Wangi berbagai aroma parfum wanita, telah memenuhi ruangan mess karyawan wanita, Moretta Fashion. Sekarang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, waktunya bagi para karyawan bersiap-siap berangkat ke toko pakaian paling besar, yang berada di dalam pasar tradisional terbesar di kota ini.
Namun, suara dering ponsel membuat Anarawati menghentikan langkahnya. Gadis yang akrab disapa Nara itu mendesah ketika melihat nama yang terpampang di layar ponselnya.
"Assalamualaikum ... iya, Bu. Ada apa?" tanya Nara lembut saat panggilan telepon masuk itu sudah terhubung. Namun, wajah Nara terlihat muram ketika menerima panggilan telepon tersebut.
"Nara, cepat kirimkan uangnya sekarang! Sebab besok adalah tenggat waktu pembayaran semesternya Naufal!" perintah Siti, yang tidak perlu basa-basi menjawab salam Nara.
"Baik, Bu. Setelah pulang kerja nanti, aku akan mengirimkan uangnya."
"Iya, Ibu tunggu." Setelah mendengar itu, sambungan telepon itu langsung terputus.
Tidak ada kata terima kasih, atau sekedar basa-basi menanyakan bagaimana kabar anaknya, Siti hanya menelpon Nara ketika meminta uang saja.
"Setidaknya menanyakan 'sudah sarapan belum?' Padahal aku ingin sekali saja bisa mendengar kata-kata itu dari Ibu," gumam Nara seraya memandang ponselnya dengan perasaan sedih.
"Nara, buruan berangkat, nanti kita telat!" Terdengar suara teriakan Bunga dari luar.
"Iya ...." sahut Nara yang langsung keluar menyusul teman-temannya yang lain.
"Siapa yang nelpon? Ibumu?" tanya Bunga.
"Iya," sahut Nara seraya mensejajarkan langkahnya di samping Bunga.
"Apakah minta uang lagi?" tebak Bunga yang merasa simpati dengan kehidupan yang dilalui temannya ini.
Nara mengangguk. "Minggu depan Naufal semester, besok adalah tenggat waktunya."
Naufal adalah adik ke dua Nara, dia masih duduk di kelas satu SMP. Nara lima bersaudara, dan dia adalah anak pertama. Sebagai anak pertama, sudah sewajarnya jika Nara membantu adik-adiknya agar bisa melanjutkan sekolahnya.
Bunga mendesah. "Dan, satu tahun lagi Nadia lulus SMA, apakah kamu akan membantu uang kuliahnya juga? Lalu, bagaimana dengan Nelly dan Nizam. Nara, kamu adalah kakak yang paling hebat."
Bunga terdengar memuji, namun ia mengatakannya dengan nada kasihan. Lagi pula, siapa yang tidak kasihan melihat nasib Nara. Nara hanya mengenyam pendidikan hingga SMP saja, namun ia sudah harus bekerja di usianya yang masih di bawah umur, dan lalu membantu biaya pendidikan adik-adiknya.
Nara tersenyum. "Iya, doakan saja aku tetap sehat dan rezeki ku juga lancar, agar yang diinginkan kedua orang tuaku, bisa terpenuhi." Tiga tahun sudah Nara bekerja di Moretta Fashion, dan ia sudah sangat bersyukur sebab bisa membantu ekonomi keluarganya.
"Aamiin ...." Bunga sontak mengamini doa Nara, ia juga berharap semoga kelak Nara bisa selalu hidup bahagia.
Setelah selesai menjalankan rutinitas setelah toko dibuka, yaitu membersihkan lantai, kaca dan juga semua barang dagangan dari debu, Nara dan teman-temannya bergantian sarapan pagi.
Hingga giliran Nara untuk sarapan tiba, Nara tidak bisa melewatkan kesempatan ini untuk segera mengirim pesan kepada Kevin, pacarnya. Mereka sudah berpacaran hampir satu tahun lamanya.
Aturan di tempat kerja yang melarang bermain ponsel di saat bekerja, membuat para karyawan menggunakan kesempatan untuk bermain ponsel di jam istirahat, termasuk ketika sedang jam makan.
[Mas Kevin sudah sarapan?]
Centang dua, namun Kevin belum membacanya.
