Sorang gadis yang memakai Hoodie dan kupluk di kepalanya tengah duduk di bangku taman, sambil mengawasi keadaan sekitar, gelang karet hitam melingkar di pergelangan kiri tangannya. Celana sobek-sobek di bagian lutut, memberinya kesan tomboi.
Mulutnya, tak henti-henti mengunyah permen karet, sesekali dia melihat jam tangan kecil yang melingkar di pergelangan tangannya, "sudah waktunya!" Dia berjalan dengan langkah cepat dengan tangan di masukan ke saku celana jeansnya, dia berbaur di keramaian.
Saat ini sedang di adakan konser band ternama di kota ini, membuat semua orang berkumpul di bawah panggung yang sama. Namun bukan itu yang Kalina inginkan, melainkan dompet yang tesimpan di tas mereka atau pun ponsel, apa pun itu asalkan jadi duit pikirnya.
Konser pun di mulai, semua mata tertuju ke depan melihat grup band itu bernyanyi, sorak sorai penonton mengikuti lagu yang mereka nyanyikan. Tangan Kalina yang sudah terlatih, mulai meraba tas pinggang korban dengan jemarinya saat mereka lengah, Ia mencapit sebuah dompet mini dengan ujung jari telunjuk dan jari tengahnya.
Josh... Satu target berhasil! Dia bergeser ke-samping pura-pura mencari tempat yang nyaman sambil sesekali berjinjit agar tampak seperti penonton pada umumnya. Ia pun menemukan target ke-dua, dia melihat seorang wanita menaruh ponsel di saku belakang celananya, dia sedang asik meneriakkan nama-nama dari personil grup itu.
Setelah mendapatkan apa yang Ia inginkan Kalina langsung pergi menjauh, dia masuk ke dalam gang sempit dan mengecek barang curiannya, yang pertama ponsel dia langsung menonaktifkan benda elektronik tersebut sebelum sang pemilik menyadarinya. Lanjut ke dompet, dia membongkar isi dompet tersebut yang hanya terdapat sebuah kartu pelajar dan selembar uang lima puluh ribu.
"Hadeh, sial banget gue! Masa cuma dapet gocap." Kalina melempar dompet tersebut sembarang arah, kini benda yang susah payah Ia dapatkan pun sudah tak berguna lagi.
"Untung masih ada ini, mayan lah." Kalina melenggang kembali, keluar dari persembunyiannya. Dia menaiki angkot dan turun di pasar yang tak jauh dari taman tadi, dia menyatroni sebuah counter kecil tempat biasa dia menjual barang hasil curiannya.
"Bang, gua punya barang lagi, silahkan di RP!" Kalina menaruh ponsel hasil curian tadi di hadapan sang pemilik toko bertubuh tambun berusia kisaran empat puluh lima tahunan. Dia membetulkan kaca mata bulatnya, menilik benda itu dengan seksama.
"Masih nyala gak nih?" Tanya pemilik toko tak yakin.
"Nyala lah bang, liat aja masih mulus gitu. Gue beli sebulan yang lalu, tapi karena sekarang gue lagi butuh duit terpaksa gue jual bang. Coba, Abang berani beli berapa, masih mulus loh bang. Gue jamin Abang gak bakalan nyesel beli nih barang, sumpah deh." Bujuk rayu mulai Kalina lontarkan agar si korban mau membeli barang yang Ia jual, ini juga termasuk salah satu keahlian Kalina.
"Dua ratus deh!" Abang itu memberi tawaran.
"Lah ko cuma dua ratus Bang, ini masih bagus loh, gue belinya satu juta lebih. Kalau Lima ratus gimana?"
"Tiga ratus." Abang itu menaikan lagi harga negonya.
"Naik dikit lagi dong bang." Bujuk Kalina.
"Tiga ratus lima puluh, final! Kalau mau segitu sukur kalau enggak juga gak papa, bawa balik lagi aja tuh barang."
"Ya udah deh bang, tiga ratus lima puluh, Deal!" Walau enggan Kalina tetap menyetujui penjualannya dengan harga segitu dari pada gak jadi duit sama sekali, pikirnya.
