"Mari kita bercerai, Di" ucap Saka pelan
Diandra menatap suaminya tidak percaya. Wanita cantik itu tersenyum kecut, akhirnya kalimat itu keluar dari mulut Saka. Hanya demi perempuan lain, Saka rela menceraikan dirinya. Apa yang kurang darinya sampai Saka sekejam ini?
"Kamu pasti sudah tidak sabar ingin menikahi perempuan itu kan?" ucap Diandra lirih
Saka menatap Diandra lekat, jujur dia masih mencintai istrinya. Tapi kesalahan yang dirinya dan Vika lakukan terlanjur membuahkan hasil. Sebagai pria sejati, tentu Saka harus bertanggung jawab. Dan Vika menolak untuk di madu. Dengan terpaksa Saka harus menceraikan Diandra.
"Vika hamil anakku. Bagaimanapun aku harus menikahinya"
"Kalian bahkan sudah sejauh itu?" tanya Dian tak percaya, "Kamu hebat, Mas. Tidak hanya menorehkan luka di hatiku, tapi kamu juga menaburinya dengan garam. Kamu sungguh pria yang kejam!!"
"Aku minta maaf" lirih Saka
Tidak bisa tergambar sehancur apa perasaan Diandra saat ini. Saking seringnya mengalami pengkhianatan, kini hati Dian benar - benar mati rasa. Tidak ada tangisan menyedihkan. Tidak ada drama memelas karena Dian sudah sangat muak dan lelah. Hanya satu yang dia pertanyakan, kenapa suaminya begitu tega menduakan dirinya? Apa yang kurang darinya hingga Saka terpikat dengan perempuan lain. Awalnya Dian berusaha menyangkal semuanya. Tapi sekarang, semua semakin nyata saat pria yang dia cintai telah menentukan pilihan. Ya ... Saka telah memilih Vika, mantan kekasih SMA nya yang berstatus janda. Suami Diandra itu rela menjandakan istrinya demi mengistrikan seorang janda. Dan yang lebih menyakitkan lagi, mereka akan segera memiliki anak. Bukankah ini sangat keterlaluan?
Selama tiga tahun pernikahan mereka, hubungan keduanya berjalan baik dan harmonis. Saka selalu pulang tepat waktu. Tidak pernah sekalipun Saka menunjukkan gelagat mencurigakan. Lalu kapan perselingkuhan itu di mulai? Dan sejak kapan mereka bermain api di belakangnya? Jika Vika kini hamil anak Saka, artinya perselingkuhan itu sudah terjadi sejak lama. Sedangkan Dian baru mengetahui perselingkuhan suaminya tiga minggu yang lalu. Hebat!
Kenapa aku harus merasakan ini lagi, Ya Allah? Kenapa semua lelaki yang dekat denganku tidak pernah ada yang tulus? Dulu Papa ... setelah itu Kak Reynald dan sekarang suamiku, Saka. Apa aku memang tidak pantas bahagia? Kenapa semua selalu berakhir seperti ini. Aku lelah! Aku benci semuanya!. Bathin Diandra menjerit
Dian menatap Saka lekat, bohong jika dia bilang sudah tidak mencintai suaminya itu. Meski Saka sudah membuatnya hancur hingga lebur, nyatanya Dian masih mencintai Saka. Tapi apa mau dikata, Saka sudah menentukan pilihan meski pilihan itu menghancurkan dirinya. "Baiklah, Mas. Mari kita bercerai. Semoga kamu bahagia bersama perempuan pilihanmu itu!"
"Di ... jujur aku masih mencintai kamu. Awalnya aku hanya ingin membantu Vika. Tapi kami-"
"Aku tahu semuanya, Mas. Tidak perlu kamu perjelas lagi. Intinya, aku yang harus mengalah di sini! Dan aku setuju. Aku akan melepaskanmu untuk perempuan itu!"
Rasa bersalah yang Saka rasakan semakin besar. Melihat keikhlasan Dian, Saka semakin berat untuk melepas istrinya. Namun ia juga harus menentukan pilihan. Anak dalam kandungan Vika lebih membutuhkannya. Katakanlah Saka memang kejam pada Diandra. Tapi dia tidak mau di cap lebih kejam lagi oleh anaknya kelak.
