NovelToon NovelToon

Dalam Cengkeraman Vampir Kesepian

Elena Irys

Elena tersenyum dan merapatkan jaket rajut ke seluruh tubuhnya seraya mendorong jendela kamar untuk menghirup udara musim semi pertengahan bulan Maret. Suhu mulai meningkat perlahan hingga suasana menjadi lebih hangat ketimbang musim dingin yang mengharuskannya banyak beristirahat di rumah.

Gadis berambut coklat kemerahan itu melangkah dengan semangat yang merekah kala perempuan yang telah melahirkannya dua puluh dua tahun yang lalu memanggilnya dari lantai bawah.

Aroma kue madu berpendar di udara. Gadis itu menghirupnya dalam-dalam dan tersenyum lebar.

"Mom, aku harus ke lapangan kampus untuk latihan berkuda. Minggu depan aku akan mengikuti turnamen pacuan kuda. Mom setuju?" 

Julianne sama sekali tidak bisa melarang hobi putrinya berkuda, sejak kecil Elena sudah hidup di perkebunan milik keluarga mereka yang memiliki banyak hewan ternak. Termasuk kuda pacuan. Elena memiliki satu kuda bernama Hayley, kuda kesayangannya berjenis betina.

Julianne mengangguk dengan pasrah, ia langsung mendapatkan serangan dari Elena dengan pelukan hangat. 

"I love you, mommy." serunya. Alih-alih merasa kesal putrinya masih seperti gadis remaja kejatuhan durian runtuh, Julianne mengangkat tubuh anaknya. Mereka berputar-putar seperti kompas. 

"Temui daddy dan minta izinnya, kau harus bersahabat dengan dia Elena. Mark merindukanmu." kata Julianne. Mereka berhenti dengan napas terengah. 

Elena mengangguk dengan lemah.

"Daddy pasti tidak setuju mom, dia trauma dulu pernah melihatmu jatuh dan kakimu patah. Dia takut hal itu terjadi padaku. Dia mengkhawatirkan aku begitu besar mungkin sama seperti waktu mengkhawatirkanmu dulu!" cerocos Elena sembari memotong kue madu yang masih hangat. Sementara Julianne mendesah, ingatan masa lalunya mendadak mengusiknya dengan ribut.

"Mom, kamu baik-baik saja?" tanya Elena. 

Julianne mengusap wajahnya dengan serbet sambil memunggungi Elena. 

Gadis itu mengedikkan bahu. "Mommy pasti kangen papa."

Elena mengunyahnya tanpa berselera hingga bunyi bip-bip di kantong celananya membuatnya menarik ponsel. Dengan setengah semangat pula dia mendengarkan seseorang yang bicara di telepon dan mengangguk.

"Mom, Reyand udah di luar. Aku pergi dulu." Tanpa menghabiskan kuenya, Elena beranjak, menjejalkan ponselnya ke celana seraya mencium pipi kiri Julianne. 

"Sebaiknya mommy temui daddy!" 

"Kau!" Julianne mendelik. "Hati-hati, Ela." jerit Julianne ketika putrinya berlari kecil dengan cepat menaiki anak tangga, tak lama, semerbak harum parfum lavender terendus di ruang makan. Elena mencium lagi pipi Julianne sebelum dengan langkah cepat ia mendatangi Reyand di bahu jalan.

Mereka tersenyum lebar, dua atlet equestrian itu saling meninju lengan sebagai sapa pertemuan sebelum masuk ke dalam mobil. 

"Kita langsung ke istal kampus saja, Ela. Gimana menurutmu?" tanya Reyand sembari mengemudi.

"Hayley ada di sana, Rey. Jadi menurutku aku setuju aja sih. Aku merindukannya, satu Minggu dia tidak ada di rumah." aku Elena yang membuat si kekasih mengacak-acak rambutnya. Gemas sebenarnya Reyand kepada Elana, namun anak pastor dari sebuah katedral lawas itu selalu membuat jarak dengannya.