[Mumpung aku masih sarapan, kalau Mas tidak sibuk, kita telvonan ya?]
Melihat teman-temannya yang lain, yang sedang asyik menelpon pacarnya masing-masing, tentu saja membuat Nara iri dan ingin teleponan juga dengan Kevin. Namun, balasan yang ia dapatkan...
[Apakah tidak cukup hanya seperti ini saja? Jangan bilang kalau kamu sedang iri dengan teman-temanmu yang ditelvon pacarnya masing-masing.]
Di akhiri emoticon malas, lalu Kevin terlihat mengetik lagi.
[Nara, sudah berapa kali aku bilang, meskipun kita juga pacaran seperti yang lainnya, tapi tidak seharusnya kita mengikuti gaya pacaran orang lain. Masing-masing orang punya gaya sendiri, termasuk aku!]
[Nara, sumpah aku capek ngikutin kemauanmu yang kekanakan itu. Jika ingin hubungan kita langgeng, terima saja gaya pacaranku, bukan meniru orang lain!]
Nara hanya bisa mendesah, lalu kemudian ia membalas. [ Iya, maaf.]
Hanya centang satu, sepertinya Kevin marah dan mematikan data ponselnya.
Melihat teman-temannya masih sibuk menelepon, Nara hanya bisa fokus kembali menghabiskan sarapannya.
Padahal aku merindukan suaramu.
Hari ini Minggu, toko akan selalu ramai pengunjung. Kesedihan dan kekecewaan Nara perlahan menghilang sebab riuhnya pembeli yang menanyakan stok baju, atau menawar harga, padahal sudah tertera harganya pas.
Maklum, begitulah cara ibu-ibu berbasa-basi dengan para pedagang, namun mereka akan sangat senang jika mendapatkan potongan harga sungguhan.
"Beneran tidak bisa kurang ya, Mbak?" tanya seorang ibu bertubuh tambun, yang kembali mengulang pertanyaannya kepada Nara.
"Maaf, Bu. Tidak bisa, harganya pas," sahut Nara seraya tersenyum.
"Huh! Iya sudah. Kalau gitu, aku nggak jadi beli," balasnya seraya melempar baju yang di pegangnya ke atas gawang gantungan baju. Lalu ia pergi dengan wajah masam.
"Iihh dasar! Kalau nggak punya uang, nggak usah sok kayak orang mau beli baju. Udah dibilang harga pas, tetep aja ngeyel nawar!" ketus Bunga pelan, ia paling kesal jika melayani pembeli semacam ibu-ibu seperti itu.
"Sstt! Sudah-sudah, nggak perlu diambil hati, kan udah biasa nemuin orang semacam itu. Ayo, layani yang lain saja," ujar Nara seraya menepuk bahu Bunga menenangkan.
Lalu kemudian mereka melayani pembeli yang lain, hingga waktu istirahat tiba.
Hari sudah siang, Kevin sudah kembali online, namun ia tidak mau membalas pesan Nara.
"Apa aku begitu keterlaluan? Tapi, kalau nggak mau telvonan, seharusnya nggak perlu marah sampai seperti ini," gumam Nara pelan seraya menatap layar ponselnya.
"Ada apa? Berantem lagi dengan Kevin?" tanya Bunga yang melihat wajah Nara yang muram.
"Iya ... begitulah. Bunga, memang aku salah ya, jika menuntut lebih banyak perhatian darinya?"
"Halah, nggak sepenuhnya salah kok, memang dianya saja yang aneh. Punya pacar seperti itu lebih baik diganti saja. Kamu jangan khawatir, nanti aku kenalkan kamu dengan cowok yang lebih baik, dan yang bisa lebih perhatian denganmu," ujar Bunga seraya merangkul pundak Nara.
Bunga menganggap Kevin aneh, sebab Kevin jarang mau berbicara lewat telepon dengan Nara, mereka berdua hanya sering berbalas pesan saja. Dan juga, Nara lah yang sering terlihat perhatian dengan Kevin. Namun, Kevin hanya bersikap seperti layaknya teman saja.
Nara hanya menanggapinya dengan tertawa, lalu kemudian mereka kembali melanjutkan langkah mereka menuju warung makan terdekat.
