NovelToon NovelToon

Sandiwara

Ep. 1 - Tawaran untuk menikah

“EDEL!”

Edelweis Nequila Putri Badja, wanita muda yang tengah berkutat dengan kuku-kuku cantiknya yang baru melakukan perawatan beberapa saat yang lalu seketika melonjak kaget mendengar suara yang menggelegar itu. Sontak saja, dia yang tengah berbaring di ranjang nya langsung beranjak seketika, memilih bawah ranjang untuk tempatnya bersembunyi kini.

Ceklek...

Suara pintu yang terbuka membuat Edelweis yang tengah bersembunyi langsung memejamkan mata, menutup mulutnya agar tak mengeluarkan suara. Jangan sampai dia ketahuan.

“Edel, dimana kamu?”

“Edel!”

Edelweis terus merapal kan doa dalam hatinya, berharap semoga pria itu tak menemukan dirinya. Jangan sampai mereka dipertemuan, akan menjadi bencana jadinya. Dan, Edelweis tak mau harus menjadi samsak hidup untuk menghadapi kemarahan pria itu, meskipun dia tahu jika dirinya lah sebab pria itu marah.

“Edel, dimana kamu? Keluar sekarang juga!”

Edelweis menggeleng, dia tak mau berhadapan dengan pria itu. Dia belum siap jika diminta memberikan alasan, dia belum sempat memikirkan alasan apa yang bisa diterima untuk kesalahan yang baru saja dibuatnya.

Bumi Jonathan Woko, seorang pria dewasa yang tampan juga mapan, berkharisma dan digandrungi banyak wanita. Putra dari seorang Angga Woko yang terkenal dikalangan pengusaha, terutama yang bergerak di bidang industry yang sama seperti mereka, yaitu industri hiburan.

“Edel...”

Jonathan, yang akrab dipanggil Jo itu mengalunkan lembut suaranya, memanggil perempuan yang sejak tadi dicarinya. Jonathan yakin jika Edelweis ada disini, dikamar perempuan itu. Mbak rumah sendiri lah yang memberitahunya. Tapi, saat dia datang, Jonathan justru tak menemukan keberadaan perempuan itu. Dimanakah Edelweis? Bersembunyi kah?

“Edel... Ayo, keluar! Aku gak akan marah kok sama apa yang baru aja kamu lakuin, asalkan kamu jelasin kenapa bisa kamu ngelakuin itu.” bohong Jonathan, dia berkata demikian agar Edel luluh saja.

“Edel... Sayang...”

Edelweis masih diam, dia tak mau termakan tipu Jonathan lagi. Sudah cukup selama ini dia tertipu, diiming-imingi jika Jonathan tak akan marah, sedangkan pada nyatanya pria itu marah besar padanya.

Jonathan berdecak pinggang, sepertinya Edelweis memang tak ada dikamar ini. Baru saja dia berniat pergi, matanya justru menemukan helai rambut yang muncul begitu saja dibawah ranjang. Senyum miring pun langsung tercetak di bibirnya. Ternyata, Edelweis bersembunyi dibawah ranjang.

Jonathan berdecak, “Kayaknya Edel emang gak ada deh disini. Mending gue keluar aja deh, cari cewek itu ditempat lain.” gumam Jonathan, dia hanya berucap saja upaya membuat Edelweis percaya.

Jonathan berjalan keluar dari kamar Edelweis.

Dan, saat melihat Jonathan yang memang benar keluar, Edelweis langsung berucap syukur seketika. Perlahan dia coba untuk keluar dari bawah ranjang, dengan berhati-hati agar tak terpentok dipan. Namun, alangkah terkejutnya Edelweis saat pintu kamarnya kembali terbuka secara tiba-tiba.

“Edel!”

Dan, kepalanya pun yang harus menjadi korban.

***

“Maksud lo apa bilang gitu sama Retha? Bosan hidup, lo?”

Edelweis berdecak kesal, dia menatap sebal Jonathan yang sejak tadi terus mengintimidasi nya, terus mencecar dirinya.

“Apaan sih, lo! Gak jelas!”

“Gak jelas dari hongkong! Udah jelas itu lo ngomong bohong sama Retha, buat dia jauhin gue sekarang. Masih mau ngelak?”

Edelweis mengerjap-ngerjapkan matanya, dia mendesis sambil menatap sinis Jonathan. “Apa sih? Gak jelas banget lo.” elak Edelweis, dia berniat melenggang pergi. Namun, Jonathan justru menarik tangannya, mendorongnya hingga dia terhimpit diantara tubuh pria itu juga tembok. Tak ayal, apa yang dilakukan Jonathan itu membuat bola mata Edelweis membelalak seketika.

“Jo, a-apaan sih lo!”

Jika boleh jujur, Edelweis gugup ditatap sedekat ini oleh Jonathan. Bahkan, Edelweis bisa merasakan deru napas pria itu.

“Gue udah bilang sama lo, jangan ganggu gue. Kenapa lo ngeyel? Kenapa lo batu?”

Edelweis menggeleng, “Gue gak ganggu lo kok. Gue—”

“Harus pakai cara apa supaya lo ngerti, kalau hadirnya lo tuh amat sangat menggangu kehidupan gue. Udah cukup dari kecil lo usik gue. Tolong, kasih gue napas buat sedikit bebas sekarang. Kita udah bukan anak kecil lagi, kita udah dewasa dan gue pengen bahagia. Dan, bahagia gue adalah bebas dari lo. Jadi, gue minta tolong nih. Jangan ganggu gue, jangan usik kehidupan gue apalagi sampai lo ganggu cewek gue.”

Edelweis terdiam seketika mendengar ucapan panjang lebar dari Jonathan. Ini kali pertamanya Jonathan berbicara sepanjang itu, biasanya pria itu hanya akan berucap sekedarnya saja dan kebanyakan menyentil hatinya.

