Semarang, 1921.
Bunga mengintip dari balik pohon mangga yang ada di belakang sekolah, seorang anak lelaki berkacamata bulat yang duduk di atas bangku kayu panjang di pinggir taman.
Namanya Jacob. Rambutnya pirang dan kulitnya putih kemerahan saat terkena paparan sinar matahari. Anak itu pendiam dan selalu berkutat dengan buku-buku lusuh yang tebalnya bukan main.
Dia anak baru di Europeesche Lagere School. Sepertinya belum terlalu mampu menyesuaikan diri. Bahkan anak-anak Belanda yang bersekolah di sana pun tidak ada yang akrab dengannya.
Bukan. Bunga bukan tertarik pada fisik anak lelaki itu. Dia hanya merasa kasihan karena Jacob sepertinya tidak memiliki teman.
"Kamu baca buku apa?" Bunga kini duduk di samping Jacob, melongok ke arah buku yang sedang dibaca anak itu.
"Literair boek (Buku sastra)," jawab Jacob, dengan bahasa Belandanya yang fasih.
"Kamu tidak punya teman?" Bunga terpukau dengan mata biru Jacob yang jernih. Kulit wajahnya dipenuhi freckle yang menggemaskan.
"Temanku mijn boek (bukuku)." Jacob mengangkat buku tebalnya yang sudah berwarna kecoklatan; buku tua.
"Namamu Jacob, ya?" tanya Bunga, disambut anggukan kepala anak lelaki itu. "Je weet mijn naam (Kamu tahu namaku)?" tanyanya kembali dengan bahasa Belanda logat pribumi-nya.
Jacob menggeleng. Bunga mengulurkan tangannya meminta untuk berjabat tangan. Anak lelaki itu menyambutnya, dan kedua tangan kecil mereka saling bertaut. "Namaku Bunga. Tahu artinya Bunga?"
Jacob kembali menggeleng. Bunga mengulas senyumnya. "Bloem (bunga)."
Bibir Jacob membentuk huruf O sembari mengangguk-angguk. Dia memperhatikan gadis kecil cerewet di sampingnya itu.
Wajah ayu kekanak-kanakan khas anak pribumi. Pembawaannya ceria dan senyumannya manis, menampilkan gigi gingsulnya. Badannya kurus dibalut pakaian tradisional pribumi yang masih terasa asing di mata Jacob.
Jacob tiba di kota ini tiga bulan yang lalu. Diboyong oleh ayahnya yang ditunjuk oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menjabat sebagai Asisten Residen di Semarang.
Negeri ini adalah suasana baru untuknya. Begitu asing, begitu aneh. Dari cuaca hingga makanan, membutuhkan waktu lama untuk Jacob beradaptasi. Tidak jarang dia mengeluh sakit perut, kepanasan dan gigitan nyamuk yang sangat mengganggu.
Jacob merindukan musim dingin dan salju. Di mana dia bisa berdiam diri di dekat perapian yang hangat, membaca buku sambil menikmati secangkir coklat panas.
"Kamu suka tinggal di sini?" tanya Bunga membuyarkan lamunan Jacob.
Jacob mengedikkan bahu. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Ingin menjawab tidak betah, entah kenapa dia takut menyinggung hati gadis manis di sampingnya itu.
"Kamu mau jadi temanku?" tanya Jacob dengan aksen Belandanya yang kental. Lagi-lagi, entah kenapa, dia mempercayai gadis pribumi itu.
Bunga mengangguk cepat. "Tentu mau!" ucapnya girang. Jarang ada anak Blijvers; keturunan Eropa asli, yang mau berteman dengan anak-anak pribumi. Tetapi, Jacob sepertinya berbeda. Dia tidak sombong, hanya sedikit pendiam.
"Bedankt (Terimakasih)," ucap Jacob sembari mengulas senyum tipis. "Kamu mau pinjam buku-ku?" tawarnya seraya memberikan buku di tangannya.
"Benar? Boleh?" Mata Bunga berbinar.
"Tapi, bahasanya Nederlandse." Jacob meletakkan bukunya di atas telapak tangan Bunga.
"Tidak apa-apa. Sekalian untuk belajar."
"Oke."