Namun, saat mereka hendak menyeberang jalan, Bunga melihat seorang laki-laki yang sedang mengendarai motor dan dikenalnya.
"Nara, bukankah itu Kevin? Dia bonceng siapa?" tanya Bunga yang melihat Kevin membonceng seorang gadis cantik di belakangnya.
Nara segera mengikuti arah pandang Bunga, wajahnya semakin muram ketika melihat pemandangan yang ada di depannya. "Kevin, kenapa kamu selalu bersama dia?" batin Nara yang merasakan hatinya seperti tertusuk oleh ribuan duri.
Sakit...
Siapa yang tidak akan sakit hati dan cemburu, jika melihat kekasihnya sedang berboncengan dengan wanita lain. Meskipun Kevin pernah mengatakan jika Diana hanyalah sepupunya, namun kedekatan mereka terlihat tidak wajar. Mungkinkah karena mereka tinggal di satu atap yang sama? Hingga hubungan mereka terlihat lebih dari sekedar sepupu, bahkan seperti tampak melampaui batas dari hubungan adik dan kakak.
"Dia sepupunya Kevin," sahut Nara acuh tak acuh. Nara sedang mencoba menutupi perasaan sakitnya dengan wajah datarnya.
"Benarkah? Tapi, kenapa mereka boncengan seperti sepasang kekasih?" gumam Bunga bingung.
Melihat cara Diana yang memeluk pinggang Kevin dengan erat dan juga salah satu tangan Kevin yang bebas dari setir motornya, ia gunakan untuk memegang tangan Diana. Hubungan mereka tampak terlihat seperti bukan sepupu pada umumnya.
"Tidak tahu. Sudahlah, jangan bahas mereka lagi! Bikin selera makanku jadi hilang," gerutu Nara seraya melanjutkan langkahnya.
"Eh, iya. Sorry ya ...." ujar Bunga yang merasa tidak enak.
Lalu kemudian mereka langsung masuk ke warung soto ayam terfavorit di kawasan Pasar Wage.
Wangi khas kuah berwarna kekuningan itu, setidaknya bisa sedikit memperbaiki perasaan sedih Nara. Daripada kesal memikirkan pacarnya, lebih baik Nara menikmati soto itu dengan menambahkan dua sendok sambal ke dalam makanan tersebut.
Ini adalah tindakan yang tepat untuk melampiaskan emosinya, dan setidaknya rasa pedas itu juga bisa menetralisir perasaan sedihnya.
"Kamu kalau ingin sakit perut, kira-kira dong ... Itu yang digunakan sambal sama Masnya cabai rawit, dia lebih mahal dari cabai biasa. Kamu ingin buat warung Masnya bangkrut?" gerutu Bunga. Bunga sedikit menaruh hati kepada Mas penjual soto itu, jadi dia sedikit cari perhatian lewat sambal tersebut.
Nara berdecak, ia mengabaikan perkataan temannya itu. Apalagi di saat Bunga tersenyum manis ke arah penjual soto tersebut, Nara memutar bola matanya malas.
"Bisa-bisanya caper sama Mas-mas penjual soto, lalu pacarmu mau kamu kemanain?" gumam Nara pelan yang nyaris berbisik.
"Ini namanya buat jaga-jaga, jadi kalau kita putus dari pacar, setidaknya kita sudah punya ban serep," sahut Bunga pelan seraya tertawa.
Sedangkan Nara hanya menggelengkan kepalanya saja, ia sudah tidak terkejut lagi dengan cara berpikir temannya yang periang itu.
Malam harinya, Nara yang masih marah, ia sudah tidak peduli lagi dengan Kevin yang masih marah padanya. Nara lebih memilih menonton drama kesukaannya lewat ponselnya, daripada memikirkan pacarnya yang tidak peka itu.
Namun, panggilan masuk di ponselnya telah membuyarkan kegiatan mengasyikkan tersebut. Melihat tulisan 'Sayangku' yang tertera di layar ponselnya, Nara mengembuskan napas sebelum akhirnya mengangkat telepon dari Kevin.
"Halo, kenapa tidak chat aku lagi? Kamu marah dengan perkataanku tadi? Tapi, kamu memang kekanakan, Nara," ujar Kevin kesal.
