NovelToon NovelToon

Gairah Cinta Noni Belanda

Bagian 1

...GAIRAH CINTA NONI BELANDA...

...Penulis : David Khanz...

...Bagian 1...

...------- o0o -------...

Hari itu, langit di Desa Kedawung tampak begitu cerah. Membiru dengan kemilau matahari terik memanggang bumi. Membakar perlahan hijaunya dedaunan serta hamparan luas lahan gambut di sekitar tempat tersebut. Termasuk seorang sosok tua yang tengah meneduh di bawah atap sado di depan sebuah stasiun kereta. Sesekali lelaki itu mengelap wajah dengan usapan lengan kasarnya, mengusir lelehan peluh yang mengucur deras dari pori-pori renta. Lenguh napas berat juga turut menghiasi sepanjang duduk mematung, sambil menikmati sebatang rokok daun kawung berisikan tembakau tanding. Raut gelisah tergambar samar dari bias tatapnya, saat menoleh ke arah gerbang bangunan tua di depan sana.

“Masih sepi. Kapan datangnya, ya?” gumam sosok tersebut seraya menghembuskan penuh nikmat kepulan asap nikotin dari balik bibir hitamnya. “Tak sabar rasanya, ingin segera bertemu kembali dengan Den Hanan. Pasti sekarang dia sudah jadi orang hebat,” lanjutnya berkata-kata sendiri diiringi senyum semringah.

Tidak jauh dari tempatnya berada, lelaki itu melihat ada banyak orang-orang berkerumun di dalam gedung, sisanya duduk-duduk di emperan lantai ubin stasiun dengan kesibukan tersendiri. Bercampur-baur antara penjemput dengan calon penumpang yang akan menaiki kereta, lengkap membawa barang bawaan serta tas berbagai ukuran teronggok di samping.

“Ya, Tuhan ... panas sekali di sini,” gerutu lelaki tua di atas sado tadi sambil mengipas-ngipaskan tangan ke wajah. Berulang kali mulutnya berdecak kesal dengan leletan lidah membasahi bibir. Semula bermaksud hendak melinting kembali daun kawung, namun urung dilakukan begitu terdengar suara jerit terompet klakson kereta dari kejauhan. “Keretanya datang!” serunya dengan wajah langsung berubah ceria.

Benar saja. Tak seberapa jauh dari tempat tersebut, tampak kepulan asap hitam membumbung ke angkasa dari corong kereta. Melaju perlahan mendekati stasiun pemberhentian. Berbarengan dengan itu, serempak kerumunan orang-orang di sekitar sana berdiri, bersiap-siap menyambut. Tidak terkecuali lelaki tua di atas sado tadi. Dia bergegas turun, usai mengamankan tali kekang kuda pada sebuah batang pohon terdekat. “Tunggu sebentar, ya, Jalu. Aku mau menjemput Tuan Muda dulu,” ujarnya seraya menepuk-nepuk leher kuda. Binatang tersebut meringkik nyaring, seakan memahami ucapan lelaki tua itu.

Kemudian dia berjalan ke arah bagian dalam gedung stasiun, menembus kerumunan padat para pengunjung di sana dengan tubuh kecilnya. Tepat sekali, begitu jejak kaki menapaki barisan terdepan dekat batas rel, kereta sudah berhenti. Sejumlah penumpang berhamburan keluar dari gerbong dengan bawaannya masing-masing. Lelaki tua itu celingukan mencari-cari sosok yang tengah dinanti.

“Den Hanan!” teriaknya begitu mengenali seseorang yang baru keluar dari dalam gerbong kereta. Sosok tersebut menoleh, lalu balas memanggil, “Mang Dirman!”

Mereka berdua berjalan saling mendekat di antara lalu-lalang lautan manusia.

“Mang Dirman! Ya, Allah ... saya sangat kangen sekali sama Mamang,” seru seorang laki-laki muda dengan penampilan gagah yang tadi dipanggil Hanan, begitu bertemu. Dia segera menarik tubuh tua itu ke dalam pelukannya. Sejenak mereka saling berangkulan penuh kehangatan, lalu melepaskan diri dan tidak lupa menyalami.