"Aku sungguh minta maaf. Setelah kita bercerai, kamu bisa menempati rumah ini. Aku juga akan memberikanmu uang bulanan sebagai ganti atas-"
"Tidak perlu! Bukankah tidak ada anak di antara kita? Ah ... Bukan tidak ada, tapi kamu memang tidak pernah menginginkan anak dariku!"
"Di ... Bukan begitu, kamu tahu betul apa alasannya aku belum menginginkan seorang anak"
Dian tersenyum sinis, "Itulah kenyataan yang sebenarnya, Mas. Sekarang aku mengerti kenapa kamu selalu memintaku menunda kehamilan, rupanya kamu sudah merencanakan semua ini kan? Kamu hanya menginginkan anak dari perempuan itu!" ucap Dian menggebu, ia seolah melampiaskan kekecewaannya pada Saka.
"Kamu tidak perlu susah - susah memikirkan nasibku setelah kita bercerai. Kamu juga tidak perlu memberiku uang bulanan. Lagipula, apa kamu pikir istrimu akan membiarkan hal itu terjadi? Pakai uangmu untuk memenuhi kebutuhan istrimu yang hamil itu! Aku masih bisa menghidupi diriku sendiri dengan sangat baik!!"
Saka bungkam saat Diandra lagi - lagi memotong ucapannya. Hatinya merasa tertohok mendengar apa yang Dian ucapkan. Mereka memang sepakat untuk menunda kehamilan karena masih berjuang mencari kesejahteraan hidup. Tapi lihat, setelah kesuksesan itu bisa Saka raih, bukannya membahagiakan Dian, dia malah membuang istrinya itu bak sampah. Padahal Saka tahu jelas, Dian lah yang mendukung dan membantu dirinya hingga seperti sekarang.
"Aku sungguh minta maaf, Di. Aku menyesal"
Diandra menatap suaminya sinis, "Jangan membual, Mas. Kenapa kata itu tidak kamu renungkan saat kamu akan tidur dengan Vika?! Percuma kamu mengatakan apapun sekarang! Semua kata yang keluar dari mulutmu hanya seperti angin lalu untukku! Tidak penting dan tidak berguna!"
Diandra mengambil koper miliknya lalu menyeretnya ke arah pintu.
"Di ... Kamu sudah menyiapkan semua ini?" tanya Saka saat melihat Diandra sudah siap pergi dengan kopernya. Bahkan Saka baru menyadari jika di kamar mereka, barang - barang Diandra sudah tidak ada lagi.
Tentu saja Dian sudah mempersiapkan semuanya. Dia bukan wanita bodoh yang menunggu di usir baru pergi. Setelah mengetahui perselingkuhan Saka dan Vika, Dian segera bertindak. Dia tidak mau di cap sebagai wanita lemah. Lebih baik kehilangan pria pecundang seperti Saka daripada menahan sesak dan sakit berkepanjangan. Toh dia tidak akan mati hanya karena di campakkan Saka. Suaminya itu bahkan tidak tahu siapa Dian sebenarnya.
"Kamu berharap aku seperti istri di sinetron ikan terbang? Menangis meraung - raung lalu maratapi nasibku yang menyedihkan karena suamiku lebih memilih selingkuhannya di banding istri sah?" tanya Dian sinis, "Oh ayolah, Mas. Hidupku tidak harus semenyedihkan itu setelah kamu campakkan. Aku masih bisa berdiri di atas kakiku sendiri bahkan lebih kuat di banding saat bersamamu!"
Saka akui apa yang di katakan Diandra memang benar. Selain cantik, istrinya itu memang wanita yang mandiri. Bahkan Dian juga banyak membantunya merintis usaha mereka.
"Satu lagi ... Kamu tidak perlu repot - repot mengajukan perceraian kita karena aku sudah mengajukannya ke pengadilan agama"
Deg
Saka menatap Diandra dengan wajah terkejutnya.
"Di ... Kamu?"
"Berbahagialah, Mas. Aku harap kita tidak akan pernah bertemu lagi. Sekalipun kita bertemu, anggap saja kita tidak pernah saling mengenal!" Diandra mulai menggeret kopernya keluar kamar.
