Malam ini hujan lebat, ada seorang pria tampan berusia 45 tahun yang sedang fokus mengemudi mobilnya, ia harus menginjak rem mobilnya sebelum menabrak gadis yang tiba-tiba ada di depan mobilnya.
Gadis itu mengenakan gaun malam, rambutnya basah dan semakin terlihat seksi saat berada di bawah rintikan hujan.
Tetapi, keseksiannya tidak membuat si pengemudi ini terpana, ia merasa kesal saat melihat ada gadis ceroboh di depan matanya.
Pria yang bernama Sam ini pun membuka kaca mobil untuk memaki si gadis yang sudah menggigil kedinginan.
"Hei! Cari mati lu!" teriak Sam yang melongokkan kepalanya.
Si gadis menganggukkan kepala, membenarkan ucapan Sam dan Sam semakin kesal, tentu saja ia tidak ingin mendapatkan masalah dengan menabrak seorang gadis.
"Pak, tolong tabrak saya!" pinta si gadis seraya mengatupkan dua telapak tangannya. Ia menangis sesenggukan dan terlihat ada luka memar di sudut bibirnya.
Melihat dari penampilannya, Sam mengira kalau gadis itu sedang dalam masalah keluarga dan Sam merasa tidak perlu untuk ikut campur.
Sam pun berteriak, "Minggir! Gua bukan pembunuh!"
Sudah begitu gadis tersebut tidak mau juga pergi, ia kekeh dan memohon pada Sam untuk segera menabraknya. Lalu datang seorang pria yang mengenakan piyama menyusul si gadis.
Pria itu mencekal lengannya, menyeretnya dan si gadis itu pun hanya bisa menatap iba pada Sam, berharap kalau Sam akan menolongnya.
****
"Lepas! Saya lebih baik mati dari pada harus melayani mu!" teriak si gadis seraya meronta.
Plak!
Gadis itu mendapatkan tamparan dan membuat sudut bibirnya mengeluarkan sedikit darah.
"Enak banget lo ngomong! Gue udah bayar mahal buat ******** kaya lo dan lo minta mati sebelum gue pakai?" tanya si pria berpiyama.
"Saya bukan jala**ng!" rintih gadis tersebut seraya bersimpuh di kaki pria itu.
Si pria yang sudah ikut basah itu pun menarik rambut gadisnya, membuat si gadis itu menatap wajah sangarnya.
"Asal lo balikin duit gue! Gue bakal lepasin lo!" kata si pria seraya melepaskan rambutnya kasar.
"Berapa uang yang harus diganti?" tanya seorang pira yang tak lain adalah Sam.
Mendengar pertanyaan itu, membuat si gadis dan pria berpiyama itu melihat kearahnya.
"50 juta!" jawab si pria dengan cepat.
"Kenapa? Lo mau dia? Ambil!" kata si pria seraya mendorong gadis itu.
"Ganti duit gue 50 juta!" katanya.
"Sial, kenal juga kagak! Masa gue harus ngeluarin duit sebanyak itu!" batin Sam seraya menatap si pria tanpa ekspresi.
"Kenapa? Lo keberatan? Kalau enggak punya duit jangan sok jadi pahlawan!" cibir si pria berpiyama.
Dan di tengah perdebatan antara Sam dengan si pria berpiyama, sebenarnya gadis itu ingin melarikan diri, tetapi, ia menahannya, apakah sudah pasrah? Ya, gadis yang berusia 25 tahun itu sepertinya sudah lelah untuk mencoba lepas dari genggaman si pria.
Semetara Sam, ia merasa diremehkan dan segera mengeluarkan cek, tanpa berkata apapun lagi, Sam segera menuliskan nominal yang pria itu ucapkan.
Tentu saja, pria itu merasa senang dan segera menerima cek tersebut.
"Ambil tuh cewek! Belum sempet gue pakai!" kata si pria seraya mendorong bahu gadis itu, setelahnya ia pergi dengan senang karena uangnya kembali.
Sementara itu, Sam merasa bingung, bingung dengan dirinya sendiri yang rela mengeluarkan uang banyak untuk gadis yang sama sekali tidak ia kenal, bahkan Sam juga tidak tau harus berbuat apa pada gadis itu.
Sam yang tidak ingin rugi pun membawa gadis tersebut untuk ikut pulang bersamanya.
