...Ketika sudah sangat jatuh pada kata jatuh cinta maka apapun untuk kebahagiaannya pasti akan dilakukan. ...
...~JBlack...
...****************...
"Kamu gila, Dhir! Aku tak akan melakukan hal serendah itu," Seru seorang pria dengan mata membelalak tak percaya.
"Terus gimana dengan permintaan Mama kamu? Gimana dengan Kakek yang terus bertanya soal ini, hah?" Sahut seorang perempuan dengan suara yang hampir menyerah.
Arshaka Karsha, pria tampan dengan wajah memerah dan kedua tangan mengepal kuat. Terlihat sangat amat marah. Dia benar-benar menatap perempuan di depannya ini dengan pandangan tak percaya. Jika yang mengatakan bukan istrinya, pasti dia sudah menamparnya sejak tadi.
Permintaan yang menurut wanita itu kecil tapi menurutnya sangat amat besar dan gila. Ide yang sangat amat tak pernah ada dalam bayangannya itu diutarakan dengan santainya kepada dirinya.
"Aku tak peduli pada mereka. Aku tak mau dan tak akan melakukan apa yang kamu minta!" Kata Shaka final.
Dia menatap istrinya dengan lekat. Tanpa keraguan dan sangat amat yakin. Di tak akan menuruti permintaan istrinya yang kesekian kali.
Ini bukan yang pertama untuknya. Ini sudah entah ke berapa ratus kali permintaan dengan berbagai cara sering diutarakan kepadanya. Yang pasti, semua itu demi mendapatkan seorang anak. Demi hadirnya anak di antara mereka.
"Kalau kamu gak mau. Lalu bagaimana dengan Mama dan Kakek? Atau mungkin kamu lebih setuju dengan ide Mama?" Kata perempuan itu dengan suara menahan tangis.
Shaka berbalik. Dia segera mendekati istrinya dan meraih kedua tangan itu untuk digenggam.
"Jangan menangis," Ujar Shaka dengan suaranya yang lembut. "Aku tak bermaksud… "
"Kalau kamu gak mau ngelakuin ini, itu tandanya kamu setuju sama ide Mama. Apa kamu udah gak cinta sama aku karena aku mandul?"
"Dhira," Kata Shaka menggeleng.
Dia menarik istrinya ke dalam pelukan. Memeluk tubuh perempuan yang bergetar karena menangis.
"Aku tak bermaksud seperti itu, Sayang. Aku tak bermaksud setuju dengan permintaan Mama."
Aretha Dhira, perempuan cantik yang berada dalam pelukan Shaka itu sudah putus asa. Dia sudah lelah dengan hujatan dan rengekan mertua serta kakek suaminya. Telinganya sudah sering kali mendengar hinaan untuknya.
Hinaan yang masih sama. Perihal anak, anak dan anak!
"Aku tak mau bercerai dari kamu. Aku gak mau. Aku mencintaimu," Kata Dhira dengan air mata yang menetes begitu deras.
Shaka mengangguk. Dia menghapus air mata itu dengan pelan lalu mencium dahi Dhira.
"Tak ada yang bisa memisahkan kita, Sayang. Baik Mama ataupun Kakek. Tak akan pernah bisa!" Ujar Shaka dengan serius.
"Jadi kamu setuju dengan cara aku?" Tanya Dhira dengan pelan.
"Apa tak ada cara lain?" Tanya Shaka dengan serius.
Kepala Dhira menggeleng. "Tak ada lagi, Mas. Ini sudah cara terakhir untuk kita."
"Pasti ada, Sayang. Pasti ada cara lain selain itu."
"Iya, ada. Ada cara lain!" Bentak Dhira dengan marah.
"Kita ke dokter, berobat lagi dan jika sampai tahun depan aku tak hamil. Mama kamu akan mengurus perceraian kita dan kamu akan menikah dengan wanita lain lalu meninggalkanku!"
"Dhira!" Seru Shaka tak kalah membentak.
