Pernikahan yang coba Andra pertahankan selama hampir dua tahun, tak jua membuahkan hasil. Nyatanya, Liana tetap menginginkan untuk mengakhiri pernikahan. Sejak mereka mengakhiri hubungan tiga tahun lalu, Liana selalu membenci Andra.
Entah apa yang terjadi di masa lalu, hingga Liana membencinya. Dua tahun ini, Andra terus berusaha membuat Liana kembali mencintainya. Namun, Liana bersikeras tak ingin mencoba.
"Aku sudah tak bisa bertahan lagi. Sebaiknya kita akhiri pernikahan ini. Kau yang menjebakku dalam pernikahan. Jadi, biar aku yang mengakhirinya." Liana berkata tanpa melihat Andra.
"Aku tidak akan pernah menceraikanmu. Sampai kapan pun, kau adalah milikku!" ucap Andra tegas.
"Kau selalu seperti ini. Egois, dan tidak pernah memikirkan perasaanku!" geram Liana.
"Tidak salah? Dua tahun ini, apa aku pernah melarangmu bertemu dengan dia? Dua tahun ini, apa pernah, sekali saja kau melihatku? Tiga tahun lalu, kau begitu saja mengakhiri hubungan kita. Tanpa sebuah penjelasan, kau pergi begitu saja!" desis Andra.
Liana membuang pandangannya ke arah lain. "Aku tidak peduli. Dengan atau tanpa persetujuanmu, aku akan tetap mengajukan perceraian."
Melihat Liana yang mulai berjalan keluar dari kamar, Andra semakin geram. Dengan langkah lebar, Andra mengunci pintu lebih dulu. Menarik kunci dan menyimpannya dalam saku.
"Apa yang kau lakukan?" pekik Liana. Kedua bola mata Liana melebar sempurna.
"Kau tetap bersikeras ingin bercerai?"
"Tentu saja."
"Maka aku tidak punya cara lain." Andra mulai berjalan mendekati Liana.
Wanita itu tak gentar sedikit pun. Seakan tengah menantang Andra. Seringai licik muncul di bibir pria yang berstatus suami Liana itu.
"Akan kubuat kau tidak bisa pergi dariku," bisik Andra.
Kata-kata itu terdengar menyeramkan di telinga Liana. Perlahan, kaki Liana mulai melangkah mundur.
"Jangan coba-coba dekati aku!" ancam Liana.
Andra terus melangkah. Jarak di antara mereka semakin terpangkas. Wajah Liana berubah pucat pasi.
"Kau takut?"
Liana tak menjawab. Matanya mencari benda, yang mungkin saja bisa ia gunakan untuk melindungi diri. Namun, kamar itu bersih. Tidak ada satu pun benda yang bisa ia gunakan.
"Menjauh dariku Andra!" pekik Liana.
"Tidak, Liana. Tidak akan pernah."
Andra memegang lengan Liana kuat. wanita itu memberontak. Namun, tenaganya kalah kuat dengan Andra.
"Tidak! Jangan lakukan itu! Kumohon, jangan, Andra!" pinta Liana.
"Terlambat, Sayang. Kau selalu saja ingin pergi dariku. Maka aku, akan menjadikanmu milikku seutuhnya. Cukup aku mengikuti keinginanmu selama dua tahun ini. Tidak menyentuhmu, bahkan tidur di kamar terpisah. Sekarang, akan kulakukan apa yang kuinginkan!"
Andra pun memaksa Liana menyerahkan haknya, yang ia tahan selama dua tahun pernikahan mereka. Liana terus memberontak. Sayang, ia tak bisa mengalahkan tenaga Andra. Liana terus meraung, untuk melepaskan diri.
Sampai akhirnya, Liana benar-benar kehilangan kesuciannya. Wanita itu, semakin membenci sang suami. Malam itu, Andra mencapai puncak kesabarannya. Cukup sudah, ia memberi waktu pada sang istri.
***
"Maaf, Sayang. Maaf. Aku harus melakukan semua ini. Kau selalu saja ingin pergi dariku. Jelaskan padaku apa salahku."
