"Boss Mafia?! Tidak, aku tidak mau!" teriak Sarah menolak ketika sang ayah mengatakan jika ia akan diberikan kepada boss mafia untuk menjadi istrinya.
Plaak!!
Telapak tangan kanan Erick mendarat dengan keras di pipi mulus Sarah, seketika gadis dengan paras cantik itu pun merasakan sensasi panas sekaligus perih pada bagian itu, "Dasar anak tidak tahu diri! Seharusnya kau berterimakasih kepada ayah dan ibu karena telah berbelas kasih membiarkan mu hidup sampai sekarang. Setidaknya dengan menikahi boss mafia itu kau bisa sedikit berguna untuk kami." pekik Erick merasa kesal terhadap adiknya yang tak tahu balas budi itu.
"Tenanglah, Erick. Mungkin adik kita ini hanya perlu mendapat sedikit 'pelajaran' lagi, kurasa dia rindu dengan 'pelajaran' dariku." lirikan mata Sven yang tajam membuat Sarah bergidik ngeri walau pria itu melengkungkan senyuman dibibirnya.
Erick menyeringai setuju dengan ucapan sang kakak, "Benar, kakak juga pasti perlu melemaskan otot tangan setelah sekian lama tak ber-olahraga."
Erick menjambak rambut Sarah dengan sangat keras, sehingga gadis itu mau tak mau mengikuti kemana langkah Erick membawanya, "Tidak, kak Erick! Tolong lepaskan aku!" ia terus meronta walau Erick sama sekali tak menghiraukan permintaan adiknya itu dan tetap menyeretnya ke ruangan bawah tanah.
Sven mengikuti mereka berdua dari belakang dengan muka datar seolah hatinya tak tergerak melihat adik perempuan satu-satunya itu kesakitan.
Sedang, kedua orangtuanya, nampak sangat tak peduli dengan kehebohan itu dan tetap menyantap makan malamnya dengan santai.
Ruang bawah tanah keluarga Smith adalah saksi bisu atas kekejaman Sven dan Erick terhadap Sarah. Ia selalu mendapat 'pelajaran' ketika membuat kesalahan, contohnya seperti saat ini, menentang perintah ayahnya.
Entah itu pantas disebut kesalahan atau tidak, disaat seseorang hanya menyampaikan ketidakmauan-nya akan sesuatu.
Sedari kecil, Sarah tidak memiliki hak akan apapun dirumah ini. Hanya segudang kewajiban saja yang ia harus jalankan setiap harinya.
Sarah Smith, gadis yang belum genap berusia 20 tahun itu terus menjalani hidup yang menderita sejak ia lahir kedunia ini. Dicap sebagai pembawa sial oleh keluarganya sendiri karena telah menyebabkan ibunya meninggal saat melahirkan dirinya.
Namun apakah pantas menyalahkan itu kepada gadis yang bahkan tak meminta untuk dilahirkan. Bahkan ia sering berpikir jika lebih baik ia tak pernah dilahirkan, jika hanya akan mengalami nasib yang seperti ini seumur hidupnya.
"Ampun, kak... A-aku akan menuruti perintah ayah." rintihnya sembari menahan sakit.
"Bukankah lebih mudah jika dari awal kau menyetujuinya? Kau urus sisanya, Erick. Aku akan naik duluan dan memberitahu ayah jika dia telah menyetujuinya."
Jleb!
"Ahh, sa-sakit..." Erick dengan sengaja menginjak kaki Sarah untuk melampiaskan emosinya.
Awalnya, keluarga Smith adalah keluarga yang cukup terpandang di kota tersebut dan memiliki banyak bisnis. Tapi setelah kepergian sang istri, Harry Smith berusaha menghilangkan kesedihannya dengan mulai mencoba bermain judi yang berujung candu akut. Disana ia terpesona oleh seorang wanita yang bekerja sebagai penjual minuman di bar itu, tak lama kemudian mereka berdua memutuskan untuk menikah.
Sven dan Erick yang selama ini hanya hidup bak seorang pangeran yang selalu dimanjakan dengan kemewahan pun tak dapat berbuat banyak selain menerima nasib. Karena terlalu sering mengabaikan urusan bisnisnya dan lebih sibuk menghabiskan daripada menghasilkan uang, lama-kelamaan bisnis keluarga Smith jatuh bangkrut.