"Aku udah menyerah, Mas. Aku udah berobat. Aku udah konsultasi selama hampir 3 tahun tapi tak ada hasil. Jika saja aku bisa hamil dan punya anak. Mungkin rumah ini gak bakal sepi seperti ini. Rumah ini bakalan ramai dengan suara anak-anak kita. Rumah ini… "
"Dhira," sela Shaka dengan memeluk istrinya lagu begitu kuat.
"Maafkan aku, Mas. Maafkan aku yang cacat ini. Maafkan aku yang tak bisa memberikanmu keturunan. Maafkan aku," Kata Dhira dengan tangisan yang semakin menyayat hati.
Hati Shaka tersentil. Dia paling tak suka Dhira menangis. Jika seperti ini, dirinya menyerah. Ya dirinya mengaku kalah.
"Jangan menangis," Kata Shaka dengan pandangan lembutnya.
Dia menangkup kedua sisi wajah Dhira. Menatap mata yang sudah sembab dengan hidung kemerahan.
"Maaf," Ujar Shaka pelan.
"Aku memaafkanmu, Mas. Tapi… "
"Kamu sudah yakin dengan ide kamu ini?" Sela Shaka dengan bulat.
Tak ada yang bisa dia katakan lagi. Shaka sangat tahu bagaimana istrinya itu. Dhira adalah sosok perempuan berkepala batu. Dia keras kepala dan jika sudah menginginkan sesuatu maka dia akan kekeh dengan keinginannya itu.
"Aku sangat yakin, Mas. Hanya ini cara kita untuk mendapatkan anak," Balas Dhira dengan pandangannya yang yakin.
Terlihat Shaka menarik nafasnya begitu kuat dan menghembuskannya. Pria itu begitu frustasi. Namun, dia sangat ingat bagaimana pedasnya ucapan sang mama. Bagaimana wajah istrinya yang selalu menangis setiap kali mendengar sindiran mamanya itu.
"Dhira mohon, Mas. Ini hanya menikah siri. Kamu menikahi dia hanya untuk mendapatkan seorang anak. Setelah dia melahirkan, pernikahan ini selesai dan rumah tangga kita selamat."
Mata Shaka terbuka. Dia menatap istrinya dengan yakin.
"Apa perempuan itu mau?"
Kepala Dhira mengangguk. "Dia mau, Mas. Dia setuju dengan rencana ini."
Shaka benar-benar tak percaya. Zaman seperti ini masih ada wanita yang mau menikah karena alasan seperti ini.
"Dia masih kuliah atau… "
"Bekerja, Mas. Dia sudah bekerja sebagai seorang dokter bedah dan umurnya sudah 25 tahun."
Shaka semakin tak habis pikir. Seorang dokter tapi mau menikah demi pernikahan dirinya dan Dhira. Perempuan ini apa benar-benar gila atau bodoh?
"Kumohon, Mas. Yah? Tak sampai satu tahun. Dia sehat dan rahimnya subur. Aku yakin dia pasti langsung hamil," Kata Dhira dengan percaya diri.
"Jadi kamu sudah.. "
"Iya aku sudah membawanya periksa. Aku sudah mengecek semuanya dan dia aman."
Jika sudah begini. Shaka tak bisa mengatakan apapun. Dia hanya mampu menghembuskan nafasnya dengan berat lalu membuka matanya.
"Baiklah. Aku setuju dengan rencanamu kali ini, Sayang."
...****************...
Akhirnya setelah keputusan sudah diambil. Hari ini pasangan suami istri itu berada di sini. Duduk dengan tenang di depan sebuah ruangan dokter dengan saling bergenggaman tangan.
Keduanya sedang menunggu seorang perempuan yang akan menjadi istri siri Shaka atau lebih tepatnya perempuan yang bersedia menjadi rahim pengganti untuk mereka.
"Jangan tegang, Mas. Semua pasti baik-baik saja," Kata Dhira sambil mengusap dada Shaka.
Pria itu hanya menampilkan wajahnya yang dingin. Dia mengangguk sampai tak lama dari ujung koridor terlihat seorang perempuan dengan pakaian dokter membalut gamis yang yang menjuntai sampai lantai itu berjalan ke arah mereka.
Dhira spontan menarik tangan suaminya agar berdiri.