Dengan langkah lebar, Saka menyusul Dian. "Di ... Jangan pergi dari rumah ini. Aku sudah memberikan rumah ini untukmu. Kalau kamu pergi, kamu akan tinggal dimana? Aku yang akan pergi bukan kamu"
Dian berhenti melangkah, dia menatap Saka lalu tersenyum. "Tentu saja tinggal di rumahku. Kamu lupa kalau aku masih punya rumah? Jangan repot - repot memberikan rumah ini padaku. Jual saja untuk keperluan anakmu nanti! Kebutuhan bayi itu tidak sedikit! Ah ... Aku lupa, kamu mana tahu hal seperti itu. Kita kan tidak punya anak! Tapi ada untungnya juga. Aku malah bersyukur, setidaknya aku tidak perlu mengotori rahimku dengan mengandung benih pria pecundang sepertimu!"
Perasaan Saka terasa sesak. Perkataan Dian seperti pedang tajam yang menghunus jantungnya. Namun itu tidak sebanding dengan sakit hati yang Diandra rasakan. Pria yang masih berstatus sebagai suami Diandra itu membiarkan Dian melampiaskan semua rasa kecewanya.
"Aku tidak akan menjual rumah ini. Aku tetap memberikannya padamu. Disini terlalu banyak kenangan kita berdua" lagi - lagi Saka berkata dengan lirih
Dian bersedekap dada, dia menatap Saka dengan tatapan dinginnya. "Kalau kamu tidak mau menjualnya, biar aku saja"
"Kamu akan membuang kenangan tentang kita begitu saja?"
"Tentu saja! Tidak berguna juga untuk di kenang kan? Semua sudah tidak berarti lagi. Lagipula, aku juga tidak mau mengingat kenangan apapun yang ada di rumah ini!"
Diandra kembali menggeret koper miliknya keluar dari rumah yang pernah memberinya banyak kenangan tersebut. Perempuan cantik itu mengambil ponsel lalu menelpon seseorang.
[Hallo, Ran. Aku sudah siap untuk kembali. Tolong persiapkan semuanya]
🍀🍀🍀
Hai kakak, ini novel terbaru aku loh. Jangan lupa yang suka ceritanya untuk like, komen dan subscribe. Makasih 🙏🙏
Rani menatap sahabat sekaligus atasannya dengan sendu. Kenapa Dian harus mengalami pengkhianatan lagi. Rani kira, Saka adalah pria terakhir yang bisa membahagiakan Dian. Tapi nyatanya, dia sama saja dengan para pria pengkhianat itu.
Padahal tidak ada yang kurang dengan Dian. Wanita itu bahkan terlihat sempurna. Dia cantik, mandiri, penyayang dan sabar tentunya kaya juga. Tapi kenapa hidupnya selalu berakhir menyedihkan? Kenapa kebahagiaan seolah selalu menjauh darinya?
"Di ... Kamu mau mampir ke suatu tempat dulu?" tanya Rani memecah keheningan
Dian menggeleng, "Kita langsung pulang saja"
Rani mengangguk, dia kembali fokus pada kemudi mobilnya. Melihat sahabatnya hanya diam sejak tadi, Rani yakin Dian sedang tidak baik - baik saja sekarang.
"Are you really okay, Di?"
"I am okay. Don't worry"
"Aku akan selalu ada buat kamu, Di. Kapanpun kamu butuh. Jadi jangan sungkan berbagi kesedihanmu denganku, oke?"
"Tentu saja" jawab Dian tersenyum, "Tapi kali ini aku tidak mau bersedih lagi, Ran. Aku lelah terus menjadi orang lemah. Meratapi kesedihan hanya akan membuang - buang waktu. Semua juga tidak akan kembali seperti dulu. Hidup akan terus berjalan dan aku hanya perlu melangkah ke depan"
Inilah yang Rani kagumi dari sosok Dian. Dia adalah sosok wanita yang tegas. Di tambah pengalaman hidup yang berat membuat Dian menjadi wanita yang kuat.
Mobil yang di kendarai Rani kini memasuki pintu pagar besi berwarna putih yang menjulang tinggi. Di depan teras sudah ada Yasari dan Damar, orang tua Rani sekaligus orang kepercayaan mendiang Kakek Dian.
"Selamat datang kembali di rumah ini, Di" Yasari memeluk Dian begitu wanita itu turun dari mobil. Dian membalas pelukan Yasari dengan lembut. Ada kehangatan dan kenyamanan yang Dian rasakan. Mungkin karena sudah lama ia kehilangan sosok ibu.