"Jalan!" perintah Sam.
Sam pun mulai melangkahkan kakinya, berjalan mendahului si gadis yang masih mematung, menundukkan kepala.
"Kenapa nasibku seperti ini? Aku seperti barang yang berpindah tangan ke tangan lain!" batin si gadis yang merasa kalau hidup tidak adil.
****
Sam pun menoleh, pria yang berada di bawah payung itu menyadarkan gadis tersebut dari lamunannya dengan membentaknya.
"Heh! Malah bengong!"
Dan si gadis yang sedang melamun itu terkejut, ia menatap Sam.
Dengan tubuh yang menggigil dan tatapan yang mengiba, ia mencoba memohon belas kasihan dari Sam.
"Pak, saya bukan jala**ng! Tolong lepaskan saya," pintanya dengan dua tangan yang mengatup.
"Terus? Gue harus rugi? Seenggaknya lu harus berguna buat gue!" kata Sam seraya menarik lengan gadis itu, membawanya masuk ke mobil.
"Pak, saya akan kembalikan uang bapak, dengan cara mencicil, tolong lepaskan saya!" pintanya seraya menatap Sam yang sudah duduk di bangku kemudinya.
"Lepaskan? Tengah malam begini? Hujan deras? Dengan penampilan seperti ini? Yang ada uang gue 50 juta hilang sia-sia!" batin Sam.
Tanpa melihat ke arahnya, Sam pun segera melajukan mobilnya. Sama sekali Sam tak menghiraukan tangis si gadis yang belum ia ketahui namanya.
Sam membawanya pulang ke rumah.
Selama perjalanan, tidak ada obrolan diantara keduanya.
Sesampainya di rumah, Sam membunyikan klakson mobil dan tidak lama kemudian pintu gerbang yang menjulang tinggi itu pun terbuka.
Sam segera memarkirkan mobilnya di garasi.
"Turun!" perintah Sam seraya melepaskan sabuk pengamannya.
Tetapi, si gadis tak merespon ucapan Sam. Membuat Sam yang sedang merasa lelah itu menjadi kesal.
"Lu budeg, ya?" tanya Sam dan gadis itu masih menundukkan kepala, Sam pun menoyor kepalanya dan gadis itu menjatuhkan kepalanya ke pintu.
"Astaga, lu tidur? Biar gue gendong gitu?" tanya Sam dan gadis itu masih tidak merespon.
"Bangun! Jangan pura-pura lu!" kata Sam.
Sam pun turun lebih dulu meninggalkan gadis itu yang ternyata sedang pingsan.
Sam mengira kalau gadis tersebut mengikutinya dan saat Sam melihat kebelakang tak melihat keberadaan gadis itu.
"Kalau gue biarin dalam keadaan basah di mobil, nanti dia sakit gue repot juga!" batin Sam.
Sam pun kembali ke mobilnya, ia membuka pintu mobil dan hampir membuat si gadis itu terjatuh kalau saja Sam tidak sigap menangkapnya.
Sam merasakan kalau tubuh gadis itu sangat panas.
"Baru juga gue batin udah demam duluan, kan!" kata Sam. Mau tak mau, akhirnya Sam membopongnya, membawanya masuk ke rumah melalui pintu samping.
Sam yang baru saja masuk itu mendapatkan pertanyaan dari anaknya.
"Papih? Katanya papih udah tobat? Kenapa masih bawa perempuan ke rumah?" tanya Darren, anak dari Sam.
"Ini bukan seperti yang kamu kira!" kata Sam seraya berjalan dan meletakkan gadis itu di sofa ruang tengah.
"Sepertinya keputusan Darren untuk pulang adalah salah! Darren salah percaya sama papih yang mungkin enggak akan bisa berubah!" kata Darren seraya pergi meninggalkan Sam yang berkacak pinggang, Sam menatap anaknya yang tak mau mendengarkannya lebih dulu.
Bersambung.
Jangan lupa like setelah membaca ya 🤗
"Terserah kalau kamu enggak percaya!" kata Sam dan Darren pun tetap berlalu.
Sam melangkahkan kakinya ke belakang, memanggil bibi untuk mengurus gadis yang baru saja dibawa pulang olehnya.
