"Sayang... kamu tunggu di sini dulu, Papa ada perlu sama teman sebentar, ok," Kata Adnan. Setelah shalat ashar sebagai pemilik kampus ia akan menghadiri rapat bersama petinggi kampus.
"Iya Pa, tapi jangan lama-lama loh," pesan bocah perempuan berumur 4 tahun itu, menggerakan telunjuknya tampak lucu membuat Adnan terkekeh gemas.
"Tidak dong sayang... cium dulu dong, muach," Adnan mencium pipi montok putrinya.
Adnan membawa map keluar dari ruangan direktur. Sementara bocah kecil yang bernama Afina itu menunggu di ruangan sendiri sambil bermain masak-masakan yang ia bawa dari rumah.
Namun, sudah hampir magrib Afina merasa bosan, karena sang papa tak juga datang.
"Papa kemana sih..." gumamnya, menggaruk-garuk kepala. Tangan kecil itu membuka handle pintu memindai sekeliling, tetapi di luar ruangan pun sepi.
Afina berjalan mencari sang papa di lobby kampus namun keadaan loby pun sudah sepi.
"Papaaa..." ia memekik. Tentu tidak ada jawaban, karena sudah tidak ada orang sama sekali. Afina mencari keliling kampus tidak menemukan siapa pun.
Bocah itu berjalan lambat sambil tengok kanan kiri, siapa tahu ada orang untuk mengusir sepi. Tanpa kenal lelah ia melewati tiap-tiap fakultas, udara dingin karena banyaknya pepohonan menambah suasana hening.
"Papaaa... huaaa..." Afina menangis merasa takut, karena di luar pagar kampus tampak hutan lebat tidak ada pendar. Matahari pun sudah bersembunyi tergantikan gelap.
"Meooooonng..." kucing berbulu hitam hanya terlihat matanya yang menyala merah kebiruan membuat Afina semakin ketakutan.
"Papaaa..." Afina berlari sekuat tenaga menjauh dari kucing dan tidak ia sadari sudah terlalu jauh dari fakultas kedokteran di mana sang papa rapat.
********
Tidak jauh dari situ seorang gadis nasibnya pun seperti Afina. Ia sedang menunggu dijemput ayahnya, tetapi sang ayah belum juga datang. Ia menunggu di pinggir jalan, karena di kampus sudah sepi.
Dia adalah Nur Sabrina, mahasiswi tingkat akhir wajah nya cantik dan menjadi idola kampus. Jika ia mau, bisa saja menerima tawaran salah satu mahasiswa yang mengagumi dirinya dan berniat mengantar. Namun, Sabrina memilih dijemput sang ayah, karena yakin seratus persen bisa melindungi dirinya.
Saat sedang sibuk dengan pikiranya sendiri Sabrina mendengar suara anak kecil yang memanggil-manggil papa.
"Papaaa... Papa dimanaaa.... huaaa...."
Gadis yang bernama Nur Sabrina itu menajamkan pendengaran wajah cantiknya disorot lampu tampak mengerling mencari sumber suara.
"Seperti mendengar suara anak kecil?" Gumam gadis itu lalu berdiri dari duduk nya di kursi panjang. Di pinggir jalan yang biasa hanya dilalui para siswa, tapi kali ini sudah sepi. "Hiii... jangan-jangan suara hantu, disana kan hutan?" Ujarnya seorang diri. Sebab waktu magrib telah lewat.
Gadis itu merasa takut kemudian menjauh.
"Papaaa... huaaa..." suara itu semakin mendekat ke arah Sabrina.
Sabrina menoleh ke belakang di mana anak kecil berlari dikejar kucing hitam yang hanya terlihat matanya seperti kelereng.
"Tanteee..." Afina merangkul perut Sabrina yang masih bengong.
"Hai... adik kecil, kenapa?" tanya Sabrina lembut, kemudian berjongkok di depan bocah kecil itu.
"Tanteee... aku takut..." tangan Afina menunjuk kucing. Namun, wajahnya masih menyusup di pundak Sabrina.
