NovelToon NovelToon

PESONA GADIS BERMATA HAZEL

BAB 1. BUKAN PERNIKAHAN IMPIAN

"Plis dong Kay, jangan nangis terus gini," kata Shilla. Gadis itu bahkan menemani tidur Kayra, memastikan sahabatnya itu tidak melakukan hal yang aneh. "Gue nggak tau harus apa kalo lo gini," katanya lagi seraya memeluk kepala Kayra yang tertutup hijab berwarna putih. "Ini juga pilihan elo sendiri kan, bukannya gue mau nyalahin lo. Tapi emang elo sendiri yang ambil keputusan ini biar Mba Acha seneng disana," kata gadis itu.

Kayra menarik nafas panjang, gadis itu memaksakan senyum indah di bibir merahnya. Memandang dirinya sendiri di pantulan cermin. Dia terlihat begitu cantik pagi ini, dengan polesan tangan profesional. Namun sayangnya raut wajahnya tidak menunjukkan kebahagiaan, membuat aura Kayra tidak terpancar. "Sorry ya Shill,"

"Sorry buat apa?" tanya Shilla. "Lo nggak ada salah apapun sama gue,"

"Sorry, kalo mungkin nanti gue nggak bisa jadi ipar yang baik," Kayra tersenyum miris. "Ya elo tau sendiri gue nggak sebaik Acha Shill,"

Shilla mengusap air matanya. "Lo apaan dah Kay," kata Shilla. "Elo sama mba Acha itu sama bagi gue, kalian sama-sama baik, kalian sama berartinya sendiri," kata gadis itu lagi.

"Bantu gue ya Shill," Kayra membalikan kursinya, gadis itu menatap tepat di kedua mata Shilla yang hari ini dihiasi softlens berwarna biru, membuat kedua iris gadis itu terlihat lebih cantik dari biasanya. "Gue nggak ada tujuan lain selain buat Acha bangga sama gue Shill, gue cuma bisa meng-iyakan mau dia, tanpa mikirin apapun lagi," Kayra menghela nafas pelan. "Bahkan saat itu gue sampe lupa kalo gue juga punya Azmi,"

Keduanya diam beberapa lama, membuat riuh di lantai satu semakin terdengar jelas. 

"Elo nggak ada bilang apapun sama Azmi?" 

Kayra menggeleng pelan. "Nggak," jawabnya singkat. "Dan dia juga nggak ada minta penjelasan apapun sama gue," Kayra tersenyum pasrah. Senyum yang terlihat begitu menyesakan dada Shilla. "Gue juga nggak bisa kasih dia penjelasan apapun si," 

Shilla menarik Kayra ke pelukannya, menepuk pundak gadis yang sekarang menanggung beban yang pasti sangat berat. "Gue selalu ada buat elo Kay," kata Shilla.

Dia sendiri belum tentu kuat jika berada di posisi Kayra, gadis itu sama sekali tidak melakukan kesalahan apapun, tujuannya baik yaitu agar sahabatnya yang sudah "pulang" lebih dulu merasa tenang karena sudah menitipkan suaminya dengan orang yang tepat. Namun tentu saja pandangan miring akan Kayra dapatkan juga, bahkan mungkin akan ada yang mengira diam-diam Kayra menjalin hubungan dengan Iqbal jauh sebelum Acha meninggal.

*****

Artar memeluk kakaknya, pemuda itu tidak bisa menahan air matanya begitu melihat Kayra dengan balutan baju kebaya berwarna putih. "Mbakk," panggilnya pelan. Dia tau jika yang Kayra lakukan hari ini bukanlah suatu hal yang buruk. "Jangan pernah ngerasa sendiri ya, elo tau kalo elo punya gue," kata Artar lagi.

Kayra mengangguk pelan. "Iya gue tau ko Ar, makasih banyak ya," katanya.

"Cerita kalo ada apa-apa ya mbak," 

"Pasti," jawab Kayra cepat.

Berbeda dengan ketika dia bersama Shilla, dengan Artar, Kayra sama sekali tidak mengeluarkan air matanya. Seolah memang dia tidak pernah menyesali keputusan yang sudah dia ambil ini.