Merasa lelah, Sam pun segera ke kamar, pria yang masih rapih mengenakan kemeja hitam dipadukan dengan celana krem itu langsung menjatuhkan diri di ranjang empuknya.
Tak membutuhkan waktu lama, Sam pun segera terlelap dalam tidurnya.
****
Di ruang tengah.
"Jahat kamu, Mas," lirih gadis yang terbaring di sofa, kini penampilannya sudah tidak lagi seksi, bibi menggantikan pakaian basahnya menggunakan dasternya.
"Siapa yang jahat?" batin bibi seraya mengompresnya.
"Apa dia dicampakkan sama tuan? Buktinya, dia enggak dibawa ke kamar." Bibi masih membatin.
"Salah enggak ya, ku pakaikan dia daster? Ah... kalau dia pacar tuan enggak mungkin ditaruh di sofa gini, pasti dibawa ke kamar atau kamar tamu," ucap bibi dalam hati, ia terus mengompresnya.
Keesokan harinya, bibi yang tertidur di lantai dengan kepala yang disandarkannya ke sofa itu bangun sebelum subuh datang.
Kebetulan, demam dari gadis yang masih tertidur itu sudah turun dan bibi pun meninggalkannya untuk mulai melakukan tugasnya.
Tidak lama kemudian, gadis yang belum diketahui namanya itu membuka mata, ia terkejut saat mendapati dirinya sudah berganti pakaian. Pikirannya pun menjadi kesana-kemari, ia mengira kalau dirinya sudah dinodai oleh pria yang semalam membawanya.
"Aku enggak akan memaafkan kalian!" batinnya, mulutnya mengerucut, hatinya menyimpan kebencian pada seseorang yang telah menjualnya.
gadis berambut lurus panjang sebahu itu bangun dan mulai melangkahkan kakinya, belum juga meninggalkan ruang tengah, ia harus menghentikan langkah kakinya saat mendengar suara pria yang semalam menukarnya dengan cek.
"Mau kemana lu?" tanya Sam dengan datar, Sam memperhatikannya dari lantai atas.
"Sudah impas! Bapak sudah menyentuh saya berarti saya boleh keluar dari rumah ini!" jawab si gadis seraya menatap Sam, matanya berkaca, ia mengira kalau dirinya sudah ternoda.
"Pede banget lu! Apa jangan-jangan lu ngarep gue sentuh? Sori... gue udah tobat!" jawab Sam seraya berjalan menuruni tangga, tangannya berada di saku celananya.
Sesampainya di lantai bawah, Sam memperhatikan gadis tersebut dari ujung kaki sampai ke ujung kepala, ia terkekeh melihat penampilan gadis itu yang mengenakan daster berukuran besar.
"Kenapa? Apa yang lucu?" tanya gadis itu seraya menyilangkan tangannya di dada, ia menyadari kalau dirinya tidak mengenakan bra dan ia melihat kalau mata Sam sempat melirik ke arah dadanya.
"Lepek banget gitu enggak ada rasa!" ejek Sam dengan santainya.
"Dasar pria gampangan! Genit! Mesum!"
"Terserah mau bilang apa! Sekarang lu harus jadi asisten gue sampai utang lu lunas!"
"Utang? Kapan saya utang sama bapak? Bukannya itu kemauan bapak sendiri yang ngasih cek sama bandot itu!"
"Astaga, ternyata gadis ini seperti rubah! Siapa namamu? Biar enak gue manggil lu!" tanya Sam yang masih berdiri di depan gadis tersebut.
"Enggak penting siapa nama saya yang penting saya mau pulang, terimakasih bapak udah mau ngasih cek sama bandot itu!" jawabnya seraya melangkahkan kakinya.
Namun, langkahnya terhenti saat Sam menahan lengannya.
"Jangan-jangan lu sama bandot itu sekongkol buat dapetin cek? Setelah dapat lu mau pergi gitu aja! Lu lupa semalam bilang mau bayar sampai lunas dengan cara mencicil? Dasar bocah, labil banget!" kata Sam seraya mengencangkan tangannya dan itu membuatnya kesakitan.
"Aduh, sakit. Lepas!"
"Siapa nama lu?" tanya Sam sekali lagi.
"Vio! Panggil aja Vio! Tolong ini lepas, sakit!"
Tak mendengarkan pintanya, justru Sam menyeret Vio ke garasi mobilnya. Sam menyuruh Vio untuk mencuci mobilnya yang semalam kehujanan.