"Oh kucing... Pus, Puus... Puuus" Sabrina memanggil kucing.
"Meoooong..." Kucing hitam mulus pun menggosok-gosokkan pipinya ke kaki Sabrina yang terhalang celana.
"Tanteee..." Afina berputar memeluk pundak Sabrina dari belakang.
"Tidak apa-apa Dek, lihat, kucing nya cuma minta disayang," Sabrina mengusap kepala kucing yang terpejam.
Afina memandangi kucing yang manja naik ke pangkuan Sabrina.
"Tuh... nggak apa-apa kan? Sini, ke depan Tante," Sabrina mengangkat tanganya ke atas memegang tangan Afina yang masih mencengkeram pundaknya.
Afina akhirnya duduk di samping Sabrina.
"Coba sini tangan Adik," Sabrina memegang tangan Afina kemudian meletakan di kepala kucing.
"Meooooonng..." kucing berbulu hitam itu menatap Afina sambil menjulur-julurkan lidahnya.
"Bulunya licin.... gemeess..." pada akhirnya Afina tidak takut lagi.
"Sekarang nggak takut lagi kan? Kucing itu, binatang yang paling disayang kebanyakan orang. Makanya, banyak yang suka memelihara binatang lucu ini, kamu di rumah piara kucing nggak?" Sabrina menatap lekat wajah Afina. Hidung mancung, mata bulat, alis tebal. Sungguh cantik sekali.
"Enggak," Afina menggeleng.
"Oh iya, kamu tadi disini sama siapa?" setelah ngobrol lama Sabrina baru menyadari jika bocah ini hanya sendiri.
"Huaaa... Papa." Afina ingat sang papa seketika kembali menangis.
"Sayang... jangan menangis," Sabrina menurunkan kucing, beralih memangku Afina. Ia kesal seperti apa orang tua yang tega menterlantarkan anaknya di tempat sepi seperti ini. Pikirnya.
"Oh iya. Nama adik siapa?" Sabrina menyusut air mata bocah yang baru dikenal itu.
"Nama aku Afina. Afina Mawadah," jawab Afina.
"Nama yang bagus. Kalau nama Tante, Sabrina. Nur Sabrina," Sabrina memperkenalkan diri.
"Kok nama kita hampir sama ya Tan, Afina sama Sabrina," celoteh Afina langsung akrab dengan wanita yang baru ia temui itu.
"Hehehe... Iya, Tante baru sadar" keduanya tertawa.
*******
Di kampus dengan langkah cepat pria berahang tegas itu keluar dari ruang rapat lebih dulu meninggalkan bawahannya. Sambil berjalan, di bukanya ujung kemeja yang menutup arloji. "Astagfirrullah... sudah lewat maghrib. Ia bergumam.
Ia masuk lift, yang memang kosong memencet angka satu yang menuju lantai dasar. Ingin segera menemui putrinya yang sudah terlalu lama menunggu. Tanganya menyugar rambut klimisnya, berkali-kali mendesah kesal pada dirinya sendiri, karena meninggalkan putrinya seorang diri hingga dua jam.
Ting.
Lift terbuka suara sepatu pantofel terdengar nyaring bergema di loby kampus.
Ceklak.
"Maaf sayang... papa terlam..." ucapnya terpotong begitu memindai ruangan tidak ada Afina. Yang ada hanya mainan masak-masakan yang berserakan.
Plek.
Pria tampan itu melempar maf asal, hingga jatuh ke lantai. Berjalan tergesa-gesa ke kamar mandi.
"Sayang... kamu di dalam?" tanya pria itu. Namun sepi. Adnan membuka pintu perlahan ternyata kosong.
"Afina..." separuh nyawanya terasa hilang dengan sekuat tenaga ia keluar ruangan berputar-putar mencari putrinya.
"Ada apa Nan, kok terburu-buru sekali? tanya Arman yang baru turun dari lift, karena ia salah satu peserta rapat.
"Afina tidak ada di ruangan saya Pak Arman," ucapnya sedih.
