Cerita ini hanya fiksi, murni dari imajinasi author.
Selamat membaca.
KAREL AMBO. salah satu kapal pengangkut penonton bola piala dunia pada zaman itu. Berlayar dari Batavia ke Brunai Darussalam, dan langsung menuju ke Korea selatan.
Kapal itu di beli dari Australia sejak tahun 1935. Sejak beberapa tahun belakangan tipe sparepart kapal ini sudah tidak di produksi lagi. Akibatnya jika kapal mengalami kerusakan maka sparepart di ganti secara terus menerus sehingga mengakibat sparepart atau suku cadang mesin hampir habis.
Karena hal itu. perjalanan kali ini adalah perjalanan terakhir dari kapal karel ambo, dan merupakan penutupan sepak terjang kapal tersebut. Suara peluit kapal masih terdengar di antara keributan banyak orang yang berada di dermaga. Kapal besar itu sekali lagi mengeluarkan suara lenguhan panjang.
Puluhan awak kapal dengan baju putih terlihat sigap bekerja, mereka mulai melemparkan tali-tali besar dari atas kapal.
Sementara beberapa petugas pelabuhan sibuk berteriak agar orang-orang tak terlalu dekat di ujung dermaga, beberapa lagi sibuk menangkap tali lalu mengikatkannya di tonggak baja sekitar dermaga.
Beberapa menit berlalu hingga kapal besar itu merapat tepat di pelabuhan batavia. Suara ngilu terdengar dari benturan logam kapal pada bantalan karet dermaga. Peluit angin di atas kembali berbunyi tanda semua proses telah selesai.
Tangga mulai di turunkan secara pelan hingga menyentuh pelataran tanah. Hal itu di sambut tepuk tangan, serta antusiasme calon penumpang yang tak sabar ingin segera naik. Mereka mulai mendekati dan membawa barang-barangnya mendekati kapal.
Terlihat ada yang membawa barang masing-masing dan ada juga sebagian yang menyewa buru angkut pelabuhan untuk membawa barang-barang mereka.
Seorang pria jepang dengan mata sipit. Tanpa banyak bicara, ia langsung menaiki tangga. Pria yang di ketahui adalah petugas tinggi pelabuhan itu di kawal oleh dua tentara jepang yang wajahnya menyeramkan, sama sekali tak cocok dengan pembawaan orang asia. Ada juga dua petugas dati inspeksi bea cukai.
Tahun ini adalah tahun ke dua, Indonesia di kuasai oleh jepang. Tak jauh dari pelabuhan terdapat benteng yang sangat besar milik jepang yang pembangunannya hanya berlangsung selama 4 bulan. Namanya Ki Osaka.
Pembuatan benteng dengan kapasitas muatan 1000 orang pasukan itu, memakan korban masyarakat pribumi sekitar 4000 orang. Jumlah kematian yang amat signifikan untuk total penduduk batavia yang hanya 129.000 orang.
Matahari semakin tenggelam. Cahaya teriknya masih terasa panas. Belum ada penumpang yang di izinkan naik kapal karena proses inspeksi masih di lakukan. Calon penumpang masih menunggu dengan wajah tak sabaran sambil menutupi wajah mereka dengan telapak tangan, menghindari terik matahari.
Dua puluh menit berlalu. Satu mobil Jeep memasuki dermaga pelabuhan yang penuh sesak. Buruh-buruh angkut yang kebanyakan tak memakai penutup dada berjalan mendekat ke arah jeep. Para buruh itu berseru, menawarkan jasa memikul barang.
Dua orang tentara jepang yang tadi bersama petugas pemimpin itu, mengehentikan laju mobil jeep yang memaksa memasukan mobilnya sedekat mungkin dengan kapal. Mereka berseru-seru sambil mengetuk mobil agar berhenti.
Seorang pria yang sepertinya sopir, melompat ke turun dari atas jeep. Ia terlihat berbicara serius dengan tentara jepang yang masih berdiri menghalangi mobil.
Supir itu mengenakan kemeja putih lengan panjang, celana hitam pekat selutut serta sepatu pantofel berbicara menggunakan bahasa Inggris dengan fasih, tangannya menunjuk ke dalam mobil, terlihat serius menjelaskan.
"Mada dekimasen!" Tidak boleh. Tentara jepang itu berseru ketus. Tampaknya dua tentara jepang itu tidak mudah mengalah.