"Pak, serius? Ini masih gelap loh, suara orang tadarus di masjid aja masih kedengeran, masa saya disuruh nyuci mobil!" protes Vio seraya mengibaskan tangannya dari cekalan Sam.
"Serius lah!" jawab Sam seraya mengambilkan peralatan mencuci mobilnya yang ada di dekat kran air di garasi tersebut.
"Cuci yang bersih, jangan sampai lecet! Lecet utang lu tambah banyak!" kata Sam seraya berkacak pinggang.
Vio pun mengerucutkan bibirnya dan Vio pun kembali bertanya pada Sam.
"Beneran bapak enggak sampai ngapa-ngapain saya? Kan saya rugi kalau ternyata semalam bapak apa-apakan saya, rugi di pakai iya, nyuci mobil juga iya!"
"Gue tau... lu bukan gadis ya? Makanya lu enggak tau udah di pakai apa belum?"
"Emang bukan gadis, kenapa? Masalah?"
"Aneh, jaman sekarang kok bangga banget buka aib sendiri!" ucap Sam seraya menggelengkan kepala. Tangannya berada di pinggang.
"Kenapa aib, ini pasti si bapak yang mikirnya kejauhan! Helo... pak. Saya udah menikah, apa menikah itu aib?" tanya Vio seraya menatap Sam dengan wajah mengejek.
"Halah, enggak penting! Sekarang lu cepet cuci mobil gue! Lu kerja sama gue sampai semua utang lu lunas!" kata Sam seraya pergi meninggalkan Vio.
Mau tak mau Vio pun akhirnya menuruti perintah Sam. Dengan perut yang keroncongan, Vio mencuci mobil itu sampai mengkilap.
Setelah selesai mencuci, Vio pun dikagetkan oleh suara pria muda yang tak lain adalah Darren.
"Mau-maunya lo nyuci mobil bokap gue! Gue ingetin ya, jangan terlalu cinta sama aki-aki itu, banyak ceweknya!" ucap Darren seraya masuk ke mobilnya sendiri yang terparkir di samping mobil Sam.
Vio hanya mendengarkan dan memperhatikan Darren yang mulai memarkirkan mobilnya.
"Anak sama bapak sama aja! Sukanya salah paham!" ucap Vio seraya membereskan peralatan mencuci mobilnya.
"Akhirnya, kelar juga!" kata Vio yang berkacak pinggang di depan mobil itu dan ternyata di belakangnya sudah ada Sam yang siap untuk bekerja.
"Pinter juga lu nyuci mobil!" kata Sam seraya berjalan melewati Vio.
Sam pun segera masuk ke mobil dan Vio segera mengikuti Sam. Ia duduk di sampingnya seraya menyilangkan tangan di dada, Vio melakukan itu karena Sam kembali melirik ke arah dadanya lagi.
"Ngapain?" tanya Sam tanpa melihat Vio.
"Begini, Pak. Saya boleh menawar" tanya Vio seraya menatap Sam.
"Apa?"
"Astaga, ketus banget nih bapak-bapak!" batin Vio.
"Begini, ijinkan saya pulang, nanti setiap hari saya cuci kan mobil bapak, sampai hutang saya lunas, saya terima kalau seumur hidup saya harus mencuci mobil bapak, tapi tolong ijinkan saya pulang ya, pak." Vio memohon pada Sam dan apakah Sam akan menurutinya.
"Ada jaminan enggak kalau lu enggak akan kabur?"
"Astaga... Pak. Saya bukan pembohong, saya itu miskin enggak punya surat tanah buat dijadikan jaminan, pak."
"Kalau gitu gue enggak percaya! Cepat turun terus tanya sama bibi soal kerjaan selanjutnya, sana!" kata Sam seraya menatap datar Vio yang sedang memelas.
"Janji kalau saya bohong berani di sambar petir!" kata Vio seraya mengacungkan dua jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf v.
Bersambung.
Apakah Sam akan menerima tawar menawar dari Vio ini?
Jangan lupa like setelah membaca, ya. Dikomen juga 🤗.
Terimakasih yang sudah mendukung author dan karya ini.
Sam pun mengiyakan permintaan Vio, pria yang sudah rapih dengan setelan kemeja dan jasnya itu menjawab dengan menganggukkan kepala.
