NovelToon NovelToon

Dendam Sang Presdir

Bab 1 Kehilangan

Di sebuah rumah sakit...

Seorang pria dalam balutan jas mewah, mematung menatap tunangannya yang sudah berwajah pucat pasi, tidak bernyawa. Ia mengepalkan tangan erat, dengan wajah memerah, ia menatap tajam orang-orang disekitarnya.

“Aku membayar kalian dengan gaji yang besar, tapi tidak dapat menyelamatkannya.”

Semuanya tertunduk membisu.

“Tidak berguna!” teriaknya, lagi.

Dave mengusap kepala Clarissa, menahan air mata yang menganak sungai.

“Katakan.” Pertanyaan yang ditujukan pada jejeran dokter yang berbaris dibelakangnya.

“Kami sebisa mungkin sudah berusaha menyelamatkan Nona muda. Tapi, karena terlambat diantar ke rumah sakit, Nona muda kehabisan darah ditambah dengan pendarahan akibat keguguran.”

Deg.

“Ap ... apa? Keguguran? Maksud dokter apa?”

Dave memalingkan wajah.

“Nona muda sedang mengandung, Tuan.” Dokter menunduk, takut untuk menatap pria yang mungkin akan membunuhnya.

Tubuh Dave goyah, pandangannya berputar. Air mata yang berusaha ditahannya tumpah juga. Sebuah tangan memegang bahunya, memapah menuju kursi. Jatuh terduduk, dengan lemah. Dave membenamkan wajah di kedua telapak tangannya.

Terisak,

Semua membisu, hanya terdengar suara tangis yang menyayat hati.

Dave bangkit dengan wajah memerah, air mata terlihat jelas di kedua pipinya. Ia berlutut di depan jenazah Clarissa.

Kembali terisak.

“Maafkan aku. Maafkan aku. Seharusnya, aku tidak memaksamu untuk datang.”

Dave menunduk, air matanya jatuh menetes diatas lutut.

Saat itu,

“Dave, sepertinya, aku tidak bisa datang di acara perjamuan relasimu? Hujan sangat deras, aku takut membawa kendaraan.” Clarissa menghubungi Dave melalui sambungan telepon.

“Mana supirmu?”

“Hari ini, aku membawa kendaraan sendiri di perusahaan. Apa bisa kamu pergi sendiri?”

“Mana mungkin seperti itu, sayang. Aku akan memperkenalkanmu pada mereka. Bulan depan adalah pernikahan kita. Kamu berkendara perlahan saja, aku akan menunggumu.”

“Tapi, aku merasa takut, Dave. Lagi pula, saat ini aku sedang ...” terkekeh. “Lain kali saja, aku akan memberitahumu.”

“Kau sedang tertawa sayang?” Menunggu jawaban, lalu kembali berkata. “Baiklah, aku masih ada pekerjaan. Aku tutup dulu.”

“Tuan.” Dave tidak menyahut. “Tuan muda.” Sekretaris Tian kembali memanggil, tapi tak ada jawaban. Lalu kembali melanjutkan kalimatnya. “Orang tua Nona muda, ada disini.”

Dave masih tetap membisu, tenggelam dalam kesedihan dan rasa bersalah. Saat ini ia merasa kalah, benar-benar kalah dengan takdir yang tidak dapat dilawannya.

“Putriku, hiks ... hiks ....”

Ibu Clarissa memeluk jenazah putrinya, tangis histeris kembali memenuhi ruangan, setelah Dave terdiam.

“Bangun, sayang. Ini Mama, bangunlah, Mama mohon, buka matamu.”

Ibu Clarisa semakin histeris, mengguncang tubuh putrinya, memaksa agar ia bangun dari tidurnya yang panjang.

“Ma, sabarlah. Papa mohon, tenangkan dirimu.”

“Tidak, Mama tidak rela. Bangun sayang, bangun.”

Masih dalam tangisnya, Ibu Clarissa jatuh, tak sadarkan diri. Bagas langsung mengangkat tubuh istrinya, menuju ruang perawatan .

Sementara, Dave masih berlutut dan menunduk, tidak ada lagi suara tangis, tapi air matanya masih menetes jatuh. Memukul dadanya berulang kali, saat ia merasa sesak karena memendam kesedihannya.

“Dave.”

Rachel menatap putranya yang berlutut menatap jenazah Clarissa. Lalu memeluk, Liam suaminya yang ikut terpukul dengan kepergian menantunya.

“Bangunlah, Nak.”

Liam memapah tubuh putranya yang lemah, memberikan isyarat pada Tian sekretaris Dave untuk membawa putranya pergi.

“Tenangkan pikiranmu. Papa akan mengurusnya disini.”