Air mata Andra jatuh menetes. Sejujurnya, ia tidak ingin Liana menyerahkan haknya dengan cara seperti ini. Bukan ini yang Andra inginkan. Namun, ia pun tak bisa melepas Liana begitu saja.
Andra meraih Liana dalam peluknya. Setelah Andra melakukan pelepasan tadi, Liana sudah jatuh tertidur. Bukan satu dua kali Andra melakukan hal tadi. Hampir lima kali ia menanamkan benihnya di rahim sang istri. Berharap, saat sang buah hati bertumbuh di sana, Liana tak lagi meminta perpisahan.
Pagi harinya, Liana terbangun dengan tubuh terasa remuk redam. Ia teringat dengan kejadian semalam. Wanita itu, kini hanya mampu menangis.
"Kenapa kau seperti ini, Andra? Kau yang dulu, tidak pernah memaksaku seperti ini. Apakah perpisahan kita terlalu menyakitkan bagimu?"
Tangis Liana semakin menjadi, kala bayangan masa lalunya dan Andra berputar. Bayangan tiga tahun lalu, di mana Andra begitu memujanya. Banyak orang yang iri, melihat hubungan mereka.
"Liana, aku jatuh cinta padamu. Mau kah kau menjadi kekasihku?" tanya Andra saat itu.
Dengan malu-malu, Liana menganggukkan kepala. Siapa yang tak menyukai Andra? Pria tampan dan mapan. Diusianya yang muda, Andra telah berhasil merintis usahanya sendiri. Ia adalah pengusaha muda yang diperhitungkan di negaranya. Banyak orang yang berlomba menjodohkan anak mereka dengannya.
Sayangnya, Andra menolak mereka semua. Ia, hanya mencintai Liana. Sejak saat itu, banyak yang membenci Liana. Mereka bahkan tak segan menyakiti wanita muda itu.
"Pergi! Kau tidak pantas menjadi kekasih Andra. Berkacalah, lihat siapa dirimu!"
Namun, Andra selalu membelanya. Sampai suatu ketika, Liana tak bisa tak berpisah dari Andra. Ia memilih berpisah dari pria yang dicintainya. Membuat Andra terpuruk dan hampir mati bunuh diri. Namun, takdir membuat mereka bersatu dalam pernikahan.
***
Hai, hai. novel ini, gak akan terlalu panjang per-partnya, ya. part selanjutnya, kita akan masuk flash back. bagaimana mereka berdua bisa bertemu, sampai akhirnya, part ini ada.. jangan lupa tinggalkan jejak kalian...
sambil menunggu up, baca ceritaku yang lainnya juga ya.. bye...
Kota Jakarta seperti tak pernah tertidur. Gemerlapnya malam, seakan menambah kemeriahan kota ini. Sudah lama rasanya aku tak menginjakkan kaki ke tempat ini. Tempat di mana banyak orang melepas penat.
"Woy, kemana aja, lo? Jarang kelihatan sekarang," sapa seorang temanku. Dia adalah Bianca, pemilik club' malam ini. Teman-temanku menjulukinya sebagai Mak comblang.
"Biasa, sibuk kerja!" jawabku acuh, seraya mendaratkan bokongku di kursi depan meja bar.
"Lain, kalo yang jadi manajer, mah. Masih sendirian?"
"Seperti yang lo lihat."
"Gue punya teman yang sendirian juga, noh. Ganteng, pengusaha muda, pokoknya, tipe lo bangetlah."
Aku hanya tertawa mendengar penuturan salah satu teman sekolahku dulu. Sesuai dengan julukan yang didapat. Tak pernah lelah menjadi Mak comblang. Selalu saja menjodohkanku dengan pria mapan. Sayangnya, tidak satupun dari mereka, yang bisa menarik perhatianku.
"Liana."
Panggilan itu mengalihkan perhatianku dari Bianca. Kulambaikan tangan pada Fia, sahabatku. Membuatnya menghampiri kami ke meja bar.