Karena tidak adanya rasa sadar diri dan kecenderungan melempar kesalahan kepada orang lain, Harry justru semakin menyalahkan Sarah akan nasib buruk yang kini menimpa keluarganya.
Sven dan Erick sebagai kakak yang seharusnya menjaga adik mereka pun malah mengikuti kelakuan sang ayah yang tak masuk akal dan menyiksa Sarah secara fisik setiap kali ia membatah. Bahkan ibu tiri Sarah juga ikut merundungnya tanpa sebab.
"Ayah, dia sudah menyetujuinya." ucap Sven dengan wajah yang amat riang.
Sang ayah pun tak kalah bahagia dan terlihat puas dengan apa yang telah dilakukan anak pertamanya itu, "Bagus, Sven. Kau memang anakku yang berguna."
"Kapan kita akan membawa dia kesana? Bukankah lebih cepat lebih baik?" tanya Sven pada sang ayah.
Harry meraba janggutnya yang polos tanpa rambut, "Hmm, seharusnya memang begitu. Kalau begitu suruh dia untuk membersihkan diri terlebih dulu, ayah akan membawanya kepada orang itu malam ini juga. Jika membawanya dalam keadaan seperti itu, aku takut uang yang akan ku dapat hanya sedikit. Meskipun aku tahu harga anak itu juga pasti tidak akan mahal juga, tapi lebih baik menjualnya dengan harga murah, daripada aku harus terus kehilangan uang ku yang berharga hanya untuk menghidupinya."
Kata 'menghidupi' yang keluar dari mulut seorang Harry Smith memang terdengar seperti layaknya ucapan orangtua pada umumnya, tapi sebenarnya kenyataan yang ada sangatlah berbanding terbalik.
Setiap harinya Sarah mendapatkan jatah makan sebanyak tiga kali. Terlihat normal bukan jika menilik dari jumlah nya? Namun jangan salah, Sarah hanya mendapatkan nasi sisa kemarin untuk dia makan. Tanpa lauk. Benar, tanpa lauk.
"Astaga, apa kau tidak bisa membedakan hari penting atau tidak? Kita akan pergi ke orang itu, tapi apa-apaan baju mu ini? Ganti dengan yang lebih pantas, cepat!" teriak Harry.
"Tapi ayah, dia kan memang tidak punya baju, yang dia pakai sekarang juga dulunya adalah baju ku." sahut Erick mengingatkan ayah nya jika mereka hanya memberikan Sarah baju bekas pakai milik mereka.
Ayah dari ketiga anak itu mengangguk, "Benar juga..." Lalu Harry menoleh kearah istri nya yang ada disamping, "Istriku, bisakah kau memberikan anak itu seonggok pakaian mu yang tak lagi terpakai? Nanti ketika aku telah mendapatkan uang itu, aku akan mengajakmu berbelanja pakaian yang baru. Bagaimana?"
"Janji?" ucap wanita itu memastikan.
"Tentu saja, aku berjanji. Memangnya suami mu ini pernah berbohong?" tutur Harry sambil melingkarkan tangan nya ke pinggang sang istri.
"Sebenarnya ada perhiasan baru yang inginku beli." kini nada bicara nya dibuat semanis dan semerdu mungkin.
"Iya, iya, nanti kita beli perhiasan juga." imbuh Harry.
Suzana, yang akrab disapa mami Ana oleh ibu-ibu komplek sekitar, kerap menjual barangnya yang sudah bosan ia pakai. Karena sifatnya yang mudah bosan itu, ia sering kali khilaf mata ketika melihat barang keluaran terbaru.
Ana melemparkan sebuah dress lawas miliknya tepat ke muka Sarah.
"Cepat ganti bajumu!" perintah Harry tanpa ada rasa iba sedikitpun melihat anaknya sendiri diperlakukan seperti itu oleh ibu tirinya.
Dress dengan motif norak yang kedodoran, mau tak mau harus Sarah pakai, ketimbang menerima 'pelajaran' lagi dari kedua kakaknya.
"Nahh, beginikan lebih enak jika dipandang mata." kata sang Ayah senang.