“Ngerti?”

Jonathan menarik tubuhnya, masih menatap kesal pada Edelweis. Dia berniat pergi, namun ucapan Edelweis kembali menghentikan langkahnya.

“Gue cuma mau ngasih tahu lo, kalau Retha itu gak sebaik yang lo kira. Dia itu cewek munafik, Jo. Dia cuma jadiin lo buat bisa gabung di perusahaan, cuma buat ngedompleng karir dia di TV aja. Dia itu gak tulus sama lo, Jo. Dia itu cuma parasit!”

Jonathan memejamkan matanya, dia mendengus.

“Oh, ya?” Jonathan menaikkan sebelah alisnya, tersenyum sinis. “Terus apa bedanya sama lo? Bukannya selama ini lo juga parasit di hidup gue, di kehidupan keluarga gue? Gak sadar?”

Edelweis ternganga mendengar balasan Jonathan, “Parasit? Gue parasit? Sorry, Jo. Asal lo tahu aja, almarhum bokap nyokap gue punya adil juga di perusahaan, keluarga gue juga punya saham yang sama besarnya kayak keluarga lo punya. Dan, soal gue yang tinggal sama lo. Lo pikir, gue mau? Enggak tuh! Tanya tante Em, kenapa dia sampai paksa gue buat tinggal sama kalian.” kesal Edelweis, dia paling tak suka jika direndahkan. “Dan, satu hal lagi. Jangan samain gue sama cewek kampung lo itu! Dia gak selevel sama gue, level dia dibawah gue!”

Jonathan tersenyum sinis, dia sudah sering melihat keangkuhan Edelweis, ini bukan kali pertama nya lagi.

“Sayangnya, dia yang level nya dibawah lo, punya attitude. Gak kayak lo, yang katanya level atas tapi attitude...” Jonathan sedikit mencondongkan tubuhnya. “...Nol.” bisik Jonathan.

Edelweis mengepalkan tangannya, menahan amarah atas penghinaan Jonathan yang tak ada hentinya. Pria itu selalu mengganggap rendah dirinya.

Melihat marahnya Edelweis membuat Jonathan tersenyum lebar, dia senang melihat Edelweis yang terlihat marah seakan apa yang dia ucapkan benar adanya. Nyatanya memang benar, attitude Edelweis itu nol. Beruntung saja Edelweis punya wajah yang cantik juga nama keluarga di belakang namanya, sehingga dia bisa diterima di beberapa tempat dengan alasan dua hal itu.

“Sekali lagi gue ingetin sama lo. Jangan ganggu gue sama Retha atau lo bakalan tanggung sendiri akibatnya. Ngerti?”

Setelah mengucapkan itu, Jonathan langsung melenggang pergi meninggalkan Edelweis yang masih diliputi kemarahan juga kekesalan.

“Sialan lo, Jo! Lihat aja nanti, gue buat lo jatuh cinta sama gue, baru tahu rasa!”

***

“Papa banyak banget dengar kabar gak sedap, entah itu di media atau di kehidupan asli kita.”

Semua mata tertuju pada Angga Woko, yang baru saja membuka obrolan ditengah acara makan malam mereka ini. Emmeline Puteri Woko, melihat suaminya dengan kening mengerut.

“Kabar apa, Pa?” tanya Emmeline penasaran, apakah kabar yang didengar suaminya ini sama seperti kabar yang dia dengar juga.

Angga melipat tangan diatas meja, menatap bergantian Jonathan dan Edelweis yang duduk berhadapan. “Soal kalian.” jawab Angga yang membuat Edelweis bingung.

“Soal kita, om? Maksudnya?”

“Kabar buruk tentang kalian, udah menyebar luas. Sebenarnya Papa bisa aja untuk bungkam semua media, sayangnya gak semuanya setia. Ada beberapa pihak yang justru tetap menyebarkan dengan status anonim. Hal itu gak bisa dicegah, pasti ada aja.”

“Tapi, soal apa Pa?” tanya Jonathan, dia akhirnya buka suara sejak tadi hanya diam menikmati makanannya.

“Soal kalian yang tinggal bareng.”

“Hah? Maksudnya, om? Ada berita yang ngejelekin kita gitu cuma karena aku tinggal sama kalian, gitu?”

Angga mengangguk, “Iya.”

Edelweis berdecak, “Apaan banget sih tuh berita. Masa iya, cuma karena aku tinggal disini, mereka jadi ngejelekin aku. Padahal kan aku tinggal disini bukan baru, tapi udah sejak lama. Sejak aku SMP juga.”

“Kamu kayak gak tahu aja dunia entertainment.”

“Iya sih, tapi om—”

“Harusnya lo tuh sadar! Ini semua terjadi tuh karena lo! Keluarga gue di cap jelek, lo sebab nya!”

Disaat yang lain menyikapi permasalahan ini dengan tenang, lain halnya dengan Ghani yang justru langsung tersulut emosi, lebih tepatnya terus menerus menyalahkan Edelweis dalam segala hal.

“Gue? Kenapa jadi gue?” Edelweis tak terima jika dia disalahkan untuk kesalahan yang bahkan dia tak lakukan.

“Lo itu pura-pura gak tahu atau emang beneran gak punya malu?”

“Eh, Jo! Lo apaan sih! Apa-apa salahin gue, ini itu salah gue. Semuanya lo limpahin kesalahannya ke gue. Kayaknya, gue napas aja salah dimata lo!”

“Emang, iya. Sejak lo datang di keluarga gue, semuanya jadi kacau. Lo emang biang dari semua masalah yang ada asal lo tahu.”

Edelweis membulatkan matanya, “Jo—”

“Udah-udah, Edel, Jo! Jangan ribut!”

