Aku sangat tidak menyangka dengan pernikahan yang kupilih ternyata jalan menuju luka.
Kenapa? Aku harus menikah dengan pria yang tidak bisa menghargai dan mengerti perasaan istrinya.
Kenapa? Aku harus menemukan pria seperti itu, pria yang tidak punya pendirian layaknya kepala rumah tangga pada umumnya.
Suamiku begitu penurut dengan ibunya, apapun perintahnya, suamiku tidak pernah membantah sekalipun.
Sementara aku? Aku adalah istrinya, namun diperlakukan layaknya babu yang secara suka rela menyumbangkan tenaga, hati, dan juga pikirannya.
Jika saja bukan karena anak, sudah kutinggalkan dua orang berhati batu itu.
Drama rumahtanggaku akhirnya dimulai..
***
Aku, Nadira. Akan aku ceritakan bagaimana kisah rumah tangga yang penuh dengan luka ini.
Pagi ini aku mengepel lantai yang memang sudah beberapa hari tidak kupel. Dengan gerakan maju mundur dan samping, aku mengayunkan gagang sapu pel itu. Itung-itung mencari keringat sehat, pagi sekali sudah banyak pekerjaan yang aku selesaikan, terkecuali memasak.
"Ra..."
Sontak saja aku menghentikan pergerakan tanganku dan mulai mencari sumber suara.
"Ini jatah belanja hari ini." Suamiku menyerahkan dua lembar uang dengan nominal 20 ribu dan 5 ribu kepadaku. Aku hanya bisa menatap nanar uang yang berjumlah 25 ribu itu ditangannya.
"Bang, ini..."
"Iya. 25 ribu jatah belanja kamu hari ini. Pinter-pinter kamu ngaturnya, jadi jangan minta tambah!" Ujarnya setelah memangkas kalimatku kemudian pergi begitu saja.
"Lagi-lagi 25 ribu. Hidup udah empat tahun masih gini-gini aja," aku mengeluh pelan.
Menghela nafas berat dan merentangkan uang yang katanya harus cukup untuk belanja satu hari itu.
Ya, Bang Angga suamiku, setiap harinya selalu memberiku uang yang nominalnya sangat terbatas.
Hanya 25 ribu setiap kali Bang Angga memberiku jatah uang belanja. Bisa dibayangkan, apakah cukup dengan 25 ribu untuk keperluan sehari?
Terkadang aku juga bingung, Bang Angga selalu bilang dengan cara ini bisa berhemat dan menabung supaya bisa cepat hidup mandiri, tapi disisi lain aku merasa ini bukanlah cara untuk hemat, melainkan terlalu ngirit alias pelit.
Huh, tapi ya sudahlah, mau segimanapun aku memprotesnya, dia tidak akan pernah menambahkan jatah uang belanjaku.
Jangan ditanya bagaimana rasanya. Kalau hanya sekedar capek dan lelah, sudah menjadi makananku setiap hari. Tapi aku selalu berusaha menerimanya dengan ikhlas dan juga sabar.
"Belum pergi kepasar, Ra?" Tanya Ibu mertuaku saat dia memasuki rumah. Entahlah pagi begini habis keluyuran dari mana.
"Abang baru kasih uangnya Bu, tanggung ngepelnya dikit lagi selesai," jawabku yang masih fokus dengan lantai.
"Buruan! Nanti keburu siang,"
"Iya-iya, sekarang," jawabku sedikit kesal dengan mata malas menatapnya.
"Nitip Rama aja Bu, kasian kalo harus ikut kepasar, panas. Pasti Rama juga bakalan ngeluh capek," tambahku lagi dengan berjalan melewatinya.
"Kasih ke Angga aja, toh dia hari ini gak kerja. Ibu capek abis jalan pagi," tolaknya kemudian menjauh memasuki kamar.
Aku melongo melihat Ibu mertuaku yang tiba-tiba menjauh."Emangnya cuma dia yang capek? Bahkan aku lebih capek. Capek segala-galanya. Lah dia apa? Kerjaannya cuma keluyuran sana-sini nyari gosip," gerutuku kemudian mencari Bang Angga untuk menitipkan Rama padanya.