"Jadi kamu tadi mengajak anakmu?" tanya Arman.
"Iya Pak, mungkin menunggu saya terlalu lama," lirih Adnan.
"Astagfirrullah... coba cek hp Nan, siapa tahu, keluargamu ada yang menjemput," Arman berpendapat.
"Oh iya ya Pak, kenapa otak saya ngebleng," Adnan membuka handphone cek pesan maupun telephone. Namun tidak ada yang masuk.
"Tidak ada Pak," jawabnya lemas.
"Sabar Adnan, kita cari bersama-bersama," Arman tidak tega menatap wajah Adnan tergambar jelas kesedihan yang dalam.
Dosen yang kini menjadi dekan fakultas ekonomi itu, menemani Adnan mencari Afina.
Dengan rasa panik tidak karuan Adnan menyusuri seputar kampus. Bukan hanya di fakultas kedokteran namun setiap fakultas ia datangi dan hasilnya nihil.
"Astagfirrullah... Pak Arman, anak saya kemana Pak?" Adnan rasanya ingin menangis.
"Sekarang coba hubungi keluarga kamu Nan, siapa tahu putri mu sudah ada yang menjemput," usul Arman.
*******
Assalamualaikum... cerita ini kelanjutan dari kisah Sulastri. Tetapi cerita ini bukan kisah nyata seperti Lastri ya, saya hanya mengolah cerita Adnan. Semoga bisa menghibur jika masih ada yang mau mampir 😁😁😁.
Nur Sabrina gadis 21 tahun, mahasiswi semester akhir, gadis cantik dan lembut, sayang dengan anak kecil. Selain kuliah, dia juga mengajar les privat. Sabrina awalnya anak orang kaya. Namun, karena sang ayah yang berprofesi sebagai pemborong partai besar seiring bertambahnya usia sudah jarang pengusaha properti yang memakai jasanya, kini Sabrina hidup sederhana.
Muhammad Adnan, adalah; Duda tampan. Ia adalah penerus usaha sang papa, yakni pemilik Kampus dan juga Yayasan pondok pesantren.
Afina Mawadah; anak berumur empat tahun cantik dan manja putri Adnan.
Sulastri adalah dosen cantik berusia 30 tahun memeliki satu putra. Dia istri Arman.
Arman Jaya Putra; Adalah dekan fakultas ekonomi dia adalah suami Sulastri.
Bobby sahabat Adnan.
Prily sahabat Sabrina.
Kevin teman Sabrina dan Prily.
Siti fatimah mama Adnan.
Rachmad papa Adnan.
Abdul: Ayah Sabrina.
Kamila; bunda Sabrina.
Suhaya; ART Adnan.
Isabella; mantan istri Adnan.
14 David suami Bella.
15 Djody teman SMP Adnan.
Andini mama Bella.
Wijaya papa Bella.
********
"Sebaik nya kita istirahat dulu sambil telepon tante Fatimah," saran Arman pada Adnan yang sudah tidak bisa berpikir sesuatu selain ingin segera menemukan Afina.
"Mari Pak," jawab Adnan kemudian mereka beristirahat di masjid yang masih di wilayah kampus.
"Sebaik nya kita shalat isya dulu, biar tenang Nan," saran Arman.
"Mari Pak," hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Adnan. Mereka pun shalat isya berjamaah. Selesai shalat, Adnan sedikit lebih tenang kemudian menghubungi mama Fatimah.
"Assalamualaikum..." Fatimah mengucap salam.
"Waalaikumsallam..." jawab Adnan dengan suara bergetar.
"Adnan, kamu kenapa?"
"Ma, Afina ada sama Mama nggak?" lirih Adnan.
"Loh kamu ini bagaimana sih Nan? Afina bukanya sama kamu?" mama Fatimah suaranya tak kalah panik.
"Afina hilang Ma,"
"Apa?! makanya tadi Mama kan sudah kasih saran Nan, agar mengajak art! Kamu malah nggak dengerin!"
Tut.
Mama Adnan memutuskan telepon sepihak.
