''Ibu, Ayah ... Ini makanannya. Dimakan, ya, Bu, Yah! istri Rendi sudah capek-capek lho masakin nya,'' ucap Rendi pagi itu dengan melempar senyum sumringah kepada kedua orangtuanya.
''Ya Le, Ibu dan Ayah akan memakannya. Kamu mau sarapan bareng kita, Nak? Ayo duduk dulu.'' tawar bu Maryam.
''Tidak usah Bu, tadi Rendi sudah sarapan di rumah. Rendi harus segera ke sekolah, takutnya nanti terlambat. Kalau begitu Rendi pamit dulu, ya. Assalamualaikum Ibu, Ayah.'' ucap Rendi sambil menyalami tangan kedua orangtuanya, setelah itu ia berlalu dari rumah masa kecilnya itu, rumah tempat dirinya tumbuh dan di besarkan.
''Bagaimana Bu makanan nya? Apa masih sama seperti biasa?'' tanya Pak Burhan Ayahnya Rendi setelah Rendi benar-benar pergi dari rumah.
''Sepertinya masih sama, Pak.'' ucap Buk Maryam dengan raut wajah lesu dan sedih setelah membuka rantang cantik yang terbuat dari stainless tersebut.
''Mantu mu itu benar-benar keterlaluan Bu, lama-lama Bapak muak juga melihat ulahnya itu.'' ucap Pak Burhan seraya mengelus dadanya, ia benar-benar merasa terhina atas apa yang telah di lakukan oleh sang menantu, istri dari Rendi.
''Kita yang sabar saja ya, Pak. Lagian Rahmat kan selalu mengirimkan kita uang. Kita selama ini tidak pernah kekurangan makanan sedikitpun Pak. Biarkan saja dulu, Ibu selalu berdoa semoga saja suatu hari nanti menantu kita itu bisa berubah, mendapatkan hidayah dari Allah SWT.'' ucap Bu Maryam sambil memindahkan makanan yang tidak layak itu kedalam plastik sampah.
Setelah itu Buk Maryam mencuci rantang stainless bewarna kuning emas tersebut dengan bersih, karena saat jam pulang sekolah nanti putra sulungnya itu akan menjemput kembali.
***
Pak Burhan merupakan seorang guru yang sudah pensiun, dia dan istrinya Bu Maryam sekarang mengisi kesibukan dihari tua mereka dengan bercocok tanam disekitar perkarangan rumah mereka, tanaman tumbuh dengan begitu subur, bermacam-macam tanaman mereka tanam. Ada ubi kayu, ubi jalar, cabai, tomat, dan berbagai macam jenis sayuran lainnya.
Selama setahunan ini gaji pensiunan Pak Burhan dikelola oleh Rendi sang anak sulung, oleh karena itu Rendi setiap hari harus mengantarkan makanan ke rumah orang tuanya itu, sebagai bentuk tanggung jawabnya kepada kedua orang tuanya.
***
Keesokan paginya, Rendi datang lagi ke rumah orangtuanya untuk mengantarkan makanan seperti biasa.
''Wah Ibu lagi masak apa, Bu? Sepertinya enak ni, aroma masakan Ibu tercium begitu sedap.'' ucap Rendi pagi itu sambil meletakkan rantang seperti biasa.
''Kamu sudah datang rupanya Le, Ini Ibuk lagi masak opor ayam kesukaan Adik mu Laila. Katanya nanti siang dia akan pulang.'' jawab Buk Maryam sambil mengaduk-aduk opor Ayam yang masih berada di dalam kuali diatas tungku.
''Laila mau pulang? Laila kenapa nggak kasih kabar ke aku, Bu kalau dia mau pulang. Bapak mana?'' tanya Rendi.
''Ibuk tidak tahu juga, Ibuk kira Adik mu itu sudah kasih kabar ke kamu Le. Bapak ada dibelakang, lagi metik cabai dan sayuran lainnya. Istrimu hari ini masak apa, Le?'' tanya Buk Maryam sambil menatap sang putra lekat.