Bunga membuka-buka buku tebal yang tampak lusuh itu. Tebal sekali. De gekroonde laars, Michiel de Swaen. Tentu, judul dan nama penulisnya tampak asing di mata Bunga.
"Bunga!"
Sebuah panggilan memaksa kedua anak itu menoleh ke asal suara. Seorang perempuan pribumi paruh baya berjalan menghampiri. "Si Mbok nggolek'i kawit mau, jebul ning kene (Mbok mencari dari tadi, ternyata di sini)."
Bunga buru-buru beranjak dari duduknya dan berpamitan pada Jacob. "Bedankt voor het boek (Terimakasih untuk bukunya)," ucapnya pada Jacob seraya berjalan menjauh mengikuti si perempuan berkebaya coklat tua itu.
"Jangan terlalu akrab dengan anak Blijvers. Nanti Bapakmu marah." Si perempuan, Mbok Pai; pembantu keluarga Bunga, memperingatkan pada sang putri majikan.
"Kalau begitu kenapa Bapak menyekolahkan aku di sini?" Bunga yang kritis melempar pertanyaan pada Mbok Pai.
"Si Mbok ora ngerti," sahut Mbok Pai, membuat Bunga mengerucutkan bibirnya.
***
Bunga membuka pintu kamarnya pelan, lalu menoleh ke sana kemari, memastikan kalau tidak ada siapa-siapa di koridor. Gadis itu tersenyum senang. Rumah tampak sepi. Bahkan Mbok Pai pun tidak terlihat batang hidungnya.
Hari ini dia akan bertemu Jacob di luar jam sekolah. Tepatnya, di pasar yang tidak jauh dari sekolah mereka.
Jacob tersenyum saat Bunga muncul di hadapannya. Gadis itu mengenakan dress berkerah warna putih tulang, dan rambut panjangnya dikepang dua dan dililit pita.
"Kamu cantik, ya?" Jacob tidak segan-segan memuji Bunga.
Bunga menjulurkan lidah meledek Jacob. Artinya, ucapan Jacob tidak terlalu ia pedulikan. "Orang tuamu tidak tahu kamu ada di sini, bukan?" tanyanya, penuh selidik.
"Mereka tidak tahu. Kalau mereka tahu, aku tidak akan ada di sini. Mereka tidak akan mengizinkanku keluar rumah sendiri," sahut Jacob seraya melongok ke arah pasar yang cukup ramai. Pengunjung pasar hampir semuanya orang pribumi. Jacob hanya melihat beberapa orang Belanda yang sedang berinteraksi dengan penjual sayuran.
Vader dan Moeder pernah mengajaknya dua kali ke tempat ini pada saat akhir pekan. Sebelumnya Bunga mengatakan, bukan pasar tujuan main mereka hari itu, tetapi Bunga ingin masuk ke dalam sebuah kolam renang tertutup yang ada di balik pasar.
"Ayo!" ajak Bunga seraya melangkah mendahului Jacob. Gadis itu menenteng sebuah tas kain yang isinya tampak penuh.
Jacob segera mengikuti langkah gadis itu. Kedua anak itu menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di pasar. Sebabnya, ada anak pribumi yang berjalan berdampingan dengan seorang anak Meneer Belanda. Hal itu tentu saja adalah pemandangan yang langka.
Namun, Bunga seakan tidak peduli dengan pandangan orang-orang terhadap dirinya dan Jacob. Tujuannya adalah kolam renang di balik pagar beton di sebelah pasar.
"Wacht (Tunggu), Bunga!" seru Jacob begitu keduanya sampai di depan pintu masuk kolam renang yang tertutup.
Bunga yang hendak mendorong pintu kayu itu mengurungkan niatnya. "Wat is het (Ada apa)?" tanyanya seraya mengerutkan keningnya memandang Jacob.
"Kamu tidak baca itu?" tunjuk Jacob pada sebuah papan tulisan yang ditempel di atas pintu.
Sepasang mata indah Bunga membulat. Ia membaca tulisan yang ada di papan, seketika dadanya bergemuruh.
Anjing dan priboemi dilarang masuk, ketjuali pegawai.
Bunga menggeram. Bibirnya manyun karena kesal membaca tulisan itu. "Jadi, kalian menyamakan kami dengan anjing?" tanyanya. Ia melampiaskan kekesalannya pada Jacob.