Adnan benar-benar prustasi, kemudian menjatuhkan dahinya di lantai, bersujud berdoa agar putrinya dimanapun berada diberikan keselamatan. Saat ini sudah jam delapan malam namun Adnan seperti kehilangan jejak putrinya.
"Nan kita cari lagi yuk," Kata Arman.
Mereka pun keluar dari masjid berlajan ke pos satpam menanyakan apakah ada anak kecil yang keluar sore tadi. Satpam bilang tidak ada.
"Nan, ikut saya kita cek cctv"
Adnan pun mengikuti Arman, ia bersyukur karena Arman telah banyak membantu.
********
"Ayah kenapa menjemputnya malam banget?" tanya Sabrina ketika ayahnya baru saja tiba.
"Haduuh... macet Na, padahal ayah sudah selap selip mencari jalan, tapi mana bisa? Macetnya total, karena ada kecelakaan." pak Abdul kelihatan lelah sekali.
"Maaf Yah, kenapa nggak putar balik saja sih? Kalau tahu begitu, aku naik ojek aja," Sabrina kasihan pada Ayahnya.
"Sudaah... kita shalat isya ke masjid dulu," pak Abdul sampai belum shalat magrib ingin sekalian magrib walaupun telat daripada tidak.
"Loh, ini siapa Na?" Abdul baru menyadari jika ada anak kecil. Afina hanya tersenyum menatap Abdul.
"Nanti aku ceritakan Yah," mereka pun berjalan ke masjid. Namun baru beberapa langkah.
"Meoooong..." Kucing hitam itu menatap Afina seolah tidak ingin berpisah.
"Tante... kucingnya bagaimana ini?" Afina pun tidak tega meninggalkan Kucing.
"Biarkan saja Dia disini, tidak boleh di ajak ke masjid, nanti dia ngompol," Sabrina menjelaskan. Keduanya terkikik.
Mereka lanjut ke masjid menjalankan shalat. Selesai shalat, Sabrina menceritakan tentang pertemuannya dengan Afina.
"Kamu ingat alamat kamu nggak Nak, kalau kalau tahu saya antar" kata Abdul.
"Saya lupa..." jawab Afina polos.
"Kalau nomer hp ingat?" pak Abdul mengulangi pertanyaan.
"Nggak..."
"Tadi juga sudah aku tanyakan Yah, oh gini aja Yah. Ayah umumkan di speaker masjid, siapa tahu ada yang kehilangan," ide Sabrina muncul.
"Baiklah," tanpa barpikir lagi pak Abdul mengumumkan jika merasa ada yang kehilangan anak. Walaupun kemungkinan orang mendengar sangat kecil, sebab masjid ini masih milik kampus, dan susana sangat sepi, jauh dari pemukiman penduduk.
Di waktu yang bersamaan, seorang wanita setengah baya bersama sang suami masih di dalam mobil dalam keadaan kaca terbuka. Beliau memantau jalanan yang menuju ke arah kampus, barang kali melihat sang cucu dengan pendar lampu mobil.
"Ya Allah... cucu kita Pa..." mama Fatimah menangis sepanjang jalan.
"Yang sabar Ma, mudah-mudahan Afina tidak terjadi apa-apa," papa Rachmad pun sebenarnya sangat panik tetapi beliau berusaha untuk tenang.
Keduanya saling diam, hanya terdengar derung mobil miliknya sendiri. Mama Fatimah sayup -sayup mendengar nama cucunya di sebut di speaker. "Pa kita ke masjid dulu," kata Fatimah memecah keheningan.
"Bukanya kita sudah shalat isya Ma," tolak papa Rachmad.
"Pokoknya kita kesana dulu, siapa tahu cucu kita disana Pa." kukuh Fatimah. Entah tadi hanya halusinasi karena terlalu memikirkan cucunya, atau memang benar-benar mendengar nama cucunya di sebut, toh tidak ada ruginya mendatangi arah suara. Batin Fatimah.