Dave hanya terdiam, pikirannya kosong. Ia ikut melangkah bersama Tian yang memapahnya.

***

Keesokan harinya,

Jejeran rangkaian bunga ucapan belasungkawa, terlihat memenuhi taman perkuburan, terlihat kesedihan pada para

pelayat. Ada yang hanya meneteskan air mata, ada juga yang menangis dengan histeris karena merasa kehilangan. Tak lupa para wartawan dari berbagai stasiun TV, untuk meliput moment Keluarga Alehandra dan Bagas Santara, yang sedang berduka. Dua keluarga yang merupakan pengusaha sukses di negeri ini.

Dave dengan tatapan kosong, menatap peti Clarissa yang mulai diturunkan perlahan ke liang kubur. Tidak ada air mata atau isak tangis. Ia hanya mematung, entah bagaimana perasaanya kini, ia hanya terus diam.

Berbeda dengan ibu Clarissa, yang sangat kehilangan putri semata wayangnya. Wanita itu berkali-kali jatuh, tidak sadarkan diri.

“Putrikuuu, hiks....”

Bagas sang suami hanya mampu memeluk tubuh istrinya, ia sendiri sudah tidak mampu menatap peti putrinya yang mulai tertimbun tanah.

“Tidakkk, kembalikan putriku. Kembalikan.”

Ibu Clarissa kembali berteriak histeris, sampai jatuh tidak sadarkan diri dalam pelukan suaminya.

Kini saatnya untuk menabur bunga,

Dave menggengam bunga, lalu menaburkannya diatas makam.

Beristirahatlah, sayang. Anak kita bersamamu, aku akan mencari pelaku yang merenggut kalian dariku!

Setelah pemakaman usai, para pelayat mulai meninggalkan tempat. Terkecuali Dave dan sekretarisnya Tian.

“Kamu sudah menyelidikinya?”

“Sudah, Tuan. Tapi, belum mendapatkan apa-apa.”

Dave langsung menatap tajam.

“Katakan.”

“Tidak ada CCTV di tempat kejadian dan tidak ada saksi, karena saat itu hujan sedang turun. Ada sebuah toko, diseberang jalan tapi sudah lama toko itu tertutup.”

Dave menarik napas, kembali menabur bunga untuk kesekian kalinya.

“Aku akan memberimu waktu sampai besok, temukan dia sebelum polisi yang menemukannya.”

“Baik, Tuan.”

Sabarlah, sayang. Aku akan membawanya berlutut dihadapanmu.

Hari mulai senja, Dave masih duduk disisi makam Clarissa bersama Tian. Ia belum bisa pergi meninggalkan Clarissa dan bayinya.

Aku mencintaimu dan tidak akan ada yang menggantikanmu. Aku janji!

***

Satu hari sudah berlalu, Tian belum juga mendapatkan apa-apa, begitu juga dengan pihak kepolisian.

“Kamu belum menemukannya?”

“Belum, Tuan."

Dave mengangguk,

“Buat sayembara untuk menemukan seorang saksi, beri hadiah 1 miliyar.”

“Tapi, bagaimana jika mereka berbohong, Tuan.”

Dave menyeringai. “Itu yang aku harapkan.”

Tian mengernyitkan dahinya, tidak mengerti tapi tetap melaksanakannya.

Akhirnya, Tian mengundang reporter dari berbagai stasiun TV, untuk mengadakan konferensi pers.

“Saya mewakili, Presdir Dave Alehandara untuk menyampaikan tentang sayembara.”

Kilatan cahaya kamera terlihat kelap-kelip, suara ketikan di papan keybord terdengar, saat Tian baru saja berucap.

“Kami keluarga Alehandara, mengadakan sayembara untuk mencari saksi kecelakaan yang menimpa Nona Clarissa Santara. Bagi siapapun yang melihat kejadian, silahkan langsung menemui saya. Keluarga Alehandara akan memberikan hadiah sebesar satu miliar rupiah. Terima kasih.”

Tian mengakhiri kalimatnya, lalu pergi meninggalkan para wartawan.

Kabar sayembara pun langsung menjadi topik utama diberbagai stasiun TV, media sosial dan surat kabar. Kabar itu pun menjadi perbincangan hangat di perusahaan PT. DEVAL Power.

Dimas masih bekerja di depan layar komputer. Mengabaikan teman disebelahnya, yang sedang menonton lewat ponselnya.

“Kamu sedang nonton apa, serius sekali?” Dimas masih terus menatap monitornya.

“Konferensi pers sekretaris Tian.”

“Tentang apa?”

“Kamu tidak tahu?” Teman sebelahnya kembali bertanya.

“Memang, ada apa?”

“Tunangan Presdir, meninggal dunia. Karena tabrak lari.”

