Rintik-rintik sisa hujan yang mengguyur ibu kota membuat sebagian jalanan menyisakan genangan air di pinggiran jalan. Kendaraan hilir mudik untuk mengejar waktu dan tujuan, begitu juga dengan seorang wanita yang baru saja pulang kuliah dengan mengendarai sepeda motornya.
Panggil saja dia Green. Pemilik nama lengkap Greentie Azkadiana, mahasiswa semester akhir yang sedang dirundung pilu karena skripsi yang tak kunjung lolos. Proposalnya selalu ditolak oleh sang dosen pembimbing.
Mungkin sore ini adalah hari tersial bagi seorang Green. Setelah diterjang hujan di tengah perjalanan kini dirinya harus menerima sesuatu yang tidak diinginkan. Tubuhnya harus rela terkena cipratan air dari sebuah mobil yang melaju kencang di sampingnya.
"Woi! Kurang ajar lo ya!" teriak Green.
Tak ingin tinggal diam, Green segera menancap gas motor untuk bis ia menyalip mobil yang baru saja menyipratkan air ke tubuhnya. Jangan ditanya lagi bagaimana seorang Green saat mengendarai motor di jalanan. Melaju kencang itu sudah biasa karena Green adalah salah satu anggota anak motor yang hobi ikut balapan liar.
Green berhasil menyetop mobil tersebut dengan cara menghadang mobil tepat di depannya membuat sang pemilik mobil menginjak rem secara mendadak.
"Bisa nyetir bagus gak sih?" gerutu laki laki yang duduk di kursi penumpang.
Wajahnya tegas, auranya sedikit redup tertutup rasa angkuh nan sombong.
Dia adalah Adipati Anyer Subardjo, seorang pengusaha yang menguasai hampir seluruh pasaran bisnis nasional.
Dia terkenal angkuh dan sangat disegani oleh pengusaha lain.
"Maaf, Tuan. Di depan ada yang menghadang. Sepertinya itu begal," ujar Rafa, asisten Anyer.
Anyer melepaskan kacamata hitam lalu mempertajam pandangannya ke depan sana. Siapa yang sedang cari mati mengganggu singa tidur?
Green segera melepaskan helm lalu menghampiri mobil Rafa. Dia menggedor kaca mobil sambil berteriak, "Woi buka! Tanggung jawab gak lo!"
Rafa sudah mempersiapkan sebuah pistol yang akan segera melatuk kepala Green jika berani berbuat macam-macam. Dia pun menurunkan kaca mobil dan mendengar segala makian dari mulut Green yang ternyata sedang kesal karena tubuhnya tanpa sengaja terkena percikan air dari ban mobilnya.
"Anda ingin ganti rugi berapa, Nona?" ketus Rafa.
"Sombong sekali elu! Gue gak butuh duit elu! Gue cuma butuh permintaan maaf dari elu karena udah bikin gue basah kuyup kayak gini!" teriak Green.
"Minggir jika tidak ingin ganti rugi! Atau Anda akan menyesal, Nona!" ancam Rafa.
"Gue gak takut!" tantang Green.
Rafa menarik nafas kasar. Tangannya perlahan merogoh sebuah pistol yang telah ia siapkan. Namun, Anyer melarang Rafa. "Jangan gegabah, Rafa! Dia hanya anak bau kencur. Turuti saja apa yang dia mau. Lagian apa susahnya meminta maaf," gerutu Anyer.
Rafa mengernyit heran. Padahal yang mengajarkan agar tidak tunduk kepada orang lain adalah Anyer sendiri. Entah dapat angin dari mana sehingga Anyer bermurah hati untuk meloloskan mangsanya.
"Anda beruntung, Nona!" batin Rafa.
"Oke! Saya minta maaf dan segera singkirkan motor Anda atau saya akan menghancurkannya!" ancam Rafa.
"Orang kaya emang ya, sombongnya selangit. Awas aja elu, urusan kita belum selesai!"
Green segera ngacir saat melihat dua orang polisi mendekat ke arahnya. Tak ingin tertangkap lagi, Green segera menancap gas meninggalkan mobil Rafa.
Di salah satu kamar hotel, dua orang saling berpacu untuk menuntaskan sebuah hasrat yang tak terbendung lagi. Keringat mengucur deras seiring dengan gerakan yang kian progresif membuat seorang wanita yang berada di bawah kungkungan lelaki itu mendesah hebat.
Begitu juga lelaki yang memompa tubuh wanita tersebut melenguh kuat saat sebuah kenikmatan mencapai pada puncaknya.