Seorang perempuan cantik berusia sekitar 25 tahun ikut keluar dari jeep, dengan langkah tegas ia berjalan mendekat ke arah sopir dan dua tentara yang masih berdebat itu.
Kedatangannya membuat ke dua tentara yang tadinya mengamuk langsung menunduk hormat. Akhirnya tentara itu mempersilakan mobil jeep untuk maju lebih dalam.
Perempuan dengan perawakan noni Belanda itu mengucapkan terima kasih kemudian kembali menaiki mobil. Sepertinya rombongan dalam mobil itu bukanlah rombongan biasa, karena jarang sekali mobil bisa langsung masuk ke dalam pelabuhan.
Setelah tersendat-sendat melewati kerumunan, mobil jeep itu akhirnya tiba di samping kapal berdekatan dengan tangga bertepatan dengan tangga yang juga di turunkan oleh pejabat pelabuhan.
Dua anak laki-laki kecil keluar dari mobil terlebih dahulu, di susul perempuan tadi dan seorang pelayan di belakangnya. Sementara si supir sedang sibuk berteriak menyuruh para buruh agar membawa barang-barang dengan hati-hati.
"Kasihan sekali, apa mereka sanggup membawa barang berat-berat itu sampai kapal." Ucap si bungsu pelan, wajahnya prihatin.
"Jangan khawatir Robin, mereka lebih kuat di bandingkan dengan yang kamu lihat, jadi tentu saja mereka akan sanggup." Bukan kakaknya yang menjawab, melainkan pria kecil yang sedikit besar satunya lagi.
"Tapi lihatlah Robert, tubuh kurus mereka seperti akan melayang di terpa angin. Bagaimana kalau mereka terjatuh dengan tas-tas itu ke dalam laut."
"Jangan khawatir tentang mereka Robin, mengangkat barang adalah perkejaan jadi mereka pasti mampu dan kuat melakukannya. Khawatirkan saja dirimu sendiri, berjalanlah dengan hati-hati atau kamu yang akan jatuh ke dalam laut. Dan jika itu terjadi, bersiaplah menjadi makanan para ikan." Ucap Robert menggoda adiknya.
Kakak perempuannya ikut tertawa sambil mengelus kepala ke dua adiknya, "Benar kata Robert, mereka adalah buruh angkut barang yang sudah terbiasa membawa barang naik turun kapal jadi tidak ada yang perlu dirisaukan."
"Jalannya pelan-pelan, robin!"
"Ini sudah pelan." Gerutu robin.
"Dekatkan dirimu di samping kakak. Anginnya kencang sekali, nanti kamu benar-benar bisa jatuh." Kakak perempuan itu menarik tangan Robin agar berjalan di dekatnya. Mereka sedang menaiki tangga
"Jika kamu jatuh, kamu akan benar-benar di makan oleh ikan." Ledek Robert, berjalan mendahului Robin dan kakak perempuannya.
"Kamu juga Robert, jalannya pelan-pelan. Tidak usah terburu-buru, kita akan tetap naik kapal juga."
"Doi Tado." Perempuan itu menyapa petugas tinggi pelabuhan yang terlihat sibuk memantau keramaian.
" Ah, Lady Mei De Hauten." Petugas tinggi itu berseru lalu bergegas naik ke atas kapal. Wajahnya tersenyum melihat siapa yang menyapanya. Membungkukkan badan hormat pada perempuan di depannya itu.
"Madam Jessica sepertinya tidak ikut?. Tanya petugas pelabuhan itu sambil melihat-lihat ke samping perempuan yang ia panggil mei itu.
"Begitulah Doi . Ayah tidak dapat di tinggal ibu lama-lama, jadi hanya kami saja yang bisa pergi." Jawab mei tersenyum.
"Jadi hanya lady dan para tuan muda saja yang berangkat? Ucap Doi sambil menunjuk ke dua bocah yang tampak asyik melihat kerumunan orang yang sedang berusaha naik ke atas kapal.
"Tidak, Doi. itu jajan sopirku, kamu pasti sudah sering melihatnya mengantarkan aku kemana-mana. Dan yang sedang menjaga ke dua adikku, itu bibi siti, suster yang akan menjaga ke dua adikku dan juga membantuku selama di perjalanan nanti.