"Pak Robin pasti memberinya makan dengan baik, Ela. Kau tau, Robin slalu menyukai kuda-kuda titipan mahasiswa ketimbang harus berurusan dengan polisi atau rumah sakit hewan." Reyand mengingatkan dengan seloroh.

Elena terbahak, kemudian ia memilih menoleh setelah mobil Reyand melewati perkebunan dengan pepohonan lebat dan berbelok ke jalanan yang lebih besar dari pemukiman tempat Elena tinggal.

Selang lima belas menit, bangunan-bangunan rendah ala negeri victorian tergantikan dengan bangunan gotik yang tinggi dan mewah. Katedral dimana Mark tinggal.

"Setelah pulang latihan nanti, aku mau ketemu papa Rey." ucap Elena, memecah hening.

"Untuk?" Reyand melirik.

"Tiba-tiba aku rindu padanya." gumam Elena.

Sekali lagi dengan perasaan gemas yang meningkat, tangan Reyand mengusap dengan lembut kepala Elena, lalu mengacak-acak rambut merah kecoklatan Elena dengan santai. 

"Pasti aku antar." 

***

Di istal kampus—bangunan yang digunakan sebagai kandang kuda— sembilan atlet seperjuangan Elena sudah berada di parkiran sambil menyesap minuman bersoda. 

Elena dan Reyand menghampiri mereka sembari tersenyum. Tak lama, pelatih yang keluar dari istal dengan menunggangi kuda melambai sembari membunyikan peluit.

Dengan gegas, sembilan atlet equestrian itu membuang sisa minuman bersoda ke tempat sampah. Bunyi klontang terdengar bersahutan sebelum derap langkah kaki terdengar ribut.

"Yes, sir."

Sir Thomas menunjuk ke arah dalam, menyuruh anak didiknya mengambil kuda masing-masing. 

Buru-buru Elena dengan bahagia bersiul kencang ke depan kandang nomor lima, Hayley yang berkulit coklat gelap meringkik, kakinya ber depak-depak dengan setumpuk jerami kering dan kotorannya. 

Ringkikan Hayley terus melejit setelah menyaksikan pemiliknya ada di depan matanya.

"Berisik tau." ledek Sophia dari kandang sebelah seakan iri kudanya hanya menyambutnya dengan muka malas.

Elena mencebikkan bibir, ia berusaha meredam kegembiraan kudanya dengan memberinya jerami baru yang tertumpuk di atas gerobak di dekat tembok dan tempat pelana kuda terpajang di palang besi. Elena tersenyum, dia mengelus kening Hayley setelah ringkikan kuda itu reda.

Setengah jam kemudian, setelah berhasil memasang pelana dan membekali diri dengan alat pelindung. Sebelas atlet dan sir Thomas menuju lapangan pacuan kuda. Wilayah datar yang membentang luas di dekat rangkaian bukit-bukit hijau berudara sejuk. 

Elena memacu kudanya, melewati halang rintang dengan tinggi yang berbeda-beda. Sesekali pula gadis itu melempar senyum pada Reyand yang menunggu giliran di pinggir lapangan.

Adrenalinnya terpacu di atas Hayley yang tidak keberatan membawa beban sebanyak empat puluh lima kilogram itu. Setelah menyelesaikan latihannya tak kurang dari setengah jam, gadis itu membawa Hayley ke kandang khusus.

Elena tersenyum bangga sambil menepuk-nepuk badan kuda dengan tangan mungilnya. 

"Kau masih hebat, Hayley. Ayo kita istirahat." 

Seperti hafal dengan rutinitas pasca latihan, Hayley menunggu Elena menyiapkan seember air dan rumput pinacium maximum dengan mulut terbuka, membuang panas tubuhnya.

Elena mengelus kening Hayley sebelum bergabung dengan teman-temannya di mimbar penonton.

"Sir Thomas ngasih saran buat kita coba track baru sebelum pertandingan besok, pria tua itu bilang. Kuda kita harus refreshing." ucap Sophia pelan di kalimat akhirnya. "Jadi kita mau latihan dimana?" 