“Ah, jangan begitu, Den,” ujar lelaki tua bernama Mang Dirman itu menarik diri begitu Hanan hendak mencium takzim punggung tangannya.

“Mengapa, Mang? Saya sudah terbiasa begitu, ‘kan, sejak kecil?” Hanan menatap Mang Dirman heran. Jawab lelaki tua tersebut, “Tidak, ah, Den. Saya merasa tak enak.”

“Ah, Mamang ini ....” Hanan menepuk pelan lengan Mang Dirman. “Sudah selayaknya ‘kan, yang muda mencium tangan yang dituakan saat bersalaman.”

“Jangan, Den. Tidak usah.”

Hanan tersenyum. Kemudian bertanya kembali, “Sudah lama Mamang menunggu?”

“Lumayan, Den. Hampir habis empat linting.”

Hanan mengerutkan kening. “Hhmmm, Mamang masih merokok?” Lelaki tua itu mengangguk perlahan dengan wajah tertunduk malu. “Dari dulu sudah saya bilang, merokok itu tidak baik untuk kesehatan, Mang. Masih saja bandel dikasih tahu.”

Mang Dirman mengekeh. “Iya, saya masih ingat kok, nasihat Den Hanan dulu. Apalagi sekarang, Aden sudah resmi jadi seorang dokter. Pasti akan lebih cerewet mengingatkan saya, ‘kan?”

Hanan kembali menepuk lengan Mang Dirman. “Bisa saja Mamang ini. Belum apa-apa, sudah merasa. Syukurlah. Setidaknya, saya tidak perlu setiap saat mengingatkan Mamang.”

“Iya, Den.”

Mereka berdua tertawa-tawa sebentar. Lalu tiba-tiba tawa Hanan terhenti. “Eh, sebentar ....” ujarnya seraya menyipitkan mata. Mang Dirman terheran-heran. Tanya lelaki tua itu, “Ada apa, Den?”

Hanan menyapu pandang ke sekeliling area stasiun. Sudah mulai tampak sepi dan kereta sudah siap-siap melanjutkan perjalanan. “Saya tidak melihat siapa-siapa lagi yang datang, kecuali Mamang sendiri.”

Mang Dirman tersenyum. Agaknya mulai paham arah maksud pembicaraan Hanan kali ini. “Saya memang datang sendiri, Den.”

“Sendiri?”

“Ya, sendiri. Dengan siapa lagi? Juragan perempuan?”

Hanan menggaruk kepala. “Bukan ibu saya maksudnya. Tapi ....”

“Neng Bunga, ‘kan?” tebak Mang Dirman. Hanan tersipu. Tanya laki-laki muda itu kemudian, “Dia tidak ikut datang menjemput, Mang?”

Mang Dirman tidak menjawab. Lelaki tua itu malah mengambil alih koper besar di samping Hanan. Ujarnya, “Makanya, kalau Aden ingin segera bertemu Neng Bunga, kita pulang sekarang.”

“Eh, jadi benar Bunga tidak ikut?”

“Gadis itu sedang menunggu di rumah Aden bersama Juragan perempuan,” jawab Mang Dirman diiringi langkah ringkih karena bawaannya. Berat.

“Bersama Ibu?” Hanan membantu mengangkat kopernya berdua dengan Mang Dirman.

“Ya, siapa lagi, Den?”

Lelaki muda itu tersenyum-senyum sendiri. Dia sedang membayangkan dua sosok yang selama ini dirindukan. Ibu Hanan dan Bunga. Bertahun-tahun hidup terpisah dan saling berbicara melalui secarik surat. Itu pun hanya sebulan sekali.

Mang Dirman memperhatikan raut wajah anak majikannya. Sebagai seorang yang pernah mengalami masa muda, tentu saja orang tua itu paham sekali akan apa yang tengah dirasakan oleh Hanan.

“Bunga tidak menitip pesan apa-apa pada Mamang?” Hanan menyelidik. Laki-laki tua itu menggeleng di tengah kepayahannya. Jawab Mang Dirman, “Bukankah selama ini Aden selalu berbalas surat dengan Neng Bunga, Den?”