"Robin dan Robert." Ucap Doi Tado menebak. "Saya sudah hafal nama dua tuan muda yang tampan ini."
Mendengar nama mereka di sebut. Dua bocah itu tersenyum simpul, menjulurkan tangan, bersalaman.
1.Lady Mei De Hauten
Robert De Hauten
Robin De Hauten
"Semoga perjalanan kalian menyenangkan. Sembilan bulan, bukan waktu yang sebentar." Ucap dou, Lantas seolah teringat sesuatu ia menoleh ke kanan kapal ke para awak-awak kapal yang sedang berkumpul. "Mari, saya kenalkan pada kapten yang akan membawa kapal ini ke Korsel."
"Kapten Diego." Sapa doi pada seorang pria berbadan tinggi, berwajah tegas penuh wibawa dengan mengenakan pakaian layaknya nahkoda kapal.
"Ini Lady Mei De Hauten.."
"Seorang belanda." Sela Kapten Diego cepat. Nampak terkejut.
"Yah dia putri dari Gubernur Jenderal Felipe De Hauten dari batavia sedangkan ibunya sendiri sudah pasti anda mengenalnya. Owada Misaka, pemimpin jepang di batavia saat ini. Mereka segerombolan beranggotakan 5 orang, akan ikut dengan kapalmu. Doi Tudo berkata riang.
Kapten Diego iego semakin terkejut mendengar ucapan doi. siapa yang tidak mengenal ke dua orang penting itu. Walaupun belanda sudah di singkirkan jepang 2 tahun yang lalu namun Jendral Felipe adalah satu-satunya Jendral belanda yang masih memegang kekuasaan.
Selain seorang jendral, Felipe juga merupakan adik dari Raja Willem di Amsterdam. Sedangkan Misaka sendiri adalah pemimpin batavia yang di bawah perintahnya berhasil mengeksekusi 2000 tentara hindia belanda.
Walaupun konflik antar dua negara sedang berlangsung. Akan tetapi pernikahan antar Felipe dan Misaka selama hampir 30 tahun itu membuat mereka berdua masih tetap bersama hingga sekarang. Bukan hanya itu saja, sekitar 20 tahun yang lalu, misaka memutuskan masuk islam. Namun tak ada yang tau apa agamanya dari ke tiga anak-anaknya itu.
"Dan ini Kapten Diego. Salah satu Kapten hebat yang di miliki oleh Inggris. Kapten adalah seorang pelaut asal wales, meski sejak kecil ia telah tinggal di Amsterdam." Ucap Doi memperkenalkan ke duanya.
Dua orang itu saling bersalaman, berbicara dalam bahasa belanda yang tentunya tak di mengerti oleh Doi karena ia merupakan orang Jepang. Terlihat sekali ke dua orang berbeda usia itu cepat akrab.
"Semua sudah siap Kapten, penumpang bisa segera naik." Ucap awak senior berkata mantap sambil melihat-lihat daftar penumpang yang ada di tangannya.
"Kalau begitu saya pamit dulu, Urusanku sudah selesai dan tak ada masalah dengan inspeksi bea cukai, selamat jalan Lady. Aku harus bergegas menemui ayahmu, melaporkan segala hal." Doi sekali lagi membungkukkan badan hormat ada Lady mei lalu bergegas pergi.
Para awak kapal mulai membuka daftar nama-nama penumpang. Sepuluh menit berlalu, dengan koneksi dari Kapten Diego, rombongan Lady Mei telah berada dalam kapal mendahului penumpang lainnya yang mungkin sudah menunggu naik kapal sejak beberapa di pelabuhan Batavia.
.
.
.
Tak jauh dari keramaian kapal, di salah satu kedai makanan, seorang pria sedang konstruksi penuh dengan kartu di tangannya. Pria itu sedang bertaruh sebuah tiket masuk kapal dengan tiga orang pemuda kaya raya yang ada di depannya.
Peluh membasahi wajah pria itu, tinggal satu kartu lagi yang perlu ia buka menentukan siapa pemenangnya. Seorang pria lain yang sepertinya adalah temannya berjalan mondar-mandir di belakangnya nampak tidak tenang.
Pria itu menatap di atas meja, kartu ke tiga pemuda kaya itu, satu kartu As dan satunya King. Sementara kartunya yang sudah terbuka adalah kartu as. Ia membuka satu kartunya lagi dengan pelan sambil harap-harap cemas.