"Itukan karena bajunya saja yang bagus." ledek Ana karena cemburu mendengar suaminya memuji penampilan Sarah barusan.
"Memang pilihan istriku adalah yang terbaik. Kalau begitu ayah pergi dulu."
"Semoga dapat uang yang banyak ya, yah!" kata Erick tanpa merasa kasihan sedikitpun kepada sang adik yang mereka paksa bertanggung jawab untuk menuruti keegoisan mereka itu.
Dengan langkah dan hati yang berat ia memasuki sebuah rumah mansion yang dijaga ketat oleh para anggota mafia. Sarah pun tak menyangka jika didalam rumah yang nampak megah dan memiliki taman luas nan indah ini adalah sarang dari sebuah kelompok mafia paling berkuasa.
Mansion yang mengusung gaya desain modern kontemporer ini terlihat sangat bersih dan nyaman. Setiap furnitur dan hiasan rumah bahkan tertata amat rapi, membuat Sarah sempat curiga, apakah pemilik mansion ini punya kelainan OCPD? Semacam penyakit yang membuat sang penderita melakukan aktivitas secara detail dan perfeksionis guna meningkatkan efisiensi.
Namun tentu saja itu hanya pikiran sepintas Sarah. Karena tidak mungkin seorang boss mafia yang mempunyai wilayah teritori tanpa batas menderita OCPD, apalagi rumor yang beredar ia terkenal sangat playboy.
Drap! Drap! Drap!
Seorang pria muda dengan atasan kaos putih polos dan celana jeans pendek selutut tengah menuruni tangga.
"Harry? Kau cukup tebal muka juga yah datang ke rumah ku. Apa kau hendak membayar hutang mu sehingga kau jadi berani seperti ini?" kata pria itu yang terdengar cukup tak sopan menilik dari perbedaan usia diantara mereka. Sekilas usia pria itu nampak seumuran dengan Sven, kakak pertama Sarah.
"Ahh, ti-tidak begitu boss.. Jadi," Harry tak bisa menyembunyikan ketakutannya yang membuat lutut hingga bibirnya gemetaran. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Sarah melihat sang ayah gemetar hebat seperti itu.
"Saya dengar jika anda sedang mencari calon istri? Ini adalah Sarah, putri bungsu saya. Dan saya rasa kriteria khusus yang anda cari dimiliki oleh anak saya ini, boss." tutur Harry sembari sedikit mendorong anaknya untuk maju ke hadapan sang boss mafia.
Visual Sarah Smith kurang lebih seperti Kak Aisyah Aqilah
Cr : instagram @aisyahaqilahh
Sarah terkejut mendengar ucapan ayah-nya barusan, jika pria ini adalah calon suaminya seperti sang ayah bilang, berarti sudah pasti dialah Leonard Black, si boss mafia dan pemilik mansion ini.
Tak seperti yang Sarah bayangkan, bahkan realita sebenarnya sangat jauh dari ekspektasi dirinya. Mafia pada umumnya terlihat menyeramkan, memiliki banyak bekas luka dan tatto ditubuhnya. Namun pria ini terbilang masih muda untuk seukuran boss mafia yang berpengaruh dan ditakuti banyak orang.
Sarah menatap tubuh pria muda itu dari atas kepala hingga kebawah kakinya. Bagaimana bisa seorang boss mafia mempunyai postur tubuh bak seorang model seperti ini.
Rambut lurus nya yang hitam pekat serta alis yang lebih mirip ulat bulu itu karena saking tebalnya. Ia pun memiliki hidung yang terbilang mancung. Serta dada yang bidang sehingga membuat dia nampak maskulin dan atletis. Kakinya yang jenjang mungkin sudah sering ia gunakan untuk menendang banyak orang, tebak Sarah dalam hati.
"Oh, sepertinya anak mu begitu tertarik pada ku, Harry. Dia tak berhenti memandangi ku dari tadi." ucap Leo sembari melirik kearah Sarah yang tak kunjung melepaskan pandangannya dari pria tampan itu.
Harry langsung saja menyenggol Sarah, seolah menyuruhnya untuk berhenti bertingkah tak sopan seperti itu. Sarah yang tersadar seketika menundukkan pandangannya karena malu.
