NovelToon NovelToon

Langit-Langit Angan

Terbenam Di Angan

Senjaku tersita oleh keramaian kota. Moodku tersingkap oleh kelelahan sepulang kerja.

"Huft inikah kehidupan yang aku cari selama ini? Inikah jalan cita yang sedari kecil aku ingin raih? Inikah takdir yang harus aku syukuri? Segalanya membosankan, benar-benar membosankan," gumamku sesampainya dikontrakan kecil dipinggiran Ibukota.

Kumandang adzan magrib menyintas lamunanku, yang sedari tadi termenung dibalkon kontrakan. Senjaku yang lekang terisi khayalan, kini harus kembali terhenyak tersadarkan. Aku candu dengan khayalan yang senantiasa penuhi hari-hariku. Entah sampai kapan hidupku terlalu membosankan. Keinginan berubah dan merubah jalannya sering ada namun harus mulai darimana? Entahlah.

"Hans, bangun udah magrib," teriak Ibu kost yang senantiasa perhatian.

"Ga tidur Bu," jawabku lemas berjalan ke kamar mandi.

Malam hariku berjalan lambat. Tugas-tugas rumah melambai "Kapan mau cuci aku," seakan baju-baju kotor berbicara yang sudah menumpuk dari seminggu yang lalu dipojokan kamar namun masih aku abaikan. Aku berlalu ke dapur yang hanya tersekat papan triplek dengan kamar. Niat hati ingin mengisi perut, namun tiba-tiba ramai terdengar lagi seakan-akan piring gelas sendok kotor berbicara "Mau makan? cuci kita dulu." Setengah hati aku menyanggupi permintaan mereka. Beginilah keseharian perantau.

Kesepian aku tersungkur diperbaringan, memejamkan mata mencoba melepas lelah dengan terlelap, namun kantuk enggan hinggap. Kesunyian semakin merayap disekujurku. Angan mulai mengetuk menerbangkanku dalam diam. Via kamu datang disaat yang aku harapkan. Aku rindu berduaan denganmu. Mengutip candaan hingga gelak tawa tak terbantahkan diantara kita. "Bagaimana dengan harimu?" tanyaku lembut. "Baik, dan tiada yang lebih baik dari didekatmu," jawab via menenangkan. "Kelak ketika kebersamaan kita sudah dibalut ijab qobul. Relakan masa lalu kita ku simpan rapih diangan, agar beban kehidupan tak begitu berarti untukku, karna hanya dengan mengenangmu saja sudah kudapatkan semangat yang bertubi-tubi untuk terus membahagiakanmu". mendengarku Via hanya menyandarkan kepala dibahuku. "Via, jika nanti Tuhan tak mengijinku hidup lebih lama disampingmu, kenanglah aku sebagai lelaki yang sangat menyayangimu". Ku kecup kening via sembari mengusap rambutnya. Malam ini penuh kehangatan, kehadiranmu menjawab kesunyianku. Dengan hati yang lega aku pun hilang tertelan lelap.

"Tok tok tok! Hans udah pagi bangun," teriak ibu kost mengetuk pintu kamar.

"Iya Bu," sahutku menyadarkan diri.

Setelah membersihkan diri dan bersiap berangkat kerja, tak lupa aku mampir ke ibu kost untuk sekedar berpamitan.

"Bu, aku berangkat ya. Nanti kalo ada paket terima aja bu. Kemarin aku pesen kue buat Ibu," terangku.

"Iya makasih, baik banget kamu sama Ibu," jawab Ibu kost memuji.

"Sama-sama Bu, Ibu juga udah baik banget sama aku, Assalamualaikum," pamitku.

"Waalaikumsalam," jawab ibu kost singkat.

Pagi ini aku berangkat ke kantor naik angkot karena motor idamanku Yamaha R25 belum sanggup aku beli. Padahal udah dipesan tiap doa ke Allah, tetapi belum juga dikabulkan. "Tiktuk!" hp ku berbunyi satu pesan whatshapp masuk.

[ Nak, jangan lupa sarapan dulu sebelum berangkat kerja.] seru pesan tanpa nada yang adalah Ibuku dikampung.

