Menjalin hubungan rumah tangga selama sembilan tahun lamanya ternyata tidak menjamin hubungan itu langgeng hingga maut memisahkan. Melisa dan Kristian sedang beradu mulut sudah sejak satu jam yang lalu. Keduanya tidak ada yang mau merendahkan suara bahkan menurunkan ego masing-masing.
"Aku udah nggak tahan sama kamu. Kita akhiri saja hubungan ini. Masih banyak wanita yang mau nurut sama aku. Katanya sarjana dan berpendidikan, tapi buktinya kamu seorang wanita pembangkang. Sok pinter. Susah ngomong sama orang berpendidikan seperti kamu," teriak Tian seraya menunjuk wajah Lisa dengan jari telunjuknya.
"Baiklah, Mas. Kamu udah dua kali talak aku," jawab Lisa dengan suara datar dan tatapan mata penuh kepedihan.
"Bukan hanya dua tapi detik ini juga, kamu Melisa Wulandari binti Ujang Sumarwan, saya jatuhkan talak tiga sekaligus dan mulai sekarang kamu bukan lagi istriku. Silahkan kamu pulang ke rumah orang tuamu dan jangan membawa anak-anakku."
"Aku yang mengandung, melahirkan, menyusui dan merawat mereka, Mas. Aku orang yang paling berhak mengasuh mereka. Biarkan anak-anak memilih mau tinggal dengan Ibu atau Ayahnya,"
"Persetan! Mereka hanya akan kelaparan kalau ikut kamu. Cepat pergi dari sini karena aku udah muak liat kamu,"
Hancur? Tentu saja. Hati wanita mana yang tidak hancur mendapatkan talak tiga dari suaminya. Namun Lisa masih mencoba tegar dan tidak menjatuhkan setetes pun air matanya.
"Iya, Mas. Terima kasih talaknya. Aku akan pergi dan semoga …."
"Nggak usah sok mendoakan. Cepat pergi!"
"Aku mau ambil beberapa bajuku dulu,"
Lisa langsung masuk ke dalam kamar dan mengambil tas ranselnya lalu memilih beberapa setel baju gamis dan daster juga jilbab hariannya serta pakaian dalam. Setelah itu, Lisa mengambil ponsel juga dompetnya. Lisa benar-benar tidak menangis sama sekali. Dia berusaha setegar mungkin dan segera pergi dari rumah yang sudah dia huni selama beberapa bulan terakhir.
Pernikahan Melisa dengan Kristian telah memiliki dua anak laki-laki. Satu anaknya bernama Azka Dirgantara yang kini sudah kelas dua sekolah dasar. Sedangkan satu anaknya masih berumur dua tahun yang bernama Arka Prayoga. Kebetulan mereka berdua sedang bermain dengan kakeknya karena sebelum Lisa dan Tian bertengkar, dengan cepat bapak mertuanya mengajak Azka juga Arka pergi.
Rasa yang berkecamuk membuat Lisa buru-buru berkemas dan segera keluar dari rumah tanpa pamit karena tidak mau melihat kedua anaknya menangisi kepergiannya. Ada beberapa tetangga yang bertanya, tetapi Lisa tidak menjawab bahkan menoleh sama sekali. Langkahnya semakin cepat dan segera mencari ojek untuk pergi jauh dari rumah dengan cat yang mendominasi warna hitam putih itu.
"Pak, cepat antar saya ke pol damri." Lisa menepuk bahu salah satu ojek yang sedang mangkal yang tidak jauh dari rumahnya. Lisa memikirkan kemana dia harus pergi karena tidak mungkin untuknya pergi ke rumah orang tua kandung Lisa.
Selama ini Lisa sudah cukup sabar menghadapi perlakuan Tian yang selalu berkata kasar dan sama sekali tidak menghargainya sebagai seorang istri. Di mata Tian, Lisa selalu salah dan Lisa hanya punya satu teman yang selalu dia ajak curhat. Teman online yang dia kenal tanpa sengaja dan hanya bertemu dua kali selama lima tahun mereka berteman.
Tiba di pol damri, Lisa yang tinggal di kota Lampung Tengah segera memesan tiket menuju Bandung. Entah dewi fortuna sedang berpihak pada Lisa atau sebuah takdir, bus damri tujuan Lisa datang setelah beberapa saat Lisa menunggunya.