“Kalian ini udah dewasa, gak malu apa sama umur. Masa cuma karena masalah kecil, kalian ribut terus.” Emmeline yang tadi diam, kembali membuka suara saat Jonathan dan Edelweis terus bertengkar. Tak ada hari untuk mereka akur sebentar saja, pasti ada saja yang jadi permasalahan diantara mereka.

“Jo tuh tante yang nyebelin, terus-terusan salahin aku.”

“Lah, nyatanya begitu kan?”

Edelweis mendengus kesal, dia menghentakkan kakinya kesal kemudian beranjak dengan kasar dari duduknya, melenggang pergi tanpa memperdulikan Emmeline yang memanggilnya.

“Jo...” Jonathan memutar bola matanya jengah mendengar peringatan dari Mama nya.

“Dasar lebay!”

“Jo, Papa gak suka, ya kalau kamu kayak gitu sama Edel. Gak seharusnya kamu seperti itu sama dia.”

“Terus aja dibela,” kesal Jonathan, dia jengah dengan ini semua.

“Jo, kamu—”

“Aku udah selesai.”

Jonathan beranjak cepat saat Papanya kembali berucap, dia melenggang pergi begitu saja meninggalkan meja makan. Bahkan, dia tak memperdulikan teriakan Mama nya saat melihat dia sudah melenggang pergi keluar dari rumah.

Emmeline mendesah pelan, dia mengusap pelan keningnya, menatap suaminya dengan lelah. “Pa, Papa emang harus ambil keputusan. Secepatnya, rencana itu harus terlaksana. Mama gak bisa ngeliat ini semua.”

Angga yang mendengar permintaan istrinya, terdiam untuk beberapa saat. Hingga akhirnya, dia mengangguk. Memang, dia harus segera mengambil keputusan.

***

“Edel...”

Emmeline perlahan masuk ke kamar Edelweis, mencari keberadaan perempuan itu di kamarnya. Namun, dia tak menemukan Edelweis disini, hingga matanya melihat pintu balkon kamar yang terbuka. Dia yakin, Edelweis di sana.

“Edel,”

Emmeline menghampiri Edelweis yang tengah duduk meringkuk diatas sofa kecil yang ada di balkon kamar perempuan itu. Edelweis hanya diam, menatap sekilas Emmeline dan kembali menatap langit malam yang banyak ditaburi bintang.

Emmeline duduk di samping Edelweis, “Jangan sedih, ya. Maafin, Jo.” kalimat yang sama yang selalu dia ucapkan untuk kesalahan putranya.

“Jo, kenapa sih tante benci banget sama aku. Padahal aku gak pernah tuh usik dia, gak pernah jahil sama dia. Tapi, kayaknya semua yang aku lakuin, salah terus di mata dia.”

Emmeline sebenarnya bingung harus menjawab apa, pasalnya apa yang diucapkan Edelweis memang benar adanya. Dia sendiri bingung dengan putranya, ada apa sebenarnya sehingga selalu bersitegang dengan Edelweis. Padahal selama yang dia lihat, Edelweis tak membuat masalah dengan putranya itu.

Edelweis menghela napas kasar, dia menatap Emmeline yang terdiam. “Kayaknya aku emang harus pindah dari sini, tante.”

“Pindah?”

“Iya, pindah. Kayaknya emang benar, semua masalah yang datang ke keluarga ini, aku penyebabnya. Omongan Jonathan benar, tan.”

“No... Enggak, Del. Jangan ngomong gitu lah.”

“Tapi, tante—”

“Gini, aja. Kamu mau masalah nya selesai?” Edelweis mengangguk membuat Emmeline tersenyum lebar. “Kalau begitu, menikah dengan Jo. Semuanya masalah akan selesai. Gimana?”

“Apa?”

***

to be continued...

Ep. 2 - Let's married

“Apa? Menikah sama Edel?”

Tawa hambar pun langsung menggelegar kala telinganya mendengar permintaan yang baru saja dilontarkan Papa nya.

“Jo, Papa serius! Kamu lebih baik menikah sama Edel, supaya meredam semua berita-berita yang ada. Semuanya akan kembali baik, kalau ternyata status antara kamu juga Edel itu jelas, jadi gak akan ada lagi prasangka buruk tentang alasan kalian tinggal bersama. Dan, itu semua menguntungkan semuanya, Jo.”

Jonathan terdiam seketika, menatap datar Papa nya. “Pa, kenapa harus menikah coba? Ada banyak cara supaya kita bisa bungkam media, gak harus dengan menikah. Lagipula, aku gak mau, ya menikah sama Edel yang jelas-jelas Papa tahu sendiri kalau aku gak suka sama dia.”

Angga tahu jika putranya memang menaruh rasa tak suka pada Edelweis sejak dulu, entah apa sebabnya dia sendiri tak tahu. Yang jelas, hanya ada kebencian di mata Jonathan untuk Edelweis.

“Oke, kalau gitu dengan cara apa supaya berita-berita diluar sana berhenti bikin gosip buruk tentang kita, tentang keluarga kita? Coba kasih tahu Papa!”

“Gampang!” jawab Jonathan cepat. “Edel keluar dari rumah dan semuanya selesai, gak akan ada lagi berita-berita sampah tentang keluarga kita. Gampang kan?”

Angga berdecak, dia memejamkan matanya mendengar solusi yang diberikan putranya. “Itu bukan solusi, itu emang keinginan kamu. Solusi yang tepat adalah kamu menikahi Edel, buat kalian punya status hubungan serius.”

“No! Itu juga bukan solusi, tapi itu keinginan Papa.” tolak Jonathan, dia menggeleng heran. “Lagipula aku bingung, apa sih, Pa yang buat Papa sama Mama gak mau banget ngelepasin dia? Dia udah dewasa kali, dia bisa jaga diri dia sendiri!”