"Tapi tunggu dulu, gue periksa dulu barangnya, kalau ternyata ini cuma rongsokan gue rugi dong." Si Abang menyalakan ponselnya, ternyata ponsel itu memang menyala. Tapi layar background ponsel itu ternyata bukan foto Kalina, melainkan foto seorang gadis berseragam SMA yang sedang tersenyum.
Kalina pura-pura bersiul sambil menatap ke sembarang arah, "ini hp curian ya?" Si Abang berucap pelan.
"Mana ada Bang, itu hp gue beneran." Kalina berkilah.
"Jujur, atau gue gak jadi beli," ancam si Abang, "Lin, sampai kapan elu mau kerja beginian? Gue kenal elu dari bocah, ini terakhir kalinya gue terima barang dari elu, kecuali kalau barang itu bukan barang curian." Dia memberikan uang empat lembar, tiga lembar seratus ribu dan satu lembar lima puluh ribu.
"Iya bang, ini terakhir kalinya gue jual barang curian ke Abang. Nanti gue mau ganti profesi." Ucap Kalina, sambil menyambar uang itu dan memasukannya ke saku celana jeans robeknya.
"Awas lu ya kalau boong!"
Bang Johar namanya, pria bertubuh tambun berkulit sawo matang, dengan perut membuncit ke-depan, bukan sehari dua hari Johar mengenal Kalina, dulu rumah Johar bersebelahan dengan panti asuhan yang Kalina tinggali, Johar pria yang baik namun Istri nya sangat cerewet dan sering kali memarahi Kalina, Karena Johar memperlakukan Kalina seperti adiknya sendiri, mungkin dia cemburu pada Kalina, selain karena parasnya yang cantik, bentuk tubuhnya pun terbilang seksi, jadi sangat di sayangkan kalau dia bekerja sebagai pencopet.
"Iya Bang! Btw gue balik dulu ya Bang, makasih duitnya, anak-anak bisa makan enak hari ini." Kalina pergi dengan wajah sumringah.
Johar menghela napas dalam, dia menatap barang curian yang Kalina jual padanya, sebetulnya dia tahu ponsel itu milik siapa, gadis yang ada di foto itu adalah keponakannya sendiri.
~*~
Satu, dua, tiga, Kring... Ponsel Kalina berdering, umpan yang Ia tebar telah di makan oleh orang incarannya, Kalina memposisikan diri dan melatih membuat perubahan dalam suaranya.
"Halo selamat malam, saya Via dari perusahan asuransi PT. Hidup Sejahtera. Benar Pak, sebelumya saya sudah menginformasikan pada Anda, bahwa Anda mendapat hadiah dari undian yang kami adakan setiap tahunnya. Anda mendapat sebuah mobil, namun ada beberapa prosedur terlebih dahulu yang harus anda isi."
Target Kalina kali ini seorang pria bernama Sutrisno, berusia 43 tahun salah satu nasabah dari perusahaan PT. Abadi Sejahtera yang Kalina jiplak namanya.
[Lalu apa lagi yang harus saya lakukan, mbak?] Tanyanya dari sebrang telpon, setelah dia mengisi formulir digital yang Kalina kirimkan lewat ponsel.
"Untuk administrasinya Pak, saya minta sejumlah uang untuk memperlancar keluarnya hadiah, bapak akan menerima hadiahnya satu hari setelah uang terkirim." Tambah Kalina.
[Baiklah mbak, kira-kita berapa uang yang harus saya berikan?]
"Tidak banyak Pak, di banding dengan hadiah mobil yang akan bapak terima. Nominalnya, hanya sepuluh juta saja. Bapak bisa langsung mentransfernya pada no rekening yang tertera di formulir tadi." Ujar Kalina meyakinkan.
[Baiklah mbak, akan segera saya kirimkan uangnya]
"Baiklah Pak, selamat malam, terima kasih atas waktunya." Kalina tersenyum senang. Jika bacotannya berhasil kali ini, dia akan mendapatkan uang yang tidaklah sedikit.
"Bagus, ayolah uang masuklah ke rekeningku hehe." Kalina tersenyum menyeringai.
Keesokan harinya, pada saat matanya terbuka yang pertama Ia ingat adalah ponselnya. Dia menyambar ponsel yang teronggok di samping kiri bantalnya, Kalina lekas membuka layar gawai tersebut, Aplikasi digital perbankan yang berwarna biru-lah yang menjadi incarannya.