"Baiklah," Rachmad membelokkan mobil ke kanan dimana letak masjid, hanya dalam satu putaran pria yang masih gagah di usianya yang ke 57 tahun itu masih sangat gagah.
Sampai di depan masjid mobil berhenti, Fatimah segera turun setengah berlari masuk ke dalam masjid di susul papa Rachmad.
Fatimah masuk ke tempat shalat pria. Hanya ada satu pria yang sedang berdzikir.
"Hahaha... Tanteee... geliii... hahaha,"
"Pa, suara itu suara cucu kita Pa," Fatimah berbinar-binar kemudian berlari ke tempat shalat wanita. Sampai di dalam, netranya menangkap cucu nya sedang di gelitik lehernya oleh gadis cantik.
"Afina..." seru Fatimah membuat dua wanita berbeda usia itu menoleh serentak.
"Nenek..." Afina memekik kemudian berlari menubruk Fatimah.
Sabrina pun menyusul di belakang memandangi cucu dan nenek itu saling berangkulan. "Kamu kenapa pergi dari Papa sayang... Papa mencari kamu..." nenek memandangi cucu nya mengembun.
"Papa jahat! Ninggalin aku di kamar," adu Afina cemberut.
"Papa bukan ninggalin kamu sayang... tapi sedang rapat," papa Rachmad yang baru ada kesempatan bicara menjelaskan.
"Iya, Papa mencari-cari kamu kebingungan," sambung Fatimah.
"Selamat malam Tante... Om..." sejak tadi Sabrina di lupakan kemudian menyalami tangan Fatimah.
"Selamat malam," jawab Fatimah dan suaminya bersamaan. Fatimah menatap lekat wajah cantik Sabrina.
"Oh iya Nek, Afina lupa, ini Tante Sabrina yang menolong Afina loh," celoteh Afina menceritakan pada Fatimah.
"Oh ya Allah... terimakasih Sabrina, tanpa kamu entah apa yang terjadi pada cucu saya," kata Fatimah tulus.
"Sama-sama Tante," Sabrina tersenyum ramah.
"Alhamdulillah... Afina sudah bertemu dengan keluarga nya" kata Abdullah selesai berdzikir menghampiri Sabrina.
"Sudah Yah,"
"Loh, ini bukanya pak Abdullah?" tanya papa Rachmad.
"Pak Rachmat," Abdulah terkejut.
"Papa sudah mengenal ayahnya Sabrina?" tanya Fatimah dengan dahi berkerut.
"Pak Abdullah ini, yang membangun yayasan kita dulu Ma," tutur Rachmad. Mereka pun berbincang akrab.
*
Papa Rochmat mengajak pak Abdul ngobrol menjauh dari Fatimah. Entah apa yang mereka bicarakan mungkin masalah bisnis. Sementara Fatimah berbincang-bincang dengan Sabrina menanyakan tentang kuliah.
"Jadi kamu kuliah disini Nak? Jurusan apa?" mama Fatimah ingin tahu banyak tentang pribadi Sabrina. Gadis cantik itu tidak hanya memikat hati Afina. Namun juga membuat hati Fatimah kepincut.
"Jurusan ekonomi Bu," Sabrina mengangguk santun.
"Berarti kenal dengan dosen Lastri?"
"Kenal Bu, malah kenal dengan beliau saat masih SMK dulu," Sabrina ingat ketika tidak bisa membayar ujian, lalu Lastri sang guru yang meluanasi.
"Oh," jawab Fatimah singkat.
"Nak Sabrina, boleh ibu minta nomor hp?" tanya Fatimah.
"Tentu saja boleh Bu," Sabrina segera merogoh tas tukar nomor hp dengan Fatimah.
"Tante Ina, pulang ke rumah papa aku saja," celetuk Afina polos. Membuat Fatimah dan Sabrina saling pandang.
"Nanti bunda tante, di rumah kebingungan menacari tante sayang, seperti nenek Afina tadi, juga kebingungan kan... mencari kamu," Sabrina menjelaskan detail
"Iya juga ya," Afina pun mengerti.
