintip pun kita sama-sama" mata Seno melotot tak terima di katai.
"Woi-Woi-Woi, jangan di bicarakan nanti kita ketauan. Bagaimana kalau sekarang orangnya sedang baca?" teriak Maco gelisah seraya menengahi debat kusir antara Rian dan Seno. Aduh sial, batin mereka semua. Baru sadar kalau perdebatan itu sangat bahaya. Apa kata dunia kalau sampai perbuatan mereka ketauan sama korbannya?
"Bugh"
"Ouch"
"Cuih. Cuih"
"Ahk"
Rian mengobati Dutar dan Seno dengan cara yang tidak semestinya. Dia sengaja menepuk tulang rusuk Dutar yang patah dengan kasar dan meludahi mata Seno yang sudah terlihat merah.
"Woi! kau ini ingin membunuhku atau mengobati ku? " teriak Dutar blingsatan tak terima cara Rian mengobatinya. Sementara Seno mengucek-ngucek matanya yang basah terkena ludahnya Rian.
"Obat macam apa ini, sial!" teriak Seno seraya menarik baju Rian yang di gunakan untuk membersihkan jigong di matanya.
"Hei, kenapa bajuku? " teriak Rian tak suka.
"Ya karena ini ludahmu. Brengsek!" balas Seno tak mau kalah.
Setelah beberapa waktu akhirnya keempat sahabat itu sudah duduk anteng sejajar di atas bangku panjang di pinggir jalan, sudah tidak ada lagi perdebatan seru seperti tadi yang keluar dari mulut mereka. Tempat ini memang selalu di jadikan tempat pertemuan oleh mereka saat akan berkumpul ketika malam. Sebuah persimpangan jalan yang menjadi simbol pintu masuk kedesa Pasir dan desa-desa lainnya.
"Woi, jalan-jalan yok" ucap Maco memecahkan keheningan setelah masing-masing diam menikmati sebatang rokok di tangannya.
"Jalan-jalan kemana?" kata Seno menoleh kearahnya begitupun Rian dan Dutar.
"Ya ke mana-mana lah. Ini malam minggu Coi. Mau di kemanakan uang kita yang banyak hasil mencuri sawit di kebun ayahku tadi sore?"
"HaHaHa" serentak mereka berempat tertawa.
"Bagaimana kalau ke desa Peri aja? Di sana ceweknya cantik-cantik, sekalian nyamperin Nania, kita kan udah lama gak kesana. Memang si, anak muda di desa itu pada kolot semua. Pantang melihat anak muda dari desa lain masuk ke desanya, pasti langsung keroyokan. Kek kampung belum merdeka aja mereka" ucap Dutar mengingat masa tauran di desa Peri beberapa waktu yang dulu.
"Hokeh, kalau begitu sudah di tetapkan. Kita pergi saja ke desa Peri, kalau anak mudanya keroyokan lagi tinggal balas gebukin aja sampek modar. Let's Go! " ucap Maco semangat dengan gaya kampretnya. Dia beranjak berdiri jalan menuju tiga motor yang sudah lama teronggok. "Ayok tunggu apalagi" menoleh kebelakang melihat Rian Seno Dutar yang masih teronggok di atas tempat duduknya.
"Oke baiklah kalau begitu. Let's Go To" balas Dutar asal-asalan degan gaya sok patennya.
Dengan semangat 45 seakan menghadapi tantangan besar. Akhirnya empat sahabat itu pergi meninggalkan markasnya menuju negara Peri yang katanya memiliki banyak bidadari. Yang pasti perjalanannya akan penuh dengan rintangan. Lembah berduri gunung tinggi dan batu terbang sudah pasti menunggu mereka disana. Tapi mereka tetap Optimistis yakin pada niatnya yang Suci.
"Reng Reng___ Teng Teng Teng"
"Rum Rum___"
"Rum Rum___"
Akhirnya tiga kendaraan perang mereka telah di nyalakan, oleh sebab itu kita harus sama-sama berdo'a untuk keselamatan misi mereka. Amin.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!