"Bang, nitip Rama ya! Aku mau kepasar," pintaku pada Bang Angga yang tengah membenahi motornya.
"Lah Ibu kemana?"
"Di kamar. Katanya capek abis jalan pagi," jawabku agak malas.
"Jangan lama-lama!" Teriak bang Angga saat langkahku sedikit jauh dari pandangannya. Aku hanya mengangguk dan kembali melanjutkan perjalanan.
Pasar hanya berjarak 200 meter dari rumah, dan itu pun hanya ada dua kali setiap pekannya.
Tetapi bukan itu yang selalu aku masalahkan, melainkan dengan uang 25 ribu yang harus cukup untuk makan sehari.
Aku merasa seperti sedang dihukum oleh Tuhan. Waktu gadisku dulu, uang 25 ribu cukup hanya untuk beli cilok, bakso bakar, dan juga es campur. Tetapi sekarang, uang yang dulu selalu kuanggap remeh ternyata harus cukup untuk makan suami, anak, dan mertuaku. Ah, memikirkannya pun membuatku lelah, terlebih lagi harus benar-benar mencukupi.
Bayangkan saja, uang 25 ribu harus cukup untuk beli beras dan lauknya. Ya, bukan cuma lauknya saja, bumbu dapur, minyak dan sebagainya pun ikut termasuk. Gimana gak pusing coba?
Setiap hari aku harus memutar otak dengan kerasnya memikirkan bagaimana uang itu harus cukup untuk makan empat orang dalam sehari.
"Mau kepasar Ra?" Tanya bude Ratna, tetanggaku saat kami berpapasan dijalan.
"Eh bude, iya bude Dira mau kepasar. Mau ada acara apa bude? Banyak banget belanjaannya," tanyaku berbasa-basi setelah melihat tas belanjaan bude Ratna yang terisi penuh.
"Gak ada acara apapun Ra, sengaja aja belanja banyak buat stok, mumpung hari pasar," jawabnya sedikit meringis.
Aku mengangguk,"Dira lanjut lagi bude, keburu siang,"
"Eh, tunggu dulu Ra! Tadi pagi-pagi sekali bude ngeliat mertua kamu sudah ada di depan rumahnya bu RT loh, biasalah lagi gosipin kamu."
'Ya Allah, mertuaku satu itu pagi-pagi sudah kerajinan gosip di rumah orang. Fitnah apa lagi yang dia gosipkan?' bathin sedikit penasaran.
"Kata mertua kamu, kamu itu jadi istri terlalu boros. Sering jajan diluar, giliran di rumah cuma dimasakin tahu sama tempe setiap hari," ucap bude Ratna menceritakan apa yang ibu mertuaku gosipkan bersama para tetangga.
Seketika aku mengelus dada."Mertua Dira ngomong gitu, bude?"
Bude Ratna mengangguk meng-iyakan dan aku hanya bisa menghela nafas jengah dengan setiap gosip yang mertuaku gibahkan diluaran sana.
"Katanya kamu itu gak seperti dia dulu, yang bisa ngirit juga bisa nabung. Bude jadi penasaran, emang berapa sih uang belanja yang dikasih suami kamu Ra?"
"Alhamdulillah cukup buat makan bude. Tapi kalau buat nabung, sekarang memang belum bisa," jawabku dengan seulas senyum.
"Bude penasaran Ra, emang berapa? Kata ibu mertuamu tiap hari cuma dikasih makan tahu sama tempe. Menurut bude kalau cuma beli lauk itu harusnya bisa nyisihin sedikit buat nabung, Ra," Aku semakin geram dengan ucapan bude Ratna.
"Ya sudah bude, Dira lanjut lagi," Aku pergi meninggalkan bude Ratna yang rupanya penasaran dengan jatah belanjaku. Biarlah dia mengoceh karena kutinggalkan begitu saja. Dari pada aku makin darah tinggi mendengar kata-katanya, lebih baik kutinggal pergi melanjutkan kembali perjalananku.