"Yes." Seru pemuda itu senang. Ia mendapat kartu joker. Tak ingin membuat ke tiga pemuda kaya di depannya itu marah dan mencari keributan, dengan cepat pria itu menyambar tiket yang memang dari tadi sudah ada di atas meja. Ia lalu berlari cepat memasuki kerumunan orang-orang yang akan naik kapal.
"Apa kamu berniat membunuhku seorang diri Saleh." Tepukan pada lengan si pria yang ternyata adalah temannya. Ia berlari sangat cepat sampai lupa akan temannya yang satu ini.
"Hehe, maaf. Lihatlah apa yang aku dapat Yusuf." Pria yang di panggil Saleh itu menunjukkan tiket yang tadi ia bawa kabur, "Dan sudah aku ingatkan ulang-ulang, panggil aku Jack. Dengus saleh.
"Yah, yah, baiklah Jack. Tapi apakah tidak masalah jika aku menggunakan tiket pria itu." Tanya Yusuf ragu.
"Siapa bilang kalau kamu yang akan memakai tiket ini?"
"Lalu siapa?"
" Tentu saja aku. Wajahmu nampak sekali kelihatan orang pribumi, jadi kamu akan memakai tiket milikku. Sedangkan aku akan memakai tiket yang sudah susah payah aku dapatkan ini. Dan sepertinya tuhan sedang menolongku karena nama pria itu juga Jack, hahaha." Jawab saleh enteng.
"Syukurlah kalau begitu, aku tak ingin ada masalah nantinya." Yusuf menyapu dadanya. "Tapi syukurlah kamu bisa mendapatkan tiket ini sehingga aku bisa ikut bersamamu. Jika tidak, aku tidak tau kapan bisa naik kapal besar itu." Ucap Yusuf.
Saleh tersenyum, "Lain kali kita ajak ayah dan ibumu juga. Nanti kita tipu lagi orang-orang bodoh seperti tiga idiot tadi."
"Yah benar juga, kamu memang pintar."
"Aku memang pintar, Jadi kamu harusnya bersyukur mempunyai teman sepertiku. Ucap Saleh sombong.
Yusuf mendengus, namun ia membenarkan ucapan saleh. "Iya, Terima kasih Tuan Jack." Ejek Yusuf. Ia memang sangat berterima kasih kepada saleh, temannya itu sudah banyak berjasa kepadanya. Namun Yusuf enggan mengucapkan dengan serius, Saleh bisa semakin menjadi nanti.
"Sama-sama." Kekeh saleh.
"Huh," Dengus Yusuf kesal. "Kenapa juga harus nama Jack? Saleh sudah cukup bagus. Apa kamu lupa? nama Saleh itulah yang membuat gadis-gadis di gang sebelah semuanya begitu mengagumimu. Karena selain nama yang mirip, wajahmu katanya juga mirip dengan panglima Salehuddin di yaman. Entah mirip dari mananya?"
"Haha, tenanglah sobat." Saleh merangkul bahu Yusuf.
Tapi Yusuf mana mau tenang, ia sibuk berceloteh tentang bagaimana para gadis-gadis itu memuja Saleh hingga tak ada satu gadis yang menghiraukannya.
"Kamu boleh naik duluan, nanti aku menyusul dari belakang." Sela Saleh menghentikan ucapan temannya yusuf.
Yusuf berhenti sejenak menatap sekeliling, ia baru sadar jika sudah sampai di depan tangga kapal. Lantas bergegas menaiki kapal meninggalkan saleh seorang diri.
Mereka berdua tentu tidak bisa naik sama-sama. Jack Karaeng, adalah nama saleh yang sesungguhnya. Namun semua orang batavia memanggilnya saleh. Ayahnya merupakan salah satu tentara belanda yang tak ingin ia ingat namanya, sedangkan ibunya sendiri adalah anak dari sultan Alauddin, Raja gowa pertama yang masuk islam.
Saleh tak menyukai penjajah sejak dulu sehingga memakai nama belakang ibunya agar terlepas dari bayang-bayang sang ayah. Dan karena Ia merupakan salah satu pemuda indonesia yang secara terang-terangan mengatakan ketidaksukaannya pada belanda sehingga ia tak ingin Yusuf ikut terlihat dengannya.