Waktu memang sudah menunjukkan pukul empat lebih dua puluh menit. Jam dimana bus tersebut berangkat. Lisa menyempatkan diri shalat ashar terlebih dahulu di tempat pembelian tiket bus itu. Untungnya masih keburu karena Lisa sudah diperingati oleh satpam jika bus akan segera datang.
Perjalanan yang memakan waktu hampir dua puluh empat jam itu pun Lisa tempuh dengan tiada hentinya menangis tanpa suara. Dadanya terasa sesak karena ingat bagaimana nasib kedua anaknya. Ditambah lagi keadaan si bungsu karena hanya Lisa yang tahu caranya membuat anaknya diam saat tantrum.
"Maafin Ibu, Nak. Maafin Ibu yang pergi secara tiba-tiba begini," Lisa tidak mau ada satupun yang tahu kemana dia pergi. Untuk itu Lisa segera memblokir semua kontak yang berhubungan dengan keluarga Tian juga kedua orang tuanya.
"Sepertinya pepatah itu benar. Iya, aku ingat pepatah yang mengatakan buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Nenekku bercerai sebelumnya. Kedua orang tuaku pun bercerai dan perceraian itu menurun padaku. Ya Allah … lindungi anak-anak hamba dari hal yang Engkau benci ini. Hamba hanya rido segala kebaikan untuk anak-anak hamba," Lisa hanya bisa menjerit dalam hatinya.
...***...
"Emang aku tuh udah punya feel nggak enak sama suami kamu, Lis. Aku udah bilangkan … ah sudahlah. Aku udah cariin kontrakan buat kamu. Tenang aja, kamu jangan khawatir masalah bayarannya. Udah aku lunasi buat enam bulan kedepan. Terserah mau kamu anggap hutang atau nggak. Tapi sebaiknya nggak usah kamu pikirin dulu itu, pikirkan aja gimana cara nyembuhin luka di hati kamu,"
"Maaf aku merepotkan." Lisa sudah tidak bisa menahan air mata juga isak tangisnya. Lisa menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Umi, teman online Lisa selama lima tahun ini. Bukan hanya teman biasa, tapi teman curhat dan berbagi ide karena keduanya adalah penulis novel di beberapa platform online.
Setelah menceritakan semuanya, Lisa merasa beban di dada berkurang. Satu-satunya yang bisa memberikan Lisa support hanyalah, Umi. "Kamu bilang apa sih, mana ada merepotkan. Aku malah bersyukur sekarang kamu bisa bebas. Walaupun kamu harus rela meninggalkan kedua anakmu, tapi mereka jangan kamu jadikan alasan untuk terpuruk. Kamu harus bangkit dan ambil hak asuh mereka, hm?" Lisa hanya mengangguk dan masih terus menangis. Bahkan kedua matanya telah memerah dan kelopak matanya membengkak.
Lisa pun melepaskan pelukannya setelah dirasa cukup tenang dan nyaman. "Aku akan istirahat dulu. Tolong jangan lakukan apa pun lagi kalau aku nggak minta. Jangan khawatirkan masalah makanku. Kalau aku lapar aku bakal cari sendiri. Anakmu lagi sakit, kamu fokus aja jaga anak. Makasih banget udah mau bantu aku," Lisa mengusap habis air mata yang membasahi kedua pipinya.
"Iya. Aku akan menurut. Kamu benar-benar masih punya uang buat makan?"
"Ada. Aku rasa cukup untuk satu bulan. Kamu nggak usah khawatir, sebentar lagi dollar juga turunkan? Walaupun sisa sedikit karena harus bayar ansuran, tapi masih cukup kalau hanya untuk makan aku aja,"
"Jangan sungkan kalau butuh apa-apa. Aku mau kamu sembuh secepatnya,"
"Iya bawel. Aku pergi sendiri aja. Kamu kasih aja alamat kontrakannya,"
"Gampang kok carinya. Kamu lurus aja dari jalan depan itu. Setelah mentok, belok kanan dan tanya aja kontrakan haji Bahar. Bilang aja kamu temen aku, pasti orangnya paham."
"Hm. Oke. Aku pergi sekarang. Sekali lagi …."
"Udah nggak usah banyak bilang makasih. Mau aku kasih piring cantik?"