"Deep forest Delucia!" seru Andrew. Tangannya terangkat, mengumpulkan polling suara dari semua teman-temannya. 

Elena yang keberatan dengan pemilihan tempat itu sungkan mengangkat tangannya. 

Deep forest? Siapa yang mau ke sana setelah musim hibernasi? 

Namun mau tak mau Elena harus setuju, atlet junior itu terpaksa mengangkat tangannya setelah Reyand yang baru turun dari pelana kuda ikut mengangkat tangan tanpa mengetahui sebab musabab.

"Dasar!" Mendadak Elena menjadi kacau, ia merasa kakinya jadi berat melangkah dan izin dari ayahnya akan semakin sulit jika harus berlatih di hutan lebat Delucia. 

"Aku yakin papa pasti nggak setuju. Huh." 

...ΩΩΩΩΩΩΩ...

Hallo dear reader, ini novel pertama Skavivi Selfish dengan genre fantasi. Novel ini akan mengikuti lomba Percintaan Non Human. Semoga kalian suka dan mohon dukungan.

Salam sayang. Vivi.

Truth and Bear

Tanpa banyak tanya akan muka cemberutnya Elena setelah mengembalikan kuda ke istal kampus dan berlanjut dengan diskusi bersama sir Thomas mengenai lokasi ‘refreshing kuda’, Reyand mengantar Elena ke depan katedral yang memiliki rumput hijau yang membentang luas di depannya. 

Situasi katedral tampak sepi, hanya beberapa biarawati yang silih berganti keluar masuk ke katedral dengan senyum ramah menyapa gadis kecil Mark.

"Dengan nama bapa, putra, dan roh kudus. Elena." Mark menaruh kitab suci ke mimbar katedral setelah melihat satu jemaat datang tidak pada jadwalnya.

Mark menyentuh kepala Elena sembari mengucapkan doa setelah jarak tak memisahkan keduanya.

"Papa senang kamu berkunjung, Ela. Ada apa?" 

Elena memeluk pria berjubah hitam itu dengan cemas. Dia tampak lebih tenang setelah ayahnya mengajak duduk di salah satu kursi katedral yang memiliki empat menara tinggi. Lebih dari seratus kursi kayu panjang juga berjejeran, terbagi dalam dua barisan. Kanan dan kiri, sementara bagian tengah dibiarkan lengang. 

"Aku cuma..." Elena batal mengucap lanjutnya. Gadis itu membuang wajah ke biarawati yang masuk dari pintu samping. Hatinya gamang.

"Ada apa, Ela?" ulang Mark, diam-diam ia sanggup menangkap kecemasan Elena. "Kau mencemaskan papa? Papa baik-baik saja." 

Papa pasti gak setuju aku pergi ke kawasan utara hutan lebat Delucia. Terus gimana ini, nanti aku dikira nggak profesional.

"Ela," Mark menyentuh kepala Elena. "Ibumu marah? Atau ibumu punya pacar baru?" Mark menyipitkan mata.

"Pa!" Elena geleng-geleng kepala, bagaimana bisa ayahnya menyangka ibunya punya pacar baru sementara setiap akhir pekan Mark berkunjung ke rumah mantan istrinya. Menginap pula.

"Seminggu lagi, aku—aku ikut turnamen pacuan kuda." jelas Elena gugup. "Tapi sir Thomas menyuruh kita refreshing di kawasan utara hutan lebat Delucia."

Mata Mark langsung melotot dengan waspada. Kawasan utara hutan lebat Delucia terkenal dengan konsepsi yang berkembang pada zaman ke zaman jika bangsa vampir kerap menyisir wilayah itu untuk berburu.

Meski mitologi yang berkembang nyaris seperti semilir angin malam, sampai sekarang pemburu vampir atau sekelompok The Devil's Hunter masih bertekad mencari kebenaran bangsa manusia pucat itu. 

"Sir Thomas harus berhadapan dengan papa dulu, Ela." ucap Mark. Meski terdengar seperti nada gurauan, Mark menatap Elena serius.