Anyer segera merapikan lagi pakaian yang telah tercecer tadi. Sementara wanita tersebut masih menikmati sisa kenikmatan duniawi yang baru saja didapatkan dari pelanggannya.
"Tuan, apakah Anda ingin segera pergi? Tidak ingin untuk menambah lagi? Saya kasih bonus untuk Anda," rayu wanita yang baru saja memberikan kenikmatan pada Anyer.
"Tidak. Aku harus segera pergi."
Anyer melemparkan uang dengan jumlah yang banyak membuat wanita tersebut sangat kegirangan. Itulah yang ia sukai saat melayani sosok Anyer. Selain kenikmatan duniawi, ia juga akan mendapatkan banyak bonus dari Anyer saat Anyer merasa sangat puas oleh pelayanannya.
Anyer meninggalkan kamar tersebut. Namun, ternyata langkahnya tertahan saat melihat seseorang yang ia kenali sebelumnya.
"Cewek itu," gumam Anyer.
Ya, dia adalah Green seorang room service di hotel tersebut. Ternyata wanita yang mempunyai nyali besar itu hanya seorang room service? Anyer tersenyum sinis saat berpapasan dengan Green.
Green sekilas melirik Anyer. Sudah sering ia melihat Anyer keluar masuk dengan wanita yang berbeda. Green yakin Anyer adalah lelaki hidung belang yang sedang jajan di luar dengan para wanita panggilan. Ah, kasihan sekali istrinya, batin Green.
Green melalui harinya dengan penuh semangat meski itu sangat melelahkan. Dia tinggal bersama seorang kakak laki-laki yang sangat pemalas. Harusnya sang kakak-lah yang menanggung hidupnya, tetapi malah sebaliknya. Malah Green yang harus menghidupi sang kakak setelah kepergian orang tuanya dua tahun yang lalu.
Kuliah sambil bekerja bukanlah sebuah pilihan Green. Namun, untuk tetap bisa membiayai kuliah dan hidupnya, Green rela bekerja paruh waktu. Untung saja pihak hotel tidak keberatan dengan pekerjaan Green.
"Melelahkan sekali." Green menatap jarum jam yang menggantung.
Ternyata hari telah menunjukkan pukul tiga pagi dan pengunjung silih berganti datang dan pergi. Meski matanya sudah sangat mengantuk berat, tapi Green masih tetap bersemangat.
"Green, lu gak kuliah besok?" tanya Jingga.
Sambil menguap, Green berkata, "Kuliah dong. Skripsi gak diterima terus masa iya mau bolos aja," jawab Green.
"Ya sudah, pulang aja sana! Biar nanti aku yang bilang sama pak Willi kalau kamu pulang duluan," saran Jingga, teman yang sangat peduli dengan keadaan Green.
"Ah, gue gak enak. Masa gue dapet kortingan mulu? Ntar yang lain nuntut gimana?" protes Green.
"Mana ada yang berani nuntut, secara pak Willi itu naksir berat sama lu, napa gak lu pepetin aja sih, Green? Kan lumayan bisa bantu uang jajan lu?"
Mata Green membulat. Meskipun hidupnya dalam keadaan susah dan sering ikut balapan liar, tapi Green tetap harus menjaga martabat dan harga diri sebagai seorang perempuan.
Menjaga kesucian di zaman sekarang itu tidak mudah. Banyak godaan yang berujung rusaknya moral seseorang. Tidur satu ranjang tanpa ikatan yang sah sudah tidak asing lagi bagi era modern saat ini.
Namun tidak dengan Green yang masih bisa menjaga kesuciannya.
"Lu pikir gue cewek apaan? Gini-gini gue punya harga diri yang tinggi ya!" protes Green.
Jingga lupa jika teman yang satu ini tidak tergiur dengan cara yang salah. Zaman sekarang sangat langka mendapatkan sosok seperti Green, apalagi bekerja di hotel yang pasti akan meneapatkan pandangan buruk dari sebagian masyarakat.
.
.
.
...BERSAMBUNG...
Halo-halo, ini adalah kisah Anyer yang bangsut ya. Kalau kalian pernah baca novel aku yang judulnya Bukan Pernikahan Impian, kalian pasti tahu siapa Anyer. 😊
Selamat Membaca, semoga terhibur. Terima kasih sudah singgah ke novel teh ijo 🥰
Green harus bangun saat suara ribut mengganggu tidurnya. Padahal, Green baru saja tertidur beberapa jam yang lalu.