[Ya Bu siap] jawabku singkat.

Sesampainya dikantor rutinitasku yang membosankan ini aku coba nikmatin, dengan membalas sapaan rekan-rekan kerja.

"Hans, ditanyain Bu Gita tu," seru Faiq rekan kerjaku sambil menepuk pundak.

"Bu Gita siapa?" tanyaku heran.

"Penggantinya pak Albert yg minggu lalu resign," jawab Faiq menjelaskan.

"Oh iya ntar gua keruangannya," jawabku sambil berlalu ke meja kerjaku.

"Tok tok tok! Assalamulaikum," salamku mengetuk ruangan Bu Gita.

"Waalaikumsalam, masuk!" sahut suara dari balik pintu.

"Kamu Hans," tanya Bu Gita.

"Iya Bu saya Hans," jawab ku mengangguk.

"Oke, silakan duduk!" kata Bu Gita sembari sibuk mencari berkas dilaci mejanya.

"Nama Hans Abdussofyan jabatan sales marketing. Sudah bekerja selama 4 tahun. Tanggal lahir 16 April 1994. Status lajang. Saya dengar kamu salah satu sales yang cukup handal diperusahaan ini. Saya mau kamu terangin produk-produk yang paling sering diminati konsumen kita," tutur Bu Gita meminta.

"Baik Bu. Dari data saya untuk tahun ini, produk yg paling sering dibeli konsumen adalah pompa type booster, pabrikan dari Barbara relatif banyak diminati," jawabku menerangkan.

"Oke. Terus kedepannya untuk memajukan perusahaan ada ide yang belum disampaikan?" tanya Bu Gita.

"Sejauh ini kalo menurut saya dipenyedia barang/stock Bu. Saya sering terkendala dengan stock merk tententu, yg langka. Sedangkan stock yang jarang diminati banyak. Mungkin untuk stock baiknya dibanyakin dari merk-merk yang banyak diminati konsumen. Sementara dari saya itu saja Bu," tuturku.

"Oke baik terimakasih masukannya. Cukup, silakan lanjutkan kerja, dan tolong panggilkan OB!" tutur Bu Gita sudahi perbincangan.

Sebagai seles pekerjaanku lebih banyak diluar kantor. Kadang sekedar menghilangkan kebosanan asal keluar kantor nongkrong, dan tempat tongkrongan favoritku diwarung kopi samping gedung yang terbengkalai karna tidak dilanjutkan pembangunannya. Disini adem, tenang nikmat ngopi dan hisap beberapa batang rokok. Via datang lagi dengan parasnya yang selalu menawan pandangan. "Kamu bagaimana hari ini?" tanyaku menyapa. "Selalu lebih baik selama didekatmu," jawabnya lembut menenangkan. "Sore nanti aku pulang pengen ada kamu menyambut aku, sembari membawa minum, kemudian aku kecup kening kamu dan bercanda ria," pintaku. "Iya, aku akan datang pas kamu mau pulang," jawab Via melegakan. Hanya Via yang harum wanginya saja mampu meluluhkan kewarasanku. kesadaran sering kali tersandra. Hingga detik-detik waktu seringkali tak terasa. Aku mengembalikan sepenuhnya yang dulu ku sebut rasa, hanya untuk Via yang selalu membawa bahagia. Aku tenang bersamanya. Aku senang melihatnya.

"Kopinya dingin atuh ga diminum-minum," ujar Bu Atmi penjual kopi langganan.

"Oh iya Bu ini mau diminum," jawabku terkejut.

Hari sudah sore jam kerjaku tersisa 60 menit lagi. 30 menit ke kantor 30 menit buat beres-beres dan pulang. Tak lupa aku membayar kopi dan rokok sama Bu Atmi sembari pamit.