Deg. Dimas menghentikkan jari-jarinya diatas keybord.

“Dia ditabrak? Kapan?” Dimas memastikan.

“Dua hari yang lalu, saat hujan deras. Apalagi, tunangan presdir itu sedang hamil dan akan menikah bulan depan. Aku bisa membayangkan, bagaimana ia akan membuat perhitungan dengan bajingan itu.”

Dimas bersusah payah menelan salivanya, ia melirik temannya yang masih menatap layar ponsel.

“Benarkah? Aku tidak tahu, kalau Presdir sudah bertunangan.”

“Bagaimana kamu bisa tahu, jika terus bekerja?” temannya merapatkan kursi, memperlihatkan layar ponselnya pada Dimas. “Lihatlah, dia sangat cantik.”

Mata Dimas membelalak, wajahnya menjadi pucat pasi. Ia meremas kedua tangannya dibawah meja.

“Aku ke toilet sebentar.”

Dimas membasuh wajahnya berkali-kali, lalu memandang pantulan wajahnya.

“Jadi, gadis itu nona Clarissa?”

Bab 2 Bimbang

Perjalanan pulang, Dimas melajukan motornya menuju bengkel. Ia memperbaiki mobilnya yang tergores dan sedikit penyok.

“Bagaimana?” Dimas bertanya pada seorang montir bengkel yang menjadi langganannya.

“Sudah selesai, lagi pula hanya goresan beberapa inci saja. Memangnya, kamu habis menabrak apa?”

“Bukan aku, istriku yang melakukannya. Katanya, dia menabrak kucing.”

“Aku pikir istrimu hanya bisa mengendarai motor saja. Sebaiknya, jangan biarkan dia mengemudi, kalau belum mahir.”

Dimas hanya mengangguk.

“Aku akan mengambilnya besok.”

Dimas kembali berkendara, menuju rumah. Dari jauh, tampak istrinya tengah menyapu halaman dengan perutnya yang semakin membuncit. Dimas memarkir motor, Menyalami ibunya yang duduk di teras rumah seperti sedang mengawasi pekerjaan menantunya.

“Bagaimana pekerjaan kamu, Nak?”

“Baik, Bu. Hanya saja, Dimas lelah dan banyak pikiran.”

Arshila melangkah mendekati suaminya dengan ganggang sapu lidi masih di tangannya.

“Mas, aku ingin membicarakan sesuatu.”

“Kamu tidak dengar, suami kamu sedang lelah. Kamu siapkan makan sana,” bentak mertuanya.

Arshila memandang suaminya yang hanya membisu, lalu berjalan masuk setelah meletakkan sapu lidi dipojok rumah.

Di dapur, Arshila mulai menyiapkan makan malam, dengan menahan tangisnya. Untuk kesekian kalinya, air matanya jatuh karena ulah mertuanya. Yang lebih menyakitkan lagi, sikap Dimas sebagai seorang suami yang

hanya diam, membiarkan ibunya bertindak semena-semena.

“Sudah siap?” Ibu mendekat, melihat panci diatas kompor yang masih beruap.

“Sedikit lagi, Bu.”

“Setelah ini, kamu menyetrika. Pakaian ipar-ipar kamu, sudah menumpuk,” perintahnya, lalu pergi.

Di ruang TV, ibu duduk menyesap teh ditemani Dimas yang berbaring diatas karpet. Dari layar TV, tampak sekretaris Tian, melakukan konferensi pers. Ibu langsung meletakkan gelasnya, saat mendengar hadiah 1 miliar.

“Dimas, kamu lihat itu, hanya untuk menemukan saksi, mereka memberikan satu miliar.”

Dimas hanya terdiam, sorot matanya masih menatap layar TV, tapi pikirannya berkeliaran tak tentu. Sesekali ia menarik napas, lalu

memejamkan matanya. Dari arah, dapur Arshila mendekat.

“Sudah siap, Mas.”

Dimas membuka mata, menatap istrinya yang berdiri menunggu. Bangkit perlahan, menuju arah kamar.

“Ikut aku.”

Arshila berjalan menyusul, diikuti lirikan mata sang mertua, yang ingin serba tahu urusan rumah tangga anaknya.

“Kamu mau membicarakan, apa?” Dimas meraih tangan istrinya, menariknya duduk di tepi ranjang.

“Mas, apa boleh kita ngontrak rumah saja?”

Dimas tahu kegundahan istrinya, yang memilih untuk hidup mandiri. Tapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena tidak ingin melawan ibunya.

“Shila, bertahanlah sedikit lagi. Kita akan hidup mandiri, setelah kamu melahirkan. Mas, tidak mungkin membiarkanmu seorang diri di

kontakkan. Di sini paling tidak, ada ibu dan adik-adik Mas yang menemanimu.”