Biasanya Nara akan terus mengirimkan pesan untuk membujuk Kevin, hingga Kevin mau memaafkannya. Namun, kali ini Nara seperti mengabaikan kemarahannya, tentu saja hal itu membuat Kevin bingung dan merasa ada yang kurang, jadilah ia menghubungi Nara untuk meminta kejelasan, apakah pacarnya ini memang tersinggung dan marah?
"Tidak, aku tidak marah. Hari ini toko ramai dan aku kecapekan, jadi butuh istirahat saja," sahut Nara acuh tak acuh.
"Bohong! Kamu pasti cuma cari alasan saja kan? Nara, aku tahu kamu tidak bisa hidup tanpa aku. Jadi jangan pura-pura menghindari ku."
Mendengar kenarsisan Kevin, sontak Nara memicingkan matanya. Namun, sayangnya perkataan Kevin benar, Nara memang budak cintanya Kevin.
"Mas, aku tidak bohong, aku beneran capek. Aku ingin tidur sekarang," balas Nara sedikit ketus. Nara memang sepenuhnya tidak berbohong, ia memang kelelahan. Tapi, ia ingin mencari hiburan lewat nonton drama untuk mengurangi rasa lelah dan stresnya, jadi dia tidak ingin diganggu oleh siapa pun, termasuk Kevin.
Terdengar Kevin mendesah, lalu kemudian ia mengatakan, "Baiklah, sekarang kamu tidur dulu. Besok ambillah cuti, kita pergi jalan-jalan, bagaimana?" tanya Kevin yang sekarang sudah melembutkan suaranya.
Nara sejenak terdiam. Sepertinya Kevin sudah tahu jika Nara tadi melihat Kevin membonceng Diana, sebab tidak mungkin Kevin akan mengajaknya jalan-jalan kecuali hanya untuk membujuk Nara agar tidak marah padanya.
Berpikir ia memang sedang butuh liburan, Nara menjawab, "Baiklah, setelah ini aku akan meminta izin kepada Mbak Retta. Besok kita akan pergi jalan-jalan." Setelah mengucapkan kalimat perpisahan, Nara memutuskan sambungan telepon tersebut. Lalu kemudian, ia kembali menonton drama yang dilihatnya.
Keesokan harinya.
Tepat pukul tujuh pagi, Kevin sudah berada di depan gerbang mess karyawan wanita Moretta Fashion. Lalu tidak lama kemudian, Nara tampak keluar dari gedung tersebut dengan menggunakan blouse berwarna putih serta celana jeans panjang berwarna biru dongker. Rambut hitamnya ia biarkan terurai dengan jepit kecil yang tersemat sebagai pemanisnya.
Di mata Kevin, Nara memang gadis yang paling manis yang pernah ditemuinya. Namun, sayangnya dia sedikit kekanakan.
"Sudah siap?" tanya Kevin lembut.
Nara mengangguk seraya tersenyum tipis. Lalu dahinya mengernyit bingung ketika Kevin menyodorkan ponsel ke arahnya.
"Tolong, titip HP ku. Agar kencan kita tidak terganggu," ujar Kevin tersenyum seraya mengedipkan sebelah matanya.
Sedangkan Nara hanya tersenyum menerimanya, dan kemudian Nara langsung memasukkan ponsel Kevin ke dalam sling bag nya.
Inilah yang membuat Nara mudah luluh dengan sikap manis Kevin. Kevin memang selalu mempunyai cara tersendiri untuk memperbaiki hubungan mereka. Dia dalam sekejap bisa berubah menjadi lelaki gentle, yang terlihat seperti sangat mencintai dan memprioritaskan Nara. Namun, ia juga bisa berubah menjadi orang yang paling menyebalkan di dunia ini.
"Nanti kalau saudaramu kirim chat gimana?" tanya Nara yang sengaja bermaksud menyinggung soal Diana.
"Biarkan saja, jika memang ada yang penting mereka akan nelvon," sahut Kevin acuh tak acuh. Ia memang tidak ingin membahas soal Diana sekarang, sebab ia tidak mau merusak suasana kencan mereka hari ini.