Hanan mengangguk. Jawabnya, “Iya, sih. Tapi Bunga tidak pernah meminta dibawakan apa-apa. Seperti halnya Ibu. Terpenting, saya bisa pulang dengan selamat tanpa kekurangan dan kendala apa pun.”

“Hanya itu, Den?” goda Mang Dirman.

“Ya, hanya itu. Tidak ada yang lain.” Lelaki muda itu menoleh. Memperhatikan sosok tua yang sudah akrab mengasuh dirinya sejak kecil. “Memangnya, Mamang pikir apa, hhmmm?”

“Tidak ada, Den,” jawab Mang Dirman. “Mungkin sosok perempuan lain selain Neng Bunga, mungkin?”

“Ah, Mamang bisa saja. Jangan berpikir yang aneh-aneh, deh.”

“Hehehe. Hanya bercanda saja, Den.”

Hanan tersenyum dikulum. “Iya, saya tahu.”

“Saya tahu sekali sifat-sifat Aden. Persis seperti mendiang Juragan laki-laki, Tuan Juanda. Sejak menikahi Juragan perempuan, Ibu Aden, beliau selalu mencintai keluarganya. Tidak pernah sedikit pun saya mendengar Tuan laki-laki ada main hati dengan perempuan lain. Beliau sangat setia, dan itu menurun semua pada diri Den Hanan. Juga kebaikannya,” tutur Mang Dirman menguak kembali pecahan kenangan yang sempat dialami dulu sebelum Hanan lahir.

...BERSAMBUNG...

Bagian 2

...GAIRAH CINTA NONI BELANDA...

...Penulis : David Khanz...

...Bagian 2...

...------- o0o -------...

“Saya tahu sekali sifat-sifat Aden. Persis seperti mendiang Juragan laki-laki, Tuan Juanda. Sejak menikahi Juragan perempuan, Ibu Aden, beliau selalu mencintai keluarganya. Tidak pernah sedikit pun saya mendengar Tuan laki-laki ada main hati dengan perempuan lain. Beliau sangat setia, dan itu menurun semua pada diri Den Hanan. Juga kebaikannya,” tutur Mang Dirman menguak kembali pecahan kenangan yang sempat dialami dulu sebelum Hanan lahir.

“Seperti itu, ya, Mang?”

“Ya, semuanya. Mirip sekali. Bahkan sampai Den Hanan hadir di tengah-tengah keluarga, kecintaan Tuan laki-laki pada keluarga tetap tak berubah. Hingga menjelang ....”

“Ah, sudahlah, Mang. Bagian yang itu jangan Mamang ungkit-ungkit lagi. Saya semakin tak mampu menahan kerinduan ini akan kehadiran sosok Ayah.” Raut wajah Hanan sedikit berubah murung.

“Maafkan saya, Den. Saya tak bermaksud membuat Aden sedih,” kata Mang Dirman tiba-tiba merasa bersalah.

Hanan mengusap bahu orang tua tersebut, usai membantu mengangkat koper dan meletakkannya di dalam sado. “Tidak apa-apa, Mang. Saya juga tahu, pasti banyak orang selain saya yang juga turut merindukan Ayah. Beliau memang pantas dirindukan.”

“Untuk itulah, kehadiran Den Hanan di tengah-tengah masyarakat akan mampu mengobati rasa rindu mereka. Harapan saya sih, seperti itu.”

“Kali ini Mamang tidak sedang bercanda, ‘kan?” Hanan menatap mata tua itu. Berkaca-kaca dengan sorot kebahagiaan tiada tara bisa bertemu kembali dengan orang yang sejak kecil dia asuh.

“Saya sudah berjanji pada mendiang istri saya dulu, hidup saya akan dihabiskan untuk mengabdi pada keluarga Tuan laki-laki. Selama ini, hanya keluarga Aden saja yang mampu memberikan kenyamanan dan menganggap diri saya sebagai bagian dari keluarga Tuan Juanda. Saya memang bekerja di rumah Den Hanan, tapi saya tidak pernah dianggap sebagai pembantu.” Genangan bening di pelupuk mata itu mulai meleleh menyusuri pipi tuanya. Dengan sigap, Hanan segera menghapus dengan jemari tangan. Lembut dan penuh kasih sayang.