Kalina mengernyitkan dahi, pasalnya umpannya kali ini gagal di makan Ikan, "sial, ternyata gagal." Desah Kalina, dia melempar ponselnya sembarang arah.
Dia bangun dengan wajah kusut, Ia mengambil handuk beladus miliknya yang tergantung di paku yang Ia pasang di dinding sebagai gantungan pakaian.
Tring... Notifikasi pesan di ponselnya tak Ia hiraukan, palingan cuma SMS dari operator seluler yang selalu memberinya pesan cinta.
Kalina lantas berjalan ke kamar mandi yang letaknya berada tak jauh dari kamar tidurnya, suara anak-anak yang tengah bermain dan juga belajar, membuatnya sejenak menoleh, dia tersenyum senang melihat adik-adik se-penderitaannya tumbuh dengan baik walau tanpa orang tua kandung, sama seperti dirinya.
Kalina ingin adik-adiknya mempunyai masa depan yang cerah, dia ingin adik-adiknya bisa sukses dan memajukan panti asuhan ini.
"Kak Lina, dari tadi hp Kakak bunyi terus!" Seorang anak perempuan bernama Chika datang dan memberitahunya.
"Eh, beneran Chik? Padahal Kakak belum lama keluar kamar." Ujar Kalina yang langsung kembali ke-kamarnya dengan langkah cepat.
Benar saja, total ada sepuluh panggilan tak terjawab dari nomor korban yang semalam Kalina kibulin, "Halo, selamat pagi!" Ucap Kalina dengan suara di samarkan.
[Apa ini dengan Mbak Via?] Tanyanya dari sebrang telpon.
"Iya Pak, saya Via! Oh Iya, saya mau tanya Bapak ko belum mentransfer uangnya ya Pak, keterlambatan seperti ini bisa mempengaruhi hadiahnya loh Pak." Ucapan Kalina terdengar serius.
[Itulah kenapa saya menelpon anda Mbak, kebetulan kartu ATM saya hilang kemarin jadi saya tidak bisa mentransfer uangnya lewat bank, bagaimana kalau kita bertemu saja, silahkan Mbak yang memutuskan lokasinya.] Ujar si Bapak dari sebrang telpon.
Kalina berpikir sejenak, bertemu langsung dengan korban itu sangat beresiko, apa sebaiknya Kalina urungkan saja niatnya kali ini?
[Halo Mbak! Apa telponnya masih tersambung?] Tanyanya memastikan.
"Iya Pak, saya masih disini."
[Uangnya sudah siap, tinggal anda putuskan dimana tepatnya lokasi kita bertemu.] Kalina sempat berpikir untuk mengurungkan niatnya semula, tapi mendengar kata uang membuat nyalinya kembali meninggi.
"Kalau begitu bapak bisa datang ke kafe Bintang hijau, pukul sepuluh siang ini. Saya akan menunggu bapak disana."
[Baiklah Mbak, saya akan datang."]
Kalina menutup telponnya dan kembali menyimpan benda pipih itu di atas ranjang. Jujur dia merasa ragu untuk menemui orang ini takut ini hanya sebuah jebakan, tapi jika ini benar-benar asli sayang sekali uangnya. Kalina pun memutuskan untuk tetap pergi.
Dia berangkat pukul 08:30 pagi, cukup untuk dia bersiap-siap terlebih dahulu. Kalina sudah menyewa jas wanita ala-ala orang kantoran.
Pukul 10:00 WIB. Kalina sudah duduk menunggu orang itu di kafe Bintang Hijau seperti yang telah mereka sepakati.
Seorang pria berperawakan sedang, dengan kulit sawo matang berjalan mendekat ke-arah Kalina saat ini berada, 'apa dia orangnya?' batin Kalina.
"Halo, apa anda Nona Via?" Tanyanya sembari mengulurkan tangan.
"Iya Pak, silahkan duduk!" Dia mulai berbicara dengan kata-kata khasnya untuk menipu orang, kata-kata manis yang bahakan lebih manis dari pada madu.
Kemudian Pria itu menyerahkan sebuah amplop coklat yang cukup tebal pada Kalina, yang langsung Kalina terima dengan serentetan kata-kata manis kembali yang terlontar dari mulutnya, tak lupa dia mengecek isi dari amplop tersebut sekilas. Selepas itu Kalina pun pamit, dia lekas mengantongi benda berharganya dan secepat mungkin pergi meninggalkan lokasi.