''Tadi di rumah Rendi sarapan pakai ayam kecap sama tumis kangkung Bu. Kalau untuk Ibu dan Ayah sengaja Dewi masakin pepes ikan sama bubur ayam, katanya makanan itu sehat untuk kalian'' jelas Rendi.
''Katanya? Emang kamu nggak lihat dulu isi rantangnya, Le?'' kata Bu Maryam menatap sang anak sulung dalam.
''Rendi nggak sempat lihat Bu. Karena makanannya sudah dimasukkan terlebih dahulu oleh Dewi kedalam rantang sebelum Rendi bangun. Ya sudah, makanannya di habiskan seperti biasa ya, Bu. Supaya Ibu dan Ayah tetap sehat. Rendi pamit ke sekolah dulu. Assalammualaikum.'' pamit Rendi sambil menyalami tangan keriput sang Ibu yang sudah renta.
''Walaikum'sallam, Le. Nanti kamu bawa Dewi sama cucu Ibu kesini ya, Biar kita makan sama-sama merayakan kepulangan Laila.'' kata Buk Maryam dengan mengelus pucuk kepala sang anak. Setelah itu Rendi berlalu, Bu Maryam menatap punggung Rendi dengan air mata yang mengenang dipelupuk mata. Ada beban yang ia tanggung di hatinya, tapi ia tak mampu untuk mengatakan kepada sang putra karena ia takut rumah tangga sang anak akan retak.
Setelah itu Buk Maryam membuka rantang yang berada di atas meja makan, makanan yang dibawa Rendi masih sama, cuma menu nya saja yang berbeda. Bu Maryam memindahkan makanan yang ada di rantang tersebut ke dalam tempat makanan ayam, makanan yang bahkan binatang pun tak layak untuk memakannya. Kemudian ia mencuci rantang dengan bersih. Bu Maryam mengisi rantang dengan opor ayam buatannya, opor itu sengaja ia masukkan untuk anak menantu dan cucunya.
Uang pensiunan Pak Burhan yang tidak seberapa sengaja dikelola oleh Rendi atas kesepakatan bersama. Sebagai anak tertua dan jarak rumah yang dekat dengan orang tuanya, sudah menjadi kewajiban bagi Rendi untuk menjaga kedua orang tuanya yang sudah renta itu. Karena tidak mau orang tuanya terlalu lelah bekerja, Rendi memutuskan agar istrinya lah yang rutin memasak makanan untuk Ibu dan Ayah nya. Setiap bulan uang pensiun Pak Burhan selalu Rendi berikan kepada istrinya Dewi, Rendi sangat percaya kepada istrinya tersebut. Dan Sisa sepertiga dari uang itu Rendi berikan kepada Ibunya untuk pegangan dan kalau-kalau ada keperluan mendesak. Awalnya Dewi selalu memasak makanan yang layak dan enak, tapi lama-kelamaan sikap Dewi berubah.
Rendi merupakan sulung dari tiga bersaudara, Rendi bekerja sebagai seorang guru di sekolah dasar. Adik perempuannya yang bernama Laila saat ini sedang berkuliah diluar kota, Laila kuliah karena mendapatkan beasiswa sedangkan si bungsu Rahmat bekerja sebagai koki dirumah makan ternama yang ada di ibukota.
Bersambung.
Dewi membuka pintu saat suaminya pulang dari mengajar, diikuti oleh anak laki-lakinya yang baru berusia sekitar 2 tahun.
''Ini rantang nya, Dek. Itu didalamnya ada opor ayam dari Ibu. Ibu sengaja bikin banyak katanya Laila mau pulang hari ini.'' ucap Rendi kepada istrinya Dewi. Ia menyerahkan rantang kepada sang istri lalu melepaskan sepatu dan kaosnya.
''Laila mau pulang?'' tanya Dewi.
''Iya, Dek." balas Rendi.
''Nanti sekitar pukul tiga kita harus ke sana, kita makan bersama di rumah Ibu, sekalian untuk menyambut kepulangan Laila.'' sambung Rendi lagi.