Begitu sampai dipasar, hal utama yang aku beli adalah minyak goreng. Bersyukur beras masih cukup untuk hari ini, jadi aku hanya perlu membeli bahan masak lainnya.
"Minyak goreng udah, cabe udah, tempe tomat bayam terus bawang juga udah," ucapku lirih sambil menghitung isi kresek belanjaanku.
Dirasa tidak ada yang perlu lagi dibeli, aku memutuskan beristirahat sejenak dengan duduk disalah satu motor di parkiran. Kembali kubuka isi belanjaanku dan menghitung ulang semuanya. Karena biasanya bang Angga selalu bertanya sesampainya aku dirumah. Mulai dari belanja apa saja, habis berapa dan lain sebagainya.
"Minyak goreng seperempat 5ribu, cabe setengah ons 5ribu, bawang satu ons 7ribu, tomat 2ribu, bayam 2ribu, tempe 2 biji 3ribu. Sisa seribu," aku menghela nafas dengan menatap nanar sisa uang belanjaku.
Begitulah caraku belanja dengan jatah 25ribu dari bang Angga. Sengaja aku memilih harga yang murah, asal masih layak untuk dimakan. Dengan cara inilah aku bisa berhemat dan membuat yang tak cukup menjadi cukup. Lelah, sudah pasti! Aku juga sama seperti istri diluaran sana yang mempunyai banyak keinginan. Akan tetapi rasa inginku itu seketika ditampar oleh keadaan yang membuatnya sadar. Bahwa tidak akan mungkin aku bisa seperti istri orang-orang yang selalu bisa memenuhi keinginan mereka, setidaknya rasa ingin mereka pasti terpenuhi meskipun tidak sekaligus.
"Ya Allah, kapan penderitaanku ini akan berakhir. Bukan aku tak menysukuri nikmatmu, hanya saja semuanya terlalu terbatas, kuatkan selalu hati hambamu ini."
...****************...
"Bunda..." Rama berlari menghampiriku yang baru saja memasuki halaman rumah. Aku tersenyum menyambut anakku itu.
Anak pertamaku dan bang Angga, kami memberinya nama Rama Ferdinan. Saat ini usianya baru menginjak empat tahun, dan sudah seharusnya anak seumuran Rama mulai bersekolah. Tetapi untuk saat ini aku lebih memilih mengajarinya sendiri di rumah. Ditambah lagi sekolah jaman sekarang tidak ada yang gratis, jangankan untuk sekolah Rama, memikirkan jatah belanja yang hanya 25ribu saja sudah membuatku kalang kabut.
"Anak bunda sudah bangun. Apa Rama sudah mandi?"
"Sudah Bunda, Ayah yang mandiin Rama," jawabnya, membuatku menoleh dan sejenak memperhatikan suamiku yang tengah sibuk dengan motornya.
'Sayangnya kamu terlalu egois Bang. Kamu adalah imam kami, aku istrimu dan Rama anakmu. Sudah seharusnya kamu lebih mencukupi kami, memiliki pendirian dan ketegasan layaknya kepala keluarga pada umumnya. Tapi yang kamu lakukan sangatlah menyiksa bathinku' Aku bermonolog dalam hati saat memperhatikan suamiku.
"Bunda, bunda, Rama lapar," Perhatianku seketika beralih pada wajah mungil di hadapanku yang merengek kelaparan.
Aku tersenyum mengangguk dan mengelus pipi gembulnya."Ayo, Rama ikut bunda! Bunda mau masak tempe sama bayam hari ini, apa Rama suka?"
Wajah lesunya kembali terlihat, entah apa yang dipikirkan anak itu hingga membuatnya tertunduk lesu.
Kuraih kedua tangan mungilnya,"Rama kenapa, sayang?"
"Apa bunda gak beli ikan? Sudah lama sekali kita gak makan ikan. Rama bosen tempe bayam terus," ungkap bibir mungil Rama membuatku menghela nafas dengan hati yang teriris.
"Rama dengerin bunda ya, di luaran sana banyak yang gak bisa makan seperti kita, sayang. Jadi mau makan apapun kita, Rama harus bersyukur ya! Lagi pula tempe sama bayam itu sehat loh sayang, bisa buat Rama tumbuh besar dan kuat," ucapku mencoba memberi Rama pengertian.