Rutinitas yang membosankan, mungkin karena aku tak mengerti arti syukur, atau karna aku jauh dengan Tuhan sehingga segala yang aku lakukan buatku tidak menyenangkan. Entahlah. Semoga Tuhan mengampunkan. Sering terbesit dipikiran untuk pergi meninggalkan yang sekarang aku lakukan secara berulang. Mencoba hal baru nampaknya akan lebih seru. Namun, bagaimana aku melakukan itu? Diawali dengan resign kah? Kemudian pergi ketempat yang tiada satu pun orang kah? Terus bagaimana dengan kebutuhan ibu? Bagaimana dengan biaya sekolah adek? Sumpah demi apa pun kehidupan ini tak berarti lagi.

Seperti biasanya pulang kerja dengan situasi hati yang gundah. Terdengar teriakan ibu kost mengagetkan ku yang sedang membuka kunci pintu kontrakan.

"Hans, makasih kuenya enak," Seru Ibu kost.

"Iya Bu," jawabku.

Ada Via dan segelas air putih ditangannya. Dia menatapku dengan senyum lirih dibibir tipisnya. Yang aku mau selalu seperti ini. Ada kamu yang menunggu kepulanganku, yang menyambutku tatkala kelelahan dan kesepian menjadi bayanganku. "Via bagaimana perasaanmu sekarang," tanyaku lembut. "Kelegaan dan kasih sayang yang ada dihatimu bagaikan cerminan hatiku, aku sama sepertimu," jawabnya membuatku hanyut. "Jangan pernah tinggalin aku walau untuk sesaat. Aku lelah dengan semuanya. Cuma kamu yang sanggup buat aku tetap tersenyum," keluhku pada kekasih hati.

Merubah dari yang Termudah

"Kring kring!" hp ku berdering panggilan dari Ibu.

"Halo, Assamualaikum Buk," salamku setelah angkat telpon.

"Waalaikumsalam. Sudah pulang? Sibuk tidak?" Tanya Ibu.

"Sudah Buk. Ga sibuk koq Buk. Ibuk Bapak dan Adek apa kabar dikampung?" tanyaku memulai obrolan.

"Alhamdulillah sehat semua nak. Kamu juga harus jaga kesehatan dan jangan tinggalin sholat," jawab Ibu sembari menasehati.

"Nak, dengerin Ibuk cerita. Sebenernya Ibuk mau minta tolong sama kamu. Adekmu minggu depan ada acara study tour. Kebetulan Bapamu belum ada rejeki. Kamu bisa bantu adekmu nak?" pinta Ibu haru.

"Memangnya buat biaya study tour Adek berapa Bu?" tanyaku.

"1.5 juta, udah sama uang saku katanya," jawab Ibu.

"Yaudah Buk nanti aku transfer kalo udah ada rezeki," jawabku mencoba memberi solusi.

Seringkali kehidupan menamparku dengan keras. Tak memberi pilihan cenderung menyudutkan. Aku yang berada dalam ruang sempit semakin terhimpit. Nafasku sesak suaraku memekik seakan terus tercekik. Air mata mengalir deras ditanah yang jauh dari bekas tanah kelahiranku. Aku yang sendirian menahan kesepian dan kebosanan hidup dituntut untuk tetap lanjut. Dengan dera derita yang sudah lama menelan asa. Mengesampingkan semua yang aku rasa. Lantas sekuat apa aku sebenarnya? Seakan sekarat namun tak kunjung tamat. Wahai yang Maha Hidup. Hidupkanlah hidupku dengan kehidupan yang benar-benar hidup. Sehingga tak hanya bangkai yang berjalan ini yang ku rasa. Sehingga tak hanya angan bertempatnya bahagia. Bisakah ku ubah dengan nama-Mu?

Aku habiskan malam ini dengan gundah dihati. "Yang sabar ya," tegur Via menguatkan. "Iya sayang, terimakasih," jawabku.

Semua yang berjalan sudah pasti akan berlalu. Dewasa ini banyak mengajarkanku. Aku berharap masa mendatang lebih memihakku. Hingga luka duka derita nestapa segan berdekatan denganku. Esok atau lusa pasti berubah.

"Selamat pagi Bu!" sapaku melewati Ibu kost.

"Kok tumben sudah bangun sepagi ini?" jawab Ibu kost keheranan.

"Iya Bu lagi kebangun aja," timpalku berlalu.