"Itu dia, Mas," Ujar Dhira sambil menunjuk seorang perempuan yang menatap ke arah mereka dengan sebuah masker yang menutupi wajahnya.
"Assalamu'alaikum, Mbak Dhira," Sapa perempuan itu dengan ramah.
"Waalaikumsalam. Apa kami mengganggu waktumu?"
Kepala perempuan itu menggeleng. "Aku baru saja selesai mengoperasi pasien. Setelah ini tak ada jadwal lagi, Mbak. Mari masuk!"
Perempuan dengan jubah dokter itu membuka pintu ruangannya diikuti pasangan suami istri itu.
"Silahkan duduk, Mbak," Katanya dengan sopan. "Aku membuka baju dokterku dulu."
Perempuan itu berjalan ke arah sebuah kamar yang ada disana. Shaka menatap sekeliling. Ruangan ini begitu lebar dan juga dia bisa melihat sebuah ruangan lain di dekat kamar mandi.
Beberapa menit akhirnya perempuan itu datang. Pandangan Shaka spontan menatap sosok wanita yang sudah begitu rapi tapi maskernya belum di lepas.
"Apa yang ingin Mbak Dhira katakan?"
"Ah begini. Sebelumnya kenalkan ini suamiku, Shaka," Kata Dhira mengenalkan. "Dan, Mas. Ini Bia, wanita yang mau mengandung anak kita."
"Bisa buka masker kamu sebentar, Bi?" Rengek Dhira dengan pelan.
"Oh iya, Mbak. Maaf lupa," Ujarnya lalu mulai membuka maskernya.
"Halo, Mas Shaka. Namaku Bia," Sapa Bia dengan ramah dan tangan menangkup di depan dada.
~Bersambung
SELAMAT SIANG SEMUA. HAI AKHIRNYA KITA KETEMU LAGI YAH DI NOVEL BARUKU. KISAH INI AKAN BERCERITA KHUSUS TENTANG BIA, PUTRI DARI PASANGAN ALMEERA DAN BARA YAH.
Jangan lupa masukkan favorit, like, komen juga. Votenya jangan lupa. Novel Bia bakalan update jam 15.00 dan 20.00
Terima kasih.
...Aku sadar akan posisiku disini. Aku hanyalah pengganti pemeran utama ketika dia cidera dan tak bisa melanjutkan perannya. ...
...~Bia Quinsa Altafunisha...
...****************...
Bia Quinsa Altafunisha, wanita cantik dengan kedua bola mata sedikit sipit tapi memiliki bulu mata yang panjang dan melengkung ke atas. Jangan lupakan hidung mancung dengan pipi kemerahan terlihat jelas disana. Bekas masker juga tercetak jelas di kulit wajahnya tapi tak mengurangi kecantikannya.
Wanita dengan senyuman teduh itu terlihat begitu sangat amat sempurna. Namun, tidak di mata Shaka. Pria itu menatap tajam wanita di depannya ini saat dia inget bagaimana panggilan Bia kepadanya.
Sedangkan Dhira, perempuan itu menatap suaminya sejenak lalu menatap Bia bergantian.
"Mas," Panggil Dhira sambil menyenggol tangan Shaka.
Namun, pria itu malah pura-pura tak dengar. Bahkan dengan sengaja Shaka menggenggam tangan Dhira yang ada di bawah meja.
Biar tersenyum kecil. Dia menurunkan tangkupan tangannya saat Shaka tak menggubris salamnya.
"Mas," Panggil Dhira lagi dengan kesal.
"Gak papa, Mbak. Jangan dipaksa. Mungkin Mas Shaka masih asing dengan keadaan ini," Ujar Bia dengan memaksakan senyumannya.
Shaka semakin tak suka. Dia menatap Bia dengan tajam. Pria itu tak menyukai panggilan Bia. Panggilan yang seakan keduanya sudah mengenal begitu lama.
"Mbak sama Mas Shaka mau minum apa?" Tanya Bia dengan sopan.
"Eh… " Dhira menunjuk Bia dengan pandangan bingung.
Sedangkan Bia hanya tersenyum. "Aku akan pesan minumannya di kantin, Mbak."