"Always. Di mana ada Liana, di situ ada Fia. Jangan bilang, kalian pasangan lesbi," tuduhnya tak beralasan.
"Sialan, Lo! Kita masih normal kali," sanggahku.
Bianca terbahak mendengar umpatanku. Dari belakangnya, datang seorang pria tampan. Aku sempat terpaku, melihat pria itu. Bahkan, saat mendengar suara bariton miliknya. Terdengar ... seksi.
"Bi, gue balik, ya."
"Lo, kok, buru-buru banget, Ndra?"
"Biasa, besok ada meeting penting. Lain kali, gue main lagi deh."
"Oh, iya. Kenalin, mereka teman-teman gue."
Pria itu mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya dengan santai.
"Liana," ucapku.
"Andra." Pria itu menyebutkan namanya. Kemudian, mengalihkan pada Fia dan berkenalan.
Pria bernama Andra itu pun, melanjutkan obrolan dengan Bianca. Kualihkan pandangan pada lantai dansa. Sepertinya, aku butuh berolahraga di sana.
"Lantai dansa?" tanyaku pada Fia.
Aku mengerutkan dahi, saat dia tak menanggapi ucapanku. Ternyata, sahabatku ini tengah menatap kagum pria yang berbicara dengan Bianca. Mungkin, dia jatuh hati pada pria itu. Kubiarkan ia menatap pria itu sepuasnya.
"Mau kemana, Li?"
Itu adalah suara Bianca. "Lantai dansa," jawabku dengan berteriak.
Kugoyangkan tubuh ini seirama dengan dentuman musik, begitu mencapai lantai dansa. Menikmati alunan lagu yang dimainkan. Namun, sesuatu terasa mengusik. Ada tangan yang sedang menyentuh pinggangku erat.
Mataku terbuka dan melihat seorang pria mesum setengah mabuk memegang pinggangku. Rupanya, pria ini sedang mencari masalah denganku. Tanpa rasa takut, kupelintir tangan pria itu. Membuatnya mengaduh kesakitan.
"Jaga tanganmu baik-baik, Bung!"
Aku berlalu meninggalkan pria itu di sana. "Argh," pekikku saat merasakan seseorang mendorong.
"Kau pikir kau wanita baik-baik? Hey, dengar! Tidak ada wanita baik-baik yang masuk ke dalam club' malam seperti ini!"
Sebelah alisku terangkat mendengar pernyataan pria itu. "Setidaknya, aku tidak berniat menjual diriku!" desisku.
Pria itu terbahak. Entah bagian mana dari ucapanku yang terdengar lucu, sampai-sampai membuatnya tertawa. Pria itu mulai mendekat ke arahku. Tepat saat tangannya akan meraih rambutku, seseorang menarik kerah bajunya dari belakang. Pria itu terlihat tidak terima, hingga terjadilah perkelahian di antara mereka. Aku memicingkan mata, melihat orang yang menolongku.
"An ... dra,"ucapku tidak yakin.
Salahkah penglihatan ku? Untuk apa dia menolongku? Apa dia punya maksud tertentu? Entahlah, pikiranku selalu buruk pada setiap laki-laki.
"Lo, gak apa-apa?" tanya Bianca dan Fia bersamaan.
Aku tak berniat menjawab pertanyaan mereka. Pikiranku masih mempertanyakan tujuan pria itu memberi pertolongan.
"Kamu ... gak apa-apa, 'kan?" tanyanya.
Pria bernama Andra itu sudah menghampiri kami. Aku mendengus kasar mendengar pertanyaan yang ia layangkan.
"Apa tujuan lo nolong gue?" tanyaku tanpa basa-basi.
Aku bisa melihat kerutan di dahinya. Mungkin, dia terkejut mendengar pertanyaan yang kuajukan. Dengan berani, kutatap kedua matanya dalam.
"Apa kau selalu mencurigai semua orang seperti ini?"
"Ya." Aku menjawab singkat.
Ia membuang pandangan dariku. Terserah, toh aku tidak ingin dia menganggapku lemah. Aku bisa melindungi diri sendiri.