Merasa senang, dengan mata yang berkaca Vio mengucapkan terimakasih. Ia tidak mengira kalau pria yang sudah berumur dan terkesan menyebalkan itu bisa berbaik hati.
Vio pun membuka pintu mobil itu kembali, tetapi, ternyata sudah Sam kunci.
"Biar gue antar! Sekalian berangkat kerja, di mana alamat rumah lu?" tanya Sam seraya memarkirkan mobil.
"Mungkin aki-aki ini takut kalau aku bohong!" batin Vio.
Lalu, Vio pun mengatakan di mana alamat rumahnya.
Di perjalanan, Vio merasa malu karena suara keroncongan dari perutnya itu terdengar keras.
Vio memalingkan wajahnya, ia melihat kearah kaca mobil, Vio malu pada Sam sedangkan Sam sendiri tak menghiraukan suara keroncongan itu.
Setelah hampir 45 menit, Sam dan Vio sudah sampai di depan rumah sederhana, terlihat ada seorang pria yang mungkin seumuran dengan Vio baru saja kembali yang entah dari mana.
"Dia laki lu?" tanya Sam pada Vio seraya dagu menunjuk pada pemuda tersebut.
"Iya," jawab Vio singkat.
Vio pun membuka pintu mobil lalu turun. Tidak lupa Vio mengucapkan terimakasih.
"Terimakasih, Pak."
"Hmm," jawab Sam. Setelah itu, Sam pergi dan melanjutkan perjalanannya ke kantor.
Melihat pasangan muda itu, membuat Sam teringat dengan dirinya yang dulu menikah muda. Ia juga teringat dengan mantan istrinya yang sekarang entah di mana, Sam tak mau tau lagi tentangnya.
Baginya yang telah pergi sudah seharusnya untuk dilupakan.
****
Di rumah sederhana Vio.
Vio membuka pintu rumahnya, ia melihat suaminya sedang duduk santai di sofa ruang tamu dengan menyulut rokoknya.
"Kamu udah pulang?" tanyanya tanpa melihat ke arah Vio.
"Mas, aku udah enggak sanggup lagi, aku mau kita cerai!" kata Vio yang masih berdiri di pintu.
"Kita enggak akan pernah cerai!" jawabnya seraya menatap Vio.
"Kenapa? Kamu takut enggak bisa makan tanpa aku?" tanya Vio, air matanya sudah menggenang, selama ini ia rela diperlakukan seperti apapun oleh suaminya, tetapi, malam tadi Surya telah melampaui batas, ia tega menjadikan istrinya untuk membayar hutang karena kalah judi.
"Udah berani melawan, kamu?" tanya Surya, suami dari Viona. Lelaki itu berdiri menatap, menantang pada wanita yang selama ini dianggapnya lemah.
Vio tak menjawab apapun lagi, ia segera pergi ke kamar, pertama, Vio memakai jaketnya lalu segera mengemasi barangnya.
"Kamu enggak akan kemana-mana!" ucap Surya seraya menahan tangan Vio.
Vio menatap Surya penuh benci, cinta yang dulu ada, kini seolah hilang karena rasa kecewa yang telah diterimanya.
"Lepas! Setelah kamu buang aku, kamu masih menahan aku? Enggak punya malu!" kata Vio seraya melepaskan tangan Surya dari tangannya.
Vio melanjutkan mengemasi barangnya dan Vio harus kembali berhenti saat tangan Surya menampar pipinya.
Perih, bukan hanya luka batin yang Surya berikan. Tanpa mengatakan apapun, Vio kembali melanjutkan mengemasi barangnya dan itu membuat Surya semakin kesal karena Vio mengabaikannya.
"Viona!" bentak Surya tepat di depannya.
Viona yang sudah habis kesabaran pun menjatuhkan tasnya ke lantai. Gadis yang sudah berderai air mata itu menatap datar pada suaminya.
"Apa? Aku enggak budeg! Enggak usah pakai teriak!"
Dan Surya pun mengambil tas Viona, memasukkannya kembali ke lemari.
"Kamu itu aneh ya, Mas! Aku pergi enggak boleh! Aku bertahan kamu siksa! Aku minta cerai juga enggak mau! Kamu itu maunya apa sih?" tanya Vio dengan nada yang mulai sedikit tinggi.