"Ma-maafkan atas ketidaksopanan anak saya ini, mohon maklum dia tidak pernah keluar rumah sama sekali seumur hidupnya. Jadi mungkin dia sedikit terkagum ketika melihat pria setampan anda." terang Harry berusaha mengambil hati Leo.
"Aku bisa memaklumi jika memang begitu adanya. Siapa yang tak akan terpesona melihat ketampanan ku ini,
ya kan Harry?" kata Leo yang sedang besar kepala sambil mengangguk-angguk.
"Yah, tentu saja, boss. Tidak ada pria muda yang setampan anda." tutur Harry sembari tertawa.
Leo yang dikenal sebagai orang yang kejam itu memang mempunyai sifat yang besar kepala, apalagi jika terkait tentang ketampanan dirinya. Dan hal itu sudah jadi rahasia umum.
"Oke, kalau begitu langsung saja pada tujuan mu datang kemari. Jelaskan padaku kenapa kau begitu yakin jika anak mu ini pantas menjadi istriku? Jika jawabanmu tak sesuai dengan yang ku inginkan, jangan harap kau bisa keluar dari sini dengan utuh." dari yang semula tersenyum, seketika Leo menunjukkan raut muka yang sangat serius, serta tatapan matanya sekarang lebih mirip seperti hewan buas yang hendak menerkam lawannya daripada seorang manusia.
Glek!
Harry menelan ludahnya sendiri dengan susah payah setelah mendengar kata-kata Leo barusan.
"Sarah anak saya ini, besok usianya genap 20 tahun. Dan itu adalah syarat pertama yang anda inginkan, perempuan berusia 20 tahun tidak kurang dan tidak lebih." ucap Harry penuh dengan kepercayaan diri.
Leo adalah seorang yang berkepala dingin, ia telah bertemu dengan banyak orang yang mempunyai begitu banyak maksud tersembunyi sehingga ia tak akan mudah percaya begitu saja pada Harry yang notabene nya seorang bermulut besar, "Benar. Tapi bukan hanya itu saja kan syarat yang aku mau?"
Harry pun tak lantas putus asa dan terus mempromosikan Sarah kepada boss mafia didepannya itu, "Harus masih gadis? Tentu saja saya ingat syarat kedua itu. Dan saya jamin anak saya ini masih gadis, ting ting!" ucap Harry dengan nada yang yakin.
Leo masih tak bergeming, tetap menatap Harry dengan penuh keraguan yang tersirat, "Apa kau sudah mengeceknya sendiri?" tanya pria itu dengan wajah dingin nya, enggan percaya begitu saja pada mulut besar Harry.
Harry kelagapan, meskipun ia sadar jika ia adalah ayah yang buruk namun bukan berarti ia juga menjadi ayah yang brengsek, "H-hah? Anda bisa mengeceknya sendiri boss, bagaimana mungkin saya melakukan hal seperti itu kepada anak saya sendiri." wajahnya sedikit terlihat tak terima karena Leo seolah menilai rendah dirinya, yah walau memang itu juga tidak salah.
Leo mengubah posisi duduknya menjadi lebih santai, "Yah, kau ada benar nya juga sih. Kalau begitu aku akan-"
Belum selesai keluar kata-kata yang hendak Leo ucapkan, dengan sedikit ketakutan Sarah memberanikan dirinya memotong pembicaraan sang ayah dan boss mafia itu.
"T-tunggu sebentar! Bukankah seharusnya anda membicaran hal ini dengan saya sendiri ketimbang dengan ayah saya? Lagipula nantinya yang akan bersama dengan anda adalah saya, bukannya ayah saya." ujar Sarah memotong pembicaraan mereka berdua dengan tiba-tiba.
Harry melongo kaget melihat Sarah yang selama ini hanya pasrah menerima berbagai macam perlakuan dari mereka semua, tiba-tiba menjadi gadis pemberani dan tegas. Bahkan tak tanggung-tanggung, ia bertingkah seperti itu kepada boss mafia yang ia saja sangat ketakutan menghadapi pria itu.