“Sudahlah, Mang,” ujar laki-laki muda tersebut seraya menarik Mang Dirman ke dalam pelukannya. “Bagi saya, Mamang adalah bagian terpenting dalam keluarga saya. Tentunya bagi Ibu juga.”

“Den ....”

“Maafkan Hanan kecil, jika dulu sering membuat Mamang muda kesal. Kini, Hanan besar menghaturkan terima kasih sedalam-dalamnya karena selama ini sudah berkenan menjaga Ibu, selagi saya pergi menuntut ilmu di Jakarta. Entah, apakah saya bisa membalas budi atas jasa-jasa Mamang ini atau tidak. Tapi ... percayalah, selama saya hidup, Mamang tidak akan pernah akan saya biarkan menangis sedih.”

“Den ....”

“Apalagi, Mang?” tanya Hanan belum juga melepaskan pelukannya.

“Mamang susah bernapas. Badan Aden ... bau asem.”

“Eh ....” Serta merta Hanan melepas pelukan. Lalu mengendus-endus tubuh serta kedua ketiaknya. “Oh, iya. Saya lupa. Sepanjang perjalanan tadi memang panas sekali di dalam kereta. Saya sampai mandi keringat walaupun jendela gerbong sudah dibuka. Maaf, ya ....”

“Tidak apa, Den. Tapi ... mata saya rasanya mulai berkunang-kunang,” ujar Mang Dirman yang tentu saja bermaksud menggoda anak majikannya tersebut.

“Kalau begitu, biar saya saja yang memegang tali kendali kuda,” balas Hanan seperti diingatkan akan kegemarannya beberapa tahun silam.

“Aden masih bisa membawa sado?”

Hanan berpikir sejenak. “Rasanya tidak terlalu sulit. Tapi tak ada salahnya, ‘kan, kalau dicoba lagi.”

“Yakin?”

“Ayolah ....” Hanan menaiki sado dan langsung duduk di bagian depan, diikuti oleh Mang Dirman di belakangnya usai melepas tali pengikat kuda pada sebuah pohon besar. “Bismillahirrahmaanirrahiim ....”

“Ayo, Jalu. Kamu masih ingat siapa yang saya bawa sekarang ini?” tanya Mang Dirman pada kudanya. Binatang tersebut meringkik keras.

“Dia masih mengingat saya, Mang,” seru Hanan seraya tertawa-tawa.

“Baguslah. Berarti saya tidak perlu repot-repot lagi mengenalkan si Jalu pada Aden. Hahaha.”

Perlahan kuda pun mulai melangkah. Menggerakkan roda sado, meninggalkan area stasiun Kampung Kedawung menuju hunian keluarga Hanan. Sekaligus, mendatangi dua sosok terkasih yang kini tengah menantikan kedatangannya.

...------- o0o -------...

Sado berjalan perlahan menyusuri jalanan tanah dan berumput. Sekaligus menguar kembali ingatan Hanan akan kondisi tempat dimana dia terlahir dan dibesarkan dulu. Hingga menjelang dewasa, terpaksa harus ditinggalkan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Menjadi seorang dokter adalah cita-cita laki-laki muda itu sedari kecil. Mengabdi dan bisa lebih dekat dengan warga kampung seperti mendiang Tuan Juanda dulu, salah satu tokoh masyarakat yang memiliki banyak tanah dan turut menggarapnya bersama-sama warga sekitar.

Bukan hal mudah untuk mendapatkan harta kekayaan sebanyak dan seluas itu dulu, karena ayah Tuan Juanda, kakeknya Hanan, adalah salah seorang tokoh penting dalam perjuangan melawan penjajah Belanda, sekaligus merebut kembali tanah-tanah yang banyak dikuasai oleh para Meneer tersebut. Kemudian diwariskan secara turun temurun dan kini dalam pengawasan keluarga Hanan.