"Hm. Iya. Aku pergi ya? Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Tiba di kontrakan yang dimaksud, Melisa langsung merebahkan tubuhnya di atas busa berukuran single dengan tinggi lima belas centi meter. Kontrakan itu cukup nyaman untuk dirinya sendiri. Ada tiga ruang disana. Satu untuk ruang tamu, satu kamar tidur dan satu dapur juga kamar mandi. Walaupun ruangannya tidak lebih dari 2x2 meter, hanya tinggal sendiri tidaklah masalah untuknya.
Mata yang menatap langit-langit kamar dengan triplek bercat putih itu tiba-tiba kembali meneteskan air matanya. Daya ingatnya kini menangkap kejadian tiga tahun lalu yang membuat rumah tangganya semakin tidak harmonis.
"Lis, pinjem KTP kamu dong,"
"Buat apa?"
"Buat aku foto biar inget sama alamatmu nanti,"
"Oh. Ini."
"Lis, nih pegang KTPnya, mau aku foto juga. Bentar jangan dimasukin dulu. Aku mau rekam dulu nanti kamu dongak ke atas terus tengok kanan terus tengok kiri terus buka mulut ya?"
Melisa hanya menurut dengan apa yang dikatakan sahabatnya itu. Melisa dan Melinda adalah sahabat sejak mereka masuk kuliah. Beberapa bulan terakhir Linda sering menghubungi Lisa untuk mengajaknya makan bersama dan yang membayar juga Linda. Namun seterusnya Lisa merasa Linda seringkali bersikap aneh.
Linda bahkan sering meminjam ponsel Lisa dengan alasan untuk menelpon seseorang, tetapi Linda selalu menghindar saat menelepon. Dan kejadian itu terjadi setiap akhir bulan selama lima bulan terakhir, Linda selalu mengajak Lisa bertemu dan meminjam ponselnya.
Namun sebelum Lisa dinyatakan hamil anak kedua, tiba-tiba Lisa mendapatkan banyak panggilan dari nomor baru yang mengatakan bahwa mereka semua adalah depkolektor yang meminta Lisa untuk segera membayar pinjamannya.
Bukan hanya terkejut, tapi Lisa hampir pingsan mendengar jumlah tagihan-tagihan itu. Bukan hanya satu tapi ada beberapa macam pinjaman online yang menelponnya.
Akhirnya Lisa memeriksa ponselnya dan ternyata benar, ada beberapa aplikasi di folder lain yang dimaksud oleh si penelpon. Lisa sangat syok dengan tagihan-tagihannya. Seberapa kerasnya Lisa mengelak, semua data yang masuk memang atas nama dia. Lisa tidak tahu menahu masalah pinjaman online itu dan harus bagaimana mana karena mendapatkan ancaman juga tekanan.
Seketika itu Lisa ambruk dan lemas. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk menutupi semua pinjaman online itu yang jika telat bunganya akan semakin membengkak.
Diam-diam Lisa menjual kalung emas pemberian ibunya. Kalung itu beratnya sepuluh gram. Lisa bisa melunasi satu aplikasi pinjaman online itu dan segera menghapusnya. Lisa tinggal memikirkan bagaimana cara dia membayar tagihan lainnya setiap bulan yang totalnya hampir lima juta selama satu tahun. Sedangkan dia tidak bekerja.
Lisa pun pasrah karena bicara dengan Tian juga tidak akan mendapatkan hasil. Hingga suatu hari Lisa tidak punya uang sama sekali dan meminjam ke beberapa temannya untuk menutupi pinjaman itu. Namun Lisa tidak berhasil. Akhirnya Lisa memutuskan untuk mendaftarkan pay letter dan mencairkan uang tersebut. Lisa berhasil melewati semuanya hingga Lisa melahirkan anak keduanya.
Semuanya Lisa lakukan sembunyi-sembunyi demi untuk menjaga hubungannya agar tetap bertahan dengan Tian. Sebelumnya Lisa bertengkar dengan Tian gara-gara uang yang diberikan Tian selalu habis sebelum gajian tiba. "Kemu tu kok boros banget sih, Dek. Uang dua juta itu banyak. Aku kerja keras cari uang itu, tapi kamu dengan mudahnya ngabisin uang!" bentak Tian setiap bulan saat Lisa meminta uang pada Tian.
