NovelToon NovelToon

PENEBUS DOSA SANG MAFIA

PROLOG

Bruk!

Aku terjatuh saat berlari keluar kampus untuk menemui sahabatku yang sudah menunggu di gerbang kampus.

Sambil meringis aku bangkit berdiri setelah menabrak seseorang yang bertubuh tinggi tegap. Postur tubuhnya tidak berbeda dengan Arthur, kakakku. Aku menengadah dan hanya cahaya matahari siang yang menyilaukan mataku.

"Kau Vivian?" Suara seorang pria yang terdengar sangat berat milik sosok yang baru saja aku tabrak.

Aku mundur selangkah untuk melihat pria yang bertanya padaku. Seorang pria berkulit pucat dengan bola mata hazel dan berambut cokelat terang menatapku. Melihatnya aku sedikit takut karena tatapan dinginnya.

"Apa kau Vivian?" Pria itu mengulangi pertanyaannya dengan melirik padaku.

Aku tak berani menjawab pertanyaannya karena aku yakin dia merupakan salah satu musuh kakakku.

"VIVIAN AYO!!" Tiba-tiba sahabatku Sesya memanggilku dari luar pintu gerbang kampus.

Aku mematung karena jelas-jelas pria di hadapanku saat ini menatap dingin padaku dengan sebuah senyum menakutkan. Aku hendak berjalan mundur namun tangannya lebih dulu menggapai tubuhku.

Sekuat tenaga aku meronta untuk lepas dalam cengkramannya. Namun dengan mudahnya pria bertubuh kekar itu mengangkat tubuhku dan berjalan keluar kampus. Aku bisa melihat beberapa orang di sekitar kami memperhatikan apa yang dilakukan pria itu padaku. Begitu pun dengan Sesya yang tampak terkejut melihat aku yang meronta di gendongan pundak pria itu.

Aku terus meronta dengan memukul-mukul punggung pria bertubuh kekar dengan sekuat tenaga namun usahaku sia-sia. Dia memasukan aku ke dalam sebuah mobil dengan dua orang pria berjas hitam sudah ada di kursi depan dan langsung menjalankan mobilnya.

Dengan putus asa aku terus memukul kaca jendela pintu mobil yang terkunci. Hingga si pria penculikku menarikku untuk menghadap padanya yang duduk di sampingku.

"Dengarkan aku, aku akan menikahimu dalam waktu dekat."

Perkataan pria itu membuat aku terkejut hingga membeku. Menikah katanya? Aku saja tidak kenal siapa dirinya. Dia benar-benar seorang penculik psikopat.

"Kita akan menikah tidak peduli kau mau atau tidak mau." Ujar Pria itu.

Aku mulai mengatur emosiku dan berani menatap pria itu. Apa yang dikatakannya barusan untukku hanya terdengar seperti lelucon anak kecil. Aku bahkan sampai tertawa hingga membuat pria itu menatapku heran.

"Menikah? Kau sedang membuat lelucon apa?" Tatapku mengejek. "Sepertinya kau tidak tahu siapa aku. Maksudku lebih tepatnya sepertinya kau tidak tahu siapa keluargaku."

Pria itu menghela napasnya dengan kasar, lalu memancarkan tatapan dingin yang lebih dingin dari sebelumnya seolah-olah berusaha membuat aku membeku.

"Tidak ada yang tidak mengenalmu, sayang." Ujar Pria itu dengan menyeringai. "Sayangnya kau yang tidak mengenal aku."

Aku tidak mau kalah aku mencoba menatap dingin pria yang sebenarnya berwajah tampan itu. Namun reputasi sebagai adik dari seorang pria berdarah dingin yang terkenal sulit ditaklukkan oleh pria manapun membuat aku lebih percaya diri.

"Pasti kau hanya segelintir dari musuh kakakku 'kan?" Tatapku dengan tatapan meremehkan. "Kau terobsesi padaku hingga bermimpi menikahiku?"

Pria itu tertawa mendengar perkataanku. Mendengarnya sedikit membuat aku takut karena sepertinya gertakanku tidak mempan untuknya.

"Turunkan aku, aku tidak akan melaporkan perbuatanmu dan obsesi gilamu itu pada kakakku." Seruku dengan penuh keyakinan dan keberanian.