Setelah menempuh perjalanan selama setengah jam, mereka berdua akhirnya sampai di salah satu pantai yang masih jarang dijamah orang. Sebab lokasinya yang harus melewati pinggiran tebing yang curam membuat para pengunjung ngeri jika datang ke pantai ini.
Hanya para muda mudi saja yang suka memacu adrenalin yang bersedia datang ke tempat ini. Namun, mereka akan mendapatkan pemandangan yang sangat menakjubkan sebagai bayaran yang pantas atas usaha mereka, apalagi tidak ada tiket masuk, jadi tidak ada ruginya jika mereka datang ke pantai ini.
"Bagaimana, indah bukan?" tanya Kevin yang menoleh ke arah Nara. Kini mereka berdua sedang berjalan di pesisir pantai.
Nara mengembangkan senyumnya seraya mengangguk. "Iya, aku suka tempatnya. Oh iya, apakah ini pantai yang Mas bilang waktu itu?"
"Iya, ini tempatnya." Lalu kemudian Kevin menghentikan langkahnya seraya mencekal tangan Nara.
Nara yang berjalan sedikit di depan Kevin, sontak ikut menghentikan langkahnya juga. Jantung Nara berdetak kencang saat matanya bertemu dengan sorot mata Kevin yang menyiratkan kerinduan.
"Nara, aku kangen kamu," ujar Kevin pelan seraya menatap wajah Nara dengan intens.
Nara segera menundukkan kepalanya, ia selalu malu jika ditatap seperti itu oleh Kevin. Lalu tanpa Nara duga, Kevin malah semakin mendekatkan wajahnya. Nara membelalakkan matanya saat bibir Kevin menempel dengan indah di bibir mungilnya. Ini adalah ciuman pertama mereka, yang begitu memabukkan bagi Nara.
Pipi Nara semakin memerah tatkala Kevin mengusap lembut pipinya.
"Pipimu kenapa merah sekali? Aku jadi tambah gemas." Setelah mengucapkan itu, Kevin kembali menyambar bibir Nara lagi, seolah-olah bibir Nara kini sudah menjadi candunya.
Setelah menyelesaikan ciuman yang kedua, Kevin sejenak menarik mundur wajahnya, lalu kemudian ia mencium kening Nara.
"Mau jalan-jalan ke sana?" tanya Kevin seraya menunjuk ke arah laut dengan deburan ombak yang cukup tenang.
Sedangkan Nara yang masih malu, ia hanya menganggukkan kepalanya seraya tersenyum malu-malu.
Kevin dan Nara terlihat begitu menikmati waktu mereka berdua hari ini, setelah puas menikmati suasana pantai, kini mereka berdua sedang makan siang di salah satu warung makan yang berada di pinggiran jalan raya.
"Sepertinya mau hujan, setelah ini aku antar kamu pulang ya?" ujar Kevin seraya melihat ke arah langit yang mulai menggelap karena mendung.
Nara menganggukkan kepalanya, sebab ia masih sibuk mengunyah suapan terakhirnya.
"Sudah?" tanya Kevin setelah melihat Nara selesai menghabiskan es teh nya.
Nara tersenyum. "Iya, kalau begitu ayo, kita pulang."
Setelah selesai membayar dan keluar dari warung tersebut, Kevin melepaskan jaketnya dan kemudian memberikannya kepada Nara. "Kamu pakai jaketku, udaranya sudah mulai dingin," ujar Kevin lembut.
"Tidak perlu, Mas. Mas saja yang pakai, kan Mas yang ada di depan."
"Sudah, tidak apa-apa. Aku nggak mau kalau kamu sampai sakit," balas Kevin seraya menyerahkan jaket itu ke tangan Nara.
Nara yang sudah tidak bisa menolak lagi, ia lantas memakai jaket tersebut. Dengan senyuman manisnya, Nara kemudian mengatakan, "Terima kasih."
Setelah sampai di depan gerbang mess, Nara segera mengembalikan jaket ke Kevin, lalu kemudian ia pamit masuk terlebih dahulu. Tanpa menunggu Kevin yang masih sibuk mengenakan jas hujan, sebab rintik hujan mulai jatuh membasahi bumi.