"Mas, kok kamu nggak mau ngitung kebutuhan bulanan sih. Anak kita udah dua dan uang yang kamu kasih cuma dua juta. Kita tinggal di Jakarta ini, Mas. Bahkan di kampung juga uang segitu sangat kurang sedangkan gaji yang kamu terima bisa sampai tujuh juta."
"Kamu tuh uang dikasih uang bukannya terima kasih malah protes. Dikira cari uang gampang?"
"Mas, coba itung, uang buat spp Azka, jajan, iuran sekolah, bpjs, pampers Arka dan makan kita sehari-hari. Tolong liat catatan yang aku kasih biar tahu uangmu buat beli apa aja. Aku bahkan nggak mikirin kebutuhanku, Mas. ****** ***** aja sobek-sobek masih aku pake karena memang uangnya …."
"Udahlah, nggak usah ngelak. Cari sendiri uangnya biar tahu gimana susahnya cari uang,"
Perdebatan itu tidak berujung. Lisa hanya bisa diam dan berdoa. Padahal sebelumnya Lisa adalah seorang guru honorer yang sudah mengabdi enam tahun lamanya sejak dia masih kuliah dan seorang perangkat desa di kelurahan sudah dua tahun lamanya. Mengajar dengan bekerja di kelurahan bisa terhendel selama satu minggu itu karena jam kerja yang berbeda.
Di sekolah dia berangkat setiap hari Selasa, Rabu dan Jumat. Sedangkan di kelurahan dia berangkat setiap Senin, Kamis dan Sabtu. Lisa meninggalkan pekerjaannya karena diminta Tian untuk ikut tinggal di Jakarta. Bukan tanpa sebab, tetapi itu perintah langsung dari bos tempat Tian bekerja karena jika Lisa tidak mau tinggal bersama Tian di Jakarta, suaminya itu tidak jadi diangkat sebagai kepala toko dan kepala deviasi. Itu semua agar Tian fokus bekerja dan tidak selalu mengambil cuti untuk pulang kampung.
Lisa pun memutuskan untuk meninggalkan semuanya di Lampung kemudian ikut Tian ke Jakarta dan hanya berstatus ibu rumah tangga biasa yang mengurus anak juga suami. Di Jakarta mereka semua tinggal di tempat yang telah disediakan bos, jadi tidak perlu mengeluarkan uang untuk mengontrak.
Sejak pertengkaran itu, Lisa pun menambah pinjaman pay latternya untuk memenuhi kebutuhan hariannya karena tidak mau bertengkar dengan Tian. Lisa pun mencoba untuk berjualan online dan hasilnya lumayan untuk menambah pundi rupiahnya. Sayangnya semakin lama tagihan pay latternya membengkak karena Lisa terus mendapatkan limit tambahan saat dia selalu bayar tepat waktu. Setiap mendapatkan limit tambahan, saat itu juga Lisa segera mengajukan pencairan karena dia juga harus membayar tagihan pinjaman online yang lainnya.
Lisa bisa melewati semua itu hanya beberapa bulan saja karena ketahuan saat ada depkolektor menelpon dan Tian yang mengangkat telepon itu. Tian sangat marah. Akhirnya Lisa menceritakan semuanya pada Tian.
Keadaan tidak semakin baik karena Tian tidak percaya dengan apa yang Lisa katakan. Tian pun membawa masalah itu pada kedua orang tuanya juga orang tua kandung Lisa. Di sanalah talak satu untuk Lisa dijatuhkan oleh Tian.
Tentu saja orang tua masing-masing tidaklah setuju mereka berpisah karena kasihan dengan kedua anak mereka. Akhirnya keduanya rujuk dan angsuran pinjaman Lisa ditanggung oleh orang tuanya demi rumah tangga Lisa tetap utuh dan baik-baik saja.
Pada kenyataannya sikap Tian tidak berubah dan masih tetap sama memberikan uang bulanan yang sama dan Lisa tidak pernah tahu berapa gaji juga bonus yang diterima oleh Tian.
Hubungan keduanya semakin merenggang saat rumah mereka selesai dibangun dan Lisa diminta untuk tinggal dirumah saja bersama kedua anaknya. Setiap chatting atau melakukan video call, Tian tidak pernah menunjukkan sikap perhatian ataupun rasa rindu pada Lisa. Tian hanya fokus menanyakan kedua anaknya saja.
Lelah memikirkan apa yang telah dia lalui, Lisa pun terlelap dalam kesedihan yang teramat pedih. Dipeluknya bantal guling yang akan menjadi teman tidurnya.