Elena mengangguk, sehati dengan ayahnya yang khawatir.

"Sebenarnya aku juga nggak mau papa, cuma junior member mana bisa protes." keluh Elena lemah. 

"Apa itu menghambatmu?" 

Elena memucat.

"Papa yakin ibumu masih bertekad menjadikanmu atlet sepertinya." lanjut Mark.

Pemikiran yang terus mengganggu keduanya membuat mereka merenung. Hutan lebat Delucia adalah habitat hewan buas yang masih terjaga alami. Spesies beruang masih bisa dilihat di area terluar hutan itu. Area dalam? Belum ada yang berani menjangkau keseluruhan hutan itu kecuali pemburu gelap dan kelompok The Devil's Hunter. 

"Kau hanya perlu hati-hati dan waspada, Elena." pungkas Mark. "Mari papa antar pulang." 

***

Keesokan harinya, Elena menyiapkan perlengkapan equestrian dengan baik. Semalam Julianne memberikan banyak informasi mengenai kawasan utara hutan lebat Delucia dan berbagai macam jenis perlindungan diri yang bisa Elena lakukan. Maka tidak mengherankan jika gadis itu membawa tas gunung berukuran 55L demi menentramkan hati ayahnya.

"Mom." Elena menuruni anak tangga dengan hati-hati. Putri tunggal dari pasangan Julianne dan Mark Adair itu mengalihkan perhatian ibunya dari adonan kue. 

"Aku berangkat pagi ini, mom." 

Julianne menyentuh pipi Elena dengan tangan yang belepotan tepung. "Kau bawa perak seperti yang dikatakan papamu?" Mata Julianne terlihat geli. 

"Bawa, mom. Pisau perak. Papa memberinya dari katedral dan air suci."  

Julianne terbahak sejenak. "Mama heran, Ela. Sepertinya papa kamu harus menjadi anak buah Abraham Lincoln. Dia slalu terbayang-bayang cerita kakek buyutnya tentang vampir, penyihir dan iblis sejak kecil. Kau perc—"

Elena mengangkat tangannya, menghentikan rentetan ibunya. 

"Yang aku mengerti papa menjadi pastor untuk membantu orang. Mama jangan mencela ketakutannya. Kakek buyut juga tidak akan mengarang cerita asal-asalan. Lagi pula beberapa mitos sedikit terbukti dengan simbol-simbol iblis. Pentagram 666? Baphomet? Nosferatu? Lalu Lucifer? Pengabdi setan? Tidak bisa kita pungkiri jika ketakutan papa itu ada, mom! Sudahlah, kalian sudah pisah aja masih berdebat." ejek Elena.

Dada Julianne tertohok. Beberapa komunitas bawah tanah sangat menjunjung tinggi simbol-simbol kegelapan itu, tapi yang jadi pikirannya sekarang bagaimana Elena bisa tahu? Dia kembali membelai pipi Elena sembari menghela napas. 

"Jaga dirimu dan pulanglah ketika cuaca hutan berkabut. Ingat, Elena. Mama tidak memaksa kamu menjadi atlet equestrian profesional. Mama hanya mau kamu punya kesibukan." 

Elena berdehem. "Love you, mom." tegasnya seraya keluar rumah. 

Reyand membuka pintu mobilnya, segera setelah keduanya masuk ke dalam mobil. Mereka langsung bergabung dengan sesama atlet equestrian di dekat kawasan hutan lebat Delucia satu jam kemudian.

Elena merapatkan jaketnya, melompati genangan air. Di bangunan yang terbuat dari material kayu, udara dingin sangat terasa sejuk. Ujung-ujung pepohonan rindang nampak masih tertutup oleh kabut. 

Elena memutar matanya dengan malas, tas gunung berukuran 55L itu membuat teman-temannya terbahak.

"Kayaknya ada yang mau camping, Rey? Apa kamu di ajak anak sok suci itu." celetuk Sophia, gadis berambut pirang itu terbahak-bahak, mengingat Elena dan Reyand berpacaran namun berciuman saja tak pernah.