Ibu Hanan tidak ingin anaknya hanya berkutat pada masalah kekayaan keluarga, wanita itu berharap Hanan menjadi sosok yang berguna bagi masyarakat luas. Makanya dia rela menjual hampir separuh tanahnya demi membiayai pendidikan Hanan, anak semata wayang.

Beberapa tahun hidup berpisah dan hanya berkomunikasi melalui surat, akhirnya kini Hanan kembali pulang usai menyelesaikan jenjang pendidikannya. Menjadi seorang dokter dan diharapkan bisa membantu sesama, terutama warga miskin yang masih buta tentang masalah kesehatan. Waktu itu memang tidak mudah untuk mendapatkan pendidikan bagus, di tengah kecamuk perang melawan penjajah Belanda yang berniat kembali menguasai bumi nusantara. Ibu Hanan bersikeras memberangkatkan anaknya ke Jakarta walaupun risiko kehilangan putra kandung satu-satunya sekalipun.

Doa seorang ibu nyatanya teramat makbul. Akhirnya dengan berbagai usaha dan perjuangan, Hanan kini sudah menjadi sosok yang patut dibanggakan.

“Mang ....” panggil Hanan tiba-tiba pada Mang Dirman sambil menatap ke depan. Tepatnya ke arah sesosok perempuan muda yang sedang duduk di bawah sebuah pohon besar sambil meringis dan mengurut-urut kaki. “Kita harus berhenti sebentar, Mang.”

“Memangnya ada apa, Den?” tanya Mang Dirman heran.

“Mamang tidak lihat di depan sana? Ada seorang perempuan. Sepertinya sedang butuh pertolongan ....” ujar Hanan.

Mang Dirman tidak menjawab.

Sesaat kemudian, Hanan menarik tali kendali kuda untuk menghentikan laju sado. “Sebentar, saya akan menemui perempuan itu dulu, Mang.”

Laki-laki muda itu turun dari atas sado, bergegas mendatangi sosok perempuan yang dimaksud.

“Halo ... selamat siang,” sapa Hanan begitu mendekat. Seorang perempuan berkulit putih dengan rambut pirang dan mengenakan pakaian khas tidak sebagaimana umumnya warga setempat.

Perempuan itu mengangkat kepala. Namun ringis di wajahnya tak kunjung berhenti. “Oh, syukurlah ada yang datang juga akhirnya. Dari tadi saya menunggu seseorang yang lewat, tapi belum satu pun ada,” ujarnya dengan gaya bicara seperti kebanyakan lidah orang-orang Eropa sana.

Hanan sedikit terkesiap. Paras perempuan itu begitu cantik. Dengan bola mata hijau, hidung mancung, dan bibir merah merekah.

...BERSAMBUNG...

Bagian 3

...GAIRAH CINTA NONI BELANDA...

...Penulis : David Khanz...

...Bagian 3...

...------- o0o -------...

“Oh, syukurlah ada yang datang juga akhirnya. Dari tadi saya menunggu seseorang yang lewat, tapi belum satu pun ada,” ujarnya dengan gaya bicara seperti kebanyakan lidah orang-orang Eropa sana.

Hanan sedikit terkesiap. Paras perempuan itu begitu cantik. Dengan bola mata hijau, hidung mancung, dan bibir merah merekah. Lekas pemuda itu menguasai diri dan lanjut bertanya, “Ada yang bisa saya bantu, Nona?”

Perempuan itu kembali meringis sambil mengusap-usap persendian di kakinya. “Saya terjatuh dari kuda. Rasanya kaki ini terkilir dan sakit sekali. Saya tidak bisa jalan, makanya duduk di sini menunggu seseorang yang lewat. Beruntunglah ada ....”

“Hananta Adiswara. Cukup panggil saja saya Hanan,” ucap laki-laki muda itu memperkenalkan diri.

Lanjut perempuan itu berkata, “O, iya ... Hanan. Untunglah ada kamu yang lewat, Hanan. Saya tidak tahu harus bagaimana pulang, sementara kuda saya pergi entah kemana.”

Hanan membungkuk. Mencoba memperhatikan pergelangan kaki yang dimaksud perempuan tadi. “Mohon maaf, jika diizinkan ... saya bermaksud ingin memeriksa kondisi kaki Nona ....”