"Tapi lain kali, kita masih bisa bertemu kan Tante?" tampak penuh harap dimata bocah tk yang pintar itu.
"Kalau mau ketemu tante... tiap hari ada disini kok, karena... tante kuliah di sini sayang," Sabrina mencolek pipi bocah montok itu gemas.
"Sabrina... ibu terimakasih ya Nak, jika kamu butuh sesuatu, telepon saya. Kami pamit Nak," Fatimah pun beranjak.
"Baik Tan," Sabrina mencium punggung tangan Fatimah.
"Dadaaa Tante..." Afina melambaikan tangan.
"Daaaaa ..." Sabrina pun menyambut, lalu segera menemui ayahnya yang sedang ngobrol dengan papa Rachmad.
Sabrina berjalan bersama ayahnya dimana mobilnya tadi di parkir memang agak jauh dari masjid. Tampak mobil yang sudah tua, kadang merongrong, sering ke bengkel, karena mesinnya memang sudah saatnya di ganti yang baru. Namun Abdul lebih mementingkan biaya kuliah Sabrina daripada hal yang lain.
"Ayah tadi ngobrol apa sama Om Rachmad? Kok pakai mojok segala?" selidik Sabrina.
"Ayah senang Sabrina, keterlambatan Ayah menjemput kamu membawa berkah," Abdulah menoleh putrinya sekilas mengukir senyum.
"Maksudnya Yah?" Sabrina memutar badan menghadap ayahnya.
"Ayah di tawari membangun sekolah cabang AL INAYAH di luar kota sayang..." tutur Rachmad antusias.
"Alhamdulillah... Ina turut senang Yah, tapi Ayah kalau kecapea-an bagaimana? Apa lagi kerjanya di luar kota pula" Sabrina was-was.
"Ayah kan hanya mengawasi anak buah Na, tidak harus ikut mengerjakan," jawab Abdul santai.
"Ya deh," Sabrina mengangguk.
"Doakan lancar sayang... nanti kalau project ini gold, Ayah akan membelikan kamu motor, supaya nggak mengalami kejadian seperti tadi," kata Abdul.
"Tapi kata Ayah, kejadian tadi membawa berkah. Hihihi..." Sabrina tertawa renyah disambut kekehan oleh sang ayah.
Mobil berjalan sedang, Abdul menoleh putrinya belum ada 5 menit bersandar di jok ternyata sudah tidur pulas, mungkin terlalu lelah. Abdullah merasa kasihan dulu ketika SMP putrinya selalu hidup mewah. Namun ketika SMK mengalami jatuh bangkrut perekonomian pak Abdul pun merosot jauh. Bagusnya Sabrina bukan anak yang manja mengerti keadaan kedua orang tuanya.
********
Setelah kepergian Sabrina, Fatimah segera menghubungi Adnan. Agar tenang dan pulang sendiri dengan mobilnya. Sedangkan Afina pulang bersama Fatimah.
"Kakek... berhenti..." seru Afina, ketika mobil sudah berjalan.
"Ada apa..." papa Rachmad mengerem mendadak.
"Jangan suka ngagetin kakek kalau lagi nyetir dong sayang... bisa bahaya," Fatimah ngelus dada.
"Aku mau turun, lihat kucing dulu," rupanya Afina masih ingat kucing ketika ia tinggal ke masjid tadi.
"Kucing?" tanya Fatimah dan Rachmad bersamaan.
"Iya" pungkas Afina segera membuka pintu perlahan. Ketika menginjak aspal, mata Afina berbinar karena kucing itu masih di tempat semula. Fatimah pun menyusul mendekati cucunya.
"Nenek... aku mau ajak kucing ini pulang," rengek Afina, seraya mengusap lembut kepala kucing yang sedang makan sisa umpan yang di berikan Sabrina tadi.
"Tapi kucing ini belum di Vaksin sayang... jadi tidak boleh di bawa pulang," nasehat Fatimah.
"Biar saja Ma, nanti kita taro di taman belakang, besok baru kita bawa ke dokter hewan." saran Rachmad. Saat ini sudah malam tentu tidak ingin belama-lama disini kasihan cucunya.