"Jangan mentang-mentang bisa nyari duit sendiri kamu! Terus bisa seenaknya sama suami!" kata Surya seraya keluar dari kamar.
"Mas!" teriak Viona dengan kesalnya.
Wanita itu mulai merasa tertekan dengan hidupnya.
Vio pun terduduk di tepi ranjang. Tangannya mengusap wajahnya kasar.
"Tuhan," lirih Viona seraya tangan mengusap dadanya yang terasa amat nyeri.
****
"Brengsek! Siapa dia bisa pergi dari aku? mentang-mentang bisa nyari duit sendiri, ngeremehin suami!" gerutu Surya seraya keluar dari kamar.
Pria itu segera membuka nasi bungkus yang baru saja dibelinya. Ia makan dengan perasaan kesal, saking kesalnya, pria yang berambut keriting itu melempar nasi bungkus yang tak bersalah itu.
"Aaaaa!" teriak Surya dan suara teriakan Surya itu terdengar sampai ke kamar, Vio tak memperdulikan itu.
"Aku ingin jadi istri yang nurut, sholehah buat kamu, biar bisa masuk surga bersama nanti, tapi gimana mau masuk surga, kalau di dalam rumah yang seharusnya penuh kenyamanan dan kasih sayang antara kita saja enggak ada!" ucap Vio pada dirinya sendiri.
Vio pun bangun, ia bertekad akan pergi dari rumahnya, Vio kembali mengambil tasnya dan keluar dari kamar, ia berjalan melewati Surya yang sedang menatap kosong ke depan.
"Mau kemana kamu?"
"Pergi!"
"Sekali kamu keluar dari rumah ini, kamu enggak akan pernah diterima lagi!"
"Enggak salah? Ini rumah aku! Rumah warisan ibuku!" jawab Vio seraya berbalik badan.
Mendengar ucapan Vio membuat Surya kembali tidak terima, ia selalu merasa direndahkan oleh Vio.
Surya pun bangun dari duduknya, ia mendekati Vio yang masih menatapnya.
"Memang, memang seperti itu, kamu itu enggak pernah menghargai aku, mentang-mentang aku enggak kerja, enggak punya apa-apa, kamu bisa seenaknya rendahin aku gitu?"
"Emang pernah aku benar di mata kamu? Aku baik salah, apa lagi aku salah makin salah di mata kamu!" jawab Vio seraya menunjuk wajah Surya.
"Rumah tangga kita udah enggak bisa diselamatkan, aku menyerah! Aku pilih mundur! Dan kalau kamu enggak mau pergi dari sini biar aku yang pergi!"
Setelah mengatakan itu, Vio benar-benar keluar dari rumahnya sendiri, ia meninggalkan suaminya.
"Sial, kalau dia pergi, gimana sama hidup aku!" batin Surya seraya duduk di sofa ruang tengah.
"Tapi, mana mungkin dia akan melepaskan rumah ini, dia pasti kembali demi rumah ini!" ucap Surya dengan yakinnya.
****
Dan Vio memilih pergi ke tokonya. Ya, Viona memiliki toko juga menjual online barang dagangannya, Vio menjual perlengkapan untuk bayi dan balita
sesampainya di sana, Vio langsung naik ke lantai atas, bahkan ia mengabaikan sapaan karyawannya.
Dan semua karyawannya sudah terbiasa dengan sikap Vio yang seperti itu, sikap yang menandakan kalau dirinya sedang tidak baik-baik saja.
Vio menjatuhkan dirinya di sofa panjang, rasa lapar yang sedari tadi ia rasakan itu diabaikannya, ia merasa lelah dan tak memiliki nafsu makan.
Matanya terpejam, ia teringat dengan kejadian semalam.
Tak seperti biasa, Surya menjemputnya ke toko, Vio mengira kalau Surya sudah berusaha merubah sikap arogannya. Tetapi ternyata, Surya menjemputnya karena kalah judi dan menjadikan Vio sebagai gantinya.
"Sakit hatiku, Mas! Untung aku ketemu sama bapak itu, kalau enggak, mungkin aku udah ternoda!"
Bersambung.
Jangan lupa like dan komen ya 😊.
Dukung karya ini juga dengan vote/giftnya. Terimakasih banyak 🤗
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!