"Lo mau tinggal disini mbak?" tanya Artar memandang sekelilingnya yang masih ramai. Meskipun pernikahan hanya dihadiri oleh kerabat dekat namun nyatanya yang datang bahkan jauh dari dugaan. "Nggak mau di rumah aja mbak?" 

"Kan sekarang gue istri pak Iqbal Ar," kata Kayra. "Do'ain aja yang terbaik buat gue ya,"

"MBAKK KAYYYY," panggilan dari gadis kecil membuat Kayra dan juga Artar menoleh dengan cepat. Amel, adik perempuan mereka berdua menghambur ke pelukan Kayra. "Ko mbak Kay nggak menikah sama mas Azmi? Kenapa? Kenapa sama suaminya mbak Acha? Kenapa nggak sama mas Azmi?" tanyanyam pertanyaan yang sama sekali tidak bisa dijawab baik oleh Kayra maupun Artar. 

Artar ikut berjongkok, pemuda itu berada di antara kakak dan juga adiknya. "Amel," panggilnya pelan. "Amel ikut sama mas Artar aja ya? Mbak Kay harus istirahat," katanya dengan nada yang begitu lembut.

"Mbak jawabb," kata Amel lagi. Anak itu bahkan tidak mau melepaskan pelukannya di leher Kayra. "Kenapa nggak sama mas Azmi? Amel mau sama mas Azmi mbak bukan sama mas Iqbal," kata Amel lagi.

Kayra menghapus air matanya, gadis itu menggigit bibir bawahnya pelan. "Sayang," panggilnya pada adik perempuan satu-satunya. "Amel nggak boleh ngomong gitu ya," katanya lagi seraya menghapus air mata yang menempel pada pipi gembul Amel.

"Tapi Amel maunya mas Azmi mbak, bukan mas Iqbal," katanya lagi, masih menangis dalam pelukan Acha. "Amel maunya mas Azmi mbak,"

"Tapi mba Kay udah nggak bisa sama mas Azmi Amel," kata Kayra. Gadis itu melepaskan pelukannya, memegang kedua bahu adiknya. "Jodoh itu ditangan Allah, mungkin memang mas Azmi dan mba Kay nggak berjodoh, nggak bisa seperti mamah sama papah. Yang mbak Kay minta dari Amel, Amel do'ain mbak dan juga mas Azmi disana ya. Karena Amel anak baik, do'a Amel pasti didengar sama Allah," 

"Udah ya, sekarang mas anter Amel ke mamah ya," kata Artar. Pemuda itu mengambil alih adiknya. "Gue ke mamah dulu ya mbak, lo kalo butuh apa-apa telfon aja," kata pemuda itu.

*****

Sepeninggal adiknya, Kayra termenung sendiri. Gadis itu sibuk dengan pikirannya, rentetan kalimat yang dikatakan Amel terus terdengar di telinganya. Tiba-tiba perasaan bersalah muncul, dia jelas tau betul jika Amel sangat mengidamkan sosok Azmi sebagai kakak laki-lakinya. 

Azmi yang selalu mengajaknya bermain, Azmi yang selalu mengantar jemputnya ke sekolah, Azmi yang bahkan tidak jarang tiba-tiba datang ke rumah hanya untuk mengajak Amel makan diluar. Ya Amel, hanya Amel berdua dengan pemuda itu.

"Gue nggak pernah ngira mi, kalo apa yang sudah kita rencanakan dengan matang harus hancur berantakan seperti ini," kata gadis itu. Air matanya terus turun membasahi pipi tirusnya. "Ada banyak yang mau gue ceritakan ke elo, tapi ternyata gue nggak sampai hati. Gue egois, gue tau itu. Gue pengen buat Acha tenang di atas sana, tapi disisi lain sekaan gue nggak mikirin perasaan elo,"

"Kenapa kamu nggak tolak permintaan Acha?" kata Iqbal yang tiba-tiba sudah muncul di ambang pintu. "Kenapa kamu nggak tolak permintaan Acha? Kalo kamu sendiri nggak mau melakukan ini semua, kalo kamu sendiri merasa telah merugikan banyak orang. Bahkan kamu menghancurkan harapan besar Amel," kata Iqbal lagi.