Dengan langkah tertatih sambil mengumpulkan sebagian nyawanya, Green membuka pintu kamar dan mencari asal muasal suara tersebut. Sekilas Green mendengar suara rintihan Biru, abang Green yang sering membuat masalah hingga Green kehabisan akal untuk memberi pelajaran kepada abangnya sendiri.
"Ada apa ini?" Green sangat terkejut saat melihat Biru tengah dikeroyok oleh tiga orang berseragam serba hitam dengan perawakan tinggi dan gagah. Sepertinya mereka bukanlah orang biasa.
"Kebetulan kau ada di sini. Hei Nona manis, bayar utang kakak tersayangmu ini atau kami akan patahkan kakinya sekarang juga!" teriak salah satu di antara mereka
Green menggeleng pelan. Sampai kapan Biru akan terus membuat masalah seperti ini.
"Berapa hutangnya?" ketus Green.
"Tidak banyak, hanya sepuluh juta."
Mata Green terbelalak tak percaya. Apa? 10 juta? Itu uang seberapa banyaknya. Boro-boro 10 juta, 1 juta saja Green tidak punya dan ini 10 juta, ngepet di mana agar dapat 10 juta?
"Apa!" teriak Green.
"Baiklah kami beri tempo selama satu minggu, jika dalam tempo seminggu kau tak bisa melunasi, maka dengan terpaksa kami akan menyita rumah ini."
Setelah mengucapkan kata tersebut ketiga orang itu melenggang pergi meninggalkan rumah Green.
Green segera menatap Biru. Bukan rasa kasihan yang Green berikan, tapi rasa kesal sampai ubun-ubun. Bagaimana bisa Biru berhutang uang dengan jumlah yang banyak tanpa sepengetahuan dirinya.
"Sekarang aku tanya. Mengapa Abang bisa berhutang tanpa sepengetahuanku?" tekan Green.
Biru berjalan terpincang karena tubuhnya sedikit ngilu akibat pukulan dari orang-orang tadi. Bukannya menjawab, Biru malah merebahkan diri di sofa panjang.
Setelah kematian orang tuanya sikap Biru berubah total. Biru yang dulu adalah seorang yang rajin bekerja dan penyayang. Namun, kini dia berubah menjadi sosok yang dingin nan acuh. Satu lagi, Biru menjadi lelaki pemalas yang hobi keluyuran.
"Bang Bir, aku lagi ngomong lho!" teriak Green tak terima saat tidak diacuhkan oleh Biru.
Biru menatap Green dengan malas dan meninggal adiknya yang sedang marah. Andaikan saja kedua orang tua mereka tidak meninggal, Biru tidak akan mengalami kesulitan hidup seperti ini. Bahkan hingga saat ini penyebab kematian orang tua mereka masih belum memiliki titik terang.
Sampai saat ini, Biru masih mencari tahu tentang kematian orang tuanya tetapi tak juga membuahkan hasil.
🥕🥕🥕
Bulan ini cuaca tidak menentu, siang panas tiba-tiba sorenya hujan. Siapa yang bisa memprediksi cuaca? Bahkan ramalan cuaca saja tidak selalu benar. Bagaimana Green bisa mempercayai prediksi cuaca?
Seperti biasa, sepulang kuliah Green segera menuju Hotel "Selalu Rame" milik salah satu pengusaha tersohor di kota tersebut. Meski begitu, Green sendiri tidak tahu siapa sosok itu karena yang penting bagi dirinya adalah bekerja, gajian, lalu beli jajan. Begitu prinsip hidup Green.
Green memarkirkan motor di tempat biasa. Sebelum masuk ke dalam hotel, mata Green menangkap mobil hitam yang ia labrak kemarin. Namun, sayang tidak ada sang pemilik di sana.
Tiba-tiba saja langkah Green terhenti saat ia menemukan cara untuk membalas rasa kesalnya kemarin. Gadis itu berjalan mengendap-endap hingga tangan nakalnya telah menemukan kenop untuk mengempeskan ban mobil tersebut.
"Rasain," lirih Green.
Green berjalan santai seperti biasa. Karena hari ini masih sore, suasana hotel masih terlihat sepi hanya satu dua dan lima yang keluar masuk kamar. Ia memencet tombol lift karena harus membersihkan lantai 11.
Bertepatan dengan itu masuklah dua orang yang membuat Green merasa risih dan geli. Bagaimana bisa kedua makhluk bangsut ini bercumbu di depan Green yang jelas-jelas matanya masih suci belum pernah ternodai oleh pemandangan yang tidak senonoh.