Lisa mencoba mencari kesibukan. Lisa pun menetapkan untuk semakin dekat pada sang penciptanya. Lisa yang menekuni dunia kepenulisan sejak beberapa bulan terakhir itu akhirnya bisa benar-benar fokus dengan dunia barunya atas dorongan dan support dari Umi.
Menjadi penulis juga tidaklah semudah yang Lisa bayangkan. Namun semangatnya terus bangkit karena melihat Umi yang selalu mendapatkan gaji lebih dari delapan juta setiap bulan bahkan bisa lebih dari sepuluh juta. Lisa tidak menyerah dan terus berusaha membuat cerita yang menarik untuk para pembaca setianya yang masih bisa dihitung jari.
Sejak menekuni dunia kepenulisan, Lisa jadi punya banyak teman dan bertukar cerita bahkan ide. Bukan hanya fokus berimajinasi, tetapi Lisa sering ikut bakti sosial yang menyibukkan diri agar lupa bagaimana keadaan anak-anaknya setelah kepergian Lisa.
Lingkungan barunya begitu mendukung Lisa untuk segera sembuh dari hatinya yang rapuh. Tetangga di kontrakannya begitu ramah ditambah Lisa sendiri juga seorang suku Sunda yang mana di lingkungannya itu mendorongnya untuk bicara bahasa Sunda bercampur Indonesia.
Satu tahun sudah terlewati begitu saja. Lisa bangga pada dirinya sendiri karena bisa benar-benar bangkit dari keterpurukan. Walaupun dia masih gali lubang tutup lobang untuk ansuran pinjaman online juga pay latternya, Lisa bisa melewati semua itu dari hasil dia menulis. Tentu saja ada peran Umi yang selalu membantu meski tidak banyak bisa memberikan pinjaman uang pada Lisa.
Pagi itu Lisa sudah siap dengan balutan gamis berwarna Lilac dengan Khimar berwarna senada. Dia akan pergi mengunjungi sebuah masjid yang sedang mengadakan bakti sosial bersama anak yatim piatu. Tentu tidak lupa Lisa menunaikan ibadah sholat Dhuha empat raka'at terlebih dahulu. Ibadah Dhuha empat raka'at serta tahajud empat raka'at itu tidak pernah dia tinggalkan selain saat datangnya tamu bulanan.
"Neng, mau ke masjid Attaqwa ya?"
"Iya, Teh. Mau kesana juga?"
"Nggak, Neng. Tapi katanya Ninik Imah mau kesana, Neng. Coba ajak bareng ya? Kasian suka takut kalau nyebrang zebra cross."
"Iya, Teh. Nanti Lisa samperin. Pergi dulu ya, Teh, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam,"
Sesuai percakapan, Lisa menghampiri Ninik Imah dan mengajaknya berangkat bersama dengan berjalan kaki. Setiap langkah yang Lisa lalui tidak pernah terlepas dari senyum manisnya. Semua orang di sana hampir tahu bagaimana Lisa. Dia sangat ramah, murah senyum dan suka membantu orang. Itulah pandangan orang yang mengenal Lisa. Wanita berumur dua puluh sembilan tahun dengan tampilan yang selalu syar'i.
Pulang dari acara bakti sosial, Lisa mengantar Ninik Imah menyebrang zebra cross terlebih dahulu barulah dia pergi ke sebuah toko minimarket dimana dia akan berkerja. Lisa sudah tiga bulan bekerja sebagai pegawai minimarket dengan jam kerja dari jam satu siang hingga jam sembilan malam.
"Duh, Neng Lisa selalu terlihat bahagia. Apa sih rahasianya?" sapa Lilis, teman satu sip Lisa di minimarket itu.
"Nggak punya rahasia, Lis. Cuma perlu bersyukur aja. Maka Allah akan tambah nikmat itu," jawab Lisa kemudian berlalu menuju ruang ganti untuk ganti baju seragam dan memakai celemek.
Lisa benar-benar beruntung mempunyai bos yang sangat baik dan memberikan Lisa pekerjaan itu. Awalnya Lisa hanya menolong seorang Ibu-ibu yang sedang yang mempunyai riwayat penyakit demensia alzheimer. Ternyata Ibu yang ditolong itu sedang dicari oleh anaknya yang mana anak itu adalah pemilik beberapa minimarket yang tersebar di kota Bandung.