Kayra seperti disudutkan oleh pemuda itu, gadis itu seperti disalahkan atas keputusan yang dia ambil beberapa waktu lalu sehingga terjadilah pernikahan yang sama sekali belum pernah terbayangkan olehnya. 

"Saya nggak pernah ngira kalo kamu menyetujui permintaan Acha," 

Kayra masih diam, gadis itu masih mencoba menenangkan dirinya sendiri. Berada satu ruangan berdua hanya dengan Iqbal untuk yang pertama kalinya ternyata cukup menegangkan. Terlebih saat ini Iqbal memperlakukannya seolah dialah yang jahat disini.

"Saya nggak pernah mengira kalo ini yang Acha minta dari saya pak," kata Kayra. Suaranya terdengar jelas di telinganya. Meskipun sedikit bergetar, tapi dia berusaha untuk melindungi dirinya agar tidak terus disudutkan.

"Dan kamu langsung menyetujui permintaan istri saya?!" nadanya naik satu oktaf, membuat Kayra menggigit bibir bawahnya. "Kamu egois Kay,"

"Kenapa nggak bapak saja yang menolak? Kenapa seakan-akan aku yang salah disini. Padahal jika dipikir lagi bapaklah yang lebih leluasa untuk menolak permintaan Acha," kata Kayra. "Kenapa tiba-tiba saya yang dijadikan tersangka?" air matanya luruh begitu saja.

Tanpa menjawab, Iqbal meninggalkan Kayra sendiri. Pemuda itu sendiri juga bingung akan kelanjutan dirinya, seperti Acha membawa setengah dari dirinya untuk pergi bersama gadis cantik itu

BAB 2 RESIKO MENIKAH TANPA CINTA

Hari ini adalah hari pertama Kayra berstatus menjadi istri dari seorang Muhammad Iqbal Al-khafi, dosen sekaligus mantan suami sahabatnya. 

Kayra kembali memejamkan kedua matanya, gadis itu rasanya enggan beranjak dari ranjangnya ini. Hari pertama menyandang status sebagai seorang istri dari suami yang sama sekali tidak dia inginkan. Kadang Kayra berfikir jika dirinya begitu bodoh karena mengiyakan permintaan Acha begitu saja, karena jika dipikir lagi masih ada banyak hal yang bisa dia lakukan untuk membuat Acha senang di atas sana, tentu saja tanpa menyakiti satu orang pun, termasuk perasaannya sendiri.

Tapi nasi sudah menjadi bubur, keputusan yang dia ambil itulah yang harus dia pertanggung jawabkan. Meskipun mungkin dia akan seperti berjalan diatas pecahan kaca yang akan melukai kakinya disetiap langkahnya. 

Kayra mengedarkan pandangannya, gadis itu tidak merasa asing dengan kamar ini karena memang dia sering menggunakan kamar ini ketika Acha masih hidup. Ya, kamar tamu yang sudah sering dia gunakan dulu.

"Bi," panggil Kayra pada Bu Surti yang masih setia untuk tinggal di tempat ini meskipun Acha sudah tidak ada. "Maafin Kayra ya Bi," lanjut Kayra. Gadis itu duduk di meja makan depan Bu Surti yang sibuk memotong kangkung untuk sarapan mereka. 

"Loh kenapa minta maaf mbak?" tanya Bi Surti. "Mbak Kay nggak salah apa-apa loh sama bibi,"

Kayra mendesah pelan, gadis itu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. "Kayra bingung Bi," katanya pelan. "Kayra seperti berada di posisi serba salah," lanjutnya lagi.

Bi Surti meletakan pisaunya, mengambil tangan Kayra yang ada di meja. "Jangan ngomong seperti itu mbak, keputusan yang mba Kayra ambil tidak salah kok," kata bi Surti mencoba untuk menenangkan Kayra. "Pernikahan itu adalah ibadah, dan tujuan mbak Kayra menikah dengan mas Iqbal juga untuk kebaikan. Jadi mbak Kay jangan pernah merasa bersalah karena sudah mengambil keputusan ini," bi Surti mengelus punggung tangan Kayra. "Mba Acha pasti sedih disana kalo mbak Kay terus merasa bersalah seperti ini," kata bi Surti lagi. 