''Aku nggak bisa ikut kamu ke sana, Mas.'' Dewi berkata sambil duduk di depan televisi, menonton serial ikan terbang kesukaan nya.
''Nggak bisa! Kenapa? Bukannya ini momen langka, Laila jarang lho bisa kumpul sama kita.'' ujar Rendi merasa heran dengan ucapan sang istri. Ia menatap sang istri dengan kening berkerut.
''Aku capek, Mas.'' jawab Dewi santai.
''Capek? Kamu kenapa sih Dek, setiap kali Mas ajakin kamu ke rumah orang tua Mas selalu saja ada alasan nya! Mas malu sama mereka karena ketidak hadiran mu, padahal rumah kita cukup dekat.'' tutur Rendi sedikit kesal.
''Aku tu capek Mas, kamu kan tahu sendiri dari pagi aku masak dengan berbagai macam menu, terus habis itu aku membersihkan setiap sudut rumah dan merawat anak kita. Aku baru mau istirahat sekarang Mas!" ketus Dewi sedikit berteriak kemudian berlalu ke kamar nya. Sedangkan Randi hanya bisa mengelus dada dengan sang anak berada di dalam gendongan nya.
Randi dan Dewi menikah karena dijodohkan oleh kedua orang tua mereka. Orang tua mereka berteman cukup dekat. Awalnya Dewi tidak setuju, karena dia sudah mempunyai kekasih, sedangkan Rendi menurut saja karena Rendi memang belum pernah dekat dengan seorang wanita, dia selama ini hanya fokus belajar untuk menamatkan studinya. Padahal Randi memiliki wajah yang cukup tampan dengan postur tubuh tinggi tegap. Dewi juga tidak kalah cantiknya, banyak laki-laki kaya yang menyukai nya, itu lah yang membuat Dewi merasa berada diatas angin, besar kepala, dia yakin kalau Randi beserta mertuanya tidak akan mungkin memarahi dan melawannya, mereka tidak akan rela kehilangan menantu seperti dia. Dewi ingin melihat sebatas mana kesabaran mereka.
***
''Makasih, ya Dek, karena kamu sudah mau ikut.'' ucap Rendi saat mereka sedang berada di atas motor.
''Iya, Mas.'' ketus Dewi dengan nada suara terdengar angkuh.
Setelah membujuk Dewi kurang lebih satu jam lamanya akhirnya Dewi mau juga ikut, Rendi terpaksa menurunkan ego, merendahkan harga dirinya di depan sang Istri hanya karena Rendi tidak mau orang tuanya merasa iba hati, merasa sedih karena ketidak hadiran Dewi. Rendi membujuk Dewi dengan berbagai cara, setelah Rendi menjanjikan akan membeli kalung emas barulah Dewi setuju untuk ikut. Dewi semakin merasa besar kepala.
Sesampainya di rumah orangtua Rendi, mereka menyambut kedatangan anak, mantu dan cucu mereka dengan senyum merekah.
''Sini Sayang, aduh cucu nenek sudah besar rupanya. aduhh gemesnya.'' Bu Maryam berkata saat Randi dan Dewi baru sampai di dekat pintu utama. Jarak rumah Rendi dan orang tuanya tidak terlalu jauh, masih berada di kampung yang sama.
Dewi memandang dengan wajah jutek, dia ingin melarang Bu Maryam agar jangan menyentuh anaknya, tapi masih dia tahan, dia merasa jijik melihat sang mertua yang tangannya sudah keriput.
''Laila mana, Buk? Dia sudah sampai belum?'' tanya Rendi.
''Laila ada di kamarnya, Le. Laila baru sampai setengah jam yang lalu. Baru selesai mandi Adik mu.'' jawab Bu Maryam tersenyum simpul. Sedangkan suaminya Pak Burhan hanya diam, dia malas berbasa-basi karena tidak suka sama sikap angkuh menantunya itu.