"Hentikan mobilnya!!" Seru pria itu.

Supir yang adalah anak buahnya menghentikan mobilnya di pinggir jalan dan membuka kunci mobil. Dengan segera aku keluar dari mobil tersebut, sebelum aku menutup pintu mobil, pria itu menahannya.

"Bilang pada kakakmu, Vernon Arkyn Skjoldbjærg mencarinya." Ujar pria itu setelahnya menutup pintu mobil dan pergi.

Aku berteriak kesal dengan apa yang terjadi. Ini sangat membuat aku kesal hingga rasanya aku ingin menghabisi pria tadi.

"Berani sekali dia menyebutkan namanya sendiri padaku. Aku akan meminta kakakku untuk membunuhnya secepat mungkin." Geramku sangat kesal.

Aku masuk ke rumahku dengan langkah seribu dan menuju ruangan di mana biasanya kakak laki-lakiku berada. Aku membuka kasar pintunya namun kemarahanku menghilang saat melihat sosok pria yang selalu membuat rasa teduh untukku.

Alec Gustavson, pria dengan wajah seperti malaikat menatap kehadiranku dengan senyuman bak seorang dewa Yunani, selalu memberikan rasa tenang di hatiku ketika melihatnya. Dia adalah pengacara muda berusia 27 tahun. Keluarganya adalah keluarga pengacara yang bekerja sama dengan keluargaku.

Alec adalah cinta pertama dan terakhirku, setidaknya aku beranggapan seperti itu karena aku selalu memendam perasaan cintaku padanya. Tapi aku yakin karena keluarga kami bersahabat suatu saat mereka pasti akan menikahkan kami.

"Ini masih siang kenapa kau sudah pulang, Viv?" Tatap Alec yang berdiri di samping kakakku Arthur Dellinger La Nostra.

Mereka berdua adalah sahabat sejak kecil walau usia kakakku lebih tua dua tahun darinya.

"Kenapa kau masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu?" Ujar Arthur yang duduk di kursi meja kerjanya, menatap kehadiranku dengan wajah kesal.

"Art, kau harus membunuh seorang pria sialan yang baru saja menculikku!!" Seruku tanpa basa-basi. "Berani sekali dia melakukan itu padaku." Gumamku sangat kesal ketika mengingat pria tadi.

"Tenanglah, Viv. Kau terlihat sangat kesal." Ucap Alec diiringi senyum menawannya. "Siapa yang berani menculikmu?"

Aku mencoba mengingat namanya namun entah kenapa aku menjadi lupa.

"Siapa nama si brengsek itu ya tadi?" Aku terus mencoba berpikir. "Ver, Vern—"

Kata-kataku terhenti ketika pintu ruangan ini terbuka kembali. Aku terbelalak saat menoleh ke pintu dan melihat kehadiran pria yang namanya sulit aku ingat.

"Vernon Arkyn Skjoldbjærg." Seru pria yang menculikku muncul di balik pintu dengan salah satu anak buahnya.

Arthur langsung beranjak berdiri dari duduknya ketika melihat kehadiran pria bernama Vernon. Sedangkan aku melangkah mundur mendekati Alec yang berjalan maju.

"Vern?" Tatap Alec dengan wajah terkejut. "Kapan kau kembali kesini? Dan ada perlu apa?"

Alec terlihat tenang dengan kehadiran pria arogan yang menculikku tadi, sedangkan kakakku dilihat dari ekspresinya melihatkan rasa marahnya saat ini.

"Alec, sudah lama tidak bertemu denganmu. Kemarin aku baru pulang ke negara ini lagi." Jawab Vernon dengan senyum. "Maaf Art, aku menerobos masuk rumahmu, tapi tidak seperti biasanya rumahmu tidak dijaga ketat."

"Art, dia pria yang menculikku tadi!!" Seruku pada kakakku yang ada di sampingku.

Arthur dan Alec menoleh padaku sedangkan pria bernama Vernon menyunggingkan senyumnya.