Jam 06.30 aku berjalan ke kantor. Karena berangkat lebih pagi aku memutuskan untuk tidak naik angkot. Kebetulan hanya butuh waktu 20 menit kalau jalan kaki. Sekalian olahraga. Sesampainya dikantor aku langsung ke kantin karena perut keroncongan. Selain itu, rekan-rekan kerja juga belum berangkat. "Tiktuk!" pesan wa masuk dihp. Seperti biasa Ibu selalu mengingatkan buat sarapan sebelum mulai kerja, dan baru sekarang aku jawab.

"Iya Bu siap," dan aku beneran sarapan. Sepele namun sangat terasa dihati. Sebelumnya setiap Ibu mengingatkan makan aku selalu jawab "Iya siap Buk," tetapi tak pernah benar-benar makan.

"Hans!" panggil Fa'iq yang baru berangkat kerja.

"Woy sini gabung sarapan!" sahutku menawarkan.

"Bu Gita kemarin pas pulang nanyain lu, gua jawab udah pulang duluan," tutur Fa'iq memberitahu.

"Waduh kenapa ya?" tanyaku penasaran.

"Ga tau. Coba lu samperin aja!" imbuh Fa'iq yang baru mulai sarapan.

Tidak seperti biasanya rutinitas sekarang coba aku lakukan dengan segenap hati. Melakukan apa pun dengan perasaan senang dan pikiran yang positif.

"Bu Gita apa kabar?" tanyaku berpapasan didepan ruangan.

"Alhamdulillah baik. Kamu apa kabar?" jawab Bu menimpali.

"Alhamdulillah baik juga Bu. Oh ya kata Fa'iq kemarin Ibu nanyain saya?" tanyaku.

"Iya kemarin sebenernya mau minta tolong, temenin ke toko elektronik mau beli TV," jawab Bu Gita menerangkan.

"Oh gitu ya Bu. Terus sudah beli TV belum Bu?" sahutku.

"Belum. Tapi nanti aja soalnya pekan ini banyak banget pekerjaan," jawab Bu Gita sembari masuk ke ruangan.

"Baik Bu," imbuhku menyudahi obrolan.

Aku pun kembali ke ruangan kerjaku. Disana aku melihat Fa'iq sedang fokus menatap layar laptopnya.

"Fa'iq, lu ada tabungan ga?" bisikku lirih. Karena meja kerjaku dan Fa'iq bersebelahan, kita sering berbincang.

"Ada bro, kenapa emang?" jawab Fa'iq.

"Gua pake dulu boleh ga? 1.5 juta, buat adek gua katanya ada acara study tour disekolahnya," pintaku menerangkan.

"Boleh bro pake aja, ntar sore gue transfer, tapi gajian balikin ya?" jawab Fa'iq.

"Siap bro. Thanks ya," jawabku singkat.

Memang benar jika niat kita baik Tuhan akan memudahkan. Dari titik ini aku akan merubah semua yang perlu dirubah. Selama ini sudah cukup untuk kebosanan dan kesepian menawanku, membayangi langkahku, menyita banyak waktuku. Aku menanti saat ini, dimana kesadaran mendominasi hari-hariku. Tak hanya khayalan diangan yang selalu kudapati.

"Hans!" panggil Bu Gita diloby kantor setelah melihatku keluar kantor.

"Iya Bu," sahutku menghampiri.

"Kamu mau kemana?" tanya Bu Gita.

"Saya mau ke proyek Bu mau nawarin pompa hydrant," jawabku menjelaskan.

"Udah janjian sama orang atau cuma mau nengok?" tanya Bu Gita memperjelas.

"Baru nengok Bu soalnya minggu lalu saya kesana belum ketemu penanggung jawab proyeknya," jawabku memberi pengertian.

"Kalo bisa ditunda dulu anter saya ke toko elektronik. Kebetulan meeting sama pak Dirut dibatalin. Saya free sampai jam pulang kerja," tutur Bu Gita meminta.

"Bisa aja Bu. Yaudah ayuk saya antar Bu," jawabku menyanggupi.

Akhirnya aku ikut Bu Gita, kita ke toko elektronik menggunakan mobil Bu Gita.