Elena muram, dengan sedikit sisa rasa percaya diri. Gadis itu hanya mengambil cokelat, pisau perak, air suci dan kompas seraya ia masukkan ke dalam tas punggung kecil.

"Kalau bukan karena ibumu mantan atlet, mana bisa badan kerempeng sepertimu sanggup mengendalikan kuda!" imbuh Sophia sinis. 

Reyand mendelik, dia mengangkat tangan. Menghentikan ucapan Sophia dari sisa ceramahnya. Sementara sikap apatis Elena membuat kekasihnya iba meski hanya bisa mengelus kepalanya.

"Lebih baik kita fokus ke refreshing ini, Pia." kata Reyand.  

Sophia melengos, tapi sebelum ia sempat menggerutu sendiri truk pengangkut kuda dari istal kampus datang bersama sir Thomas.

Elena beranjak. ‘Hayley’ gumamnya. Senyumnya merekah seakan hanya kuda itu yang membuatnya senang hingga tak menghiraukan Reyand.

Elena menerima tali kekang dari petugas istal kampus, meski jengkel bawaannya masih digunjing Sophia, Elena memasang senyum sambil menggiring Hayley ke pagar kayu seraya mengikat tali kekangnya di sana. Ia mengelus-elus kening kudanya, begitupun atlet equestrian yang lain. Mereka terlihat memasang pelana kuda sebelum menungganginya. 

Sir Thomas membunyikan peluit. "Kita akan menyisir wilayah luar saja dan berhenti di depan pos polisi hutan. Kalian mengerti?" teriaknya.

Elena menatap Reyand yang sibuk mengelus surai kudanya. 

"Rey." Elena memanggil, lelaki bermata biru dengan kaos polo putih dan sepatu boot berkuda itu menoleh dengan senyum masam.

"Aku tidak mau ditinggal olehmu." kata Elena. 

"Anggap ini kompetisi bebas, Elena. Kamu harus mandiri!" Reyand menyentakkan tali kekang kudanya, mengikuti senior member yang sudah menggelinjang bersama kudanya, mengentak jalanan aspal yang berganti dengan jalan setapak bebatuan setelahnya. 

Rimbunnya dedaunan dan tingginya pohon menghalangi cahaya matahari musim semi masuk ke dalam tepi hutan lebat. Elena celingukan di persimpangan jalan setapak. 

"Ini nggak sesuai briefing tadi." gumam Elena, pos polisi hutan sudah terlewati. Rombongan tak terlihat, hanya suara derap kaki kuda yang terdengar dari kejauhan. 

"Hayley, harus kemana kita?" Elena celingukan, semak belukar meninggi di kanan kiri jalan setapak, lumut merambati bebatuan dan batang pohon. Suara alam terasa pekat di sekeliling Elena dan aroma batang-batang pohon yang membusuk menyumbangkan kegelisahan yang semakin besar. 

Elena menyentakkan tali kekang kudanya dengan kegugupan. Hayley mempercepat keempat kakinya memasuki wilayah hutan lebat Delucia yang ia yakini sebagai jalur yang dilewati teman-temannya.

Semakin ke dalam, Elena menghela napas dengan dramatis. Ia menyuruh Hayley memperlambat larinya di bawah naungan pepohonan. Elana melompat turun dari tunggangannya. Tangannya menyeka keringat yang membanjiri tubuhnya. 

"Ya Tuhan, dimana mereka?" 

Elena mondar-mandir, tahu bahwa sesuatu tidak beres sedang terjadi padanya. 

"Apa aku tersesat, kompas-kompas." Elena memutar tas punggungnya seraya mengeluarkan benda petunjuk arah itu. Ia berputar, berusaha menenangkan pikirannya yang berpacu. Sesaat ia menengadah menatap langit. 

Seekor burung hantu mengamatinya dengan mata melotot.