"Aku ingin mengundang kalian berdua ke acara pernikahanku." Ucap Vernon lalu salah seorang pria berjas yang merupakan anak buahnya berjalan ke arah kami dan memberikan undangan pada Arthur dan Alec. "Kalian berdua pasti akan datang kan? Acaranya sabtu ini, semua sudah direncanakan dengan sangat baik."

Ada perubahan pada raut wajah Arthur dan Alec setelah melihat isi undangan yang diberikan pada mereka.

"Berani sekali kau, Vern!!" Geram Arthur langsung berlari mencengkram Vernon dengan kasar.

"Hentikan, Art!!" Seru Alec menengahi mereka. "Apa maksudmu dengan ini semua, Vern?"

"Aku ingin menagih penebusan dosamu, Art." Jawab Vernon dengan nada dingin. "Kau melakukan dosa sepuluh tahun lalu dan kau harus menebusnya dengan sesuatu yang sangat berharga juga bagimu."

"Dia tidak ada hubungannya dengan semua ini!!" Geram Arthur dengan sangat marah.

"Ini semua mengenai sesuatu yang berharga yang kau renggut dariku, aku juga akan merenggut hal yang berharga bagimu." Jawab Vernon.

Aku mengambil undangan yang ada di atas meja dan membukanya. Jantungku terhenyak ketika ada namaku tertulis di sana Vivian Zeta La Nostra, sebagai mempelai wanita.

"Kau harus menyerahkan adikmu padaku untuk menebus dosamu, Art!!" Ucap Vernon menyeringai menatapku.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

SEPERTI DI NERAKA

Dubrak!

Aku membanting pintu kamarku dengan sangat keras hingga rasanya rumahku bergetar. Kekesalan pada kakakku sangat aku rasakan saat ini.

Setelah pria bernama Vernon pergi dengan meninggalkan sebuah mimpi buruk padaku, Arthur diam saja saat aku bertanya apa maksud dari semua ini. Dia tidak menampik ataupun mencegah pria itu yang ingin menikahiku.

Pria itu sudah merencanakan pernikahan kami tanpa aku atau keluargaku tahu sebelumnya. Hari sabtu katanya? Itu tiga hari lagi, dan hari itu juga hari ulang tahunku ke 24 tahun. Aku tidak bisa menerima ini.

"Apa maksudnya menebus dosa? Kenapa aku yang harus menebus dosa si bodoh Art?" Kesalku.

Aku berjalan keluar kamarku untuk memprotes habis-habisan mengenai pernikahan tersebut. Aku tidak akan pernah mau menerimanya apapun alasannya.

Ketika aku hendak ke ruangan kerja Arthur lagi, langkahku terhenti saat melewati lorong di rumahku. Dari arah beranda yang tidak jauh dariku berdiri aku bisa mendengar suara Alec dan Arthur yang sedang berbicara saat ini. Aku segera berdiri di balik pintu beranda yang tertutup tirai untuk mencuri dengar.

"Dalam Perjanjian itu memang tertulis dia akan kembali dalam sepuluh tahun untuk menagih penebusan dosamu, Art." Ujar Alec. "Tapi tidak aku sangka dia akan meminta Viv sebagai penebusan dosamu."

"Apa yang harus aku lakukan, Alec?" Suara Arthur yang biasanya terdengar garang sekarang terdengar lirih. "Aku tidak akan menyerahkan adikku sendiri pada pria mengerikan seperti Vernon."

"Kalau begitu serahkan nyawamu padanya." Seru Alec. "Kau sudah mengambil nyawa wanita yang sangat dicintainya, dan kau juga membuat adik perempuannya cacat seumur hidup. Jika kau tidak memberikan apa yang Vernon mau, di perjanjian tersebut tertulis kau harus menyerahkan nyawamu."

Aku sangat terkejut mendengar perkataan Alec mengenai perjanjian antara Arthur dan Vernon. Alasan kenapa dibuat perjanjian tersebut semakin membuatku tidak mengira. Apa benar Arthur membunuh wanita yang dicintai pria bernama Vernon? Apa Arthur juga membuat adik perempuannya menjadi cacat seumur hidup?"

"Apa kau sengaja melakukannya, Art?" Aku muncul ke beranda dan berdiri di ambang pintu. "Kenapa harus aku yang bertanggungjawab untuk dosamu? Serahkan saja nyawamu padanya!!"