1.Jack Karaeng (Saleh
Yusuf
Beberapa bulan lalu Saleh mengadakan pertemuan antar pemuda di depan alun-alun kota Batavia, Sembilan kilo meter dari rumah dinas milik Gubernur Jenderal Batavia dan tentu saja istrinya yang merupakan pemimpin jepang.
Para pemuda dari kalangan awan sampai mahasiswa berseru lantang mendukung tiap kata yang ia ucapkan. Saat berdiri di hadapan massa suaranya terdengar tegas, lantang seperti ciri khas seorang Pemimpin .
Saleh pernah menempuh pendidikan di Universitas tinggi Sulawesi, pindah ke Semarang hingga terakir masuk Universitas Batavia. Dua kampus sebelumnya itu tak ada yang bisa menampungnya lama sebab ia selalu membuat onar dengan melawan pemerintah setempat.
Hingga akhirnya ia menetap di Batavia. Ia benar-benar merasa bebas sebab ternyata bukan cuman dia saja yang tak suka akan penjajah. Banyak pemuda seumuran dirinya yang juga secara terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan mereka pada Belanda maupun Jepang.
Baru lima bulan ia di Batavia, namun ia sudah masuk dalam organisasi pemuda anti penjajah.
"Bos." Teriak seorang pria dengan mengenakan jas hitam dari seberang jalan.
"Bas-Bos, diam, kamu ingin membongkar identitasku." Ucap saleh pelan setelah pria itu mendekat.
"Tidak!." Jawab pria itu cepat, "Apa yang anda pikirkan sampai tak menyadari tak ada lagi orang di bawah sini. Lihatlah hanya ada satu-dua orang saja yang sedang terburu-buru naik kapal." Tanpa menunggu perintah dari Saleh si pria itu mengambil tas milik Saleh lalu melangkah riang menaiki tangga kapal.
"Ayo bos nanti anda terlambat." Teriak si pria yang telah berada di tengah tangga, ia memikul tas besar milik Saleh di pundaknya dengan berjalan hati-hati karena angin masih kencang.
Saleh yang berada tepat di bawah tangga sekali lagi menatap sekeliling, Kerumunan orang-orang memang yang tadi berdesakan sudah tak terlihat. Hanya tersisa satu-dua calon penumpang di dermaga itu seperti kata pria yang memanggilnya bos tadi.
"Can i have your ticket sir?" Salah satu awak bertanya sopan ketika Saleh menginjakkan kakinya di dek kapal, menanyakan tiket dan dokumen perjalanan. Ada 3 awak kapal yang bertugas di meja dek, di tamba 4 orang tentara Jepang yang berdiri tak jauh di belakang para awak.
Saleh mengangguk, mengambil selembar tiket serta beberapa dokumen yang ia simpan di dalam suku jaket yang ia pakai.
"Tuan Jack." Awak membaca tiket menatap Saleh, "Jack saja atau Jack Karaeng? Di tiket hanya bertuliskan Jack sedangkan dokumen yang lain tertulis Jack Karaeng.
"Jack." Jawab awak yang memeriksa daftar nama terlebih dahulu, sebelum Saleh sempat menjawab pertanyaannya.
"Seorang diri?" Tanya awak itu sekali lagi memastikan, menatap pria yang sedang memikul tas. Pria itu tak terlihat seperti buruh angkut apalagi penumpang.
"Iya, aku seorang diri saja. Dia hanya membatu membawakan tas."
"Para pengantar hanya bisa sampai di sini, awak akan membantu membawa tas anda selanjutnya ke kabin. Baik, silahkan Tuan Jack. Semoga perjalanan anda menyenangkan." Awak mengembalikan tiket dan dokumen perjalanan kepada Saleh.
Pria itu menurunkan tas, memberi hormat pada Saleh dan mendapatkan balasan plototan serta kakinya do injak. Pria itu terkekeh, lantas berjalan menuruni tangga.
Salah satu awak hendak meraih tas itu, bersiap mengantar saleh ke kabin. Tapi gerakan tangannya berhenti karena salah satu tentara Jepang lebih dulu berseru tegas. Nampaknya ia adalah pemimpin ke empat tentara Jepang itu.
"Stop! Kami harus memeriksa tas itu."