“Jo, tolong lah. Kamu tahu sendiri, Edel itu gak punya siapapun lagi selain kita. Almarhum orangtua nya adalah sahabat dekat Papa, dia menitipkan Edel sama keluarga kita. Jadi, gak mungkin Papa biarin Edel hidup seorang diri di luaran, gak mungkin.”

“Pa, tapi kan aku udah bilang kalau dia itu udah dewasa, udah bisa jaga dirinya sendiri. Dia—”

“No, Jo, no! Papa gak bisa biarkan Edel hidup sendiri. Dia itu gak sekuat yang kamu kira, Jo. Edel itu rapuh asal kamu tahu.”

Jonathan menarik tipis sudut bibirnya, tersenyum sinis. “Emang dia nya aja yang manja, lemah.” sinis Jonathan.

“Jo, Papa mohon sama kamu. Tolong nikahi Edel, buat dia jadi istri kamu.”

Jonathan beranjak dari duduknya dengan kasar, “No!” jawab Jonathan sambil berbalik melenggang pergi dari ruangan Papa nya.

***

“Mas Jo,”

Wajah masam penuh kemarahan yang awalnya ditunjukkan Jonathan, berubah seketika saat seseorang datang menghampirinya. Retha Franklin, seorang aktris yang baru meniti karir satu tahun terakhir ini. Perempuan itu juga merupakan perempuan yang berhasil memikat hatinya, bukan hanya sekedar wajahnya yang cantik, namun juga hatinya yang baik. Tutur katanya yang lembut, segala tindakannya yang selalu tenang juga penampilan sederhana yang tak pernah menonjol, sederhana namun terlihat istimewa dimata Jonathan.

“Hai, Tha.”

Retha tersenyum simpul, “Mas Jo, kenapa? Kok keliatannya sedikit murung gitu. Semuanya baik-baik aja kan, mas?” tanya Retha penuh perhatian.

Hal sederhana, hanya bertanya tentang kabar namun ternyata efeknya luar biasa Jonathan rasakan. Hatinya berbunga-bunga hanya karena pertanyaan seperti itu.

“Everything is okay, don't worry. Makasih ya, udah nanyain kabar aku.”

Retha mengangguk-angguk, “Syukurlah kalau ternyata semuanya baik-baik aja.”

Jonathan mengangguk, “Iya, baik-baik aja kok. Btw, kamu ada shooting hari ini?” tanya Jonathan, setahu dia hari ini tak ada jadwal Retha untuk shooting di perusahaan nya.

Retha tersenyum simpul, “Gak ada sih, mas.” Jonathan mengangguk dengan kening mengerut bingung. “Sebenarnya aku kesini mau ketemu mas Jo.”

“Ketemu aku?”

“Iya, mas.” Retha mengulurkan tangannya, menyerahkan lunch box ditangannya. “Ini buat mas Jo, kebetulan aku abis bikin content masak gitu mas. Pengen, mas Jo cobain juga masakan aku.” jelas Retha, kedua pipinya bersemu merah, malu.

Jonathan mengulum bibirnya, “Ya ampun, makasih banget, gak sangka ternyata kamu ingat sama aku.”

Retha hanya terkekeh saja.

“Yaudah, gimana kalau kita makan ini bareng?” tawar Jonathan, dia menaikkan kedua aslinya. “Jadi, maksudnya kamu bisa lihat reaksi sekaligus komentar dari aku secara langsung. Gimana?”

“Emangnya, aku gak ganggu waktu mas Jo?”

Jonathan dengan cepat menggeleng, untuk Retha waktunya selalu kosong, ada waktu fleksibel yang bisa di luangkan demi Retha, perempuan yang dia cinta. “Enggak kok. Gimana, mau? Atau, kamu ada urusan lain?”

“Oh, enggak kok. Aku gak ada jadwal apapun sih sampai sore ini. Jadi, boleh deh, mas.”

“Yaudah, ayo ke ruangan aku!”

Dan, disinilah mereka kini, di ruangan milik Jonathan, duduk berdampingan di sofa panjang yang ada di ruangan ini.

“Aku makan, ya!”

“Iya, mas.”

Jonathan langsung membelalakkan matanya merasakan nikmat dari makanan yang dibawa Retha untuknya, dia tersenyum sambil mengangguk-angguk menatap perempuan itu. “Enak banget masakan kamu, aku suka loh.”

“Ya ampun... Syukur deh kalau mas Jo suka, gak sangka juga aku.”

“Gak nyangka, selain kamu hebat kerja, tapi kamu juga hebat ya kalau urusan dapur.”

Retha kembali terkekeh, tersenyum simpul mendengar pujian Jonathan. “Ya ampun, mas. Gak usah berlebihan gitulah puji aku nya, biasa aja. Aku jadi malu.”

“Tapi aku emang beneran kagum sama kamu, Tha. Kamu pintar banget dalam segala hal, bahkan aku masih ingat banget pas SMA kamu juga banyak prestasinya. Kalau ada manusia sempurna, mungkin itu kamu. Pintar, cantik, dewasa, mandiri, bisa kerja, bahkan kamu bisa masak makanan selezat ini.”

Jonathan memang tak ada hentinya jika sudah memuji Retha, benar-benar luar biasa perempuan itu matanya. Just info saja, mereka dulu pernah sekolah di SMA yang sama, Retha itu adik kelasnya dan dari situlah muncul perasaan kagum Jonathan untuk Retha, apalagi dia tahu bagaimana dulunya perempuan itu sampai kini sudah sukses sekarang. Meskipun sampai sekarang, hubungannya dengan Retha belum ada status pastinya, tapi Jonathan sudah mengklaim Retha sebagai miliknya.