"Bagaimana kabarmu, Nak?" tanya Damar
"Seperti yang Paman lihat, aku baik - baik saja"
Damar tersenyum. "Kamu pasti lelah. Sebaiknya kamu masuk lalu istirahat"
Dian hanya mengangguk sebagai jawaban. Kakinya mulai melangkah memasuki rumah. Matanya menelisik setiap bagian dari rumah ini. Tidak ada yang berubah. Semua masih sama seperti dulu.
"Kamu mau Bibi buatkan teh madu kesukaanmu?" tawar Yasari
"Boleh, Bi. Tolong nanti di antar ke kamar ya"
"Tentu. Pergilah ke kamarmu dulu. Nanti biar Rani yang mengantar tehnya"
Dian tersenyum, "Terima kasih"
Perempuan cantik itu menaiki tangga menuju ke lantai dua dimana kamarnya berada. Begitu membuka pintu kamar, pemandangan pertama yang Dian lihat adalah fotonya bersama mendiang Mamanya. Dian berjalan ke arah nakas kemudian mengambil figura itu.
"Aku kembali, Ma" lirih Dian
Dia membelai foto Mamanya dengan senyum lembut. "Aku merindukan Mama. Sangat merindukan Mama. Aku juga merindukan pelukan Mama. Tidak bisakah kita bertemu sebentar saja meski hanya lewat mimpi? Aku ingin sekali di peluk, Ma. Aku butuh pelukan Mama sekarang"
Dian yang tadi tegar kini berubah menjadi wanita rapuh. Sebagai manusia biasa, Dian juga bisa merasakan kesedihan. Hanya saja, dia tidak pernah mau menunjukkan kesedihan itu di depan orang lain. Jujur ... Dia butuh tempat bersandar sekarang. Tidak hanya bathin dan hatinya yang terluka. Fisiknya pun sudah begitu lelah dengan keadaan yang menimpanya. Berpura - pura tegar dan baik - baik saja nyatanya tak semudah yang ia kira. Di depan semua orang, Dian masih bisa tersenyum. Namun saat dirinya sendiri seperti ini dia benar - benar terlihat rapuh dan menyedihkan.
Aku tidak baik - baik saja, Ma. Hatiku sakit. Dadaku terasa begitu sesak. Aku hancur. Aku terluka. Kenapa aku harus mengalaminya lagi? Kenapa aku harus mengulang cerita yang sama? Kenapa semua laki - laki itu sama? Papa ... Kak Rey dan juga Saka. Mereka semua menorehkan luka yang sama. Aku lelah, Ma. Aku sungguh lelah.
Air mata yang sejak tadi dia tahan akhirnya luruh juga. Kenangan tentang para pria itu kembali berputar. Memori menyedihkan itu kembali hadir menyapa dirinya. Semua bayangan di mana mereka tertawa di atas penderitaannya seolah menjadi cambuk yang memecut Dian berkali - kali.
"Aku lelah di khianati, Ma. Aku lelah untuk terlihat baik - baik saja. Kenapa selalu berakhir seperti ini? Kenapa kebahagiaan yang aku rasakan semuanya semu? Dada ini sungguh sesak rasanya, Ma. Sungguh sesak!" Dian memukul dadanya berulang kali. Berharap rasa sesak itu akan berkurang, namun tetap saja sesak masih memenuhi hatinya.
"Di ... Ini teh nya"
Dian segera mengusap sudut matanya lalu tersenyum pada Rani.
"Terima kasih"
Rani duduk di ranjang, dia menatap Dian dengan iba. "Menangislah kalau kamu ingin menangis, Di. Orang menangis bukan berarti dia lemah. Terkadang, dengan menangis, seseorang bisa melepas beban yang dia rasakan. Melepas semua kenangan menyakitkan yang ingin di lupakan. Lepaskan semuanya. Jangan di pendam. Menangislah jika itu bisa membuatmu lega. Tapi setelah itu, kamu harus janji tidak akan menangisi Saka lagi!"
Dian tersenyum miris, "Aku ternyata lemah, Ran. Aku tidak bisa berpura - pura tegar dan baik - baik saja sekarang. Aku terluka. Aku sakit hati. Aku ... Aku hancur untuk kesekian kalinya"
Rani memeluk Dian. Tangis wanita cantik itu kembali pecah. Dia tidak baik - baik saja.