Dalam hati, Ibu mana yang tidak sakit mendengar keluh kesah anak yang merasa bosan dengan makanan yang hanya itu-itu saja setiap harinya.
Ya Tuhan..
Mungkin kali ini aku bisa memberinya pengertian, bagaimana kedepannya nanti? Akankan aku bisa membuat anakku mengerti?
Aku menggandeng tangan Rama mengajaknya untuk memasuki rumah.
"Mau masak apa?" Baru saja sampai, suamiku sudah memberikan pertanyaan yang seolah sudah menjadi kewajibannya setiap hari.
"Bayam sama tempe bang, palingan nanti buat sambelan juga."
Sesampainya di dapur hal yang pertama aku lakukan adalah membereskan belanjaanku. Pagi sekali aku sudah memasak nasi. Sengaja aku lakukan karena takut kesiangan pulang dari pasar.
Tanganku mulai mengiris bayam kemudian mencucinya, dilanjut memotong tempe serta bumbu yang diperlukan. Sementara Rama begitu setianya menemaniku memasak, matanya seolah mengikuti setiap pergerakan tangan dan langkah kakiku.
Sebagian orang yang tahu jatah uang belanjaku selalu bertanya kenapa masih mau bertahan sampai sejauh ini?
Aku sendiripun tidak tau jawabannya. Yang kutahu, aku tidak akan mungkin tega meninggalkan anakku yang masih sangat membutuhkan kasih sayang penuh dari Ayah dan Ibunya. Melihat bagaimana suami dan Ibu mertuaku, membuatku semakin yakin tidak akan pernah meninggalkan apa lagi menyerahkan anakku pada mereka.
Masak-memasak akhirnyapun selesai. Aku mengutamakan Rama yang memang sudah merengek sejak tadi karena lapar. Mungkin karena itu dia sampai menungguku menyelesaikan semua masakannya.
Rama selalu kuajarkan untuk mandiri, terlebih lagi saat makan, dia selalu kubiarkan untuk makan dengan tangannya sendiri tanpa suapan dari siapapun.
Lalu apa yang aku lakukan setelah itu? Jangan ditanya, cucian piring masih banyak, baju kotor masih menumpuk, belum lagi rumah yang keadaannya seperti kapal pecah. Pekerjaan yang tidak pernah ada habisnya, sampai membuatku tidak ada waktu untuk istirahat siang. Kadang karena hal itu juga membuatku sampai lupa meminum pil KB.
"Makan kok tiap hari tempe, bayam, kadang tahu sama kanggung. Kayak gak ada lauk lain aja," oceh mertuaku saat ia membuka tutup nasi di meja makan.
Dengar sih, tapi aku tidak peduli. Tanganku masih fokus mencuci piring. Anggap saja angin lalu, masuk kanan keluar kiri. Jika ditanggepin, bisa-bisa stroke dadakan.
"Angga, minta istrimu besok-besok masak lauk lain! Tiap hari itu-itu mulu. Bosen ibu,"
Ya begitulah Ibu mertuaku. Saat apa yang tidak sesuai pilihan hatinya, ia langsung mengadu ke bang Angga.
"Ya sudahlah bu, kalau ibu bosen tinggal beli aja makanan diluar," Bang Angga merogoh kantong celananya dan menyerahkan satu lebar uang 10ribu pada Ibunya.
Aku membelalakkan mata yang melihat sekilas dari balik pintu dapur. Aku memang sengaja mengintip ingin tahu bagaimana reaksi bang Angga saat Ibunya mengeluh. Dan ternyata dia memberinya uang 10ribu untuk membeli nasi bungkus. Coba saja uang itu dia berikan padaku tadi, sudah pasti kubelikan ikan atau telor meskipun cuma seperempat.
Dengan hati yang amat dongkol aku pergi berlanjut menyelesaikan pekerjaanku. Sungguh sangat pilih kasih, anak istrinya dijatah, giliran Ibunya diistimewakan. Suami macam apa dia? Tidak berperikesuami serta kebapakan.