"Ya Tuhan, papa." Haus membuat Elena meneguk air suci yang seharusnya digunakan untuk mengusir makhluk jahat sembari duduk dan belum sempat rasa lelah Elena berakhir kepakan sayap burung hantu dan ringkikan panik kudanya membuatnya terlonjak kaget. 

Dari arah semak-semak timur, berlari beruang hitam besar ke arahnya.

"Hayley, Hayley." teriak Elena sembari berlari secepat mungkin dari sergapan beruang yang terus berusaha menangkapnya. Elana berlari dengan hati yang terus bergolak, naas kakinya yang tak kuat menapaki kontur tanah yang terjal membuatnya oleng ke semak-semak yang mengarah ke jurang, dia menggelinding. Merasakan tubuhnya remuk kemudian melayang seperti ada sesuatu yang membopongnya dari ancaman mati konyol. 

"Kau, kau siapa?" Mata Elena terpejam.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Luther Van Broden

Elena pingsan di tangan pemuda berjubah hitam tanpa lengan. Kulitnya terlihat pucat seakan sedang menderita anemia. Meski terlihat kekar dan sanggup membopong Elena lebih dari 200 mil menuju kastil persinggahannya, pemuda itu menyeringai keras, menunjukkan kedua taringnya sambil menahan getaran-getaran yang merabati sekujur tubuhnya ketika darah Elena yang terus mengalir dari kening, lengan, dan kakinya menyentuh kulit Luther Van Broden. Pemuda dengan tinggi 182 cm dan memiliki rambut panjang hitam selembut sutra itu menatap gadis yang bernapas dengan tersengal-sengal dengan takjub.

Alih-alih langsung menghabisi Elena di atas tanah setelah ia menjilat darah yang mengalir dari kening Elena, Luther justru merasakan tubuhnya bereaksi dengan spektakuler. Ia mengejang, seperti mencapai ketegangan yang tak pernah ia rasakan sekalipun mendapat buruan seorang pemburu gelap atau manusia supranatural sejenisnya.

Pemuda itu mengerang seperti orang kesakitan sekaligus nikmat yang luar biasa. Tubuhnya terasa panas dan ia semakin mendamba darah Elena.

Luther berlutut, ia membelai paras Elena dengan kukunya yang lancip di tengah-tengah hutan lebat. Suasana terasa sangat pekat dengan kegelapan dan kesunyian, tak ada cahaya matahari yang menyentuh tanah. Dan udara semakin terasa dingin.

"Kau siapa? Kenapa kau ada di wilayah terluar keluargaku?" tanya Luther. Tubuhnya bergetar hebat setelah mencicipi darah Elena, taringnya yang baru serupa racun lebah mendadak tumbuh setengah centimeter.

Luther merasa semakin takjub dengan kehadiran Elena yang tak ia sangka-sangka.

"Aku bertaruh, beruang tadi pasti akan menyantap kau gadis berambut merah kecoklatan. Kau harus ikut dengan ku karena bagaimana mungkin aku melepasmu..." Seringai tajam merekah di bibir Luther yang merah setelah darah-darah yang mengalir di tubuh Elena ia bersihkan dengan lidahnya sendiri.

"Aku tidak akan melepasmu hingga kekuatanku sempurna!" Luther kembali membopong tubuh Elena yang terkulai lemah, ia menunduk tanpa melepas tatapannya dari wajah Elena meski kakinya terus melompat dari pohon ke pohon dan berlari tanpa jeda di sabana yang memiliki rumput hijau yang asri hingga tekanan udara semakin rendah ketika ketinggian di atas permukaan laut semakin meningkat ke arah kastil yang berada di puncak pegunungan.

Luther menghela napas, sikapnya berubah menjadi waspada waktu lima bangsa sejenisnya yang berada di bawah kekuasaannya mengendus keberadaan darah Elena.

Mereka berlari mengejar Luther yang terus mengeram kesal dari dahan pohon dari segala arah.

Darah kudus.

Seringai tajam taring vampir-vampir itu timbul dari balik mulut yang haus darah. Hidung mereka mengendus aroma tubuh manusia Elena.