"Tapi karena keputusan aku ini banyak orang yang terluka bi," kata Kayra. "Termasuk pak Iqbal sendiri," 

Bi Surti menarik nafas panjang, mencari kalimat yang tidak terdengar menyudutkan Kayra. "Bukannya mbak Kayra sudah tau kalo mas Iqbal memang seperti itu. Sewaktu mbak Acha masih ada pasti sering cerita kan gimana sikap mas Iqbal sama mba Acha dulu?" 

Kayra mengangguk, dia tau jelas seperti apa perangai Iqbal pada sahabatnya dulu. Bahkan Kayra juga sempat menyarankan Acha untuk berpisah dengan pemuda itu. 

"Jodoh, rezeki, maut itu sudah ada yang mengatur mbak. Manusia hanya mampu berencana tapi tetap Allah yang menentukan akhirnya," kata bi Surti. "Mba Acha menjodohkan mbak Kay dengan mas Iqbal pasti bukan tanpa alasan dan sudah melalui banyak pertimbangan, bukan hanya asal menitipkan. Mbak Acha jelas paham jika mbak Kay adalah perempuan yang baik begitu juga dengan mas Iqbal," 

Kayra terdiam beberapa lama, sedikit lega rasanya telah menumpahkan apa yang menjadi bebannya beberapa waktu lalu dengan wanita paruh baya yang ada di depannya ini.

"Terus sekarang pak Iqbal kemana bi?" tanya Kayra. Karena dia tidur di kamar tamu sedangkan Iqbal tidur di kamarnya sendiri. Ya, malam pertamanya memang sangat berbeda dengan kebanyakan pasangan baru lainnya. 

"Mas Iqbal nggak tidur di rumah ini mbak, mas Iqbal semalam pergi ke rumah orang tua mbak Acha," jawab bi Surti dengan hati-hati.

"Jenguk Raissa ya bi?" 

"Iya mbak, awalnya kan memang Raissa mau tinggal disini bareng sama kita. Tapi neneknya pengen sama cucunya dulu," kata bi Surti.

"Apa bibi juga tau kalo Acha nitipin Raissa ke Kay?" 

Bi Surti kembali menganggukkan kepalanya. "Tau mbak," jawabnya sambil memasukkan potongan kangkung ke dalam wadah. "Semuanya tau, bahkan orang tua mas Iqbal juga tau,"

"Acha yang kasih tau?" 

"Iya, mbak Acha sendiri yang cerita kalo dia pengen putrinya di besarkan oleh sahabatnya," 

"Apa semua setuju sama keputusan Acha bi?" tanya Kayra hati-hati, karena dia takut jika ternyata ada yang tidak berkenan dengan keputusan yang diambil oleh sahabatnya.

"Nggak ada satu orangpun yang nggak setuju mbak, semuanya setuju dan percaya sama mbak Kayra," bi Surti beranjak dari duduknya. "Bibi mau masak dulu ya mbak, mbak Kay mau dibikinin susu atau teh?"

Kayra menggeleng pelan. "Nggak usah bi, nanti Kayra buat sendiri aja," jawab gadis itu dengan senyum manisnya. "Makasih banyak ya bi," 

Bi Surti mengangguk kecil, lalu meninggalkan Kayra yang sibuk sendiri dengan pikiran yang berkecamuk di kepalanya. 

Gadis itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dia menangis dalam diam, apa sebegitu percayanya Acha pada dirinya? Sehingga tanpa ragu gadis itu menitipkan suami dan juga putri semata wayangnya. 

Siapa dia dibandingkan dengan Acha yang memiliki segalanya, jelas dia tidak bisa dibandingkan dengan Acha yang anggun, pintar, berakhlak baik dan juga memiliki finansial yang sangat baik. Sedangkan dia? Dia bahkan harus menaiki satu per satu tangga agar bisa sampai di titik sekarang ini.

*****

Kayra tersentak beberapa saat, gadis itu sedang menikmati secangkir susu dan brownies kukus buatannya tadi pagi ketika Iqbal datang, wajah pemudanya itu terlihat begitu kusut bahkan senyum yang dulu menghiasi wajah tampannya kini juga ikut redup. 

Langkahnya cepat, lurus dan sama sekali tidak menoleh ke arah Kayra yang duduk mematung. Jangankan menoleh, melirik pun tidak. Mungkin Iqbal menganggap dirinya tidak ada disana. 