"Cape kamu kalo keproyek pakai motor operasional?" tanya Bu Gita memulai obrolan sambil menyetir.

"Kadang cape Bu. Tapi demi nafkah harus dikesampingkan perasaan cape itu," jawabku.

"Nafkahin istri ya? Ehh kamu belum nikah ding," ledek Bu Gita mencairkan suasana.

"Pacar tinggal dimana?" imbuh Bu Gita.

"Ada Bu namanya Via tinggalnya dihatiku" jawabku menghilangkan canggung.

"Ooh," jawab Bu Gita singkat.

Seketika hening. Aku pun tak berani memulai percakaan lagi. Beberapa saat kemudian kita sampe ditempat tujuan. Setelah Bu Gita membeli TV, Bu Gita mengantarku pulang, karena perjalanan pulang dari toko ke kantor melewati gang kontrakanku.

Sesampainya dikontrakan tak seperti biasanya. Sebelum aku mendengar ocehan baju-baju kotor dan piring gelas sendok kotor, satu persatu aku kerjakan semua tugas-tugas rumah. "Tiktuk!" pesan wa masuk dari Fa'iq mengabarkan transferan uang sudah dikirim, dengan senang aku membalas pesan dari Fa'iq

[ Thanks bro the best lah ].

"Tuut tuut tuut!" bunyi dering panggilanku ke Ibu.

"Assalamualikum Buk," salamku setelah telpon Ibu angkat.

"Waalaikumsalam," jawab Ibu.

"Buk, Hans udah transfer buat adek ya, doain Bu mudah-mudahan rezeki Hans lancar," tuturku meminta doa Ibu.

"Alhamdulillah terimakasih Nak. Aamiin. Ibuk selalu doain kamu nak," jawab Ibu.

"Yaudah Ibuk Bapa Adek sehat-sehat dikampung, Hans mau nerusin ngepel dulu Bu" ucapku pamit.

"Iya nak kamu juga yang sehat-sehat dan jangan tinggalin sholat," nasihat Ibu.

"Siap Buk. Assalamualaikum," salamku akhiri telpon.

"Waalaikumsalam," jawab Ibu.

"Calon suami idaman," ucap Via memelukku yang sedang mengepel lantai. "Yang terberat dari semuanya adalah ketika semuanya itu hanya diniatan dan ucapan tanpa adanya tindakan. Seperti halnya lantai ini, sudah dari minggu lalu aku berniat membersihkan lantai karena aku liat ada noda. Keesokan harinya aku berucap untuk membersihkannya. Hari berikutnya tetap sama hanya niat dan ucapan. Sampai dengan hari ini, ketika pagi tadi aku memulai untuk merubah dari yang termudah, yang harus aku lakukan hanya bertindak," tuturku menceritakan. "Seandainya kebersamaan kita harus kamu ubah, apakah akan kamu lakukan?" tanya Via memojokan. "Jangan tanyakan itu!" jawabku termenung.

Masa Cerah Kala Itu

Dari yang bersinar bersih hingga kini redup kelabu tak bertepi. Seakan masa cerahku sudah berlalu sejak aku memutuskan bertahan dengan cinta dihati. Memang semuanya tetap berjalan walaupun lamban. Namun yang ku rasa tak seperti semestinya. Sebab yang ku bawa kemana-mana hanyalah bayangan kelabu penghambat langkahku. Aku merindukan masa cerah kala itu. Dimana tawa dan bahagia menjadi penghiasnya. Selebihnya hanya kerikil kecil yang tak berarti apa-apa.

Aku sendirian aku kesepian. Disini semuanya terasa asing untukku. Tak ubahnya hatiku yang mungkin sudah tak berbentuk lagi. Hati yang pernah mencintai dengan sejati, namun harus hancur tatkala cintanya mati.