"Ini terakhir kali kamu menangisinya, Di. Jangan pernah lagi buang air matamu untuk pecundang itu. Lepaskan semua bebanmu hari ini. Tapi esok, jadilah Diandra yang baru. Diandra yang kuat dan tegar. Kamu wanita hebat. Kamu pasti bisa melewati semuanya dengan baik. Ada aku yang akan selalu menemani kamu"
"Kamu memang sahabat yang selalu mengerti aku, Ran"
"Kita sudah mengenal sejak kecil. Aku tahu betul kamu seperti apa. Jadi jangan coba - coba membohongiku"
Dian terkekeh, "Aku lupa kalau kamu seperti cenayang"
"Ya ... Ya. Kamu benar. Dan kamu tidak bisa menyembunyikan apapun dariku. Sudah selesai kan menangisnya? Sekarang waktunya melupakan semua kenangan pahit itu. Aku sudah memesan tiket ke Bali. Dan besok pagi, kita akan pergi berlibur"
"Kamu serius?" tanya Dian
"Tentu saja. Sudah lama juga kita tidak libur berdua kan? Jadi, mari habiskan waktu untuk bersenang - senang!"
🍀🍀🍀
"Bunda benar - benar kecewa padamu, Ka. Kenapa kamu setega itu pada Diandra? Kamu melukai hatinya. Kamu juga menyakiti perasaannya. Kenapa dulu kamu menikahinya kalau pada akhirnya kamu mencampakkannya?" Hastari terlihat begitu terpukul. Ia tidak menyangka jika putra semata wayang yang ia besarkan dengan penuh kasih sayang, nyatanya tega menyakiti istrinya sendiri. Padahal Saka tahu betul, Hastari juga pernah mengalami hal seperti Diandra di masa lalu. Saka paham bagaimana hancur dan terlukanya dia dulu. Tapi kenapa Saka juga melakukan hal yang sama seperti Ayahnya.
"Bun. Aku sungguh minta maaf. Aku tidak pernah berniat membuat Dian menderita. Aku bahkan masih mencintainya. Tapi anak dalam kandungan Vika membutuhkan aku. Aku terpaksa menceraikan Dian karena Vika-"
"Jangan beralasan apapun! Jika saja kamu tidak tergoda, kamu tidak akan pernah melakukan kesalahan itu!! Atau jangan - jangan, kamu sengaja melakukan itu agar bisa kembali bersama Vika, iya?"
"Bun ... Bunda tahu betul aku seperti apa. Aku tidak seperti yang Bunda tuduhkan"
"Tapi kenyataannya apa, Ka? Kamu membuat Bunda kecewa. Kenapa kamu melakukan hal yang sama seperti yang Ayahmu lakukan dulu?"
Saka bersimpuh di kaki Hastari. Dia memohon ampun atas semua kesalahan yang sudah di perbuatnya. "Aku minta maaf, Bun. Aku sungguh minta maaf"
Perempuan paruh baya itu menggeleng. "Bunda sudah gagal mendidik kamu. Bunda gagal mengajarimu menjadi pria setia. Bunda gagal menjadikanmu pria yang hanya memiliki satu cinta. Kamu bahkan dengan tega membuang wanita yang menemanimu dari awal. Wanita yang menerimamu apa adanya bahkan ikut berjuang bersamamu dan mendukung apapun yang kamu lakukan. Bunda malu, Ka. Bunda malu dengan kelakuan kamu. Kamu sama saja dengan Ayahmu. Kalian sama!"