Harry memukul pundak Sarah, "Astaga, kau ini bicara apa?! Maafkan kelancangan anak saya ini, bo-"
Namun nampaknya Leo tak merasa keberatan dengan saran yang diberikan oleh Sarah, "Tidak apa-apa, dia juga ada benarnya. Kalau begitu tinggalkan dia disini, kau bisa pulang. Aku akan menghubungimu besok pagi."
Harry sontak berdiri karena harus pulang dengan tangan kosong, "A-apa?! Lalu bagaimana dengan uang imbalannya?" ucapnya tak terima.
Lantas Leo menatapnya dengan mata penuh kemurkaan, "Bisa-bisanya seseorang yang memiliki begitu banyak hutang kepadaku, masih berani meminta sebuah imbalan dari suatu hal yang bahkan belum pasti?! Jikalau memang aku cocok dengan barang yang kau bawa ini, imbalan dengan hutangmu yang segunung itu sangat tak sebanding! Pergilah! Jika kau masih sayang dengan nyawa mu." titah Leo sembari menunjuk kearah pintu yang ada dibelakang Harry.
Harry yang ketakutan segera lari terpontang-panting tanpa memperdulikan uang imbalan itu lagi. Walau akan menerima kemarahan dari istri dan anak-anaknya saat tiba dirumah karena pulang dengan tangan hampa. Tapi itu jauh lebih baik daripada pulang hanya nama saja.
"Karena penganggu sudah pergi, bisa kita lanjutkan pembicaraan tadi?" tanya Leo dengan sedikit amarah yang masih tersisa di wajah nya.
Sarah mencoba bertingkah setenang mungkin walau ia sebenarnya juga sama takutnya dengan sang ayah, "Te-tentu. Silahkan, anda bisa bertanya apa yang ingin anda ketahui tentang saya?"
Aura intimidasi keluar dari tubuh Leo, "Apa benar besok kau akan genap berusia 20 tahun?" ia menatap Sarah dengan tatapan yang intens.
Sarah merogoh saku nya, kemudian meletakkan sebuah kartu tanda penduduk diatas meja. Leo mengambil kartu itu dan mengeceknya dengan seksama.
"Ini asli kan? Kau tidak baru membuatnya sebelum kesini bukan?" tanya Leo dengan penuh kecurigaan.
"Te-tentu saja ini asli! Anda bisa langsung memenjarakan saya jika memalsukan identitas saya." Sarah sama sekali belum ingin menyerah walau nampaknya tak akan mudah melawan boss mafia satu ini.
Leo menyeringai mendengar ucapan Sarah yang terdengar berani itu, "Oke, kau lulus syarat pertama. Tapi aku juga perlu sebuah bukti perihal ke gadisan mu."
Sarah terperangah keheranan, "Bukankah disitu juga tertulis jika saya belum kawin dan juga bukan janda?" sembari menunjuk ke arah kartu yang berada di depan Leo.
Leo menyadarkan dirinya ke sofa, "Apa kau kira sebuah tulisan bisa membuatku percaya begitu saja?" sembari menatap dingin kearah Sarah.
"Lantas, bagaimana cara nya agar anda bisa mempercayai saya? Bukti apa yang harus saya berikan?"
"Tubuh mu-"
"Apa?!" Sarah sontak berdiri dari tempat duduknya karena terkejut, "Kita bahkan belum resmi menikah, tapi anda sudah berniat buruk seperti itu?" walau ia tahu rumor tentang Leo yang seorang playboy, tapi ia tak menyangka jika boss mafia ini selain playboy juga brengsek.
Leo merasa kesal karena untuk kedua kalinya perempuan di depan nya ini berani menyela ucapan nya, "Aku bahkan belum selesai berbicara tapi kau sudah melantur kesana kemari. Duduk! Jangan membuatku harus mendongak." titah pria itu membuat Sarah segera kembali duduk dengan manis, "Aku kira Harry dengan sengaja mendandani mu seperti ini, tapi ternyata otak dan penampilan mu memang sama konyol nya. Besok pergi lah ke rumah sakit untuk mengecek nya."
Muka Sarah memerah karena malu telah menuduh Leo yang tidak-tidak, "Tapi saya tidak pernah pergi kemana pun sebelumnya." kata Sarah lirih.