"Bunda, temen-temen Rama punya permen. Apa Rama boleh minta uang seribu untuk beli permen?"
Aku menghentikan sejenak aktifitasku yang tengah mencuci baju. Beruntung jatah belanja hari ini masih sisa seribu. Aku langsung memberikan uang itu pada Rama.
"Pergilah beli permen!" Ucapku ketika memberi Rama selembar uang seribuan. Anak itu kegirangan, dan langsung berlari dari hadapanku. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang mulai menjauh dengan suasana hati yang amat pilu. Sungguh kasihannya kamu nak, dulu Bunda tidak pernah kekurangan jajan. Bahkan apapun yang ingin Bunda beli, nenekmu selalu menurutinya. Tapi sekarang, karena ulah Ayahmu, kita jadi kekurangan.
Lagi-lagi aku hanya bisa menghela nafas dan berbathin sedih.
Hati seorang Ibu terenyuh melihat anaknya yang merengek meminta jajan. Bisa dibayangkan saat kita tidak punya uang sama sekali, anak kita merengek bahkan menangis meminta sesuatu, atau sekedar ingin memakan permen.
Sakittt sekali ya Allah..
Mendadak air mataku lolos begitu saja tanpa permisi. Membayangkan bagaimana kehidupan Rama kedepannya. Jangan sampai karena keegoisan Ayahnya, anakku menjadi kelaparan. Aku selalu memikirkan bagaimana caranya memperjuangkan kehidupan yang lebih layak untuk Rama. Cukuplah aku yang membangkang hingga akhirnya penyesalan dan nasib seperti inilah yang kuterima.
Cukuplah Ayahnya yang tidak begitu peduli bahkan egois.
Sangat sulit menjelaskan bagaimana Bang Angga. Inti dari masalahnya, dia terlalu penurut hingga tidak punya pendirian dan keputusan yang tegas.
Please..
Tidak untuk dicontoh, apalagi dipraktekkan!!
'Semoga kelak kamu akan jadi anak yang sholeh dan sukses ya nak, banggakan Bunda dan Ayahmu. Biarlah perjuangan dan air mata Bunda yang menjadi saksi atas segalanya, Aamiin' doaku dalam hati dan mengusap sisa-sisa air mata yang menggenang, kemudian kembali melanjutkan cucian bajuku.
TBC.
Kalian yang belum tahu namaku, perkenalkan aku Nadira. Perempuan berusia 24 tahun dengan status sebagai istri dan Ibu satu anak.
Aku menikah lima tahun lalu, dan bersyukur kami langsung diberi kepercayaan untuk memiliki momongan tanpa menunggu waktu lama.
Pernikahan kami tidak direstui oleh orangtuaku dan juga orangtua suamiku. Selama lima tahun aku selalu berusaha mengambil hati Ibu mertuaku supaya dia menyukaiku dan lebih menghargaiku sebagai menantunya.
Semakin aku mencoba bersabar dengan perlakuannya, semakin aku diperlakukan semena-mena olehnya. Terlebih lagi suamiku adalah orang yang penurut, dia berprinsip bahwa Ibu harus selalu dipatuhi termasuk setiap perkataannya harus dituruti.
Aku tidak mengatakan hal itu salah, hanya saja ada perbedaan yang harus kita tahu saat masih sendiri dan sudah berkeluarga. Tapi sayangnya suamiku tidak bisa membedakan hal itu. Dia tetaplah dia yang tidak akan berubah kepada Ibunya meskipun sudah memiliki istri yang sebenarnya harus ia prioritaskan lebih dulu.
Dan kenapa orangtuaku sendiri tidak merestui kami? Jawabannya adalah karena aku dan suamiku awalnya beda keyakinan. Itu yang pertama, dan yang kedua, sejujurnya aku berasal dari keluarga yang cukup mampu, mempunyai beberapa usaha yang sebenarnya harus aku kelola. Tapi aku memilih untuk mandiri dan ingin berdiri dengan kakiku sendiri tanpa bantuan dari keluarga. Ternyata persepsiku itu membuat orangtuaku murka, dan sekarang aku benar-benar dibuang hingga menjadi asing untuk mereka.