Kali ini tanpa sensor Green melihat dengan mata telanjangnya bagaimana dua orang saling bertukar saliva. Suara decakan yang mereka ciptakan bergema hingga ke daun telinga Green. Gadis itu hanya memejamkan mata menepis, pendengarannya yang telah ternoda.
Namun, tiba tiba saja Green naik tensi saat desa.han kecil keluar dari mulut wanita tersebut. Ingin rasanya Green menjambak rambut dan mencakar seluruh tubuh wanita itu.
"Berhenti!" teriak Green.
Hal itu membuat lelaki yang tak lain adalah Anyer mengernyit heran.
"Kalian bener bener ya manusia bangsut! Dan Anda, Tuan! Seharusnya Anda malu dengan umur Anda yang sudah tidak muda lagi tapi sering berganti wanita tiap malam. Insyaf, Tuan!" teriak Green dengan dada naik turun.
Sebenarnya Green sedikit merasa takut jika tamu tersebut akan mengadu kepada atasan hotel itu.
"Halo, Nona yang manis! Apakah kau juga ingin merasakannya? Bagaimana kalau aku bermain dengan dua wanita secara bersamaan? Sepertinya akan lebih menyenangkan," ujar Anyer.
Green bergidik ngeri. Dasar, bukannya ingat umur yang sudah tua tetapi terus saja bermain dengan wanita. Cih… Green tidak akan pernah sudi disentuh oleh lelaki seperti ini.
"Maaf, Tuan, saya tidak tertarik! Bisa saja bibir Anda sudah terkontaminasi oleh virus pergaulan bebas. Hei, Mbak! Gak takut ya kalau terkena virus dari lelaki bangsut seperti ini?" tekan Green.
Anyer merasa tidak terima atas penghinaan dari Green yang sudah kelewat batas.
"Kau!" geram Anyer.
"Kenapa? Salah? Emang bener kan kalau setiap malam Anda gonta ganti wanita, hah? Masih kurang pelayanan di rumah? Hei Om, kasihanilah istri Anda yang sudah menunggu di rumah. Ini malah mainin wanita gak jelas!" ujar Green dengan sangat kesal.
"Oh iya, Om. Sebaiknya Anda pulang sana!" usir Green.
Green merasa sangat puas setelah memaki Anyer. Selama ini, Green hanya bisa memendam unek-uneknya saat melihat Anyer keluar dari sebuah kamar. Tentu saja Anyer telah nananunu di dalam sana bersama dengan wanita bayarannya.
Green pun kadang merasa sangat miris dengan wanita panggilan tersebut. Hanya demi rupiah, mereka rela menggadaikan tubuh dan kesuciannya.
Anyer memperhatikan Green dari ujung kaki hingga ujung rambut. Pandangannya berhenti di aset berharga milik Green yang tidak terlalu mencolok.
Anyer tersenyum sinis. "Tapi ... sayangnya aku tidak tertarik oleh tubuh yang rata seperti ini. Tak ada bentuk sama sekali," ledek Anyer.
"Honey ... mari kita lanjutkan lagi di kamar," bisik Anyer.
Anyer meninggalkan Green yang masih terpaku di dalam lift. Hal itu membuat Green semakin muak terhadap Anyer.
"Aku rasa lelaki itu harus di-ruqyah agar jin yang nempel pada kepanasan," gerutu Green.
Tak peduli dengan apa yang akan dilakukan oleh Anyer, Green memilih fokus saja dengan pekerjaan. Saat ini Green sedang butuh uang dengan jumlah yang cukup banyak.
Bisa saja, dia mengikuti langkah wanita malam dengan menjajakan tubuh kepada lelaki hidung belang, tetapi Green masih sadar dan waras. Harga diri seorang wanita harus dijunjung hingga kapan pun. Kesucian diri itu hanya akan Green berikan kepada suaminya kelak.
"Gue sumpahin lo kena virus kelamin." Sumpah serapah mengalir begitu saja mengiringi kekesalan hati Green.
...BERSAMBUNG...
Bayangan dua orang bangsut itu tidak bisa hilang dari pikiran Green. Setiap dia ingin menepis, suara de.sahan wanita itu terngiang-ngiang di gendang telinganya. Pekerjaan Green pun menjadi terganggu hingga tanpa sengaja Green menabrak seseorang.
Green yang sedang ingin mengantarkan minuman ke sebuah kamar tersentak saat air yang ia bawa menyiram baju orang tersebut.