“Mas Jo... Udahlah, jangan memuji aku terus, aku malu.”

“Tapi, itu nyatanya Tha.”

“Sebenarnya, mungkin karena aku berasal dari panti, aku gak punya orangtua, gak ada sosok yang benar-benar mengajarkan aku gitu. Karena itu pula aku dipaksa harus dewasa dan mandiri sejak dulu, apalagi sekarang aku masih punya adik-adik panti yang masih butuh aku.”

Jonathan tersenyum lebar, dia semakin kagum sama Retha. Lihat, bahkan Retha tumbuh tanpa orangtuanya, namun perempuan itu bisa sedewasa ini. Lalu, kenapa Edelweis tidak? Edelweis bahkan ditinggal orangtuanya saat masih SMP, dimana disitu seharusnya Edelweis sudah bisa hidup mandiri. Tapi, nyatanya apa? Dari dulu sampai sekarang, Edelweis manja. Berbanding terbalik dengan Retha.

Tck, untuk apa juga Jonathan membandingkan mereka? Retha tak pantas jika harus dibandingkan dengan Edelweis yang manja itu. Heh.

“Eh, yaudah kamu ikut makan. Ayo, makan bareng!”

“Enggak, ah mas. Aku cuma pengen tahu reaksi mas Jo aja, siapa tahu juga ada masukan buat aku supaya aku bisa belajar lagi gitu.”

“Enak kok, ini enak banget malah. Ayo, makan!”

“Enggak, mas. Gak usah, mas Jo aja.”

“Retha, aku gak enak lah. Masa aku makan, kamu cuma diam ngeliatin. Gak papa, ayo makan bareng!”

“Yaudah, deh. Aku juga ikutan makan. Mas Jo ini, bisa banget ya kalau paksa orang.”

“Iya dong.”

Mereka pun menikmati makanan itu dengan tenang, dibarengi obrolan yang terus mengalir begitu saja. Bahkan, tanpa canggung Jonathan membersihkan sudut bibir Retha saat ada sisa makanan disana. Senyum, kehangatan sosok Jonathan muncul seketika saat bersama Retha. Berbanding terbalik dengan dia saat bersama Edelweis.

Hingga ketenangan diantara mereka pun pecah saat kedatangan seseorang yang benar-benar tak disangka.

“Jo!”

Baik Jonathan ataupun Retha langsung menoleh ke sumber suara, dimana ada Edelweis yang tiba-tiba datang, mendorong kasar pintu ruangannya dan langsung meneriakan nama Jonathan.

“Eh, maksud lo apa, ya ngelakuin itu?”

Edelweis berhadapan langsung dengan Jonathan, menarik kasar kerah kemeja pria itu, ditatapnya marah. “Maksud lo apa ngeblokir kartu kredit gue? Gue malu tadi, lagi belanja gak bisa bayar. Mau ditaruh dimana muka gue!”

Jontahy senang tahu jika Edelweis harus merasakan malu, namun dia tak mungkin langsung mengatakan itu dihadapan Retha. Bisa hancur citranya didepan perempuan itu.

Retha yang terkejut dengan kedatangan Edelweis pun langsung beranjak berdiri, semakin terkejut saat Edelweis menarik kerah kemeja Jonathan.

“Mba Edel, lepasin dulu dong. Jangan kayak gini, kasihan mas Jo.” ucap Retha, dia mencoba melepaskan tangan Edelweis dari kerah Jonathan.

“Diam lo! Gue gak punya urusan sama lo!”

“Mbak, tapi—”

Edelweis berdecak kesal, dia melayangkan telunjuknya pada Retha. “Gak usah sok cari muka! Gue gak mempan sama kepalsuan lo itu! Jadi, gak usah sok baik sama gue!”

Retha menggeleng, dia tak berpura-pura.

“Edel, lo apaan sih! Gak usah marah-marah sama Retha, dia gak salah apapun!”

“Diam, lo!”

Retha hendak kembali mengeluarkan suaranya, namun Edelweis lebih cepat menarik tangannya yang membuat Retha juga Jonathan melayangkan protes.

Edelweis membuka pintu ruangan Jonathan, menarik Retha keluar. “Gak usah banyak omong! Gue gak punya urusan sama lo!" setelahnya, Edelweis menutup pintu ruangan itu, tak lupa menguncinya dari dalam sehingga kini hanya tinggal dirinya juga Jonathan disini.

“Lo apaan sih, Del?”

Edelweis menahan Jonathan, dia mendorong pria itu sehingga membuat Jonathan jatuh terduduk diatas sofa.

“Lo yang apaan? Lo ngapain pakai acara blokir kartu gue? Maksud lo apa?” kesal Edelweis, dia masih teringat jelas bagaimana malunya dia saat sudah mengantri untuk membayar belanjaannya, namun justru semua kartu kreditnya terblokir. Dan, Edelweis tahu pelakunya pasti Jonathan.

Jonathan membenarkan duduknya, menatap Edelweis dengan kerutan di keningnya. “Ya, biar lo sadar untuk gak boros lagi. Lagian, lo tuh gak bosen atau capek apa setiap hari belanja terus? Dan, harus lo tahu, belanjaan lo tuh selalu over limit!”

“Harusnya, lo ngomong langsung sama gue! Gak usah main blokir-blokiran. Lo tahu, gimana malunya gue tadi?”

“Gue gak peduli,”

“Jo! Lo kenapa tega banget sih sama gue! Gue salah apa sama lo!?”

Edelweis tak bisa menahan nya, kali ini Jonathan keterlaluan. Dia sudah membuatnya malu, sehingga dia harus mendengar bisik-bisik orang merendahkan dirinya.

Jonathan beranjak berdiri, menatap Edelweis dengan wajah mendongak angkuh. “Banyak.” jawab Jonathan, dia melenggang melewati Edelweis.