Dewi asyik dengan gawai nya, dia duduk disamping sang suami diatas tikar, mereka duduk lesehan. Di depan mereka sudah tersedia beberapa hidangan seperti opor ayam, rebusan sayur, sambel dan berbagai macam menu khas masakan pedesaan lainnya. Bu Maryam sibuk menurunkan piring dan perlengkapan makan lain sebagainya. Rendi melirik ke arah sang istri kemudian dia berkata, ''Dek, sudah simpan dulu gawai nya. mending kamu bantuin Ibu, kasihan sama Ibu dari tadi menyiapkan semuanya sendirian.'' tutur Rendi, dia merasa malu melihat tingkah sang istri.
''Apaan sih Mas, ganggu saja! kamu saja tuh yang bantu Ibu. Aku lagi sibuk berbalas pesan sama teman-temanku.'' jawab Dewi dengan santai dengan mata masih fokus menatap layar ponsel.
Pak Burhan yang duduk tidak terlalu jauh dari Dewi dan Rendi dengan sang cucu berada dipangkuan nya bisa mendengar obrolan anak dan mantu nya itu dengan jelas. Pak Burhan menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil beristighfar di dalam hati.
Beberapa menit kemudian Laila keluar dari kamar.
''Duhhh Ibu, kenapa Ibu nggak nunggu Laila dulu? Laila tadi lagi sholat sebentar. Sini biar Laila saja, Bu.'' ucap Laila, dengan cepat ia mengambil alih pekerjaan sang Ibu.
''Kamu duduk saja Nduk, kamu pasti capek habis dari perjalanan jauh.'' ucap buk Maryam.
''Laila nggak capek kok Buk.'' jawab Laila dengan senyum simpul.
sedangkan Dewi merasa kesal mendengar pembicaraan Laila dan Buk Maryam.
''Iihhh drama, dasar norak.'' batin dewi.
''Mbak Dewi apa kabarnya, Mbak?'' sapa Laila ramah.
''Baik, kamu bisa lihat sendirikan, Laila!'' ketus Dewi tersenyum sinis. Dia masih fokus dengan gawai nya.
''Syukurlah kalau begitu.'' sahut Laila lagi.
Semua sudah berkumpul diatas tikar, mereka sedang menyantap makanan yang dimasak oleh tangan tua Buk Maryam. Masakan itu terasa begitu nikmat, Dewi makan dengan begitu lahap, dengan berbagai macam lauk berada di piringnya, tanpa malu dan sungkan ia memasukkan lauk-pauk itu.
Setelah selesai makan, Laila dan Buk Maryam sibuk membereskan peralatan makan, sedangkan Dewi kembali fokus sama gawai nya.
Laila yang melihat merasa jengkel.
''Mbak, penting bangat ya gawai nya? Dari tadi aku lihat sibuk banget sama tuh benda.'' celetuk Laila menyindir.
Dewi yang mendapat pertanyaan tersebut merasa sedikit terpancing.
''Iya, iya lah penting! Penting banget.'' ucap Dewi cuek.
''Mbak, Mas, mulai besok pagi nggak usah repot-repot masak buat Ibu dan Ayah lagi, ya. karena Laila kan sudah berada di sini. Biar Laila saja yang masak buat Ibu dan Ayah.'' kata Laila sambil menyapu bekas nasi yang berserakan.
''Terserah!'' celetuk Dewi, sedangkan Rendi hanya diam menyimak.
''Besok kan uang pensiunan Ayah keluar, mana kartu ATM nya, Mas? Biar Laila saja yang pegang. Karena untuk tiga bulan ini Laila lagi ada tugas di sini. Kalian nggak perlu repot-repot lagi memasak dan mengantar makanan kesini.'' sahut Laila lagi, Laila merasa curiga sama Dewi, Laila juga kasihan melihat kedua orang tuanya karena mereka kelihatan semakin kurus.
''Apa maksud mu, Laila? Kamu baru pulang saja sudah belagu. Dasar Adik tidak tahu diri.'' ucap Dewi emosi, dia tidak mau memberikan ATM milik mertua nya yang di pegang nya.
Bersambung.
Bersambung.....
''Lho ... Mbak Dewi kok malah sewot sih! Aku kan ngomong gini karena ingin mengurangi beban kalian, supaya Mbak nggak usah masak banyak lagi di pagi hari dan supaya Mas Rendi tidak repot-repot lagi mengantarkan makanan ke sini.'' ucap Laila menatap Dewi dengan lekat.