"Astaga," pekik Green panik.
Namun, lebih panik lagi saat manik mata tajam menyorot matanya. Green hanya bisa menunduk dan meminta maaf karena tidak sengaja menumpahkan minuman tersebut.
"Apa kau memang sengaja, Nona?" tekan lelaki tersebut yang tak lain adalah Anyer.
Green menggeleng dengan cepat. "Tidak! Aku benar-benar tidak sengaja, Om. Lagian mata Om di mana, sudah tahu ada orang lewat main nyelonong aja!" protes Green.
Ya, Anyer memang sedang terburu-buru hingga tak memperhatikan jalannya.
"Aku tidak mau tahu! Aku heran kenapa manajer bisa mempekerjakan gadis ceroboh seperti ini," ujar Anyer.
Green merasa terpancing oleh ucapan Anyer. Enak saja dia dikatakan gadis ceroboh. Selama Green bekerja di sini, Green belum pernah membuat masalah.
"Kalau ngomong dijaga dong, Om! Om sendiri jalan gak pakai mata malah nyalahin orang. Kenapa, udah ditunggu wanita lain lagi?" ledek Green.
Anyer makin lama tidak bisa menahan emosi. "Kau!" Anyer mengacungkan jari telunjuk ke arah Green, tapi gadis room service itu segera menepisnya.
"Turunkan tangan Anda!" ketus Green.
Anyer merasa geram, ia mengepalkan tangan. Kesabarannya sudah habis untuk menghadapi tikus kecil seperti Green.
"Awas kau!" ancam Anyer yang memilih meninggalkan Green karena memang dia sedang buru-buru.
Green menatap punggung tegap itu hingga menghilang. Setelah tersadar, dia segera membersihkan bekas air yang tumpah di lantai sebelum ada orang yang terpeleset.
🥕🥕🥕
Wajah lelah Green terlihat lebih jelas. Saat melihat jam dinding, dia mendesah karena ternyata baru pukul 2 dini hari, dan jadwal shift masih panjang hingga pukul 5 subuh nanti.
Green harus siap siaga menyambut kedatangan tamu, bahkan kadang Green juga harus mengantar tamu tersebut hingga ke kamarnya.
Saat Green hendak menuju ke loker, langkahnya tertahan oleh Wily, manager hotel tersebut. Wily datang dengan wajah lesu. Dirinya terlihat sedang memikul beban pikiran.
"Ada apa, Pak?" tanya Green.
Wily mengambil nafas dalam-dalam. Mau tidak mau Wily harus mengatakan ini kepada Green karena itu sudah permintaan dari pemilik hotel ini. Entah apa yang dilakukan oleh Green hingga membuat marah pemilik hotel.
Padahal setahu Wily,, Green bekerja dengan baik dan tidak pernah ada yang komplain dengan pelayanan gadis itu. Namun, mengapa tiba tiba Anyer menunjukkan sebuah rekaman CCTV yang seolah menyudutkan Green sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
"Pak," ulang Green.
Wily tersadar. "Green … sebelumnya, aku minta maaf dengan berat hati kamu diberhentikan dari hotel."
Green membeku, berharap ia salah dengar atau saat ini Wily sedang ngeprank dirinya. Tidak mungkin Green dipecat tanpa memiliki kesalahan.
"Bapak bercanda." Suara Green melemah, tapi Wily menggeleng pelan.
"Maaf Green, aku tidak tahu kamu memiliki masalah apa dengan Tuan Anyer sehingga beliau memutuskan untuk memecatmu," terang Wily.
Green masih terpaku dan mengingat salah apa yang telah diperbuat hari ini. Green hanya mengingat kejadian saat memakai Anyer dan tidak sengaja menumpahkan minuman ke bajunya.
Jadi … lelaki itu adalah pemilik hotel ini. Green benar-benar bodoh hingga tak mengenali Anyer sebagai pemilik hotel ini mengingat dirinya hampir setiap malam menggandeng wanita yang berbeda ke dalam kamar.
Pantas saja dia tidak memiliki sopan santun di dalam lift tadi.
Green sadar akan kesalahannya. Ia tertunduk lesu. Meski berat, Green harus menerima kenyataan pahit yang harus dihadapi saat ini. Dia menerima kenyataan bahwa dia telah dipecat!
Pukul 3 dini hari, Green keluar dari hotel tempatnya bekerja. Sebelum ia benar-benar meninggalkan hotel tersebut, Green menatap lekat pada bangunan itu. Bangunan hotel inilah yang telah berjasa selama 2 tahun terakhir.