“Roosje Van Der Kruk.” Perempuan itu menyebutkan nama lengkapnya dengan sedikit angkuh. Mungkin sekalian hendak memperkenalkan dari keluarga mana dia berasal.

“Baiklah, Nona Roosje Van Der--“

“Kamu boleh panggil saya Roosje saja, atau juga Rose,” ujar Roosje menyela.

Hanan mengangguk. “Terima kasih, Nona Rose. Mohon izin untuk memeriksa pergelangan kaki Nona. Boleh?”

Perempuan itu berpikir sejenak. Sampai akhirnya menjawab ragu, “Asal kamu tidak mempunyai maksud lain pada saya, Hanan.”

Laki-laki itu tersenyum. Dia memahami maksud Roosje barusan. “Tentu saja tidak, Nona. Saya hanya ingin memeriksanya sedikit. Bagaimana?”

“Lakukanlah.”

“Terima kasih,” balas Hanan kemudian perlahan memegangi pergelangan kaki Roosje yang penuh kehati-hatian. Setelah agak lama memijit dan menyusuri area yang dimaksud, kemudian lanjut berkata, “Syukurlah, tidak terjadi hal yang terlalu serius dengan kaki Nona. Hanya terkilir sedikit, dan butuh istirahat. Beberapa hari ke depan, kemungkinan sudah sembuh kembali, Nona Rose.”

Roosje menatap Hanan dengan saksama. “Betulkah itu? Kamu yakin?”

Hanan tersenyum tanpa balas menatap bola mata hijau milik perempuan tersebut. “Saya hanya sekadar memperkirakan, Nona. Kemungkinan lain mungkin bisa saja di luar dari apa yang saya katakan tadi.”

“Hhmmm ....” Roosje bergumam. Tanyanya kemudian, “Kamu tabib? Atau seorang dukun pijat?”

Mang Dirman hampir saja tertawa di atas sadonya mendengar pertanyaan Roosje barusan. Hanan berusaha untuk tidak bereaksi. Termasuk senyum sekalipun. Dokter muda itu tampak tenang. “Bukan, Nona. Saya bukan siapa-siapa. Hanya sekadar mengira-ngira saja, karena kebetulan sering dipinta ibu saya memijit beliau.”

Lagi-lagi Mang Dirman menahan gelak tawanya yang hampir membuncah.

“Siapa kakek tua di atas sado sana. Saya lihat berulang kali dia menertawakan kita,” kata Roosje seraya mendelik. Merasa tidak menyukai sikap yang ditunjukkan oleh Mang Dirman tadi.

Hanan menoleh sebentar ke arah lelaki tua itu. Mengedipkan mata, memberi isyarat agar dia tidak menunjukkan reaksi apa pun. Lalu kembali memandang ke arah Roosje yang masih menampakkan rasa tidak suka pada Mang Dirman. Jawab Hanan kemudian, “Beliau kawan saya, Nona. Kebetulan tadi bertemu di tengah jalan, dan saya ikut menumpang bersama beliau sampai ke rumah saya nanti. Namanya Mang Dirman.”

“Kawan?” Roosje tersenyum mengejek. “Wajah kalian sangat jauh berbeda usianya. Bagaimana mungkin seseorang muda sepertimu berkawan dengan laki-laki tua seperti dia?” Hanan berusaha untuk tetap tenang mendengar penuturan Roosje tersebut. Mata dokter muda itu sampai terpejam diiringi tarikan napasnya. Lanjut perempuan itu berkata, “Lagipula, saya lihat ... kamu tidak seperti kebanyakan penduduk di sini. Terlihat bersih dan necis. Saya pikir, kamu pasti bukan penduduk kampung sini, ‘kan? Saya tidak pernah melihatmu sebelumnya.”

Hanan mengangguk perlahan. “Iya, betul sekali apa yang Nona ucapkan barusan. Saya memang baru datang ke kampung ini. Mengunjungi keluarga yang lama tidak bertemu.”