Leo menghela nafas dengan muka datar, "Jadi, dengan ter.pak.sa aku akan mengantarkan mu besok." Sarah mengangguk pelan, "Tapi ada satu hal penting yang perlu kamu tahu." imbuh Leo.
"Apa itu?" Sarah penasaran.
"Kita hanya akan menikah kontrak selama 5 tahun. Mungkin bisa lebih cepat atau lebih lama, tergantung hasil akhirnya yang akan menentukan berapa lama kita perlu melakukan itu." terang Leo sembari nampak menimbang-menimbang sesuatu dalam pikiran nya.
Deg! Bagaikan hujan ditengah siang bolong. Bagaimana mungkin dalam hidup nya hanya akan ada penderitaan yang tiada akhir. Seolah semua kemalangan manusia hanya tercipta untuk Sarah.
"Jadi, setelah selesai menggunakan saya layaknya sebuah barang, anda akan membuang saya begitu saja setelah kontraknya berakhir?" tanya Sarah dengan diliputi kesedihan dalam hati nya, ia tak menyangka jika hidupnya selalu saja berjalan atas kehendak orang lain. Ia sama sekali tak di ijin kan untuk hidup sesuai kemauannya sendiri.
"Selama masa itu, aku akan bertanggung jawab penuh atas mu. Bukan hanya memperlakukan mu seenak jidat ku, tidak. Kamu bisa tetap melakukan apapun yang kamu mau. Dan aku-" untuk ketiga kali nya Sarah menyela ucapan pria bertampang dingin itu tanpa takut.
"Jika memang harus seperti itu, saya juga memiliki sebuah persyaratan untuk anda." ucap Sarah dengan tegas.
Leo mengernyitkan dahi nya, "Syarat untukku?"
"Benar. Karena disini kita sama-sama saling membutuhkan, jadi saya juga tidak mau rugi sendiri."
Leo menghela nafasnya seolah mengetahui kemana arah dari perbincangan ini berakhir, "Baiklah, apa syarat darimu itu?" coba kita dengarkan dulu apa yang Harry sudah ajarkan kepada anak ini, pasti soal uang lagi, ucap Leo dalam hati yang memang sejak awal mengira Sarah memiliki sifat serakah seperti ayahnya yang gila judi itu, Harry.
"Saya tidak mau mengandung anak anda." Kata-kata yang penuh keyakinan itu sama sekali tak pernah Leo bayangkan sebelumnya. Bukankah dengan mengandung anaknya Sarah bisa menggunakan anak itu sebagai alasan untuk terus meminta uang padanya, tapi dengan tegas ia mengatakan tak mau mengandung anak dari Leo sejak awal. Leo benar-benar tak tahu apa yang gadis ini telah rencana kan tapi yang pasti Leo tidak akan mudah untuk ditipu. Pria itu menyeringai dengan tatapan yang entah.
Leonard Black atau lebih dikenal sebagai macan hitam adalah putra bungsu dari Peter Black dengan istri keduanya.
Lahir dari rahim seorang ibu yang tak memiliki pengaruh apapun didunia bisnis membuatnya diabaikan oleh ayah-nya sendiri karena dianggap tak begitu berguna bagi kehidupannya sebagai seorang pengusaha minuman keras.
Untuk melakukan usaha bisnis sebuah produk minuman keras tentunya sangat sulit di negara kita ini. Perlu melewati begitu banyak proses perijinan dari pihak berwenang bahkan seringkali daerah atau kota memiliki penduduk yang sangat melarang adanya bar ataupun tempat hiburan malam berdiri di area tersebut.
Sedangkan, bar, club dan tempat hiburan malam sejenis adalah ibarat toko pemasaran dari minuman keras itu sendiri. Dikarenakan minuman keras tidak bebas diperjual-belikan.
Itulah sebabnya Peter Black berpikir untuk sekalian saja berenang daripada basah namun hanya setengah badan.
Dia membentuk kelompok yang dijuluki Black Eagles yang artinya elang hitam. Guna menjadi tim suksesi untuk memperlancar jalannya bisnis ini.