Green mulai menghidupkan motornya. Di ujung jalan sana sebuah mobil sudah menunggu Green keluar dari hotel tersebut. Anyer tersenyum puas. Akhirnya gadis yang telah berani memaki dirinya telah benar-benar dipecat. Siapa suruh mempekerjakan seorang gadis yang ceroboh seperti itu.
Green membuka pintu kamar dengan lesu. Ia benar-benar merasa galau. Bagaimana dia akan membayar uang semester, biaya listrik, biaya air, biaya makan dirinya dan juga Biru. Sedangkan Biru tidak bekerja sama sekali, hanya luntang-lantung tidak jelas dan bisanya hanya berutang sana-sini. Green sendiri tidak tahu untuk apa uang yang dipinjam oleh Biru.
Green menjatuhkan kasar tubuhnya di ranjang dengan penuh sesak di dada.
Mungkin di balik semua ini ada hikmah yang belum ia ketahui. Bisa jadi hilang satu tumbuh dua ribu, kan bisa untung banyak.
Pagi ini Green, sengaja bangun siang karena tidak ada jadwal kuliah lagi. Sebenarnya ia punya niatan untuk mencari pekerjaan lagi, tetapi Green masih sangat malas untuk beranjak dari ranjang hingga suara dering ponselnya memaksa Green untuk bangkit.
Sebuah panggilan telepon dari Jingga, sahabat Green. Jingga yang tadi malam tidak kebagian shift malam merasa sangat terkejut saat mendengar kabar bahwa Green sudah dipecat. Ia pun segera menghubungi Green pagi ini.
Jingga merasa iba terhadap nasib yang menimpa sahabatnya. Dia diharuskan banting tulang sendiri agar tetap bertahan hidup. Dia memiliki seorang kakak yang seharusnya melindungi, tapi malah merepotkan. Kakaknya itu memang menambah beban hidup Green saja.
[Yang sabar ya, Green. Kamu jangan sedih, nanti aku bantu kamu cari pekerjaan baru]
Green hanya mengiyakan saja kata-kata dari Jingga. Memang Green harus segera mencari pekerjaan lagi apalagi saat mengingat seorang rentenir tempo hari. Dari mana Green bisa mendapatkan uang 10 juta. Semua ini gara-gara Biru!
Setelah mematikan sambungan telepon, Green segera mencari keberadaan Biru. Dalam rumah yang cukup luas peninggalan orang tuanya, Green memanggil nama Biru.
Green segera mendobrak pintu kamar Biru yang memperlihatkan sang kakak yang sedang terlelap dalam tidurnya.
"Bener-bener nih anak," geram Green.
Green segera menyibakkan selimut tebal yang membungkus tubuh Biru.
"Bangun, Bang!" teriak Green dengan keras.
Biru hanya menggeliat dan membenahkan lagi selimutnya. Green hanya bisa menggeleng atas sikap kakaknya yang sangat tak acuh.
"Bang Bir ... gue dipecat! Dan lo masih bisa tidur dengan nyenyak?" teriak Green lagi.
Biru melirik adiknya yang sedang naik tensi. Begitulah wanita, siapa yang salah semua akan kena imbas.
"Terus salahku di mana? Lo sih kerja gak becus makanya dipecat!"
Green membulatkan matanya. Sungguh kakak durjahim. Pakai ngatain gak becus. Memang selama ini siapa yang membiayai hidup keduanya? Ingin rasanya Green menjambak rambut Biru.
"Bang Bir, lo bisa mikir gak sih? Kalau gue dipecat, itu berarti gue gak bisa bayar utang lo, dan rumah ini bakalan disita. Kalau itu terjadi kita akan tinggal di mana? Gue gak mau jadi gelandangan. Mana gue skripsi gak kelar-kelar. Bisa-bisa gelar gue ntar sarjana gelandang dong!"
Ingin rasanya Green meraung-raung di depan Biru agar dia tahu betapa menyedihkan keadaannya saat ini.
"Gue juga gak mau kali jadi gelandangan. Cari kerja baru sana! Ganggu orang tidur aja."
What? Lagi-lagi Green tak percaya dengan sikap Biru yang sangat tak acuh. Green hanya bisa menghentakkan kakinya lalu beranjak pergi dengan segudang dongkol di dalam dadanya.
.
.
.
...🥕🥕BERSAMBUNG 🥕🥕...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!