Namun, saat hampir di depan pintu, Nara melupakan sesuatu yang harus ia berikan kepada Kevin, yaitu sebuah jam tangan yang waktu itu Kevin titipkan ke Nara untuk diperbaiki. Kevin menitipkan jam tangannya untuk diperbaiki di toko yang berada tepat di sebelah toko tempat Nara bekerja.
Nara sontak bergegas kembali menemui Kevin yang masih berada di depan gerbang. Namun, Nara langsung menghentikan langkahnya ketika ia mendengar obrolan Kevin lewat ponselnya dengan orang yang berada di seberang sana. Gerbang itu cukup tinggi dan tertutup, jadi Kevin tidak mengetahui jika Nara berada di balik gerbang tersebut.
"Iya, Dianaku sayang ... Mas, akan belikan kamu dua puluh tusuk sate ayam. Jadi, kamu jangan marah lagi ya? Sebab rasanya dada Mas jadi sesak kalau kamu marah sama Mas," bujuk Kevin dengan lembut.
Nara tidak bisa mendengar suara Diana, namun Nara yakin itu adalah Diana sepupunya Kevin. Nara tersenyum masam mendengar percakapan ini, ia tentu merasa cemburu dengan semua ini. Jika saja Diana adalah adik kandung Kevin, mungkin Nara tidak akan pernah cemburu. Namun, Diana hanya sepupunya Kevin, dan Kevin juga terlihat lebih menyayangi Diana daripada dirinya, apakah ini masih bisa dikatakan wajar?
Nara tetap mematung di tempatnya berdiri, padahal Kevin sudah melajukan motornya pergi, yaitu tepat setelah ia mengakhiri panggilan telepon tersebut. Sedangkan hujan sudah turun mulai deras, namun tidak ada tanda-tanda jika Nara akan bergeser dari posisinya tersebut.
"Nara, ngapain kamu di sini?" tanya Bunga yang berjalan mendekat seraya membawa payung di tangannya. Ini adalah jam istirahat, para karyawan akan bergantian pulang untuk salat dan mengistirahatkan tubuh mereka sejenak. Melihat temannya berdiri di bawah hujan, tentu membuat Bunga bingung.
Nara tidak bergeming, ia terlihat tengah memikirkan sesuatu, lebih tepatnya melamun.
"Hei!" Bunga yang melihat Nara tidak menanggapinya, ia sontak mendorong pelan bahu Nara.
"Eh, Bunga. Sejak kapan kamu ada di sini?" tanya Nara yang terkejut seraya melirik payung yang tiba-tiba sudah menghalanginya dari hujan, lalu kemudian ia segera menghapus sisa air hujan yang membasahi wajahnya.
"Sejak melihat temanku nyaris kesambet," sahut Bunga ketus. "Ayo, masuk. Ngapain kamu hujan-hujanan begini? Memangnya dulu waktu kecil kamu belum pernah main hujan-hujanan? Melas banget hidupmu, masa kecilnya kurang bahagia." Lanjut Bunga yang terus mengomel untuk mengeluarkan semua rasa kesalnya kepada Nara. Sebab Bunga terlalu menyanyangi Nara, dan ia sedih jika melihat Nara seperti ini.
Melihat Nara hanya tertawa saja, Bunga sontak menyeret tangan Nara masuk ke dalam mess. Di dalam kamar, Bunga langsung mengambil handuk Nara dan menyerahkannya kepada gadis tersebut.
"Cepat mandi sana! Kalau kamu masuk angin, aku tidak mau kerokin kamu," ketus Bunga seraya mendorong pelan tubuh Nara agar cepat masuk ke dalam kamar mandi.
Bukannya segera menuruti perkataan temannya, akan tetapi Nara justru membalikkan badannya dan kemudian langsung memeluk Bunga. "Terima kasih. Terima kasih karena sudah menjadi teman baikku selain Stella. Di dunia ini, hanya kalian berdua saja yang tulus menyanyangiku," ujar Nara seraya menangis sesenggukan.
"Kamu itu ngomong apa? Semua orang juga sayang padamu," balas Bunga dengan nada kesal seraya memukul bahu Nara pelan. Namun, Bunga juga ikut meneteskan air matanya, ia benar-benar kasihan dengan hidup temannya satu ini.