Di sebuah gudang terbengkalai, Kalina melepas semua aksesoris dan pakaian yang tadi Ia kenakan dan berganti dengan pakaian sehari-harinya dia melempar kain itu ke-lantai hendak membakarnya.
Prok...Prok...!! Suara tepukan menggema di ruangan itu, membuat Kalina refleks menyambar amplop yang teronggok di lantai, benda itu ia sembunyikan di dalam bajunya.
"Siapa lu? Tunjukan wajah lu, jangan sembunyi." Mata Kalina tak henti-hentinya mengawasi sekitar, dia memasang kuda-kuda siap menerjang lawan jika di perlukan.
Seorang pria muncul dari balik pintu yang telah rusak, dia menyilang-kan tangan di dada, menatap aneh pada Kalina.
"Kalina Oktavia. Atau Nona Via? Yang mana sebetulnya nama-mu?" Ucapan pria itu sontak membuat mata Kalina melebar sempurna, dia mundur beberapa langkah kebelakang.
'Sial, identitas gue ketahuan, mati gue kali ini.' Batin Kalina.
"Maaf, aku bukan salah satu dari nama yang kau sebutkan." Dalih Kalina.
"Penipuan pertama, tanggal 1 bulan 9 tahun 2020, pukul 21:00 WIB. Mengatas nama-kan PT. Abadi Sejahtera, meminta kenaikan angsuran bulanan menjadi dua kali lipat dalam kurun waktu tertentu. Penipuan ke-dua, pada tanggal 5 bulan 1 tahun 2021 korban melaporkan bahwa dia tidak pernah mencairkan uang asuransinya, tapi ada seorang wanita bernama Via yang meminta data-data pribadi korban, dia bilang data-datanya hilang dalam daftar nasabah, jadi dia membutuhkan datanya untuk pemulihan. Dan masih banyak lagi catatan kriminal atas nama-mu yang ada di tanganku."
Deg...Kalina terkejut setengah mati mendengar hal ini, bagaimana bisa orang itu tahu apa yang telah Ia lakukan sampai se-detail itu.
"Siapa kau sebenarnya? Kau benar-benar so-tahu, aku bahkan tidak tahu mengapa kau bisa menyimpulkan bahwa aku Nona Via, dan siapa tadi? Ka--," Kalina pura-pura tak tahu, padahal itu dirinya sendiri.
"Kalina Oktavia! Itu namanya."
Tak...tak...
Suara sepatu yang beradu dengan lantai menggema kala pria itu memunculkan dirinya, Kalina mengernyitkan dahi, sepertinya dia pernah bertemu pria ini. Pria berperawakan atletis, dengan setelan jas rapi wajahnya sangat tampan dengan iris mata tajam, tatapannya bak elang yang mengintai mangsanya.
"Siapa kau, apa aku mengenalmu?" Tanya Kalina sambil menilik wajah pria itu memperjelas dugaannya.
"Pukul 00:00 pergantian waktu antara 22 dan 23 hari Senin perbincangan lewat telpon antara aku dan kamu." Ujarnya.
Deg... Jantung Kalina seolah di hantam dengan benda tak kasat mata, membuat detakannya terhenti barang sejenak.
"Kevin!" Pekiknya dengan mata membelalak.
Ya dia adalah Kevin Alterio teman masa SMA Kalina, sekaligus mantan pacar satu-satunya dan cinta pertamanya.
"Kamu beneran Kevin?!" Kalina kembali memastikan.
"Apa perlu aku mencium jari-mu untuk membuktikannya?"
'Astaga, dia benar-benar Kevin. Apa dia seorang polisi? Apa yang harus gue lakuin sekarang?'
"A-apa kabar Kevin? Hehe kamu jadi beda ya." Kalina tertawa menyingkap kecanggungan.
"Kamu juga, sangat jauh berbeda dari yang dulu." Kevin menilik penampilan Kalina dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Haha iya, semua orang bisa berubah seiring berjalannya waktu." Kalina tertawa garing.
"Kau benar, perubahannya amat terlihat!"