"Baiklah... Nanti kita berhenti di minimarket depan Pa, beli pampres," Fatimah mengalah.
"Kucing nya mau di kasih pampres Nek? Hihihi... Nenek... Nenek. Kucing kok di samain dedek bayi," celoteh Afina kas anak-anak membuat kakek nenek itupun tertawa renyah.
*******
Mobil mewah tampak melaju cepat, sang pengendara ingin segera sampai di rumah, dan segera bertemu dengan putri kesayangannya. Dia adalah Adnan setelah mendapat telepon dari Fatimah sejak putrinya sudah bisa di temukan perasan lega membuncah. Adnan berpisah dengan Arman karena arah mereka berbeda.
Pria tampan dan tampak berjenggot yang belum di cucur selama sebulan itu, semakin membuat tampil keren di usianya yang sudah menginjak 32 tahun.
Tin... tiiin... tiiinnn...
Klakson mobil terdengar nyaring ketika sampai di depan rumah mewah milik orang tuanya.
Greeendeeenng..."
Pria bertubuh tegap yang tak lain adalah satpam rumah itu membuka pagar.
"Selamat malam Tuan," sapa satpam.
"Selamat malam, papa sudah sampai, Pak," Adnan memindai mobil papa Rachmad tidak terlihat.
"Sudah satu jam yang lalu Tuan," jawab satpam sambil menutup pagar kembali.
Adnan melangkah cepat mengetuk pintu setelah dibukakan oleh bibi, kemudian masuk ke rumah. Pandanganya tertuju kepada mama Fatimah yang masih menunggu kedatangan putranya. Sedangkan papa Rachmad berada di ruang keluarga.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam..."
"Fina mana Ma?" tanya Adnan memburu, setelah salim tangan Fatimah ingin segera tahu keadaan putrinya.
"Sudah tidur, capek kali Dia, sejak pulang sekolah tadi pagi, ikut kamu sama sekali belum istirahat," tutur Fatimah. Biasanya Afina jika siang selalu bobo.
"Terus... dimana tadi Mama bisa menemukan Fina, Ma? Dia baik-baik saja kan Ma?" cecar Adnan.
"Alhamdulillah... Afina baik-baik saja kok" mama Fatimah mengusap punggung tangan putranya seperti anak kecil.
"Astagfirrullah... hampir mati aku Ma," ucapnya lalu menjatuhkan bokongnya di samping Fatimah bersandar di sofa rasanya lelah jiwa raga.
"Sudah... ini buat pelajaran, lain kali jangan di ulangi, meninggalkan anak sendirian, untung ada gadis baik yang menolong Nan, jika tidak, Mama juga tidak bisa bayangkan," mama Fatimah meraup wajahnya sedih.
"Gadis Ma? Gadis siapa?" secepatnya Adnan duduk tegak menatap Fatimah ingin segera tahu jawabanya.
Mama Fatimah meceritakan pertemuanya dengan Sabrina yang sudah menolong cucu nya sambil tersenyum menatap lurus ke depan.
"Sabrina itu kuliah di kampus kamu Nan, besok kamu temui Dia, jangan lupa bilang terimakasih, ajak makan, kenalan, atau... pokoknya kamu pasti tahu lah," saran Fatimah.
"Sabrina? Kayaknya aku pernah mendengar namanya?" Adnan mengingat-ingat.
"Pokoknya... besok kamu temui Dia, di kampus, nggak usah kebanyakan mikir Nan," tegas Mama.
"Ya sudah Ma, besok aku mau bilang terimakasih sama Dia, sekarang aku mau ke kamar Afina dulu," pungkas Adnan kemudian meninggalkan Fatimah.
Fatimah memandangi anaknya yang sedang naik tangga tersenyum senang.
*******
Yang merasa aneh mengapa tiba-tiba Adnan menjadi duren, nanti akan di kupas habis. Ok! Tetap disini," ❤❤❤ 💪💪💪.
...Happy reading....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!