"Viv, dengar dulu, jangan bicara seperti itu." Ujar Alec.

"Ya, aku akan menyerahkan nyawaku saja padanya." Jawab Arthur menatapku. "Sampaikan maafku pada papa dan mama. Juga bilang pada Renata aku harus meninggalkannya. Aku akan menemui pria itu sekarang juga."

"Apa maksudmu, Art?" Tiba-tiba Renata tunangan kakakku berdiri di belakang aku. "Apa yang baru kau katakan? Minta maaf karena apa? Kenapa Kau ingin meninggalkan aku? Kau ingin menemui siapa? Apa yang akan terjadi?" Renata menghujani pertanyaan pada Arthur sambil mengguncang tubuh Arthur.

Arthur tak menjawab dan membisu, dia terus menatap padaku, setelah itu berjalan melewatiku dan pergi meninggalkan rumah. Tak mempedulikan tunangannya yang kebingungan.

Melihat kepergian kakakku untuk menyerahkan nyawanya pada pria bernama Vernon, aku berjalan kembali ke kamar. Renata mengejarku dan berusaha mendapatkan jawaban dariku yang enggan menjawab pertanyaannya.

Aku masuk ke kamarku kembali dan mengunci pintu kamarku walau Renata masih berusaha mendapatkan jawaban dariku dengan menggedor-gedor pintu kamar.

"Tenanglah, Ren." Ucap Alec.

"Apa yang akan dilakukan Art, Alec? Kenapa rasanya terdengar seperti dia ingin menjemput kematiannya?" Suara Renata terdengar gemetar di balik pintu.

Aku hanya duduk di sisi tempat tidur sambil memikirkan semuanya. Aku tidak akan menikah dengan pria itu, itu adalah hal yang aku inginkan. Tapi rasanya kenapa aku semakin gelisah? Aku memikirkan Arthur yang pergi ke rumah Vernon untuk menyerahkan nyawanya, itu berarti aku akan kehilangan kakakku selamanya. Entah kenapa aku tidak ingin itu terjadi.

Akhirnya aku beranjak dari tempatku dan berjalan ke arah pintu. Aku membuka pintu dan melihat Renata sedang menangis karena kebingungan dengan apa yang akan terjadi pada tunangannya. Sedangkan Alec langsung menatapku.

Sejenak aku berkutat pada pikiranku sebelum mengatakan sesuatu untuk mengambil langkah besar dalam hidupku. Napasku terasa berat saat ini.

"Alec, tolong antarkan aku ke rumah pria itu." Ucapku dengan keraguan serta rasa pasrah.

Sebuah rumah bergaya Eropa kuno yang luasnya tidak jauh berbeda dengan rumahku terdapat sebuah air mancur berada di tengah-tengah halaman depan bangunan tersebut. Aku dan Alec bergegas turun dari mobil. Beberapa orang berjas awalnya terlihat ingin menghadang langkahku namun saat melihat Alec berada di belakangku, mereka langsung memberikan kami jalan. Bahkan salah satu dari penjaga mengantar kami ke sebuah ruangan.

Ketika pintu ruangan dibuka, Vernon sedang mengacungkan sebuah pistol ke arah Arthur yang berdiri di hadapannya. Secepatnya aku berlari dan berdiri membelakangi kakakku tersayang, Arthur.

"Aku akan setuju—aku akan menikah denganmu." Ucapku.

Vernon menarik pistolnya dengan sebuah senyum kemenangan. Aku bisa melihat seberapa puasnya dia saat ini. Jika mengingat kesombonganku saat di mobil tadi, itu membuatku menjadi malu saat ini. Namun aku sudah ambil keputusan walau dengan terpaksa.

"Katakan sekali lagi!" Seru Vernon dengan senyum mengejeknya.

"Aku setuju menikah denganmu." Mengatakannya sekali lagi membuat rasa sedih yang aku tekan menjadi menyeruak keluar. Pelupuk mataku hingga tergenang dengan air mata.

Aku menoleh pada Alec yang berdiri tidak jauh dariku yang juga menatapku. Selamat tinggal cinta pertama dan terakhirku.