Siapa sangka, Edelweis justru memeluk Jonathan dari belakang. “Jo, please... kasih tahu gue apa yang buat lo benci sama gue? Gue gak akan sadar ataupun memperbaiki diri, sedangkan gue gak tahu salah gue dimana. Kasih tahu gue, Jo. Apa alasannya?” Edelweis semakin mengeratkan pelukannya saat Jonathan sejak tadi berusaha melepaskan tangannya yang melingkar di perut pria itu.

“Lepasin gue!”

“Gak, sebelum lo kasih tahu gue alasannya apa.”

“Edel... Edelweis!”

“Jo, tell me...”

Jonathan menghela napas kasar, “Karena gue gak suka, lo ada di kehidupan gue.” jawab Jonathan yang membuat Edelweis merenggangkan pelukannya, membuat Jonathan dengan cepat melepaskan diri dari perencanaan itu. “Ngerti sekarang?”

Edelweis mengerjap-ngerjapkan matanya, raut wajahnya sulit diartikan. “Jadi, lo gak suka gue ada di kehidupan lo? Itu sebabnya lo selalu buat gue dalam masalah?” tanya Edelweis, dia mengangguk-angguk.

“Ya!”

Edelweis ber'oh'ria, dia tersenyum angkuh. “Oke, kalau begitu, let's married!”

***

to be continued...

Ep. 3 - Calon suami

Edelweis tak hentinya tertawa sejak kepulangannya dari kantor Jonathan. Masih teringat jelas di benaknya bagaimana ekspresi Jonathan saat dia mengatakan akan menikah dengan pria itu. Biar saja pria itu menolak, toh bukan masalah untuknya. Sejak awal pun saat Emmeline meminta dia menikah dengan Jonathan, saat itu juga dia menolaknya. Lagipula, mana ada orang yang mau menikah dengan orang yang tak dicintai. Semua orang pasti akan menolak, sama seperti apa yang dia lakukan.

“Biarin aja, biar dia hectic sendiri. Siapa suruh ngerusuhin hidup gue terus.”

Edelweis duduk di kursi meja riasnya, menatap pantulan dirinya dicermin dimana make-up masih menempel diwajahnya. “Sebenarnya kalau Jo baik sama gue, gue sih mau aja nikah beneran sama dia. Sayangnya, tuh cowok kayak iblis! Ogah banget kalau harus hidup sama dia, hancur hidup gue.”

Edelweis mengambil micellar water, mulai menghapus sedikit demi sedikit makeup wajahnya.

“Gue masih bingung sama Jo. Kenapa juga dia benci banget sama gue? Perasaan, gue gak pernah buat salah deh sama dia.” Edelweis memejamkan sebelah matanya, menghapus eye makeup nya.

“Masa cuma karena gue tinggal disini, dia bisa jadi benci gue. Padahal kan gue sama sekali gak pernah ngerepotin dia, ngerusuhin dia aja gak pernah.” Edelweis mencoba mengingat, apa dia suka merepotkan Jonathan atau tidak. Tapi, ternyata pemikirannya tak sepenuhnya benar, nyatanya dia ingat beberapa kali pernah merepotkan Jonathan. “Iya sih, pernah deh, tapi gak sering kok. Tapi, emangnya harus gitu dia benci sama gue? Iyuh banget!”

“Sakit emang si Jo itu! Padahal kalau dipikir-pikir, yang paling sering ngerepotin itu si Retha. Tuh cewek dari zaman sekolah sampai sekarang, gak pernah absen ngerepotin Jo. Tapi, kenapa Jo gak benci coba? Ngebelain terus... Tuh cewek. Ngeselin banget!” gerutu Edelweis, “Dasar, bucin akut. Sakit sih tepatnya. Iyuh!” Edelweis memutar jengah bola matanya.

Edelweis semakin kesal saat memorinya kembali memutar bagaimana bedanya perlakuan Jonathan padanya juga Retha. Benar-benar berbeda, berbanding 180 derajat perlakuan itu. Dan sayangnya, Edelweis yang harus mendapat perlakuan yang buruk itu.

“Bodoh amat ah! Bikin gila mikirin Jonathan itu! Bodo amat! Gue gak peduli! Yang jelas, gue bakalan bales perbuatan tuh cowok! Lihat aja nanti!”

***

Edelweis tersenyum lebar, memejamkan mata sambil menghirup udara malam yang segar ini. Dia membiarkan kulit tangannya juga rambutnya yang terurai terkena hembusan angin malam. Hingga saat matanya terbuka kembali, netranya menemukan Jonathan yang tengah duduk di gazebo dekat kolam renang. Selintas ide muncul di benaknya, membuat dia langsung melebarkan senyuman.

Edelweis masuk kembali ke kamarnya, mengambil cardigan dan langsung berjalan menghampiri Jonathan. Tak lupa, dia membawa secangkir kopi hitam yang dia racik penuh dengan cinta.

“Jo,”

Jonathan mendongak, mengalihkan kembali atensinya. Dia tak peduli dengan kedatangan Edelweis.

Sudut bibirnya bergetar, dia mencoba menahan kekesalannya untuk sesaat. Edelweis memilih duduk di bagian gazebo yang kosong, meletakkan cangkir kopi itu diatas mini table.

“Gue tahu, lo mungkin masih marah, kesal dan makin benci sama gue karena kejadian siang tadi.”

Jonathan tak acuh, mengabaikan Edelweis saja. Dia memilih fokus pada pekerjaannya, meskipun sejujurnya dia tak bisa sepenuhnya fokus kembali.

“Karena itu juga, gue datang kesini bawain kopi buat lo. Ya, hitung-hitung sebagai... You know lah, maksud gue apa.”