''Ya ... Tapi nggak gitu juga kali kamu ngomong nya, kamu itu kuliah jauh-jauh emang tidak diajarkan sopan santun apa?'' ketus Dewi tidak mau kalah.
''Mbak, Mbak nggak nyadar apa, Mbak nggak nyadar diri bagaimana kelakuan mbak sendiri. Mertua lagi sibuk nyiapin piring dan sebagainya tapi Mbak malah asyik bermain ponsel. Dasar!'' Laila berkata kemudian berlalu ke kamar nya. Laila memilih menghindar, karena dia tidak ingin ikut tersulut emosinya karena tingkah Ipar yang nyebelin.
''Laila benar Dek, mana kartu ATM nya?'' ucap Rendi mencoba menengahi. Ia berkata dengan begitu lembut kepada sang istri.
''Kartu ATM nya tidak aku bawa Mas, lagian buat apa juga cuma makan-makan begini bawa ATM. Nggak penting bangat!'' jawab Dewi ketus tanpa rasa bersalah.
Untung saja Raka anaknya Rendi dan Dewi sudah tertidur setelah makan tadi, jadi dia tidak melihat keributan kecil yang terjadi antara Ibunya dan Sang Tante.
''Nanti biar Laila yang jemput kartu ATM nya ke rumah kalian, Laila benar, jadi kamu Dewi tidak perlu repot-repot lagi mencari menu makanan yang tidak layak begitu.'' sahut Burhan Ayahnya Rendi sedikit menyindir Dewi.
''Tidak layak?'' tanya Rendi penasaran keningnya sedikit berkerut menatap Sang Ayah lalu beralih kepada Sang istri.
Sedangkan Dewi wajahnya sudah memucat, dia takut kalau perbuatan curang nya selama ini diketahui oleh Sang suami.
''Tidak layak apanya sih, Yah? Ayah kok ngomong begitu! Padahal Dewi sudah susah payah lho memasak untuk Ayah dan Ibu. Kenapa kalian tidak menghargai aku.'' ujar Dewi dengan muka dibuat sedih.
Rendi merasa bingung, dia masih menunggu penjelasan dari sang Ayah.
''Mas, ayo kita pulang saja. Aku capek! Makanya tadi aku tidak mau ikut ke sini, keluarga kamu itu tidak ada yang bisa menghargai aku.'' ungkap Dewi merasa terzolimi.
''Ayah, Ibuk, Rendi tanya sekali lagi, emangnya makanan yang selalu Rendi bawa tidak layak bagaimana?'' tanya Rendi tanpa menghiraukan sang istri.
''I-itu makanannya kayak makanan be ....'' belum selesai Buk Maryam berbicara, tiba-tiba Dewi menyela.
''Mas, ayo buruan pulang!'' teriak Dewi lantang, dia menarik tangan suaminya agar keluar dengan sang anak sudah berada digendongan.
''Dewi, kamu apa-apaan sih? Aneh bangat!'' Rendi berkata saat mereka sudah berada diluar.
Sedangkan sepasang manusia paruh baya hanya menatap dengan perasaan campur aduk, mereka merasa kasian dengan anak sulung mereka. Karena perjodohan yang mereka lakukan dulu, Rendi yang harus menanggung akibatnya. Rendi mendapatkan Istri yang sangat Aneh dan begitu langka sifatnya. Istri yang tidak bisa menghargai mereka sama sekali.
''Sudah, mereka nggak usah dilihat lagi Ibuk, Ayah. Ayo masuk. Nanti Laila yang akan kesana.'' ucap Laila merasa begitu prihatin. Ia keluar dari kamarnya setelah mendengar keributan yang terjadi. Laila membimbing kedua orang tuanya masuk.
''Laila janji, suatu saat nanti Laila akan membuat kalian bahagia di sisa-sisa usia kalian.'' batin Laila yakin sambil menatap lekat wajah tua Ayah dan Ibunya.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!