Tiba-tiba Vernon menarikku dan tanpa aku duga, pria itu menciumku. Aku mendorongnya sangat keras agar melepas ciumannya yang memaksa, lalu dengan segenap tenagaku meninju wajahnya.

Namun pria itu tertawa sambil mengusap sudut bibirnya.

"Sialan kau, Vern!!" Seru Arthur mencoba mendekati Vernon namun Alec menahannya. "Jangan sentuh adikku!!"

"Ada apa Art?" Tatap tajam Vernon. "Kami akan menikah. Kau tidak mungkin melarangku menyentuhnya. Pergilah, tinggalkan adikmu di sini atau aku ambil nyawamu."

"Ayo Art!!" Ujar Alec.

Mendengar Alec berkata seperti itu membuat aku bersedih. Alec bersikap seolah-olah tidak peduli dengan nasibku. Dia mengajak kakakku pergi dari sini meninggalkan aku bersama pria ini?

"Art—" Aku mencoba memanggil Arthur agar dia tidak berencana pergi meninggalkan aku.

Arthur hanya menatapku dengan tatapan penyesalan lalu setelah itu berbalik dan berjalan bersama Alec, pergi meninggalkan aku. Aku melangkah berniat mengikutinya namun Vernon lebih dulu mencengkram lenganku.

"Mau kemana kau, sayang?" Ujar Vernon dengan menyeringai.

Aku berusaha melepaskan cengkramannya namun tiba-tiba dia mengangkatku ke pundaknya seperti tadi saat pertama kali kami bertemu. Dia berjalan ke sebuah ruangan yang aku yakin adalah kamarnya. Dia melepaskan aku di tempat tidurnya dengan sebuah senyum yang terlihat menakutkan untukku.

"Kau tahu sayang, sebaiknya kita berkenalan terlebih dahulu sebelum menikah." Ujar Vernon.

"Sialan kau!! Lepaskan aku!!" Aku berada di atas tempat tidurnya dengan menatap dengan kebencian padanya. "Aku setuju menikah bukan berarti kau bisa melakukan segalanya padaku!!"

Vernon tertawa mendengar ocehanku. Itu membuatku menjadi sangat kesal. Rasa kesal bercampur putus asa, membuatku bingung harus berbuat apa lagi.

"Apa kau tahu apa yang sudah kakakmu perbuat pada hidupku?" Tanya Vernon dengan sebuah tawa menatapku.

Tawa itu tidak menggambarkan sebuah rasa senang pada dirinya namun sesuatu tersirat dari tatapannya padaku, sebuah kesedihan. Aku tahu dia kehilangan wanita yang dicintainya dulu karena perbuatan kakakku. Rasa sedihnya dapat aku lihat saat ini.

Tiba-tiba Vernon mendekatiku dan memegang wajahku dengan tangan kanannya, menekan kedua pipiku. Tatapannya tajam, dan penuh kebencian. Ya, bagaimana tidak, dia pasti membenciku sama seperti dia membenci Arthur.

"Aku akan membuat hidupmu seperti di neraka!!" Ancam Vernon dengan tatapan sangat tajam padaku.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

MALAM PERTAMA

Hari yang seharusnya menjadi hari bahagia untukku berubah menjadi hari berakhirnya kebahagiaanku. Aku genap berusia 24 tahun di hari ini namun di hari ini juga rasa putus asa pada diriku tergenapi karena harus menikah dengan pria arogan yang baru aku temui, bahkan aku belum mengenalnya sedikitpun.

Semua tamu undangan dari kalangan atas hadir karena bagaimana pun juga di negara ini, La Nostra adalah kelompok mafia kelas atas di kota Sisilia yang sangat dihormati bahkan oleh pemerintah Italia sekalipun. Di tambah paman Vernon adalah pimpinan dari mafia kota Napoli Camorra, yang juga merupakan mafia kelas atas di negara ini.

Banyak yang mengatakan kalau pernikahan kami adalah persatuan kedua jaringan mafia kelas atas di Italia. Selain itu banyak tamu yang berasal dari Norwegia, negara asal Vernon. Ibunya menikah dengan orang terkaya di Norwegia yang merupakan ayah Vernon sehingga tidak mungkin sedikit tamu yang hadir.