Bunga memang masih belum tahu apa penyebab Nara tadi berdiri seraya hujan-hujanan di luar, namun Bunga bisa menerka jika ini pasti ada kaitannya dengan Kevin, sebab hari ini Nara mengambil cuti dan pergi bersama Kevin.
Nara tidak menanggapi kalimat Bunga barusan, ia hanya menggumamkan kata terima kasih lagi, lalu kemudian ia langsung pergi menuju ke kamar mandi.
"Dasar teman laknat! Setelah membuatku ikutan basah, langsung pergi!" teriak Bunga yang pura-pura marah, padahal suaranya terdengar parau ketika memaki.
Sontak hal itu membuat Nara bisa kembali tersenyum di dalam kamar mandi. Bunga memanglah teman yang bagaikan obat luka di saat ia sedang sedih.
Sedangkan di tempat lain. Kevin baru saja sampai di rumahnya, baru saja ia melepaskan jas hujannya, tiba-tiba saja dari arah belakang, Diana langsung memeluknya dengan manja.
"Mas Kevin, mana pesananku?" tanya Diana manja seraya menyodorkan tangan kanannya di hadapan Kevin.
Kevin tersenyum, lalu kemudian ia menyerahkan sebuah kantong plastik yang berisi satu bungkus sate ayam pesanan Diana. "Ini, pokoknya nanti harus dihabiskan. Awas kalau enggak!" balas Kevin yang pura-pura galak.
"Siap, Bos!" Sahut Diana seraya menerima kantong plastik tersebut, lalu kemudian Ia masuk ke dalam rumah melewati pintu dapur dengan riang.
Tanpa mereka berdua ketahui, ibunya Kevin melihat kejadian itu dari balik jendela samping rumah.
Melihat hanya Kevin sendirian di luar, Yulia lantas menghampiri anak bungsunya tersebut keluar melewati pintu samping.
"Kevin, dari mana kamu?"
"Eh, Ibu. Kevin baru saja keluar dengan Nara," sahut Kevin seraya menyalami tangan Ibunya.
"Oh, lalu kenapa Nara tidak diajak ke rumah?"
"Kan hujan, Bu. Kasihan kalau Nara sampai sakit karena dibawa mampir dulu ke sini."
Yulia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu kemudian ia mengatakan, "Kevin, Ibu mau bicara sebentar sama kamu, kita duduk di sini dulu."
Kevin yang penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh ibunya, ia lantas menuruti perkataan ibunya untuk duduk di kursi yang ada di teras samping tersebut.
"Kevin, kamu dan Diana itu sepupu dekat, jadi rasanya kurang pantas jika kalian terlihat dekat seperti itu. Ingat, Diana itu anaknya adik kandung Ibu. Meski agama memperbolehkan kalian menikah, namun menurut medis bisa meningkatkan risiko genetik pada keturunan. Dan, lagi pula apa kata orang-orang jika kalian berdua sampai menikah? Bisa-bisa kalian dikira 'kumpul kebo' selama ini," ujar Yulia yang sedang mengungkapkan apa yang menjadi kerisauan hatinya selama ini.
Mendengar perkataan ibunya, Kevin sontak tertawa. "Ibu ini bicara apa sih? Mana mungkin aku dan Diana akan menikah, lagi pula hubungan kami juga sebatas kakak dan adik. Aku sudah menganggap Diana seperti adik kandung ku sendiri, jadi Ibu jangan mengkhawatirkan ini, karena sampai kapan pun Diana hanya akan menjadi adikku," jelas Kevin sungguh-sungguh.
Mendengar jawaban anaknya, Yulia merasa lega. "Baiklah. Tapi, tetap jangan terlalu dekat seperti tadi, karena tidak enak jika sampai dilihat tetangga," ujar Yulia mengingatkan.
"Iya, Bu. Baik, ke depannya kami akan lebih menjaga sikap," sahut Kevin meyakinkan.
Sedangkan di balik pintu yang masih terbuka sedikit, tanpa mereka berdua sadari, Diana mendengar semua pembicaraan mereka. Lalu kemudian tangannya mengetikkan sesuatu untuk dikirimkan kepada Nara, sebuah pesan yang mungkin akan menjadi akhir dari kisah hubungan Nara dan Kevin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!