“Gak perlu,” jawab Jonathan datar. “Lagian, lo gak perlu lakuin itu karena gak akan merubah apapun. Gue, gak akan akan pernah mau married sama lo, asal lo tahu aja.”

Edelweis memicingkan matanya, namun dengan cepat merubah kembali ekspresi wajahnya. “Iya, iya, gue juga gak berharap banyak kok sama lo. Tapi, ini seriusan, gue emang tulus kok buatin kopi buat lo.”

“Gak peduli,”

“Yaudah deh, terserah lo. Ini, kopinya gue taruh disini, ya. Lo jangan lupa minum, mumpung masih panas.” Edelweis beranjak berdiri. “Gue balik kamar deh, takutnya lo gak suka keberadaan gue disini.”

“Syukurlah kalau sadar.”

Edelweis menahan emosinya, dia langsung berbalik berjalan pergi. Kekesalan dia layangkan saat dia sudah berada dibalik tubuh Jonathan, dia menatap sinis pria itu dan tersenyum sinis. “Rasain lo!” gumam Edelweis sebelum kembali melanjutkan langkahnya.

Edelweis cepat-cepat berjalan, bersembunyi dibalik pintu kaca yang tertutup gorden itu. Dia memastikan, apakah Jonathan akan meminum kopinya atau tidak.

“Si rese! Mau diminum juga kan kopi dari gue.” gerutu Edelweis saat melihat Jonathan yang mengambil cangkir kopi buatan nya itu setelah beberapa lama.

“Ayo, minum! Ayo!”

Edelweis menunggu dengan gemas, mengulum senyumnya saat bibir Jonathan menempel pada bibir cangkir.

“EDELWEIS!”

Teriakan itu sontak saja membuat Edelweis tersenyum lebar, bahkan tertawa. Cepat-cepat dia berlari pergi menuju kamarnya, bersembunyi dari kemarahan Jonathan atas apa yang dia lakukan.

“Rasain, lo! Enak kan kopi asin buatan gue!”

***

Edelweis berjalan menuruni anak tangga menuju ruang makan, senyum lebar langsung terpancar saat dia menemukan Emmeline dan Angga yang sudah duduk santai di kursinya, tengah menikmati sarapan mereka.

“Pagi, Om, tante.”

“Pagi, Del. Udah rapih banget, mau kemana?”

Edelweis mengambil slice roti, mengoleskan selai cokelat. “Mau ke kantor om,” jawab Edelweis santai.

“Ke kantor?” tanya Angga terkejut, dia menatap istrinya seketika. Mereka sama-sama terkejut mendengar ucapan Edelweis. Tak seperti biasanya.

Edelweis mengangguk, “Iya, kantor om. Kenapa, ada yang salah, ya?”

“Oh, enggak kok, enggak.” Angga tersenyum lebar, “Justru om senang dengar kamu mau ke kantor. Jadi, kamu juga bisa tahu gimana perkembangan perusahaan.”

“Iya, sayang. Tante juga sama senangnya dengar kalau kamu mau ke kantor. Yaudah, mending kamu sarapan yang benar, ya. Atau, kamu mau sarapan yang lain juga?” tanya Emmeline, dia sangat perhatian pada Edelweis.

“Gak usah tante, ini aja cukup kok.”

“Jo, kamu mau langsung berangkat?” tanya Emmeline saat Jonathan baru saja sampai dan justru langsung mengulurkan tangannya untuk berpamitan.

Jonathan hanya mengangguk saja, bergantian menyalami orangtuanya dan mengacuhkan Edelweis.

“Jo, gimana kopi semalam?” tanya Edelweis, dia mengulum senyumnya. Tak ada jawaban dari Jonathan, pria itu justru melenggang pergi meninggalkan Edelweis.

Edelweis mendengus melihat Jonathan yang langsung pergi begitu saja. Dia beranjak berdiri, “Yaudah, ah. Aku juga berangkat, ya mau ikut Jo aja sekalian.” ucap Edelweis, dia menyalami orangtua Jonathan dan sedikit berlari untuk menyusul langkah pria itu.

“Jo, tungguin!”

“Jonathan!”

Edelweis berlari cepat, masuk begitu saja ke mobil Jonathan dan duduk di samping pria itu yang ada dibalik kemudi.

“Lo ngapain sih?”

Edelweis tersenyum lebar, dia menunjukkan deretan giginya. “Ikut lo. Gue juga mau ke kantor.”

“Buat apa? Turun!”

Edelweis menggeleng, dia menarik seltbelt dan memasangnya. “Enggak, ah! Orang mau ikut ke kantor. Lagian, mau ngapain gue juga, ya urusan gue lah.”

“Terserah. Tapi, keluar dari mobil gue.”

“Enggak.”

“Edel...”

Jonathan berdecak kesal, dia melepas seltbelt dan langsung keluar dari mobilnya, memilih masuk ke mobilnya yang lain dan pergi meninggalkan Edelweis yang sudah meneriakkan namanya.

“Jonathan... Nyebelin banget sih tuh orang, ketimbang nebeng doang juga!” kesal Edelweis saat melihat mobil yang sudah dilakukan Jonathan pergi meninggalkannya.

***

Edelweis turun dari mobil dan langsung melenggang masuk ke gedung tinggi dimana gedung ini merupakan perusahaan sekaligus kantor milik keluarga Jonathan juga keluarganya. Kalau ditanya, seberapa sering dirinya datang kesini? Maka, jawabannya tak sering. Bisa dihitung beberapa kali saja dia datang kesini. Kalau tak ada kepentingan khusus, dia enggan datang. Dan sekarang dia datang karena dia ada kepentingan untuk merecoki kehidupan Jonathan.