Jacob menggeleng cepat. Tidak pernah terbersit di dalam benaknya pemikiran seperti yang Bunga tuduhkan. "Aku tidak pernah berpikiran seperti itu."
"Jadi, bagaimana ini?" tanya Bunga sambil memandang tas di tangannya. Padahal, ia sudah menyiapkan pakaian untuk ia pakai berenang. belajar berenang lebih tepatnya. Karena ia berniat untuk meminta tolong Jacob untuk mengajarinya.
"Hmmm." Jacob mengelus dagunya, pertanda ia sedang berpikir.
Saat itu, muncul seorang lelaki pribumi dari balik pintu. Ia memakai seragam setelan kemeja dan celana coklat. Kepalannya dihias dengan Jamang.
Si lelaki sepertinya mengenal siapa Jacob. Terlihat dengan senyum ramah yang ia ulas saat melihat anak itu. Sedangkan terhadap Bunga, lelaki itu memandangnya dengan tatapan sinis.
"Kamu bisa baca, ndak?" tanya lelaki itu pada Bunga sambil menunjuk ke arah papan tulisan di atas pintu.
"Aku sudah izin dengan mijn Papa untuk bawa teman pribumi," jawab Jacob cepat sebelum Bunga sempat membuka mulutnya.
"Oh, begitu. Baik, kalau begitu silahkan masuk." Si lelaki mempersilahkan keduanya masuk. Meskipun tatapannya pada Bunga masih sedikit sinis.
Jacob buru-buru menggandeng lengan Bunga masuk melalui pintu kayu tinggi berwarna coklat dan sudah terlihat lusuh itu.
Di dalam bangunan beratap terbuka itu, bukan main gembiranya Bunga. Kolam renang luas yang sedikit berlumut itu memiliki air yang jernih. Ia bergegas masuk ke ruang ganti dan mengganti pakaiannya dengan kain yang membalut tubuh mungilnya sebatas dada.
"Ayo, ajari aku berenang."
Jacob mengangkat kedua tangannya. Ia tidak membawa pakaian lain selain yang melekat di badannya. Akhirnya, ia pun melucuti pakaian luarnya dan hanya mengenakan kaos dalam. Sementara ia membiarkan akan membiarkan ****** ******** basah.
Kolam renang yang tadinya tenang dan sepi karena tidak ada pengunjung lain selain mereka, kini menjadi ramai oleh teriakan-reriakan kegirangan kedua anak itu. Bunga yang tadinya ingin meminta Jacob mengajarinya berenang, teralihkan dengan bermain-main air saja.
Tawa keduanya begitu lepas seakan kolam renang itu hanya milik mereka saja.
***
"Bunga, kamu dari mana? Kenapa rambutmu basah? Kamu main di sungai?" Mbok Pai memberondong Bunga yang baru saja masuk melalui pintu belakang.
Bunga menempelkan jari telunjuk di depan bibirnya, meminta perempuan paruh baya itu untuk diam. Sebab ia takut suara rewangnya itu didengar oleh bapak dan ibunya.
"Mbok Pai jangan katakan apapun pada Bapak dan Ibu, ya?" pinta Bunga sambil menyatukan kedua telapak tangan di depan dada.
"Memangnya kamu dari mana?"
Bunga celingak-celinguk memastikan kedua orang tuanya tidak ada di sekitar dapur. "Aku pergi ke kolam renang dekat pasar Johar, Mbok," bisiknya.
Sepasang mata Mbok Pai membulat. Ucapan putri majikannya itu benar-benar membuatnya terkejut. "Bukannya kolam renang itu hanya diperuntukkan bagi orang Belanda saja? Kenapa kamu bisa masuk ke sana?" tanyanya. Tetapi, sejurus kemudian Mbok Pai menemukan jawabannya. "Kamu pergi dengan anak itu, ya?"
"Namanya Jacob, Mbok," ralat Bunga.
Mbok Pai menghela napas dalam-dalam. Gadis yang sejak lahir sudah menjadi momongannya itu memang benar-benar bandel. Jika bapaknya tahu, dirinya lah yang akan terkena masalah.
"Sudah, ya, Mbok, aku mau ganti pakaian." Bunga bergegas meninggalkan rewangnya itu sebelum perempuan yang sudah mengasuhnya dari bayi itu menasehatinya.