Darah kudus.

Luther menggeram. "Milikku!"

Tiba di depan kastil yang cukup megah dengan arsitektur victorian abad pertengahan dan jauh dari pinggiran hutan lebat Delucia.

Kakinya yang memakai boot hitam menghentak lantai di tangga paling atas dengan keras. Luther memutar tubuhnya, jubah dan rambutnya tersibak dengan dramatis. Matanya yang ungu perlahan menjadi berapi-api, mulutnya merapalkan mantra. Pendar ungu kegelapan menyelimuti tubuh Luther lalu terbang ke arah lima vampir didepannya yang hendak menyerang raja vampir itu, seakan kehadiran Elena merampas akal sehat mereka.

Perlahan-lahan terdengar suara kesakitan, tubuh lima vampir itu terbakar menjadi abu lalu hilang terbawa angin yang berhembus kencang.

Luther menunduk, menatap Elena yang semakin pucat.

"Kau mau mati di rumahku?"

Jubah dan rambut Luther yang panjang sampai punggung kembali tersibak dengan dramatis ketika pemuda berusia dua ratus tahun itu berbalik, berjalan menuju ke dalam kastil.

Para pengawal yang berdiri di koridor kastil menatap kehadiran manusia dalam pelukan Luther dengan ekspresi takzim dan terperangah dalam sekali waktu.

"Tidak ada yang bisa menyentuh gadis ini kecuali aku!" Hentakan keras yang menggema angkuh dari sepatu boot Luther seakan menandakan bahwa ucapannya tak main-main. Pemuda itu menapaki anak tangan satu persatu hingga sampai di kamarnya yang berada di sayap kiri kastil. Ruangan yang luas dengan segala perabotan lengkap dengan keindahan seni abad pertengahan yang ikut abadi bersama keluarga Van Broden.

Pintu terbuka tanpa perlu Luther membukanya sendiri. Dan, dengan hati-hati ia meletakkan Elena di tempat tidurnya.

Tanpa batas, sejenak yang begitu ajaib bagi hidup abadi Luther, pemuda rupawan untuk bangsa sejenisnya itu melihat Elena dari atas ke bawah hingga dadanya merasa sesak. Dia bisa melihat kecantikan dari gadis yang memiliki bibir mungil, pipi bersih dan badan mungil berbalut pakaian yang sobek dan menyerap sebagian darah Elena.

"Gadis yang sangat muda." Luther menyentuh kening Elena yang panas.

Gadis itu merintih perih tanpa membuka matanya sewaktu Luther merapalkan mantra penyembuhan. Cahaya ungu lalu menyelimuti tubuh Elena.

Luka-luka yang menganga di tubuhnya perlahan-lahan tertutup dan mengering sampai bekas lukanya menghilang.

Luther menarik tangannya dari kening Elena sambil tersenyum kecil. Ia melepas jubahnya untuk menyelimuti tubuh Elena yang terlelap lelah agar aroma manusianya tidak menguar kemana-mana dengan bebas.

Luther merapikan rambut Elena. Entah kenapa dadanya menghangat meski jiwanya berhati dingin dan entah kenapa Elena sudah ia cap menjadi miliknya dalam waktu kurang dari satu jam sebelum Reyand menyadari semua telah berubah. Elena tak lagi menjadi miliknya dan segala kekacauan akan terjadi.

Luther merebahkan diri di samping Elena, di atas tempat tidur yang kerap menemani kesendiriannya, senyum Luther tak pudar, dia menarik jemari Elena.

"Namamu siapa?" Tubuh Luther kembali mengejang mengingat darahnya telah tercampur dengan darah murni Elena. Dia gelisah, tubuhnya mendesak lebih dekat ke tubuh Elena. Sementara di dalam kastil tanpa ia sadari telah terjadi pergunjingan yang sangat panas akan kehadiran manusia di pusat kekuasaan bangsa vampir.

Bagaimana jika Valek tahu?

...ΩΩΩΩΩ...

...To be continued...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!