Kevin menopang dagu dengan sebelah tangannya, "bahkan perubahan-mu terlalu siginifikan, kau berubah hampir 180° dulu kau siswi yang teladan, berprestasi, cantik, tapi sekarang--," Kevin memberi tatapan mencibir.
Kalina tersenyum masam, "seperti yang tadi aku bilang semua manusia bisa berubah Vin."
"Tapi tidak harus berubah jadi pencuri juga, kan. Apa tidak ada pekerjaan lain yang bisa kau lakukan selain mencuri dan menipu?"
"Siapa yang mencuri, aku tidak mencuri." Dalih Kalina.
"Kembalikan uangnya!" Pinta Kevin mengulurkan tangan.
"U-uang apa, aku tidak mengerti." Kalina masih tetap mempertahankan Image nya.
"Kembalikan, atau aku lapor polisi!" Ancamnya.
"Sorry Vin, gue gak bisa kasih nih duit. Ini punya gue, susah payah gue dapetinnya. Masa Lo ambil gitu aja." Kevin menggerakkan dua jarinya, tiba-tiba seorang pria bertubuh kekar memelintir tangan Kalina ke-belakang.
"A-dududuh, kampret lu. Lepasin sakit tangan gue!" Kalina mengaduh kesakitan.
Mata Kevin menatap tajam pria yang tadi mencekal lengan Kalina, membuat dia refleks melepaskan cekalannya, "kasar amat sih bang ama cewek, gak pernah megang cewek ya, pegangnya itu lembut dikit ke!" Pria itu hanya diam walau Kalina mengejeknya.
"Cepat serahkan amplopnya, kalau enggak aku akan nyuruh dia bawa kamu ke kantor polisi." Ancam Kevin lagi.
Dengan enggan Kalina mengeluarkan benda dari kertas berwarna coklat itu dan mengulurkannya pada Kevin, "Ini gue balikin, tapi jangan laporin ke-polisi, janji loh ya!" Kevin meraihnya sambil tersenyum smirk.
"Ini hanya satu dari kejahatan yang kamu lakukan, sedangkan masih ada lagi. Kamu bahkan sudah merugikan perusahaan-ku dengan total kerugian seratus juta, belum lagi pencemaran nama baik dan penipuan terhadap nasabah." Kata-kata yang Kevin utarakan membuat pupil mata Kalina melebar sempurna.
"PT. Abadi Sejahtera itu perusahaan kamu Vin?"
"Ya, bisa di bilang begitu!"
Huh...Hah...Huh...Hah... Kalina menarik napas dalam-dalam lantas mengeluarkannya perlahan, dia berusaha menetralkan hatinya yang terguncang, 'astaga kalau gitu, gue secara gak sengaja udah nipu mantan gue sendiri dong, njir gue harus gimana?' Kalina menelan Salivanya, dia melirik Kevin takut-takut.
'Kalau Kevin minta ganti rugi gimana, uang seratus juta itu gue aja belom pernah liat. Haish, Kalina bego bego bego, kenapa lu harus mau di ajak ketemu sama tuh bapak tadi, tapi uangnya itu loh, gue gak bisa nahan godaannya.' Kalina merutuki kebodohannya sendiri.
"Vin, bisa gak kita bicarakan ini baik-baik. Kamu kan tahu, aku manusia ter-kere di muka bumi ini, dulu aja pas aku masih sekolah aku gak pernah bawa uang jajan, paling cuma bawa nasi sama terasi, kamu yang paling tahu keadaan ku Vin." Kevin mengangkat sebelah alisnya, agaknya pria Itu dapat menebak arah pembicaraan Kalina.
"Seratus juta itu bukan uang kecil, Lin. Aku gak bisa relain gitu aja uang ku lenyap." Kevin mengangkat bahu, dia seakan tak berdaya.
"Tapi Vin, aku punya uang darimana buat gantiin uang kamu. Kalau aku banyak uang mana mungkin aku jadi pencuri."
"Ngaku juga akhirnya kalau kamu seorang pencuri." Kevin terkekeh.
"Ya mau gimana lagi, toh kamu juga punya catatan kriminalku. Yang bisa aku lakukan cuma pasrah, tapi aku katakan sekali lagi, aku gak punya uang buat ganti ruginya."