"Aku mau jus jeruk saja, Bi," Ujar Dhira dengan pelan.
"Kalau Mas Shaka, mau minum apa?" Tanya Bia dengan sopan.
"Suamiku biasanya kopi, Bi," Sela Dhira dengan cepat.
Dia bisa melihat tatapan suaminya semakin tajam. Lalu Dhira juga merasakan genggaman tangan suaminya semakin erat. Dia tahu Shaka sedang marah. Namun, jika dirinya ikut marah dan kesal. Maka pernikahan mereka tak akan selamat.
"Baik, Mbak. Sebentar."
Terlihat Bia tengah mengotak atik ponselnya. Dia memesan minuman untuk pasangan suami istri di depannya. Bia sendiri sadar bahwa pasti percakapan kali ini akan berlangsung dengan lama.
"Bi. Ada kamar mandi disini?"
Bia mendongak. Dia meletakkan ponselnya di atas meja dan mengangguk.
"Ada, Mbak. Disana!" Tunjuknya pada pintu paling ujung di ruangannya.
"Aku pinjam ya, Bi."
"Iya, Mbak," Sahut Bia dengan ramah.
Akhirnya disana hanya tinggal Bia dan Shaka duduk berdua berhadapan. Gadis cantik itu benar-benar merasa ragu dan gugup. Namun, Bia berusaha menutupi semuanya dengan senyuman.
"Mas Shaka sibuk apa sekarang?" Tanya Bia memulai pembicaraan.
Tak ada jawaban. Shaka seakan tak mendengar apapun disana.
"Mas Shaka pasti sibuk dengan urusan kantor yah. Pasti sering lembur," Lanjut Bia dengan begitu tenang.
Shaka mengepalkan kedua tangannya. Telinganya terasa panas. Dia benar-benar tak suka dengan panggilan itu.
"Mas… "
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu!" Sela Shaka dengan marah. "Aku tak menyukainya!"
Bia hanya tersenyum masam. Dia berusaha menyembunyikan debaran jantungnya karena takut. Dia berusaha menutupi rasa canggung dalam dirinya agar mampu memulai pembicaraan dengan pria yang nanti akan menjadi suaminya.
Hanya suami siri tak lebih!
"Kenapa kamu menerima tawaran istriku?" Seru Shaka penasaran.
Dia menahan pertanyaan ini sejak tadi. Namun, ternyata rasa penasaran dalam dirinya jauh lebih tinggi.
"Karena tak ada alasan untukku menolaknya, Mas," Jawab Bia tetap dengan ramah.
"Apa kamu tau akibat dari semua ini?"
Kepala Bia menggeleng. "Bagaimana aku bisa tau, Mas? Sedangkan aku baru saja ingin memulai."
"Jangan bercanda! Ini serius. Akibat dari apa yang kamu setujui sangat besar untuk kehidupanmu. Kamu seorang dokter, kamu bisa mendapatkan hidup lebih layak nanti!" Kata Shaka dengan tegas.
Bia terdiam. Dia menunduk dengan mengatur nafasnya yang tiba-tiba berat. Sekelebat bayangan itu kembali muncul. Namun, dia berusaha tenang dengan menghembuskan nafasnya begitu pelan.
"Aku tau, Mas. Tapi aku juga serius menerima permintaan Mbak Dhira. Aku ikhlas membantunya agar pernikahan kalian selamat," Kata Bia dengan mendongakkan kepalanya dan menatap Shaka begitu serius.
"Pernikahan kami selamat tapi bagaimana dengan masa depan kamu? Kamu masih muda dan jalanmu begitu mulus. Bagaimana dengan nasibmu nanti?"
"Untuk urusan itu. Biarkan aku yang memikirkan. Aku hanya berniat membantu Mbak Dhira, Mas."
"Bukan karena uang?" Seru Shaka sedikit menyindir. "Aku pikir untuk uang tak mungkin. Gajimu sebagai dokter sudah sangat banyak."
"Mungkin bisa jadi, Mas. Aku butuh uang dan ya Mbak Dhira memberinya. Jadi aku menerima rencana ini. Toh waktunya hanya sebentar. Tak sampai satu tahun."