"Aku hanya berniat membantu. Sedikit pun tidak terlintas dalam benakku untuk meminta imbalan. Dalam bentuk apa pun!"
Pria itu berbalik dan menatap Bianca. Mungkin, dia ingin berpamitan. Moodku terlanjur hancur karena kejadian tadi. Tanpa berpamitan, aku meninggalkan club'.
Pertemuan ini, adalah awal perkenalan kami. Namun, aku berharap, menjadi akhir pertemuan kami.
***
Hoho, maaf ya guys, kemarin gak spst up🙏
visual Liana dan Andra
Orang bilang, usaha tidak akan mengkhianati hasil. Inilah yang saat ini ku alami. Bekerja keras tak kenal lelah, membuat usaha yang kudirikan maju pesat. Dalam kurun waktu enam bulan, aku mampu membuat dunia bisnis, mengakui keberadaanku.
Kini, usaha yang kurintis mulai menunjukkan kestabilan. Meski masih memperoleh sedikit keuntungan, itu tak membuatku menyerah. Entah sudah berapa lama aku tak mengunjungi club' ini. Padatnya pekerjaan, membuatku tak bisa seenaknya melangkah keluar.
Selagi ada waktu, tidak ada salahnya menyempatkan diri ke club' milik salah satu teman kuliahku. Dia tidak berubah. Selalu menjadi Mak comblang bagi teman-temannya. Kuhampiri dirinya yang duduk di meja bartender bersama temanku yang lain. Mungkin, mereka kini bersama. Karena setahuku, Steven menyukai Bianca.
"Hai, Bro," sapaku pada Steven.
Pria blasteran itu menoleh dan menyambutku ramah. Begitupun Bianca.
"Hei, Ndra. Wah, udah jadi bos dia sekarang." Entah dia sedang memuji, atau mengejekku.
"Ah, bisa aja, lo."
"Udah jadi bos, harusnya udah punya gandengan dong, ya." Bianca sepertinya menyindirku.
"Gak juga. Buktinya, gue masih sendiri," ucapku jujur.
Mereka terbahak mendengar kejujuran ku. Biarlah. Toh, aku memang tidak punya waktu untuk mencari gandengan. Meski itu, hanya pura-pura.
"Bro, ke sana, yuk," ajakku pada Steven.
"Yuk, Yang."
Sepertinya, tebakanku tepat. Mereka, bukan hanya sekedar teman dekat lagi. Lihat saja cara Steven memanggilnya. Belum lagi perlakuannya yang terkesan bucin.
"Kalian aja, deh. Salah satu teman SMAku mau datang," tolaknya.
"Ya, udah. Kalo ada apa-apa, aku di sana, ya."
Oh, God! Selamatkan jiwaku yang jomblo ini, doaku dalam hati. Sungguh, melihat kebucinan serta kemesraan mereka, membuat perutku mual.
Segera kutarik pundak Steven menjauh dari sana. Sebelum aku muntah melihat kejadian yang lainnya. Kami duduk sedikit menjauh dari Bianca. Membicarakan hal remeh temeh, yang jauh dari kata bisnis.
"Bro, udah waktunya lo cari pacar. Apalagi, sih, yang lo cari?" tanya Steven.
Aku hanya mengendikkan bahu tak tahu. Perhatianku teralihkan, saat seseorang duduk di samping Bianca. Wanita itu terlihat cantik. Apalagi, saat ia tersenyum. Aku tersadar, saat Steven menepuk pundak ku.
"Kenapa, Bro?" tanyaku.
"Lo, ngeliatin siapa, sih?" Steven terlihat mengarahkan tatapannya pada objek yang ku lihat.
"Bukannya itu Liana? Tumben banget, dia ke sini," gumamnya.
"Lo kenal dia?" tanyaku.
"Kenal banget. Dia itu Liana. Cantik, sih, tapi sayang, juteknya gak ketulungan. Belum lagi, dia itu galak dan gak bisa kesentuh, sebelum dia yang mulai nyentuh."