Itulah awal mula terbentuknya kelompok mafia Black. Namun seiring berjalannya waktu karena terkenal akan pandainya dalam hal bernegosiasi dengan penduduk yang tak sependapat, kelompok mafia Black tak hanya menangani soal bisnis pribadinya saja, Black Eagles juga kerap melayani permintaan yang datang dari orang luar.
Leonard yang sedari kecil tak pernah diperhatikan oleh ayah-nya menjadi sangat terobsesi akan kasih sayang sang ayah. Dan lagi sang ibu juga terus menerus memberinya dorongan agar melakukan hal yang bisa membuat ayah-nya bangga pada Leo.
Saat remaja Leo melakukan segala hal dengan sungguh-sungguh, entah itu belajar ataupun olahraga, dia selalu menjadi yang nomer satu diantara teman se-angkatannya. Walaupun begitu, tetap saja Peter masih merasa belum puas akan kerja keras Leo.
Berbeda dengan sang kakak, Lionel Black, putra sulung Peter Black dengan istri pertama, Rossa Red. Lionel yang akrab dipanggil El oleh keluarganya itu, tumbuh besar dengan penuh kasih sayang dan kehangatan.
Tanpa perlu bersusah payah, ia akan selalu dan terus mendapatkan segala hal yang ia butuhkan ataupun tidak. Curahan cinta dan perhatian sang ayah hanya tertuju pada El, yang usia-nya terpaut 2 tahun saja dengan Leo.
Bukan tanpa sebab pula Peter Black berbuat seperti itu, walaupun tindakannya yang berat sebelah juga tidak bisa dibenarkan.
Peter Black tumbuh besar di sebuah panti asuhan tanpa pernah mengenal kedua orangtua-nya. Saat ia sudah menginjak usia remaja pun, dia mengambil sebuah pekerjaan sampingan sepulang sekolah demi menabung untuk biaya kuliahnya setelah lulus SMA.
Namun ternyata karena nilai Peter sangat memuaskan, pihak sekolah justru mencarikannya sebuah universitas yang membuka jalur beasiswa bagi siswa yang tidak mampu. Dan benar saja, Peter lolos. Tapi karena universitas itu berada diluar kota, mau tak mau, Peter pun harus merantau dan meninggalkan panti tempatnya dibesarkan demi menggapai cita-citanya.
Disana dia tinggal disebuah kamar kos yang dekat dengan tempatnya kuliah menggunakan uang hasil ia bekerja sampingan yang sudah ia tabung selama ini. Peter yang pintar dan mudah bergaul mencuri perhatian seorang siswi seangkatannya, Rossa Red, putri tunggal pengusaha kaya raya, Ryan Red.
Tak ada alasan bagi Peter untuk tak menyukai Rossa, dia adalah gadis yang ramah, berkepribadian baik dan tentu saja sangat cantik.
Ryan Red yang teramat menyayangi putri satu-satunya itu tak pernah menuntut apapun kepada Rossa. Hal terpenting bagi Ryan adalah kebahagian Rossa itu sendiri.
Singkat cerita kemudian Peter dan Rossa dinikahkan oleh Ryan Red setelah mereka berdua lulus kuliah. Dia tak pernah mempersalahkan tentang status Peter yang adalah anak yatim piatu. Yang utama untuknya, Peter pemuda pekerja keras dan nampak sangat menyayangi putri nya.
Telah resmi menjadi bagian keluarga Red, kini Peter bekerja diperusahaan sang ayah mertua. Peter yang notabene-nya adalah pemuda cerdas dan cepat tanggap, tak perlu waktu lama, Peter berhasil membuat brand minuman keras miliknya sendiri yang diberi nama, Black Libels.
Ryan sangat bangga terhadap pencapaian menantunya, walau perjalanannya masih cukup jauh jika ingin membawa brand itu menjadi seperti Red Libels miliknya.
Lambat laun usaha yang ia dirikan itu berhasil membuatnya meraup keuntungan yang fantastis.
Hari itu, Peter harus pergi ke sebuah kota untuk mengurus beberapa hal. Biasanya sang istri, Rossa, akan selalu mendampinginya. Namun karena saat ini usia kehamilannya telah memasuki trimester ketiga, dokter menyarankan untuk tidak berpergian terlebih dahulu karena satu dan lain hal.