Asep Sunandar adalah nama pemilik toko dimana Lisa bekerja. Dia diberikan pekerjaan itu bukan tanpa sebab karena Lisa menolak pemberian Asep dan akhirnya Lisa menerima pekerjaan di minimarket yang mana dia hanya akan bekerja sip kedua karena sip pertama dia harus ikut kegiatan masyarakat, pengajian dan kegiatan yang berhubungan dengan keagamaan bahkan kegiatan yang bersangkutan dengan hobi menulisnya. Asep pun menyetujui permintaan Lisa sebagai tanda terima kasih karena telah menolong ibunya.
...***...
Pagi-pagi sekali, Lisa dikejutkan oleh kedatangan seorang laki-laki bersama dua lainnya yang Lisa yakini dia adalah orang tua laki-laki tersebut. "Wa'alaikumsalam. Maaf, cari siapa ya?" Lisa yang akan pergi terpaksa menundanya karena kedatangan tamu yang tidak dia kenal.
"Boleh masuk dulu?" kata laki-laki tersebut.
"Oh, iya maaf. Silahkan masuk. Mohon maaf berantakan dan tidak ada kursi." Tamu pun masuk dan duduk di tas karpet yang mendadak Lisa gelar karena adanya tamu. Keadaan hening sesaat karena rasa canggung juga malu.
"Kamu pasti terkejut dengan kedatangan kami. Tapi kami kemari dengan niat baik, Nak," ucap seorang Ibu-ibu berpakaian rapi dan berhijab.
"Iya, Buk. Maaf, maksudnya niat baik apa ya?" jawab Lisa masih canggung.
"Melisa, kenalkan nama saya Arkan Al-idrus. Ini Emak saya Aisyah dan ini Bapak saya Gufron. Saya kesini bersama kedua orang tua saya bermaksud meng-khitbah kamu. Saya ingin menikahimu," mendengar itu, Lisa langsung membulatkan matanya dengan sempurna dan menutup mulut yang menganga dengan kedua tangannya. "Saya tahu ini mendadak, tapi saya rasa usia kita bukan lagi usia untuk main-main. Makanya saya ingin langsung menikahimu," lanjut laki-laki bernama Arkan.
"Nak Meli? Kamu baik-baik aja?" tanya Ibu Aisyah. Sesegera mungkin Lisa menyadarkan dirinya dari rasa terkejut dan menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan secara perlahan.
"Maaf Mas Arkan, saya rasa ada kesalahpahaman diantara kita. Bagaimana bisa Anda dan orang tua Anda tiba-tiba datang dan melamar saya. Kita tidak mengenal sama sekali. Bahkan Mas Arkan tidak tahu status saya,"
"Saya tahu. Kamu janda dengan dua anak dan tinggal disini sudah setahun lamanya. Kamu bekerja di minimarket Pak Asep Sunandar saat siang hari dan di pagi hari kamu menyibukkan diri dengan bakti sosial dan kegiatan keagamaan." Lisa kembali melongo.
"Bagaimana Anda bisa tahu banyak tentang saya? Sedangkan saya tidak pernah bertemu dengan Anda," jawab Lisa semakin heran.
"Kemarin aku bertemu denganmu tiga kali. Pertemuan itu membuat saya menginginkanmu menjadi istriku," jawab Arkan masih dengan bahasa yang formal.
"Tiga kali? Tapi saya merasa tidak bertemu dengan anda," sahut Lisa masih bertanya-tanya dan memikirkan kejadian kemarin apakah ada yang terlewatkan dari ingatannya.
"Pertama saya melihatmu bersama seorang ibu-ibu menyebrang zebra cross. Kedua saya melihatmu di acara bakti sosial dan santunan anak yatim yang saya adakan. Dari situ saya bertanya pada beberapa orang yang ada di acara tersebut. Ternyata saya bertemu kamu lagi di minimarket saat sore hari. Akhirnya saya meminta informasi pribadi kamu pada Pak Asep yang kebetulan dia adalah teman saya. Orang bilang jika kita bertemu dengan lawan jenis tanpa sengaja sebanyak tiga kali dalam satu hari, dia adalah jodohmu. Aku percaya kata-kata itu," jelas Arkan tidak membuat Lisa terlepas dari rasa herannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!