"Assalamualaikum bi," 

Salam Iqbal terdengar sampai telinga Kayra. Gadis itu memejamkan matanya sesaat, teringat ini adalah kalimat pertama setelah dua hari yang lalu dia mendengar kalimat menyakitkan Iqbal yang ditujukan padanya. Tiba-tiba rasa bersalah dan sakit hati menyeruak begitu saja, membuat dadanya tiba-tiba diliputi rasa sesak.

"Waalaikumsalam salam mas," jawab bi Surti. Kayra menajamkan pendengarannya, mencoba mencuri dengan dengar percakapan bi Surti dan juga Iqbal. "Ini kenapa mukanya kusut begitu loh mas, dua hari nggak pulang ke rumah juga," kata bi Surti yang sudah seperti mengomel pada anaknya sendiri.

"Iya ini bi, dari kemaren mau pulang sini tapi kaya berat banget ninggalin Raissa," jawab Iqbal.

Ah iya, Raissa. Seperti apa bayi kecil itu sekarang. Ingin rasanya Kayra melihat putri cantik Acha yang juga diberi nama Raissa. 

"Ya sudah ya sudah, mas Iqbal susah mandi belum? mandi dulu ya. Tadi bibi sama mbak Kayra masak sup ayam kesukaan mas Iqbal loh, enak. Nggak jauh beda sama masakan mbak Acha. Pasti mas Iqbal suka," kata bi Surti yang tanpa sadar menyebutkan dua nama sekaligus. "Bibi siapin ya, kebetulan mbak Kayra juga belum makan," 

"Nggak usah bi," jawab Iqbal begitu saja. "Aku udah makan masakan umi tadi," 

"Beneran sudah makan?"

Iqbal mengangguk kecil. "Aku ke kamar dulu ya bi,"

Selesai. Hanya itu percakapan yang mampu didengar Kayra dari teras rumah. Sakit? Tentu saja hatinya terasa sedikit ngilu. Bukan dia ingin agar Iqbal juga memperlakukan dirinya sama seperti pemuda itu memperlakukan Acha, itu jelas terlalu muluk. Tapi dia sakit melihat Iqbal yang seperti kehilangan semangat hidup. Mungkin jika Acha tidak menghadirkan sosok kecil itu, keadaan pemudanya itu akan jauh lebih buruk dari sekarang.

Kayra menengadahkan kepalanya, tiba-tiba hujan turun. "Cha gimana? kamu liat kan? Aku nggak bisa jadi ibu dan istri yang baik buat pak Iqbal. Aku bahkan belum ngomong sama dia semenjak malam itu," katanya lirih. "Maaf ya Cha, kalo aku buat kamu kecewa di atas sana,"

BAB 3. SEMUA AFA HARGANYA

Kayra dan Azmi sama-sama diam, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut muda mudi itu. Hanya saja keduanya sama-sama menengadah ke langit menyaksikan salah satu ciptaan Tuhan yang sangat indah.

Azmi memejamkan kedua matanya, membuat Kayra tersadar dan menoleh ke arah pemuda tampan itu.

"Ngantuk?" tanya Kayra. Gadis itu mengambil hpnya. "Udah malem juga sih," kata gadis itu lagi.

"Nggak kok,"

Kayra mengerutkan keningnya. "Terus?"

Azmi mengubah duduknya, pemuda itu kini menatap Kayra lurus. Meskipun keduanya matanya sering kali melihat ke arah pintu depan rumah Kayra yang terbuka, takut-takut jika dia sedang mengatakan hal serius dengan gadis itu Bapak atau Artar keluar.

"Kenapa?" tanya Kayra lagi karena pemuda itu terus saja diam.

"Aku lagi minta aja sama Tuhan,"

"Minta apa?"

"Minta kamu," kata Azmi, ada jeda sejenak sebelum dia kembali melanjutkan. "Minta kamu buat aku,"

Kayra menggigit bibir bawahnya, dia bingung harus bereaksi seperti apa. Dirinya benar-benar belum siap juga Azmi melamarnya malam ini.