Kevin mengisyaratkan pada bawahannya untuk meninggalkan dia dan Kalina berdua di tempat itu, "ada satu cara agar kamu tidak harus mengganti rugi dengan uang." Kevin mendekat dia mengelilingi Kalina seraya memerhatikan fostur tubuh wanita itu.
Kalina menatap curiga pada Kevin, "cara apa?"
Kevin tersenyum penuh arti, "jangan bilang kamu, mau kita--?" Kalina melebarkan matanya, tangannya refleks menutupi dada dan pinggang bagian bawahnya.
"Aku menolak! Aku bukan wanita seperti itu Vin, meski aku bukan wanita yang baik, tapi ajaran yang Ibu-ku berikan tidak pernah aku lupakan. Harga diri wanita, ada pada dirinya, jika kau tidak menghargai dirimu sendiri maka tidak akan ada orang yang mengharagimu, itu yang dia katakan. Jadi maaf aku tidak mau, lebih baik kau cari cara lain saja." Kalina menangkupkan tangannya di hadapan Kevin, membuat pria itu tersenyum.
"Dasar otak mesum, kamu gak pernah berubah ya, ngeres aja pikirannya."
"Lah emang maksud kamu ke-arah sana kan, disini yang ngeres itu kamu bukan aku." Kalina sewot.
Kevin menghela napas, "oke terserahlah, aku ingin kamu jadi istri aku. Menikahlah denganku, maka kamu akan terbebas dari hukuman penjara plus hutang kamu sama aku, gimana?"
Kalina menelengkan kepalanya dengan dahi mengernyit, "tunggu, tunggu, nikah? Kamu gak salah Vin? Aku dan kamu, nikah, kaya nya gak mungkin." Kalina menggelengkan kepalanya.
"Oke, kalau kamu gak mau, siap-siap masuk penjara!" Kevin berucap dengan tegas.
"Dan satu lagi, tanah panti asuhan tempat adik-adikmu tinggal, sudah atas namaku." Mata Kalina melebar seketika, tidak di sangka Kevin bertindak sampai sejauh itu.
"Ini masalah aku Vin, kenapa kamu bawa-bawa mereka. Mereka bahkan gak tahu apa-apa." Kalina mendesah tak percaya.
"Aku gak peduli, jika kamu menolak pernikahan yang aku ajukan tadi, Aku akan mengambil uang-ku kembali, dengan cara apa-pun, termasuk merobohkan panti asuhan kesayangan-mu itu."
Kalina meggeleng pelan, "kamu benar-benar telah berubah Vin, kamu sudah bukan Kevin yang aku kenal dulu."
Kevin menyeringai, "seperti yang kamu bilang, manusia bisa berubah seiring berjalannya waktu."
"Jadi sekarang kau tidak punya pilihan, selain menyetujinya."
Kalina menatap kesal pada Kevin. Jujur dalam benaknya tak sekali-pun Kalina berpikir untuk menikah, hidupnya Ia dedikasikan untuk tetap melayani panti tempatnya bernaung, dia ingin adik-adiknya bisa bersekolah dan hidup dengan layak. Tapi sekarang mantan pacarnya datang dan mengatakan ingin menikahinya, apa yang harus Kalina lakukan?
"Vin, aku pengen jelasin situasi aku sama kamu. Bisa di bilang aku adalah tulang punggung panti asuhan, aku yang bekerja untuk menghidupi mereka jika tak ada donatur yang mau memberi kami sumbangan. Lalu apa jadinya jika aku menikah dengan kamu, siapa yang akan bekerja, adik-adiku masih kecil dan yang lainnya belum bisa menghasilkan uang."
"Itu bukan urusanku, jadi aku tidak peduli."
"Kampret! Sialan lu Vin, gue gak nyangka ada orang macam elu di dunia ini, nyesel gue pernah suka sama Lo."
Perkataan Kalina sukses membuat Kevin tersulit emosi, dia menyandera Kalina dengan melingkarkan tangan di leher wanita itu dari belakang, "apa kamu bilang, menyesal? Kamu bilang kamu menyesal suka pada orang sepertiku, akan aku tunjukan orang seperti apa aku sebenarnya, agar rasa penyesalan-mu tidak sia-sia."
Dia mengikat tangan Kalina dengan dasinya, lantas memanggulnya seperti karung beras.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!