Tiga orang awak di depan para tentara itu saling pandang. Memeriksa? Bukannya sudah lebih dari dua ratus penumpang yang naik dan tidak ada satupun dari mereka yang diperiksa? Lalu kenapa pria ini harus diperiksa?
Salah seorang tentara jepang maju ke depan, menarik tas tersebut kasar meletakkannya di atas meja.
"Eigyōchū." Pemimpin tentara jepang itu berseru untuk membuka tas.
"Aru no wa fuku to hon dake." Saleh berkata santai dalam bahasa jepang jika isi tas tersebut hanya beberapa pakaian dan buku-bukunya saja.
"Ini buku apa hah?" Pemimpin tentara Jepang itu mengangkat sebuah buku sambil bertanya kasar. Membuka sembarang halaman buku, yang terlihat pada buku itu penuh dengan tulisan l
Latin.
"Alkitab." Jawab Saleh singkat
"Penipu. mengaku saja jika kau membawa buku-buku penuh hasutan agar melawan pemerintah jepang." Pemimpin itu berteriak tak terima sambil menyodorkan buku tersebut 5 cm di hadapan wajah Saleh.
"Jika anda tidak dapat faham isinya, anda bisa tanyakan kepada mereka yang pasti faham betul isi buku itu." Jawab Saleh santai menunjuk para awak kapal yang ia tau pasti faham tiap kalimat dari Alkitab.
"Jangan berpura-pura lagi. Aku mengenal baik kau adalah Jack Karaeng. Kau berbahaya bagi pemerintah jepang, kau yang setiap waktu membuat orasi dengan menghasut para pemuda-pemudi pribumi untuk semakin melawan kami." Ucap tentara jepang itu dengan muka merah padam.
"Itu hanya mengadakan pertemuan antar pemuda bangsa, tidak lebih dan tidak kurang dari itu." Saleh masih tetap bersikap tenang meski komandan tentara Jepang di hadapannya itu tak henti-hentinya mengeluarkan kata kasar.
"Gunsō, tidak ada apa-apa di dalamnya." Bisik salah satu tentara jepang yang tadi memeriksa isi tas milik Saleh.
"Periksa sekali lagi! Dia pasti menyembunyikan sesuatu di dalamnya." Ucap Pemimpin tersebut tak terima. Ia bahkan menyuruh 2 tentara yang lain ikut memeriksa tas tersebut.
"Sebentar, Saya punya sesuatu yang kirinya bisa di terima olehmu Komandan." Saleh memasukan tangan ke saku jaketnya mencari-cari sesuatu di dalam sana. Ia lalu mengeluarkan selembar kertas berwarna kuning.
"Ini surat izin resmi dari Nyonya Owada Misaka pemimpinmu di Batavia. Beliau mengizinkan saya untuk melakukan perjalanan ini. Silahkan anda baca, Gunsō."
Pemimpin jepang tersebut lantas mengambil kertas dari tangan Saleh. Wajah tentara jepang itu terlihat sekali sangat kesal. Ia melihat surat tersebut dengan seksama. Surat itu asli, dengan cap milik Owada Misaka terpampang jelas di bagian bawah lembar kertasm
Isi surat itu pendek, tentang memberikan izin kepada Saleh atau Jack untuk melakukan perjalanan menggunakan kapal yang sebentar lagi akan berangkat ke Korea Selatan itu. Isi surat itu di tujukan kepada petugas siapapun yang membaca surat agar memberikan perlindungan sebagaimana mestinya seperti kepada para penumpang lainnya.
"Sialan, aku tidak bisa menerimanya begitu saja." Batin pemimpin tersebut dengan muka merah padam ia menyuruh tiga rekannya mengangkat senjata.
"Surat ini palsu." Teriak pemimpin itu berbohong, secara kasar ia mengambilkan surat itu ke tangan Saleh.
Baru saja Saleh hendak protes tak terima. Suara seorang perempuan menghentikannya.
"Ada apa ini kak Heiho, Eh maksudku Gunsō"
"Apa yang kamu lakukan di sini Mei? Masuklah." Ucap Pemimpin tentara Jepang yang bernama Heiho itu. Ia cukup terkejut dengan kedatangan Mei. "Sedang apa sepupunya itu ada di sini, si Saleh bisa-bisa lolos jika Mei sampai membenarkan isi surat yang memiliki cap ibunya." Batin Heiho kesal.
Heiho
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!