Peter akan berada di kota tersebut kurang lebih selama 2 bulan. Tapi entah apa yang dipikirkan pria itu, bisa-bisanya ia justru main gila dengan wanita lain, padahal hidup yang ia jalani sekarang sudah cukup sempurna.
Tengah malam ponsel milik Peter berdering, ternyata Ryan menyuruhnya untuk pulang malam itu juga, karena Rossa akan segera melahirkan. Tanpa pikir panjang, Peter pun segera kembali pulang.
Bulan demi bulan berlalu begitu cepat, Peter setia mendampingi istri dan anak lelaki mereka berdua yang bertumbuh dengan sehat. Sampai tiba-tiba datang seorang wanita hamil ke rumah mereka dengan membawa berita buruk. Wanita itu berkata jika anak yang ia kandung adalah benih Peter.
Bagaikan tersambar petir, seketika hati Rossa hancur mendengarnya. Ia tak kuasa lagi menahan tangis yang memaksa keluar dari pelupuk mata.
Ini pertama kalinya Peter melihat sang istri menangis seperti itu, bahkan ketika ia mengalami kontraksi sebelum melahirkan, Rossa sama sekali tak mengeluh kesakitan ataupun menangis.
Peter mengusir wanita itu, tapi tak disangka, Rossa justru melarangnya pergi dan mempersilahkan masuk kedalam rumah.
"Bertanggungjawab-lah atas perbuatanmu kepada nya, mas!" ucap Rossa dengan menahan air mata yang terus saja memaksa itu keluar dari pelupuk matanya.
"Aku tidak mau bercerai denganmu!" ucap Peter dengan penuh tekanan seolah ia tak merasa bersalah kepada wanita di depan nya yang telah ia hamili itu.
"Lalu?" Rossa mengernyitkan dahi nya tak terima dengan sikap sang suami yang seenaknya sendiri memperlakukan wanita bagikan permet karet, habis manis sepah dibuang.
"Biarkan saja dia yang pergi, tapi aku tidak bisa jika kamu yang pergi. Aku akan memberikannya sejumlah uang sebagai ganti rugi." ucap Peter yang menghargai wanita selayaknya barang yang bisa dibeli dan ditukar dengan sejumlah uang.
Rossa semakin tak tahu siapa pria di depan nya kini, benarkah ia adalah suami nya yang ia kenal dulu? Mengapa ia begitu terasa asing sekarang, "Kamu hendak menelantarkan anak yang bahkan tidak meminta untuk dilahirkan ke dunia ini? Yang benar saja kamu mas! Ini memang kesalahan kalian berdua, tapi tidak dengan anak itu, dia sama sekali tidak bersalah." ucap Rossa dengan penuh kekesalan yang ia tujukan untuk suami dan wanita di hadapan nya.
"Lantas, kamu ingin aku bagaimana sekarang?" tanya Peter pada Rossa.
"Nikahilah dia dan bertanggungjawab-lah kepada dia serta anak yang dia kandung, sebagaimana mestinya." pinta Rossa dengan penuh berat hati, istri mana yang rela membagi suami nya dengan wanita lain.
"Aku tidak mungkin memadu kamu!" Peter masih bersikeras dengan pilihan nya.
Namun Rossa pun tak berniat untuk bersikap egois meski hati nya sangat sakit dan terluka karena perbuatan sang suami, "Seharusnya kamu berpikir seperti itu sebelum berselingkuh!" Rossa kembali menangis, "Sudahlah, ini juga salahku karena tak bisa mendampingimu waktu itu." ucap wanita itu dengan nada penuh kekecewaan.
"Bukan salahmu ini semua salahku. Aku minta maaf." Peter hendak memeluk istri nya itu.
Tetapi Rossa dengan segera menampik tangan Peter dengan sedikit keras, "Aku mungkin bisa memaafkanmu tapi aku tak akan pernah melupakan rasa sakit ini. Bawalah dia ke rumah yang baru kau belikan untukku kemarin, aku tak bisa tinggal seatap dengannya. Dan aku tak mau jika hal ini sampai diketahui papa, dia pasti akan lebih sakit hati daripada aku mas." tutur wanita itu yang kemudian berlalu pergi kembali ke dalam kamar nya dan larut dalam kesedihan nya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!