Hingga akhirnya aku dipertemukan dengan Bang Angga. Dia mengajakku menikah dan akupun menyetujuinya dengan syarat yang dia minta bahwa aku harus berpindah keyakinan, yaitu sebagai seorang Muslimah. Aku tidak masalah untuk itu, bahkan aku tidak peduli dengan restu dari orangtua yang sesungguhnya sangat amat penting kita dapatkan.
****
Entah kenapa, aku merasa akhir-akhir ini selalu mudah capek bahkan sering sakit kepala.
Puncaknya pagi ini, saat ingin memandikan anakku, Rama.
Seperti banyak bintang yang berkeliling di atas kepalaku. Bahkan untuk berjalan ke kamar mandipun aku merayap seperti cicak yang selalu menempel pada dinding.
"Bunda, bunda kenapa?" Tanya Rama yang mungkin keheranan melihatku terus memijat kepala.
"Gak papa, bunda cuma sedikit pusing," jawabku kemudian kembali menyiram sabun yang sudah melumuri tubuh Rama.
Setelah urusan anakku selesai, aku mencoba duduk sejenak beristirahat. Pandangan mataku beralih pada kalender yang tidak jauh dari tempat aku duduk.
Sontak saja aku mendekatinya dan mulai meraba setiap angka yang berderet rapi itu.
Aku mengingat-ingat sesuatu yang harusnya terjadi setiap bulan. Dan ternyata...
"Apa aku hamil?" Ucapku lirih dengan mata yang masih menatap kalender."Bulan lalu aku, dan bulan ini...." Aku mengentikan sejenak kalimatku dan kembali mengingat untuk memastikan apakah aku benar-benar hamil saat ini.
Setelah dirasa yakin dan pasti, aku langsung pergi kewarung dengan bermodalkan 3ribu sisa belanjaku pagi ini.
"Eh, Nadira mau beli apa?" Tanya Bu Marni, pemilik warung yang kebetulan tengah menyapu teras warungnya.
Aku menarik tangan bu Marni sedikit menepi dan berbisik," Dira minta tolong bu, Dira butuh tespek, tapi cuma pegang uang 3ribu. Apa boleh?"
"Apa kamu hamil?"
"Stttttttt, jangan kenceng-kenceng bu. Dira juga belum bisa mastiin hamil apa gak, makanya itu Dira butuh tespek sekarang,"
"Tunggu sebentar!" Bu Marni masuk kedalam warungnya dan terlihat mengambil sesuatu yang aku butuhkan. Melihat itu, aku menghela nafas lega.
"Ini, ambilah!" Bu Marni menyodorkan alat itu kepadaku.
"Terimakasih banyak bu, ini uangnya."
Tangan bu Marni seketika menggenggam tanganku,"Simpan saja, itu Ibu kasih buat kamu," ucapnya.
"Beneran bu?" Aku kembali tersenyum lega setelah bu Marni mengangguk. Karena sisa belanjaku masih utuh dan masih bisa aku gunakan untuk menambah belanjaku besok pagi.
"Tapi Dira minta ibu jangan kasih tau siapapun, termasuk ibu mertua Dira,"
"Emangnya kenapa Ra? Bukannya bagus kalo dia tau, mungkin bakalan seneng dapet cucu lagi."
"Pokoknya jangan dulu bu, lagipula belum pasti Dira hamil apa gak."
Bu Marni mengangguk,"Iya ibu bakal jaga rahasia."
Aku tersenyum mengangguk dan mengucapkan banyak terimakasih pada bu Marni yang telah memberiku alat tes kehamilan dengan cuma-cuma.
Setelah mendapatkan apa yang kucari, langsung aja aku bergegas pulang. Mengingat tadi pergi tanpa berpamitan dengan siapapun, termasuk Rama.
Begitu sampai di rumah, aku langsung menggunakan alat itu dengan perasaan was-was. Antara siap dan tidak. Setelah menunggu sekitar satu menit, hasilpun menyatakan bahwa benar saat ini aku tengah mengandung anak ke 2.