Kala itu cincin sudah melingkar dijari manisnya. Aku dan Dea bertunangan. Dea wanita cantik yang aku rasa tulus menyayangiku. Wanita yang tujuh tahun lalu mewarnai hari-hariku. Tak hanya aku saja, Bapak, Ibu dan Adek semuanya merasakan kebaikan wanita yang sangat menginspirasi. Aku sebagai pasangan Dea tidak pernah mendapati kekecewaan karenanya. Justru Dea sering kali menyembuhkanku dari kekecewaan-kekecewaan dunia. Dengan perhatian dan nasihat santun yang setelah sepeninggalannya, tak pernah aku temukan sosok yang serupa. Sayangnya, Tuhan menganggap dunia ini tak pantas Dea tempati lagi. Dea berpulang sebulan setelah acara pertunangan kita. Aku memang sudah merelakannya, dengan meneruskan hidup meski penuh kehampaan ini.

Rintik gerimis memaksaku beranjak dari lamunan. Karena baju-baju jemuran belum sempat aku rapihkan.

"Tok tok tok! Hans bangun hujan!" seru Ibu kost mengetuk pintu.

"Iya Bu," sahutku membuka pintu.

"Ini jemuranmu, Ibu kira kamu tidur," tutur Ibu kost menyodorkan baju jemuranku.

"Makasih ya Bu," jawabku menerima.

"Libur kerja kok ga maen?" tanya Ibu kost basa-basi.

"Ga Bu lagi pengen males-malesan aja dirumah," jawabku sambil menutup pintu karena Ibu kost sudah melenggang berlalu.

Garis kehidupan menuntunku hingga titik ini. Diusiaku yang sudah 28 tahun. Tuhan belum menginzinkanku untuk menjadi seorang imam disebuah rumah tangga. Atau memang ajalku lebih dekat dari rezeki jodohku. Seperti Dea yang sudah tenang disyurga sana. Entahlah.

"Kring kring!" hp ku berdering panggilan dari Fa'iq.

"Halo bro! Assalamuaaikum," jawabku angkat telpon.

"Waalaikumsalam. Bro gua disuruh Bu Gita nelpon lu buat dateng ke acara nikahnya Genie, asistennya Pak Dirut. Padahal gua udah bilang lu pasti ga bakalan mau," tutur Fa'iq menjelaskan.

"Iya bro ga bisa sorry," jawabku.

"Yaudah gpp yang penting gua udah nelpon. Gitu aja ya. Assalamualaikum," ucap Fa'iq sembari menutup telpon.

"Waalaikumsalam," jawabku.

Setelah aku pikir-pikir tidak ada salahnya datang ke acara nikah teman kantor.

[ Bro share alamat dong gua mau dateng ] pesan wa ku kirim ke Fa'iq.

Kemudian aku siap-siap berangkat ke acara pernikahan Genie. Setelah Fa'iq membalas dan memberikan lokasi acara, aku pun berangkat.

Seusai ikut berbahagia dengan Genie, asisten Big Bos yang sudah melepas masa lajangnya. Bu Gita mengajak aku dan Fa'iq ke kafe. Aku dan Fa'iq mengiyakan ajakan Bu Gita karena Bu Gita yang akan traktir. Sembari menunggu pesanan datang Bu Gita mulai membuka percakapan, dengan membahas resepsi Genie.

"Menurut kalian resepsi Genie meriah kah?" tanya Bu Gita.

"Meriah Bu dan pastinya mahal," sahut Fa'iq.

"Menurut saya juga gitu Bu, pasti mahal acara semeriah itu," jawabku menambahi.

"Ya wajarlah, harapannya kan menjadi acara sekali seumur hidup," imbuh bu Gita.

"Iya juga sih Bu," jawab Fa'iq.

"Aamiin" doaku.

"Terus Hans kapan mau nyusul?" tanya Bu Gita.

"Kring kring!" tiba-tiba hp Fa'iq berdering, panggilan masuk.

Belum sempat aku menjawab pertanyaan Bu Gita. Fa'iq izin menelpon.

"Maaf Bu saya angkat telpon sebentar," ucap Fa'iq beranjak dari tempat duduk.

"Silahkan," jawab Bu Gita.

"Tadi belum dijawab Hans," ucap Bu Gita menagih.

"Oh ya bu kirain lupa. Bismillah aja Bu nanti kalo Tuhan mengizinkan saya hidup lebih lama mudah-mudahan ada masanya saya menikah," jawabku.