Shaka semakin menatap Bia tak mengerti. Gadis ini benar-benar kekeh dengan pemikirannya. Pemikiran gila yang menurutnya sangat amat tak masuk akal.
"Apa istriku memberikan syarat lain?" Tanya Shaka dengan serius.
"Tentu, Mas."
"Apa syaratnya?" Tanya Shaka lagi pada Bia.
"Aku hanya istri pengganti, ibu pengganti dan rahim pengganti untuk Mbak Dhira dan Mas Shaka. Aku dinikahi hanya untuk memberikan anak. Lalu setelah itu aku harus pergi dari kehidupan kalian!" Kata Bia dalam hati.
...****************...
"Apa yang sedang kalian bicarakan?" Tanya Dhira saat dirinya baru saja keluar dari kamar mandi.
Perhatian keduanya teralihkan. Baik Bia maupun Shaka menatap Dhira dengan lekat.
"Ayo kita pulang, Sayang!" Ajak Shaka dengan beranjak dari duduknya.
Bia spontan ikut berdiri. Dia menatap Shaka yang berjalan ke arah Dhira dan menarik tangannya.
"Eh, Mas. Apaan sih! Bia masih pesan minuman untuk kita tapi… "
"Kita pulang!" Ajak Shaka kekeh. "Sekarang!"
"Mas!" Bentak Dhira yang jengkel dengan sikap suaminya.
Shaka benar-benar menyebalkan hari ini. Dhira bahkan sampai tak tahu harus mengatakan apa lagi.
"Kita pulang, Dhira!"
Dhira menarik nafasnya begitu dalam. Dia tahu jika mode begini. Suaminya itu tak mau dibantah. Dhira akhirnya menatap Bia yang terlihat bingung juga dengan situasi seperti ini.
"Bia maafkan aku dan suamiku. Kami pamit pulang yah," Kata Dhira dengan tatapannya yang tak enak hati.
"Iya, Mbak. Gak papa kok," Jawab Bia dengan pelan.
"Sekali lagi maaf ya, Bi. Mbak pulang!"
Belum sempat Bia menjawab. Shaka dan Dhira sudah keluar dari ruangan Bia, meninggalkan gadis itu sendirian.
Gadis dengan jilbab membalut kepalanya itu mulai duduk kembali ke kursi kerjanya. Perempuan itu menatap ke arah pigura yang ada di meja kerjanya. Senyumannya kecut. Dia mengambil potret berisi keluarganya itu dengan mata berkaca-kaca.
"Maafkan Bia jika mengecewakan kalian. Bia tak mau Ibu dan Ayah menanggung malu. Bia tak mau Ayah dan Ibu tahu. Maafkan Bia. Bia sudah rusak. Bia tak bisa dibanggakan lagi oleh kalian. Bia sudah hancur sejak malam itu," Lirih gadis itu dengan air mata mulai menetes mengalir di pipinya.
~Bersambung
Mulai kelihatan teka teki gak yah? Hayoo apa?
...Sebuah hubungan yang harusnya begitu indah dan suci ternyata harus menjadi kenangan tak berbekas karena sebuah alasan. ...
...~Bia Quinsa Altafunisha...
...****************...
Hari ini pernikahan sederhana antara Shaka dan Bia digelar di apartemen Dhira. Sebuah apartemen yang sudah lama tak dihuni itu, kini menjadi tempat bersatunya dua manusia yang tak saling mencintai. Pernikahan rahasia yang terjadi di antara orang-orang yang datang.
"Kalian sudah sah menjadi suami istri sekarang," Kata seorang penghulu yang menikahkan keduanya secara agama. "Silahkan tanda tangan disini."
Shaka masih diam. Dia merasa seperti dejavu sekarang. Pria itu menatap tak percaya jika dirinya sudah mengucapkan kata akad lagi tapi bukan nama istrinya yang dia sebutan. Melainkan… nama wanita lain.
"Mas," Panggil Dhira pelan yang membuat Shaka menoleh.