"Aku tau kok, untuk sekarang kamu pasti masih nolak aku. Meskipun aku nggak tau pasti apa alasan kamu nolak aku," kata pemuda itu. Azmi terkekeh kecil. "Aku kurang apa Kay?" tanya Azmi.

Kayra menarik nafas dalam, gadis itu sama sekali tidak memiliki jawaban apapun. Karena untuk ukuran perempuan normal pasti akan dengan segera mengiyakan lamaran seorang Azmi. Bagaimana tidak, pemuda itu sudah cukup matang dari segi umur, pemikirannya dewasa, pintar, dan dalam segi finansial pun sudah lebih dari cukup untuk membina rumah tangga. Tapi entahlah, rasanya masih ada yang mengganjal.

"Atau ada lamaran yang sedang kamu tunggu Kay?"

Pertanyaan Azmi yang hati-hati itu sontak membuyarkan lamunan Kayra. Gadis itu cepat-cepat menggelengkan kepalanya. "Nggak ko," katanya cepat. "Tapi untuk sekarang aku emang belum bisa mi," jawab Kayra lagi.

"Alasannya apa?" tanya Azmi.

Kayra menggeleng pelan, dia sendiri bingung untuk apa dia terus menerus menolak permintaan Azmi. Tapi memang ada sedikit keraguan. "Kamu tau alasannya kan?"

Azmi tersenyum tipis. "Bapak sama ibu kan?" tanya Azmi.

"Masih banyak yang harus aku lakukan untuk mereka mi," kata Kayra. "Aku nggak mau egois, meskipun aku sangat yakin kamu juga bisa membuat mereka bahagia. Tapi ini janji aku sendiri, aku pengen membuat mereka bangga dan bahagia karena punya aku sebagai putrinya," kata Kayra lagi. "Kamu ngerti kan?"

"Tapi bener bukan karena ada laki-laki lain kan Kay?" tanya Azmi hati-hati.

'Kay?" panggil pemuda itu ketika gadis di depannya hanya memandangnya tanpa memberikan jawaban apapun. "Kamu udah kasih semuanya ke aku, dan begitu juga sama aku. Janji Kay jangan tinggalin aku sendiri Kay," Azmi sedikit menaikan intonasinya ketika di depannya Kayra hanya diam dengan raut sendu.

"KAY,"

"KAYRA,"

"KAYRA HANA UMARI,"

"Mba," bi Surti menepuk pelan pipi Kayra. "Mbak, bangun mbak udah sore," kata bi Surti lagi.

Kayra melenguh pelan, gadis itu pelan membuka kedua matanya. "Jam berapa bi?" tanya Kayra dengan suara khas bangun tidur.

"Jam setengah lima mbak," kata bi Surti.

Kayra mengusap pipinya yang terasa basah. Gadis itu mengerutkan keningnya bingung.

"Kenapa mbak Kay nangis mbak?"

Gadis itu terdiam beberapa saat. Bukankah dia baru saja bermimpi Azmi?

Kayra menggeleng pelan. "Nggak kok bi, nggak papa. Mungkin aku lagi kangen sama orang rumah hehe,"

Bi Surti mengangguk paham. "Ya sudah, mbak Kay belum sholat ashar kan? Sholat dulu ya. Kalau sudah, mau nggak ajarin bibi buat kue pisang nangka?" tanya bi Surti. "Kata mbak Acha kue kue pisang ketan itu ciptaan mbak Kayra," kata bi Surti lagi.

Kayra tersenyum getir. Ya benar sekali, kue pisang ketan yang dia buat karena kesukaan Acha terhadap pisang dan dengan ide iseng Kayra gadis itu menambahkan nangka agar Acha tidak bosan memakan kue yang itu itu saja. Tapi gadis itu bahkan sudah lebih dulu pergi sebelum kuenya launching.

"Boleh bi," jawab Kayra. "Bahan-bahannya udah ada bi?" tanya Kayra lagi.

"Bahannya sudah ada semua mbak,"

*****

"Sayang,"

Suara yang sama sekali belum pernah didengar Kayra seketika membuat gadis itu membeku. Iqbal entah kerasukan apa tiba-tiba memeluk tubuhnya dari belakang, seakan dia memang sudah menerima kehadiran Kayra di tengah rasa kehilangannya.