Sedangkan kedua orang tuaku, mereka tidak hadir karena sedang berada di Amerika. Aku tidak heran kenapa mereka tidak hadir, karena sepertinya mereka juga tidak menginginkan pernikahanku ini.

Arthur yang mengantarku ke altar dan menyerahkan aku pada Vernon. Ya, pada kenyataannya memang seperti itu, kakakku yang terkenal bengis pada siapapun yang menyerahkan aku untuk menjadi mainan musuhnya. Pada kenyataannya Arthur tidak bisa berbuat apapun karena terikat perjanjian di masa lampau pada Vernon. Aku sangat membenci kakakku itu sekarang.

Alec menatapku dengan sebuah tatapan yang tidak bisa aku mengerti maksudnya. Oh, cinta pertama dan terakhirku, kita tidak akan pernah bersama. Betapa sedihnya aku hari ini, aku berharap kau pun sama sedihnya ketika melihatku harus menikah dengan pria lain, Alec.

Vernon menciumku untuk mengakhiri prosesi pernikahan kami, itu artinya kami sudah menjadi sepasang suami istri. Dengan ini resmi sudah aku menjadi mainannya. Air mataku mengalir dengan sendirinya ketika Vernon menciumku, aku membiarkannya melakukan itu, bukan karena aku ingin melainkan sudah tak ada hal lain yang bisa aku lakukan lagi.

"Selamat ya, Viv. Tidak aku sangka kau menikah dengan sangat cepat bahkan sebelum kau lulus kuliah." Suara ceria sahabatku Sesya terdengar seperti lagu kusut di telingaku. Dia menghampiriku ketika acara pesta dimulai dan Vernon meninggalkan aku sendirian. "Selamat ulang tahun juga."

"Apa aku terlihat bahagia sekarang?" Tatapku pada Sesya.

"Ya, bahkan kau menangis saat suamimu menciummu." Jawab Sesya dengan senyum lebar andalannya.

"Sialan kau Ses!!" Geramku kesal.

"Viv..." Panggil Renata yang langsung datang memelukku. "Aku sangat menyayangimu, kau calon adik ipar terbaik di dunia. Aku sangat berterima kasih padamu."

Aku mengerti kenapa Renata mengatakan semua hal itu padaku. Aku memang menyayangi Renata seperti kakak kandungku sendiri karena dia dan Arthur sudah bertunangan selama tujuh tahun, dan selama ini kami dekat, tapi kali ini mendengar kata-katanya itu membuatku kesal dan ingin marah. Karena apa yang dikatakannya seperti dirinya tidak peduli jika aku menderita bersama pria seperti Vernon asalkan kakakku masih hidup.

"Sudahlah Ren, lepaskan aku." Seruku dingin.

Tiba-tiba aku melihat Alec sedang berbincang dengan adik Vernon. Adik Vernon yang duduk di kursi roda karena perbuatan Arthur sepuluh tahun lalu membuatnya lumpuh. Alec bersimpuh berbicara dengan gadis yang usianya sama denganku. Alec tersenyum pada gadis bernama Olivia. Melihat dia tersenyum pada gadis lain membuat aku merasakan kecemburuan.

"Ikut aku!!" Tiba-tiba Vernon menarik lenganku dan berjalan mengikutinya.

Aku berjalan dengan susah payah karena gaun pengantin yang aku kenakan, sedangkan langkah Vernon terlalu lebar. Dia membawaku keluar dari gedung pernikahan kami, dan itu membuatku menjadi bingung. Apa yang mau dilakukannya?

"Lepaskan tanganku!!" Seruku sambil menarik kasar lenganku dari cengkramannya ketika berada di halaman luar gedung.

Di depan kami sudah ada mobil yang siap jalan dengan pintu yang dibukakan oleh anak buahnya.

"Mau kemana? Pestanya belum selesai." Ujarku bingung.

"Pestanya tidak akan selesai jika kita masih berada di sana. Semua tamu akan segera pulang ketika tahu kita tidak ada." Jawab Vernon.

"Ta—tapi kita mau kemana?" Tanyaku dengan suara gemetar.