"Aku tidak sama seperti Ayah, Bun! Kami berbeda!" ucap Saka tak terima
Hastari menatap Saka dengan senyum mencibir. "Dimana letak perbedaannya? Coba jelaskan pada Bunda apa perbedaan kalian? Tidak ada, Ka! Tidak ada!!" Hastari menghela nafas kasar. "Menikahlah dengan Vika. Berbahagialah dengan wanita pilihanmu itu. Mulai hari ini, Bunda akan kembali ke kampung"
Deg
"Jadi Bunda tidak mau datang ke pernikahan kita?" tanya Vika setelah Saka menceritakan jika Bundanya sudah kembali ke kampung halaman
"Bunda hanya butuh waktu. Jangan terlalu di pikirkan. Kita akan tetap menikah meski Bunda tidak datang"
Vika terlihat sendu, "Bunda pasti tidak mau menerimaku sebagai menantu, kan? Apa yang salah denganku, Mas? Apa yang tidak aku miliki dan di miliki Diandra? Kenapa Bunda menolakku padahal aku saat ini sedang mengandung cucunya. Seharusnya Bunda senang"
Saka menghela nafas, "Ini hanya masalah waktu, Vik. Bunda bukan tidak mau menerimamu. Dia hanya belum bisa menerima semua ini. Jangan berprasangka yang tidak - tidak. Suatu saat dia pasti akan menerimamu. Apalagi jika anak kita sudah lahir. Kamu hanya perlu bersabar"
Vika berusaha mengontrol perasaannya yang sedih dan kecewa karena ibu mertuanya lebih memilih pulang kampung di banding menghadiri pernikahannya bersama Saka. Dia memang bersalah, tapi bukankah Saka sudah menentukan pilihan? Dan dialah yang Saka pilih. Di tambah saat ini Vika mengandung anak Saka. Bukankah seharusnya Bunda menghargai keputusan Saka dan mendukung mereka. Tapi kenapa Bunda malah pergi seperti ini!
"Kamu sudah siap kan? Penghulunya sudah datang" Vika mengangguk.
Hari ini Saka dan Vika akan menikah. Acara sengaja Saka gelar di rumah untuk menghindari sesuatu yang tidak di inginkan. Apalagi statusnya yang belum resmi bercerai dengan Diandra. Masalah resepsi atau acara syukuran bisa menyusul nanti. Tidak ada sanak saudara yang hadir. Ayah Saka tidak tahu ada dimana. Setelah bercerai, dia menghilang bak di telan bumi. Sementara Bunda Saka, dia memang memiliki saudara, tapi sekarang mereka ada di Kalimantan. Orang tua Vika sendiri, dua - duanya sudah meninggal.
Saka berjalan menuju ruang tamu bersama Vika. Penghulu dan saksi sudah menunggu mereka disana.
"Bagaimana Pak Saka? Apa acaranya sudah bisa di mulai?"
"Sudah, Pak"
"Baiklah, sekarang jabat tangan saya" Saka mengangguk kemudian menjabat tangan penghulu yang akan menikahkannya dengan Vika. Mereka akan menikah menggunakan wali hamil sebab Ayah Vika adalah anak tunggal.
"Saudara Saka Ari Prasetya bin Kusuma Ari Prasetya, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Avika Saraswati binti Jalal Kamarudin dengan mas kawin emas 50 gram dan seperangkat alat shalat di bayar tunai"
"Saya terima nikah dan kawinnya Avika Saraswati binti Jalal Kamarudin dengan mas kawin tersebut, tunai!"
🍀🍀🍀
Tiga Bulan Kemudian
"Dengan ini hakim memutuskan bahwa saudara Saka Ari Prasetya dengan saudari Diandra Veronica resmi bercerai!"
Tok Tok Tok
Ketok palu hakim sudah menggema. Menandakan jika sekarang, Saka dan Dian sudah menjadi orang asing. Mereka tidak memiliki hubungan apa - apa lagi.
Saka menatap wanita yang kini resmi menjadi mantan istrinya dengan tatapan sendu. Jujur ... Saka belum bisa melupakan Dian sepenuhnya. Meski sudah menikahi Vika, tetap saja sebagian pikirannya masih di isi oleh Dian.
"Di ... seperti janjiku sebelumnya, aku memberikan rumah kita padamu. Kamu bisa menempatinya mulai sekarang"
Dian mengangguk, "Berarti rumah itu boleh aku apakan saja kan?"
"Kamu tetap ingin menjualnya?" tanya Saka lirih
Dian menatap Saka dengan sinis. "Kamu keberatan aku menjualnya?" Saka tidak menjawab. "Aku tidak akan menjualnya" ucap Dian
Saka tersenyum tipis. Dia lega. Setidaknya rumah yang penuh dengan kenangannya bersama Dian itu tidak akan berpindah ke tangan. Bahkan mungkin, dia bisa mengunjunginya suatu hari.
"Berbahagialah setelah ini, Di. Kamu wanita yang baik. Aku yakin kamu akan menemukan pria yang baik juga"
Lihat ... setelah mencampakkannya seperti sampah, sekarang Saka mendoakan Dian agar mendapat pria baik. Tidak tahukah Saka, karena ulahnya, Dian sudah mati rasa terhadap makhluk lawan jenis itu. Luka yang Saka torehkan membuat Dian yakin jika tidak ada pria yang benar - benar baik di dunia ini.