Bunga berjalan cepat menelusuri koridor menuju kamarnya. Tetapi, sebelum ia sempat membuka pintu, ia dikejutkan oleh kehadiran sang ayah yang memandangnya dengan heran.
"Bapak," sapa Bunga sambil meringis. Ia berpura-pura merapikan rambutnya yang basah.
Lelaki berkulit sawo matang itu, Tumenggung Wirya Tjokrowedono, menatap sang putri penuh selidik. "Kamu dari mana, Bunga?"
"Dari ... dari ...." Bunga berusaha mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan sang ayah. Tetapi, sepertinya otaknya mendadak buntu.
"Sungai?" tebak Tumenggung Wirya. "Bermain di sungai dengan anak-anak lelaki?"
Bunga mengangguk pelan. "Maaf, Bapak," ucapnya lirih seraya menundukkan kepala.
"Bapak sudah pernah katakan sama kamu, Bunga. Kamu ini anak perempuan, jangan suka keluyuran ke mana-mana, main sama anak lelaki." Tumenggung memberi peringatan kepada sang putri.
"Kalau sudah selesai sekolah, pulang ke rumah. Tidak usah mampir ke mana-mana. Jangan memaksa Mbok Pai untuk berbohong sama Bapak, menutupi kelakuanmu, Bunga."
"Bapak menyekolahkan kamu, agar kelak kamu dewasa, bisa menjadi ibu yang bisa mendidik anak-anakmu dengan baik."
Bunga masih menunduk mendengarkan nasihat panjang lebar dari sang ayah. Dalam hati ia berharap lelaki itu segera menyudahi ceramahnya. Nasehat yang selalu sama setiap kali dirinya berulah. Rasanya Bunga sudah hapal setiap kata yang terucap dari bibir Tumenggung Wirya.
***
Jacob berdiri menundukkan kepala di depan meja kerja ayahnya, Ambroos Janssen. Lelaki berambut pirang dengan mata biru serupa dengan milik sang putra itu melipat tangan di depan dada seraya menatap Jacob.
"Waar was je (Dari mana saja kamu), Jacob?" tanya Ambroos, dengan intonasi menginterogasi. Meskipun sebenarnya sudah ada anak buahnya yang melaporkan ke mana dan dengan siapa putranya itu pergi. Ia hanya ingin menguji kejujuran Jacob.
"Zwembad (Kolam renang), Papa." Masih menunduk, Jacob menjawab. Ia menyadari dirinya sudah melanggar aturan sang ayah untuk tidak keluar rumah sendirian.
"Papa pikir aturannya sudah cukup jelas. Papa larang kamu pergi dari rumah sendirian karena beberapa faktor. Tapi, faktor paling penting adalah, itu sangat berbahaya," terang Ambroos. "Bagaimana kalau ada orang pribumi yang membenci Papa dan menculik kamu?"
"Ja, het spijt me (Iya, maafkan aku), Papa," ucap Jacob lirih.
"Kamu pergi dengan siapa, Jacob?" tanya Ambroos kembali.
"Teman dari sekolah."
"Inlander (Pribumi)?" Ambroos menatap sang putra sembari memiringkan kepala.
Jacob mengangguk. Dadanya berdebar menunggu reaksi sang ayah. Ada ketakutan yang melanda hatinya. Ia takut tidak bisa berteman dengan Bunga lagi.
Sementara Ambroos mengelus janggutnya yang ditumbuhi rambut tipis. Ia terdiam untuk beberapa saat. Dari laporan anak buahnya, Jacob pergi ke kolam renang bersama anak Tumenggung Wirya yang menjabat sebagai bupati.
Meskipun tidak pernah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam masa jabatannya ini, tetapi, Ambroos tidak sepenuhnya percaya pada Tumenggung Wirya. Sejujurnya ia tidak percaya pada semua orang pribumi. Bisa saja sewaktu-waktu mereka memutuskan untuk melakukan pemberontakan.
"Kamu bisa dengarkan Papa, untuk tidak terlalu dekat dengan anak-anak pribumi?"
Jacob ingin bertanya kenapa, tetapi, tidak ada suara yang lolos dari mulutnya. Ia hanya diam atau mengangguk, seperti biasanya saat sang ayah menasihatinya.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!