Hatinya semakin sakit saat kedua bola mata istrinya itu memerah dengan bekas air mata membasahi wajahnya. Jujur Shaka tahu, istrinya adalah orang yang paling tersakiti disini. Namun, semua yang terjadi atas dasar kesepakatan antara istrinya dan wanita yang baru beberapa menit lalu sah menjadi istri sirinya juga.
"Cepat tanda tangan, Mas. Ayo!"
Seperti robot yang menurut. Akhirnya Shaka menandatangani kertas itu dengan pandangan hampa. Dia seperti mayat hidup yang hanya menuruti permintaan istrinya. Jujur Shaka tak mau berada di posisi ini. Dia tak mau menikah lagi. Namun, dia harus melakukan semuanya demi pernikahan mereka.
"Jangan menangis," Lirih Shaka pelan yang membuat Dhira memaksakan senyumannya.
"Aku baik-baik saja, Mas. Semua ini demi kita. Demi pernikahan kita," Kata Dhira yang membuat Shaka mengangguk.
Bergantian Bia akhirnya membutuhkan tanda tangan di materai itu. Dia menatap kertas itu juga dengan pandangan campur aduk. Matanya melirik ke arah pria yang sejak tadi diam dengan tangan mengepal.
Pria yang sangat dekat dengannya. Pria yang mau menjadi saksi nikahnya. Pria yang memiliki ikatan darah dengannya itu sejak tadi hanya diam dan menunduk.
"Terima kasih. Saya pamit pulang," Pamit pak penghulu yang menikahkan keduanya.
"Selamat, Ka. Hari ini adalah awal kebahagiaan Lo," Kata Arthir Shaka, kakak kandung Shaka.
Selesainya semua acara. Akhirnya Bia berjalan ke arah pintu utama apartemen. Wanita itu berdiri tepat di depan pria yang sejak tadi menatap ke arahnya dengan pandangan iba.
"Jangan mengasihani aku, Kak. Aku baik-baik saja," Ujar Bia yang membuat pria itu menghela nafas berat.
"Maafin Kak Abra," Kata Abra, kakak kandung Bia lalu memeluknya.
Kakak adik itu saling menenangkan. Keduanya begitu memahami antara satu dengan yang lain.
"Karena Kakak kamu harus mengalami hal ini, Bi. Kakak… "
"Itu sudah takdir," Sela Bia sambil melepaskan pelukan mereka. "Tak ada yang harus disesali. Semuanya sudah terjadi, Kak."
Bia masih sempat menampilkan senyuman ramahnya. Dia menatap ke arah kakak kandungnya dengan begitu tenang.
"Jujur Kakak belum setuju dengan tindakan kamu ini tapi…" Jeda Abraham dengan menatap kedua bola mata adiknya. "Kakak percaya kamu memiliki alasan untuk semua ini."
"Aku hanya ingin membantu mereka, Kak. Aku hanya ingin membantu mereka memiliki anak."
"Ingat pesan Kakak! Jika dia macam-macam, berlaku kasar atau memukulmu. Bilang pada Kakak! Oke?"
Bia mengangguk. Dia memeluk kakaknya lagi dengan penuh kasih sayang.
"Terima kasih sudah selalu ada buat, Bia. Jaga rahasia ini, Kak. Jangan sampai Ayah dan Ibu tahu."
...****************...
Setelah kepergian Kakaknya. Bia akhirnya duduk dengan tenang di sofa apartemen. Dia menatap ke arah cincin yang sudah tersemat di jarinya.
"Diliatin mulu. Gak bakal jalan itu cincin, Bi," Kata Arthir dengan mengambil duduk di depan Bia.
Perempuan itu tersenyum. "Cantik ya? Ini pasti mahal banget."
Arthir terkekeh. Dia geleng-geleng kepala menatap istri kedua adiknya itu.
"Itu berlian asli. Jadi mahal banget," Ujar Arthir yang membuat kedua bola mata Bia memembola.
"Wahh. Jadi bener kata Mbak Dhira yah. Kalau Mas Shaka itu kaya raya," Ujar Bia dengan menatap cincin itu lagi.
"Tentu. Dia kaya raya sekali, Bi. Adikku itu pekerja keras selama ini," Kata Arthir yang membuat Bia menganggukkan kepalanya.