Tak ada senyum ataupun keramahan, hanya keangkuhan yang terpancar sepanjang jalan kakinya melangkah. Sejak dulu pun dia terkenal akan keangkuhannya, pelit senyum dan terkesan sombong. Dia juga tak suka berteman, semakin menegaskan sifat sombongnya itu. Bisik-bisik mengenai sikap angkuhnya pun sudah banyak dia dengar, namun dia tak peduli dengan itu semua. Pada siapa dia akan tersenyum, itu urusannya.

“Pagi mbak Edel. Mau ketemu mas Jo, ya?”

Saat memasuki lift, Edelweis disapa oleh Adinda, adik kelasnya sewaktu SMP yang kini bekerja di perusahaan ini. Adinda memang terkenal ramah sejak dulu, tak segan menyapa terlebih dahulu jika bertemu orang yang dikenal. Tak terkecuali Edelweis. Sudah berkali-kali Edelweis disapa jika datang kesini.

Edelweis hanya berdehem saja.

“Kebetulan mbak, tadi aku lihat mas Jo pergi ke ruang rapat.”

Edelweis mengangguk, ber‘oh’ria saja.

Pintu lift terbuka, Edelweis bergegas keluar, disusul Adinda dibelakangnya yang kini sudah berjalan di sampingnya.

“Kalau mbak Edel butuh-butuh apa-apa, mbak tinggal minta aja sama aku. Nanti mbak tinggal panggil aku dan kasih tahu mbak butuh apa. Aku pasti langsung kasih apa yang mbak butuhin, ya, mbak. Lagi—”

Edelweis membelalakan matanya, dia memutar jengah bola matanya mendengar Adinda yang banyak bicara.

“Oke,”

Hanya jawaban singkat yang dia berikan sebelum masuk ke ruangan Jonathan dan meningggalkan Adinda yang hanya bisa terkejut saat pintu dihadapannya tertutup.

Adinda tersenyum lebar, dia menyusap-usap dadanya. “Sabar, sabar, namanya juga mbak Edel. Wajar.” ucap Adinda mencoba menyemangati dirinya sendiri. Karena sejujurnya, apa yang baru saja terjadi bukan yang pertama kali.

***

Jonathan menghela napas kasar, dia memutar jengah bola matanya saat masuk ke ruangan dan menemukan Edelweis yang tengah duduk santai di kursinya.

Jonathan masuk, “Lo ngapain sih disini?” tanya Jonathan, dia masih berdiri didepan pintu.

Edelweis mendongak, tersenyum lebar dan beranjak berdiri. Dia melangkah mendekat pada Jonathan, berdiri berhadapan dengan pria yang menatapnya datar. “Kan gue udah bilang, Jo. Mau ngapain disini, itu urusan gue, lo gak perlu tahu.” jawab Edelweis, telapak tangannya berasa di dada bidang Jonathan.

Jonathan menahan tangan Edelweis, menghempaskan nya.

“Kalau gitu, keluar dari ruangan gue sekarang!”

“Gak mau...”

Jonathan memutar bola matanya jengah, dia melewati begitu saja Edelweis kemudian duduk di kursinya. “Please lah, Del. Jangan ganggu gue terus. Gak puas apa lo ganggu gue di rumah, masa iya di kantor juga.” dengus Jonathan, dia tak suka Edelweis selalu ada mengekorinya.

Edelweis terkekeh, dia berjalan menghampiri Jonathan. “Ya, gue sih gak bermaksud ganggu lo. Lo nya aja yang merasa terganggu kali.”

“Karena itu, gue minta lo pergi. Gue terganggu sama kehadiran lo.”

“Sayangnya... Gue gak mau pergi. Gue mau disini, nemenin lo.”

“Gak, gak, gak, lo bakalan ngerecokin gue pasti nya.” Jonathan beranjak berdiri, menghampiri Edelweis dan menarik tangan perempuan itu. “Ayo, pergi dari sini!”

Edelweis menahannya, dia tak mau pergi. “Gak mau, Jo. Gue mau disini.”

“Del...”

“Please, Jo. Janji, gue gak akan ngerecokin lo kok. Biarin gue disini, ya...”

Edelweis berjongkok guna menyulitkan Jonathan, “Enggak mau...”

“Edel...”

“Mau disini, Jo...”

“Enggak! Pergi sekarang juga!”

“Gak mau!”

Dengan caranya, Edelweis menahan belakang kaki Jonathan membuat pria itu kehilangan keseimbangan yang berakibat pada Jonathan yang terjatuh menimpa Edelweis.

Edelweis langsung meringis seketika saat tangannya yang harus menjadi korban atas apa yang dia lakukan. Sepertinya, pergelangan tangannya terkilir.

“Jo, sakit...”

“Edel, lo tuh, ya!—”

Jonathan tak bisa berkata apapun lagi jika menghadapi segala hal bodoh yang dilakukan Edelweis.

Mereka masih setia pada posisi seperti ini, dimana Edelweis yang terbaring dengan Jonathan yang ada diatas tubuhnya. Mungkin, orang yang tak tahu menahu masalahnya akan berpikir yang tidak-tidak karena posisi mereka ini. Bisa dibilang, posisi mereka ini dalam bahaya sebenarnya.

Dan, sepertinya pikiran itu sampai ke otak Retha saat dirinya membuka pintu ruangan Jonathan namun justru menemukan pemandangan yang tak pernah terpikir di benaknya akan terjadi dan dilihat langsung oleh matanya.

Lain halnya dengan Jonathan juga Retha yang saling terkejut karena hal ini, justru Edelweis tersenyum lebar, merasa ini adalah saatnya.

“Ya ampun... Lo ganggu aja sih. Gue kan lagi romantis-romantisan sama calon suami gue!” ucap Edelweis, sengaja menekan tiga kata terakhir dari ucapannya yang sontak membuat semua yang mendengar nya terkejut.

“Apa, calon suami?”

***

to be continued...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!