"Bu Gita maaf saya izin pulang dulu, istri saya minta dijemput" sahut Fa'iq meminta izin undur diri setelah ditelpon istrinya.

"Oh ya ga apa-apa, nanti saya pulang sama Hans," jawab bu Gita mengizinkan.

Perbincangan pun dilanjutkan dengan Bu Gita. Beliau banyak menceritakan tentang rumah tangganya dulu yang kandas karena mantan suaminya suka berbuat kasar. Bu Gita juga belum dikaruniai anak selama pernikahannya. Karena usia pernikahannya baru berjalan satu tahun. Bu Gita menyandang status janda diusianya yang masih terbilang muda yaitu 27 tahun, namun parasnya yang cantik dan anggun membuatnya tak terlihat seperti janda. Siapa pun yang belum mengenalnya tak akan menyangka dia seorang janda. Setelah malam mulai larut kita memutuskan untuk pulang, Bu Gita mengantarku sampai depan gang kontrakan.

Sesampainya dikontrakan aku masih terbayang maksud ucapan Bu Gita yang menyampaikan "Mungkin ga kalo kamu nikah sama janda," kalimat itu syarat akan arti. Aku dapati Bu Gita mempunyai maksud tersendiri. "Ah apaan sih, bego aja manager mau nikah sama sales kaya aku," gumamku menepis prasangka.

"Siapa hayo manager yang mau nikah sama kamu," tanya Via mengagetkan. "Ga kok, yang mau aku nikahin kan cuma kamu," jawabku berdalih. "Terus dulu Dea sempet tunangan," imbuh Via cemburu. "Itu kan masa lalu sayang," jawabku menenangkan Via.

"Tuuut tuuut tuuut!" dering panggilanku ke Fa'iq.

"Halo. Assalamualaikum bro," jawab Fa'iq mengangkat telpon.

"Waalaiakumsalam, bro gua mau cerita nih," jawabku.

"Boleh bro, pas bener ni lagi nyantai depan rumah sambil ngopi," jawab Fa'iq menyanggupi.

"Tadi pas dikafe lu pulang duluan, gua lanjut ngobrol sama Bu Gita. Terus setelah panjang lebar obrolan tiba-tiba Bu Gita nanya gini. Kira-kira mungkin ga kalo kamu nikah sama janda? Gua jawab aja ya kalo jodoh saya janda mau gimana lagi Bu," aduku.

"Wkwkwkwk, terus terus terus ekspresi Bu Gita gimana setelah lu jawab gitu?" tanya Fa'iq penasaran.

"Gua liatin dia cuma senyum doang bro. Abis itu kita pulang," terangku.

"Bener dugaan gua bro, Bu Gita tuh naksir sama lu," terka Fa'iq dengan nada mengejek.

"Lu kan tau gua udah ada Via," tegasku mengelak.

"Dari tiga tahun lalu, Lu sering bilang pacar Lu Via Via Via tapi ga pernah lu kenalin ke gua," protes Fa'iq.

"Yah sabar bro, gua aja belum kenal wkwkwkwk," jawabku membalas ejekan Fa'iq.

"Dih ga jelas banget lu bro kebanyakan halu. Dah lah gua mau makan dulu. Assalamualaikum," ucap Fa'iq kesal. Sembari menutup telpon.

"Walaikumsalam," jawabku ketawa puas.

Malam ini berlalu seperti malam sebelumnya. Menunggu kantuk datang aku duduk dibalkon kontrakan. Dengan hisapan rokok dan seruputan kopi membuat suasana tenang. Entah anganku akan terdampar dimana. Asal Via ada dan temani aku selamanya.

Aku yang mulai berdamai dengan diri sendiri. Dengan tulus mecoba menerima kenyataan. Bahwasanya ada Tuhan sebagai pemberi peran. Aku hamba, hanya butuh tunduk untuk memainkan peran. Maka aku yakin yang Maha berkehendak akan memudahkan.

Semakin larut kantuk semakin mengetuk. Aku larut tertelan mimpi-mimpi malam ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!