"Kalian dari mana saja?" Kata Arthir yang membuat Bia menoleh ke arah pasangan suami istri yang baru saja datang. "Kalian habis ngapain? Ada lipstik di ujung bibirmu, Ka!"
"Nah kan. Aku bilangin apa tadi. Cuci muka dulu tapi kamu gak mau," Kata Dhira yang dibalas acuh oleh Shaka.
Pria itu memilih duduk di kursi yang lebih panjang dengan tangan yang tak lepas atas genggaman tangannya dengan Dhira.
"Mas lepas dulu ih. Ada Bia!" Ujar Dhira tapi tak digubris oleh Shaka.
Bia hanya menunduk. Dirinya bukan anak kecil yang tak tahu apa yang sudah keduanya lakukan. Namun, tetap saja. Gadis itu sadar diri. Apa yang harus dia lakukan disini, tujuannya apa dan kegunaannya apa.
"Kalian sudah siap, Kan? Pesawat kalian akan terbang 3 jam lagi," Ujar Dhira yang membuat Shaka menoleh.
"Mau kemana?"
"Ke Singapura, Mas."
"Singapura?" Ulang Shaka dengan kening berkerut. "Kita… "
"Bukan kita tapi kamu dan Bia," Kata Dhira menjelaskan.
"Apa! Kenapa kamu gak bilang sama aku?" Seru Shaka dengan intonasi yang mulai tinggi.
"Mas udah! Jangan mulai lagi. Kamu harus bulan madu dengan Bia agar rencana kita berhasil. Kamu mau kita tetap kayak gini atau… "
"Iya aku mau," Sela Shaka dengan cepat.
Dia tak suka istrinya menyebutkan rencana mamanya. Dia tak suka Dhira mengatakan perceraian di antara mereka.
Karena itu tak akan terjadi. Kapanpun! Jangan pernah berharap ada kata cerai.
"Terima kasih, Mas. Makasih banyak," Kata Dhira dengan pandangan sakit.
"Gue tunggu di mobil yah," Pamit Arthir pada Shaka dan Dhira.
"Bia ikut, Mas. Bia juga ingin cari angin," Kata Bia yang akhirnya meninggalkan Shaka dan Dhira disana.
Setelah keduanya hanya berduaan saja. Shaka perlahan menarik istrinya dalam pelukan. Dia memeluk wanita yang tak lama mulai menangis dengan pelan.
Tak ada yang bisa keduanya lakukan. Semua yang terjadi karena tekanan orang tua. Menurut Dhira, daripada dia berpisah lebih baik dia memilih jalan seperti ini.
"Kamu harus janji sama aku, Mas. Kamu gak bakal jatuh cinta sama Bia. Kamu hanya melakukan ini karena seorang anak untuk kita. Kamu gak boleh main mata terlalu lama sama dia!" Kata Dhira mengatakan itu dengan melepaskan pelukannya.
Dia menunjuk wajah Shaka dan mengatakan segalanya dengan wajahnya yang basah akan air mata.
"Sayang. Hey lihat aku!" Kata Shaka lalu menangkup kedua sisi wajah Dhira dengan pelan. "Kamu gak percaya sama aku?"
"Aku takut, Mas. Aku takut dia ngambil aku dari kamu," Lirih Dhira pelan pada Shaka.
Kepala pria itu menggeleng. "Aku hanya akan mencintaimu. Hatiku cuma buat kamu, Dhir. Jadi jangan khawatirkan apapun. Cukup kamu percaya sama aku."
"Aku pegang janjimu yah?"
"Tentu. Pegang janjiku ini. Dia hanya wanita yang akan memberikan kita anak. Dia hanya wanita yang akan mewujudkan kebahagiaan kita."
Tanpa keduanya sadari. Sosok Bia ada di dekat pintu apartemen dengan tubuh mematung saat telinganya mendengar kata-kata yang begitu menyakitkan dari bibir Shaka.
"Dan kamu harus sadar akan posisimu, Bi!" Ujarnya pada dirinya sendiri.
~Bersambung
Belum apa-apa udah nyelekit duluan. Di ulti sama Mas Shaka hiks. Sakit woyy astaga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!