"Pak?" panggilan Kayra barusan membuat Iqbal juga membatu. Membuat pemuda itu melepaskan pelukannya dan kembali merubah nada suaranya.

"Kenapa kamu pakai baju istri saya?!"

"Ini bukan baju Acha pak, ini baju aku," kata Kayra. Memang baju yang dia pakai merupakan bajunya sendiri yang dibeli ketika dirinya dan Acha mengunjungi salah satu pameran.

"Bohong," tandas Iqbal. Rahangnya mengeras, begitu marah dengan Kayra yang mengatakan jika baju yang dia kenakan adalah miliknya sendiri. Jelas-jelas cardigan itu terlihat begitu mirip dengan milik istrinya. "Saya nggak mau kamu pake baju-baju istri saya lagi," katanya. Membuat Kayra terdiam dengan dada yang berdenyut ngilu. Begitu juga dengan bi Surti yang tidak bisa melakukan apapun untuk membantu Kayra.

Bi Surti berjalan mendekati Iqbal, mengusap lengan pemuda itu lembut. "Mas Iqbal mau kemana sore-sore gini?" tanya bi Surti yang langsung mengalihkan atensi Iqbal.

"Mau ke makan Acha bi," jawab Iqbal singkat. Tatapan matanya masih menatap tajam ke arah Kayra, membuat gadis cantik itu menundukkan kepalanya takut.

"Makan dulu ya mas,"

Iqbal menggeleng. "Nggak usah bi, aku makan diluar aja," katanya. "Aku nggak mau makan masakan dia,"

"Astaghfirullah hal adzim," Kayra terus beristighfar. Gadis itu berusaha keras menahan air matanya agar tidak menetes di hadapan pemuda yang sekarang sudah menjadi suaminya.

"Nggak boleh begitu dong mas,"

"Bi Surti lebih baik nggak usah ikut-ikutan, Iqbal ngerti apa yang terbaik buat Iqbal," jawab pemuda itu. "Dan kamu," katanya lagi. Menunjuk Kayra dengan telunjuknya. "Kamu harus sadar siapa kamu di rumah ini," katanya sebelum benar-benar pergi meninggalkan Kayra dengan kepala yang masih menunduk menahan air mata dan juga amarahnya.

Bi Surti menarik Kayra ke pelukannya menenangkan gadis itu yang bahunya sudah bergetar. "Yang sabar ya mbak ya," katanya. Tidak ada kalimat lain selain kata sabar semenjak Kayra datang ke rumah ini dengan status yang baru.

"Apa Acha juga ngerasain ini bi?" tanya Kayra. Gadis itu mengangkat kepalanya. "Apa Acha merasakan apa yang Kayra rasakan sekarang? Meskipun Kayra tidak memiliki perasaan sama pak Iqbal tapi rasanya sakit sekali bi,"

Bi Surti mengangguk pelan. "Iya mbak, mbak Acha juga pernah mengalami seperti ini. Bahkan bisa dibilang lebih buruk dari ini,"

"Lebih buruk?" tanya Kayra bingung. Sekarang saja dia sudah merasa jika apa yang dilakukan Iqbal begitu jahat dan Acha bahkan pernah mengalami yang lebih buruk.

"Mbak Acha sudah jatuh cinta sama mas Iqbal ketika mas Iqbal melakukan ini. Jadi bisa dibayangkan seperti apa kan rasanya?" Bi Surti menuntut Kayra untuk duduk kembali di meja makan. "Mba Acha sudah mencintai mas Iqbal sedangkan mas Iqbal masih sibuk dengan perempuan yang bernama Clara," bi Surti beranjak dari duduknya, mengambilkan segelas air putih untuk Kayra. "Tapi karena kesabaran mbak Acha, mbak Acha dapat merubah mas Iqbal,"

Kayra mengangguk paham. Dia jelas tau seperti apa Acha berusaha untuk mempertahankan hubungan rumah tangganya. Gadis yang sama sekali belum pernah menjalin hubungan dengan lawan jenis nyatanya dijodohkan dengan pemuda yang dicap baik oleh mahasiswa dan juga masyarakat di luar sana. Acha telah melalui begitu banyak hal, yang belum tentu dia sanggup jika dirinya menjadi gadis itu.

"Semua ada harganya mbak,"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!