Mataku terus menatapnya. Cara dia berpakaian, tidak seperti gadis lain. Dia justru menggunakan jeans dengan lubang di dengkul dan paha. bagian atasnya, menggunakan jaket jeans berwarna senada.
Tak lama, datang lagi seorang gadis lain. Kali ini, dia terlihat jauh lebih feminim dibanding gadis bernama Liana. Ponsel yang berbunyi, membuatku mengalihkan perhatian. Rupanya, mamaku tercinta yang menghubungi. Beliau, memintaku segera pulang.
"Bro, gue pamit, ya," ucapku pada steven.
"Buru-buru banget? Belum ada satu jam Lo di sini, udah mau balik aja," gerutu sahabatku.
"Biasa, ibu negara sudah bertitah," jawabku.
"Yah, kalo alasan lo itu, sih, gue gak bisa bilang apa-apa," ucapnya.
Aku terkekeh mendengar jawabannya. Kemudian, menghampiri Bianca untuk berpamitan. Tanpa disangka, Bianca memperkenalkan dua temannya, yang sudah kulihat bersama Steven tadi.
Liana terlihat tak peduli denganku. Gadis itu, bahkan berlalu dan menginjakkan kakinya di lantai dansa. Dari sini, aku bisa mengawasinya.
Entah apa yang terjadi, gadis itu memelintir tangan pria yang berdiri didekatnya tadi. Mungkinkah, pria itu melakukan tindak asusila padanya? Tak lama, pria itu mendorong Liana, hingga gadis itu terjungkal.
Mataku terbelalak lebar, kala pria itu menjambak Liana. Entah mengapa, darahku mendidih melihat hal itu. Dengan langkah pasti, kudekati tempat itu. Kemudian, menarik kerah bajunya kuat.
Tanpa basa-basi, kulayangkan bogem mentah pada pria itu. Menghajar pria itu hingga ia meminta ampun. Puas menyalurkan rasa marah, kuhempaskan tubuhnya menjauh.
Kualihkan perhatian pada Liana. Di sampingnya ada Bianca dan gadis bernama Fia. Aku pun menghampirinya sekedar ingin tahu keadaannya.
Sayang, ia menuduhku yang tidak-tidak. Aku sempat terperangah mendengar ucapannya. Merasa tak percaya, bila gadis di hadapanku ini berpikiran sepicik itu.
Aku pun memilih berpamitan pada Bianca. Sudah tak berniat meladeninya lagi. Tak lama, gadis itu pergi begitu saja. Tidak ada ucapan terima kasih sedikit pun.
Sabar, Ndra. Dia itu cewek. Cewek itu, maha benar, ucapku pada diri sendiri. Namun entah kenapa, aku seakan mencemaskan dirinya. Suara Steven yang memanggil, mengalihkan perhatianku dari gadis itu.
"Lo, gak apa, 'kan?" tanyanya.
Tidak hanya dia yang mendatangiku. Ada Bianca dan gadis lain, yang tak kuingat siapa dia. Entahlah. Fokusku hanya pada Liana saja tadi.
"Gak apa, kok. Gue baik-baik, aja," jawabku.
Namun, senyum di wajah Steven membuatku mengerutkan dahi. "Lo, kenapa senyam-senyum begitu? Kesurupan?" tuduhku.
"Lo suka, ya, sama Liana?" bisiknya.
"Gak!" jawabku cepat.
"Sayangnya, gue terlalu mengwnal Lo, Bro! Lo gak akan sepeduli itu sama cewek, kecuali Lo tertarik sama dia!"
"Sok tahu!" Aku memukul pundaknya keras.
Seenaknya saja, dia menuduh. Malas mendengar ocehannya, membuatku berlalu dari sana. Sayangnya, benakku justru mempertanyakan apa yang Steven tanyakan tadi.
Benarkah aku menyukainya? Love at the first sight? Ah, itu tidak mungkin. Tidak mungkin! Gadis sedingin es seperti Liana, tidak mungkin bisa menarik perhatianku. Ya, itu benar.
***
Hayo, menurut kalian, apa babang Andra jatuh cinta pada pandangan pertama, sama Liana?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!