"Aku pasti bahagia, Mas. Tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku bisa hidup dengan baik meski seorang diri. Ada atau tidaknya pria yang mendampingiku, semua sama saja. Aku justru khawatir padamu" alis Saka terangkat. "Aku tanpamu akan menjadi seorang berlian. Tapi kamu tanpaku ... " Dian kembali tersenyum sinis, "hanya butiran debu!"
Deg
Saka merasa tertampar mendengar ucapan Dian. Rasanya, harga dirinya sebagai seorang pria telah di injak - injak. Tapi semua yang di katakan Dian memang benar. Saka bisa seperti sekarang karena bantuan Dian. Berkat ide - ide cemerlang wanita itulah, usahanya mampu berkembang sesukses sekarang. Tapi apa yang sekarang Saka lakukan. Dengan tidak tahu diri, hasil dari kesuksesan dan kejayaan itu malah ia berikan pada wanita lain.
"Satu lagi!" Saka kembali menatap mantan istrinya. "Menurutku, kalau kamu memang punya rasa malu, seharusnya kamu memberiku setidaknya setengah dari hartamu! Kamu tentu tidak lupa kan, dari mana kamu mendapatkan modal untuk membuka usahamu dulu? Dan siapa yang ikut berjuang menemanimu dari nol!!"
Lagi - lagi Saka merasa tertohok. "Di ... Vika sedang hamil dan dia butuh-"
"Ya ... Ya. Pria sepertimu memang tidak akan bisa bersikap adil. Tidak masalah. Aku anggap tiga tahun ini aku bersedekah padamu!"
"Aku merasa kamu sudah keterlaluan, Di!" ucap Saka tak terima
Untuk ke sekian kalinya Dian tersenyum sinis. "Kamu marah?" tanya Dian remeh, "Lalu harus aku anggap apa hidupku selama tiga tahun ini? Aku hidup bersusah payah! Mengorbankan semua tenaga dan waktuku untuk hal yang sia - sia! Tapi apa akhirnya? Aku di buang begitu saja oleh pria tidak tahu diri sepertimu!"
"Di ... Aku benar - benar minta maaf. Sungguh" Saka berkata dengan nada penuh menyesalan
Kekesalan Dian sungguh berada di ubun - ubun.
"Andai kata maaf bisa mengobati luka yang aku rasakan, tentu aku akan memaafkanmu dengan mudah, Mas. Sayangnya tidak bisa. Semua terlalu menyakitkan. Satu hal yang harus kamu ingat. Semua yang kamu lakukan padaku, tidak akan pernah aku lupakan bahkan hingga aku mati sekalipun. Dan aku berdoa, semoga suatu saat kamu juga merasakan hal yang sama!"
Saka menatap kepergian Dian dengan nanar. Hubungannya dengan wanita itu benar - benar berakhir. Semua impian yang dulu ingin dia bangun dengan mantan istrinya itu harus kandas karena kesalahannya sendiri. Andai waktu bisa di ulang, tentu Saka akan berpikir ribuan kali sebelum berbuat kesalahan. Benar orang bilang, penyesalan memang selalu datang belakangan.
Pria tampan itu melangkah gontai meninggalkan gedung pengadilan agama. Setelah menaiki mobilnya, entah kenapa Saka ingin pergi ke rumah lamanya. Tanpa berfikir dua kali, pria itu mengemudikan Pajero hitamnya menuju kediaman Diandra.
Perjalanan terasa sedikit lambat akibat kemacetan yang melanda jalanan Ibukota. Saka harus sedikit bersabat untuk bisa sampai di rumah.
"Ada apa? Kenapa ramai sekali?" tanya Saka pada dirinya sendiri ketika mobil yang ia tumpangi hampir sampai. "Apa yang mereka lakukan?!!"
Saka turun lalu berlari saat alat berat meruntuhkan dan meluluhlantakkan rumahnya. Terlambat, semua sudah rata dengan tanah.
"SIAPA YANG MENGIZINKAN KALIAN MENGHANCURKAN RUMAHKU!!"
"Aku orangnya!"
Deg
"D-dian"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!