Vernon tersenyum dingin padaku. "Aku rasa kau pun tahu kita mau ke mana."

"Apa maksudmu?" Aku mencoba mengulur waktu dan berharap seseorang menarikku dari hadapan Vernon.

"Setelah kemarin aku melepaskanmu, tidak mungkin kali ini aku melepaskanmu lagi. Kita sudah menikah." Jawab Vernon menyeringai menggambarkan maksud tujuannya padaku.

Dengan cepat aku melangkah mundur dan berbalik mencoba untuk kabur. Namun Vernon malah tertawa sambil menggapai diriku dan mengangkatku lagi, memasukan aku ke dalam mobil.

Rasa takut, kesal, putus asa dan sedih bercampur aduk dalam diriku. Vernon tersenyum melihatku yang duduk di sebelahnya di dalam mobil.

Aku merasa hidupku di neraka akan segera dimulai, dan entah kapan akan berakhir. Mungkin hanya kematian yang akan mengakhirinya.

"Kenapa wajahmu terlihat kacau seperti itu?" Lirik Vernon dengan menyunggingkan bibirnya. "Aku suamimu, jangan menatapku seperti itu."

Tidak berapa lama kami sampai di rumahnya, dan berarti sekarang adalah rumahku juga. Aku enggan turun karena tahu kali ini Vernon tidak akan melepaskan aku.

"Turunlah." Ujar Vernon. "Kau turunlah!!

Aku masih tidak bergeming sedikitpun.

Dengan kesal Vernon keluar mobil dan berjalan ke arah pintu tempat aku duduk. Dia membukanya dan langsung menarikku keluar, lagi-lagi dia mengangkatku di pundaknya membuatku tidak bisa berbuat apapun walau aku terus meronta-ronta dan memukul punggungnya. Hingga hiasan di kepalaku terlepas, membuat rambut panjangku terurai.

Vernon menaiki tangga menuju kamarnya. Lalu melepaskan aku ke atas tempat tidur yang sudah di hias dengan sangat indah untuk kami, pengantin baru.

"Kau lihat? Dekorasinya sangat bagus kan?" Tatap Vernon menatapku yang berada di atas tempat tidur. "Pasti kau sangat menyukainya, sayang."

Aku diam saja di atas tempat tidur melihat pria yang adalah suamiku berdiri di hadapanku.

"Aku rasa kita harus melakukannya sekarang, karena ini adalah malam pertama kita." Senyum dingin terpancar dari wajah Vernon.

Pria itu mulai melepas satu persatu pakaian pengantinnya dengan kasar hingga tersisa celananya. Sebuah tato dengan huruf W berada di rusuk kanannya.

"Kau ingin melepas gaun itu sendiri atau aku yang melepasnya?" Tatap Vernon tidak sabar.

Aku menggeleng tipis lalu dengan cepat turun dari tempat tidur berniat berlari ke pintu untuk keluar. Namun seperti yang sudah aku duga, Vernon dengan mudah menangkapku dan mendorongku kembali ke atas tempat tidur.

Kali ini dia melompat ke atas tubuhku yang berbaring dan langsung mencium bibirku. Sekuat apapun aku berusaha lepas dari jeratannya, sia-sia. Tenaganya bukan tandinganku.

Vernon menatapku dengan menyeringai. "Dimana gadis yang aku dengar sulit ditaklukkan?"

"Lepaskan aku!!" Tatapku mencoba terlihat berani.

Bukannya mendengar perkataanku, Vernon malah merobek gaun pengantin yang aku kenakan dan mulai mencium bagian leherku. Aku berada dalam kungkungan tubuh kekarnya, dan aku sudah pasrah. Aku mulai menangis ketika dia melepaskan seluruh gaun pengantin yang aku pakai. Memperlihatkan pakaian dalam yang aku kenakan.

"Kau hanyalah penebus dosa kakakmu. Aku akan membuatmu merasakan api neraka, sayang." Bisiknya ke telingaku.

"Lepaskan aku." Pintaku.

"Tidak ada alasan untuk aku melepaskanmu." Jawab Vernon sambil melepaskan kaitan celana panjang yang dikenakannya. "Selamat ulang tahun istriku. Kau adalah milikku sekarang."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!