Entah harus berekspresi bagaimana setelah mengetahui kehamilanku saat ini.
Apakah bang Angga akan marah karena aku hamil lagi?
****
Hatiku sedikit gelisah menunggu kepulangan bang Angga. Entah bagaimana caranya aku bisa mengatakan tentang kehamilanku ini padanya. Terlebih lagi mertuaku yang super crewet itu, sudah pasti dia akan mencaci maki anak dan menantunya.
Suara motor bang Angga kulihat mulai memasuki halaman rumah.
Seperti biasa, aku menyalaminya saat suamiku berangkat ataupun pulang kerja.
"Ibu mana Ra?"
Suami macam apa dia? Bukannya anak sama istrinya yang ditanyain, ini malah Ibunya.
"Lagi mandi," jawabku malas.
"Eh bang, duduk bentar deh," aku menarik tangan bang Angga supaya mengikutiku duduk di kursi ruang tamu. Tanpa membantah, bang Angga menurutiku, ia pun duduk disampingku dan menatapku seolah bertanya ada apa.
Aku mengeluarkan alat kecil dari kantong bajuku dan memberikan padanya.
"Kamu hamil, Ra ?"
"Apa? Hamil?" Rupanya suara bang Angga yang terkejut terdengar oleh Ibunya yang baru saja selesai mandi. Tatapannya seolah ingin memangsa, dalam hitungan detik berikutnya, mulut crewetnya itu pasti akan mengeluarkan kata-kata yang tidak layak untuk diucapkan.
"Kamu itu gimana sih, Ra? Anak masih kecil udah hamil lagi aja. Makanya KB dong, biar gak kebobolan kayak gini. Kan ibu jadi malu, apa kata orang-orang nanti, anak masih kecil udah hamil lagi, apa gak kasihan Rama kurang kasih sayang, kurang perhatian?" cerocos ibu mertuaku.
"Emang pil KBnya gak diminum?" Sekarang gantian bang Angga yang bersuara.
"Ya diminum bang, tapikan kadang lupa saking repotnya. Apa lagi kalo udah capek, ya udah lupa segalanya," jawabku.
"Halah, alesan aja kamu. Palingan juga kamu yang pengen nambah anak lagi. Gak mikir Rama masih kecil, belum waktunya dia punya adik," tambah mertuaku.
Geram rasanya mendengar cemohan dia. Kalo saja bukan ibu mertua, sudah pasti akan kulawan. Aku masih menghormatinya sebagai ibu dari suamiku, sebab itu hanya mengalah dan diam yang bisa kulakukan saat dicaci maki olehnya.
Sabar Dira, sabar!!
****
Brak...
Aku membanting pintu saat memasuki rumah. Sabarku seolah dipermainkan, aku semakin tidak dihargai, bahkan begitu hina dimatanya.
"Pintu jangan kamu jadiin sasaran. Kenapa pulang-pulang kesal gitu?" Tanya bang Angga mendekatiku.
"Abang tanyakan saja semuanya sama Ibu. Kurang apa sih aku sebagai menantu bang? Kenapa dengan tega Ibu memfitnahku sana-sini menyebarkan gosip," teriakku. Aku tidak tahan lagi dengan semua sikap Ibu mertua yang semakin menghinaku.
"Memangnya ibu kenapa?"
"Emang salah kalo aku hamil? Kalo boleh memilih bang, aku juga gak mau hamil sekarang, disaat suami dan ibu mertuaku tidak pernah menghargaiku sedikitpun," lanjutku lagi dengan menatap tajam bang Angga.
"Jangan berbelit-belit, emangnya ada apa, kenapa?"
"Ibumu menyebarkan gosip keorang-orang, katanya dia malu punya cucu lagi, sementara cucu lain masih kecil. Bahkan Ibumu juga mengira aku ini hamil dengan pria lain, dan menyumpahiku mati saat lahiran nanti," Ucapku lantang, biarlah ibu mertuaku mendengar dari balik kamarnya. Memang itu tujuanku, supaya anaknya tahu, bahwa ibunya itu amat licik.
TBC.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!