“Sudah saya duga,” desah Roosje seraya menilik-nilik raut wajah Hanan. "Een knappe man ook. Ziet eruit als een hoogopgeleid persoon. De stijl van spreken is als mensen in stedelijke gebieden."

(Tampan juga laki-laki ini. Terlihat seperti orang berpendidikan tinggi. Gaya bicaranya pun seperti layaknya orang-orang daerah perkotaan.)

Hanan diam saja mendengar gumaman Roosje. Dia masih sibuk memijat pergelangan kaki perempuan tersebut.

“Bagaimana sekarang, Nona?” Suara Hanan memecah kesunyian yang sesaat datang melanda di antara mereka.

“Tentang apa?” tanya Roosje langsung tersadar setelah sekian lama memperhatikan wajah Hanan.

“Sakit di pergelangan kaki Nona.”

“Oohhh ....” Roosje gelagapan. Dia menggerak-gerakkan kaki. “Masih terasa sakit, tapi agak lebih baik dari sebelumnya.”

Hanan manggut-manggut. “Mungkin ada baiknya Nona kami antar pulang. Nona bisa ikut bersama kami naik sado. Itu pun, kalau Nona tidak keberatan.”

“Kuda saya?” Roosje mengitari pandangan ke sekeliling tempat. Mencari-cari sosok kudanya yang tidak terlihat di sana. Hanan menoleh ke belakang. Tepatnya memandang Mang Dirman yang terlihat masam. “Saya berjanji, nanti akan saya carikan bersama kawan saya itu. Semoga saja lekas ditemukan, ya, Nona?”

“Saya harap juga begitu,” balas Roosje. “Kuda itu pemberian papa saya atas hadiah ulang tahun beberapa minggu lalu. Baru hari ini saya coba untuk menungganginya. Kalau saja tahu akan seperti ini, mungkin saya tidak akan pernah mau menerima hadiah kuda itu.”

Hanan tersenyum. “Menurut saya, tidak baik menolak pemberian dari orang yang kita cintai. Maksud saya, hadiah untuk Nona dari papa Nona. Setidaknya, jika belum sanggup untuk menungganginya, menerima pemberian dari beliau tentu saja akan membuat hati papa Nona senang, bukan?”

Roosje tersenyum. Manis. Untuk pertama kalinya sejak mereka berbincang-bincang tadi. “Saya memang mencintai papa saya. Begitu pula dengan papa. Tapi ... mendengar kata-katamu tadi, saya merasa sangat senang. Hanan? Itu namamu, ‘kan?”

Hanan mengangguk.

“Bagaimana? Ikut bersama kami, Nona? Karena tidak mungkin kami meninggalkan Nona sendirian di tempat seperti ini.” Kembali Hanan mengingatkan.

“Antarkan saya sampai kediaman Tuan Guus Van Der Kruk. Kamu tahu tempatnya, ‘kan?” Roosje berusaha berdiri dengan sangat hati sembari meringis kesakitan.

Hanan berpikir sesaat. “Saya pikir, Mang Dirman pasti sudah mengenal kampung ini. Nanti beliau yang akan menunjukkan jalannya.”

“Kamu tidak mengenal papa saya?”

“S-saya ....”

“Sama sekali tidak pernah mengenal Tuan Guus?”

“Maksud saya ....” Hanan berusaha mengingat. Namun semuanya mendadak buntu. Dia tidak bisa menjawab, sampai Roosje menggeleng-geleng. “Sudah saya duga, kamu memang bukan penduduk kampung ini.”

“Maafkan saya, Nona. S-saya ....”

“Sudahlah. Lupakan saja. Sekarang, antarkan saja saya pulang. Saya takut Papah mencari-cari kalau lama saya tidak kembali,” ujar Roosje seraya mencoba melangkah, akan tetapi tiba-tiba saja kembali terjatuh limbung. Untung saja Hanan spontan menahannya.

“Maaf, Nona. Saya tidak bermaksud ....” Hanan melepaskan cekalannya pada pinggang Roosje. Posisi mereka begitu dekat dan rapat. Bahkan hampir saja ujung hidung laki-laki muda itu menyentuh pada bagian dada perempuan bermata hijau tersebut.

...BERSAMBUNG...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!