BRAK, pintu terbanting dengan keras

“Jadi, kamu yang membuat Dimas durhaka pada ibunya. Meninggalkan kami sendiri dan menikmati gaji putraku, seolah kamu yang

membanting tulang untuk menyekolahkannya.”

“Ibu, Arshilla tidak bermaksud seperti itu.”

“Diam kamu. Ibu yang banting tulang bekerja, untuk membuatmu memiliki ijazah dengan pendidikan tinggi. Dan sekarang, wanita sialan ini memintamu meninggalkan rumah.”

“Ibu, dengarkan Dimas. Shila tidak ....”

“Cukup,” Ibu memotong ucapan Dimas. “Jika kamu meninggalkan rumah mengikuti wanita ini, kamu bukan anak ibu.”

Arshilla menagis dengan pilu, hinaan yang sudah sering menyakiti hatinya. Selama pernikahan, Arshila tidak pernah menikmati gaji suaminya, karena ibu mertuanya yang mengambil alih. Untuk keperluannya, ia

harus bersusah payah mengemis kepada ibu mertuanya, yang menghina terlebih dahulu sebelum memberikan uang.

“Maaf, maafkan Ibu, Shila. Ibu hanya tidak ingin, kita pergi meninggalkannya seorang diri.”

Arshila tidak menjawab, selalu seperti ini. Dimas akan akan meminta maaf atas nama ibunya dan meminta untuk terus bersabar.

Dimas pergi, meninggalkan istrinya yang masih menangis. Hampir setengah jam, Dimas kembali membawa sepiring makanan.

“Makanlah, anak kita pasti kelaparan.”

Arshila meraih piring itu, makan dengan wajah yang sembab dan hidung yang memerah. Dimas bersandar di tepi ranjang, memainkan ponsel sambil menunggu istrinya menghabiskan makanannya. Dimas membuka grup obrolan di perusahaan, semuanya sibuk menduga-duga tentang pelaku penabrakan tunangan presdir mereka.

“Apa mungkin dia sudah kabur, setelah melihat berita?”

“Tidak menurutku, dia sedang bersembunyi.”

“Bagaimana jika pelakunya seorang wanita hamil. Apa menurut kalian, Presdir akan memaafkannya?”

Dimas tertegun, menatap istrinya. Lalu kembali membuang pandangannya.

Tidak. Bagaimana mungkin aku berpikir seperti itu?

Dimas kembali menatap layar ponsel, membaca obrolan di perusahaan.

“Bayangkan jika mempunyai 1 miliar? Wow, aku akan berfoya-foya.”

“Kalau aku, akan membeli rumah baru dan mobil baru.”

“Kalian terlalu berangan, aku sedang memikirkan nasib pelaku yang mungkin akan hidup dengan derita yang bertubi-tubi.”

“Dia pantas mendapatkannya. Tapi, aku akan mengasihani keluarganya yang akan terkena imbasnya.”

Dimas langsung meletakkan ponsel,

kepalanya semakin pusing dengan permasalahannya, belum lagi istri dan ibunya.

Aku harus bagaimana, sekarang? Bagaimana dengan keluargaku?

Arshila yang sudah menghabiskan makanannya, menatap Dimas yang membisu. Tak ingin mengganggu, Arshila keluar kamar membawa pring kosongnya di dapur.

“Bagus, ya! Kau sudah seperti Tuan Putri, dilayani dengan membawakan makan di dalam kamar.”

Arshila disambut dengan omelan mertuanya dan tatapan tidak suka dari dua iparnya. Tak lama, Dimas keluar kamar, setelah mendengar suara ibunya.

“Bu, sudahlah. Ini sudah malam.”

“Kamu selalu membelanya, itulah kenapa ibu tidak pernah menyukainya. Kamu seharusnya, menikah dengan wanita yang memiliki ijazah sepertimu, tidak sepertinya yang hanya tinggal didalam rumah dan menambah beban keluarga kita.”

“Ibu.” Dimas kini meninggikan suaranya.

“Kamu membentak ibu? Lihat sekarang, kamu pun sudah berubah melawan ibumu sendiri.”

Ibu pergi bersama anak-anaknya, meninggalkan Arshila yang berderai air mata. Dimas menyusul ibunya, tidak memperdulikan istrinya yang yang tengan menderita batin karena makian dan hinaan.

Tok...tok...tok....

Dimas masuk dalam kamar ibunya, setelah cukup lama mengetuk pintu tapi tidak ada jawaban.

“Bu, maafkan Dimas. Aku tidak bermaksud membentak ibu, saat ini Dimas sedang stres bu, tolong mengertilah.”

“Memangnya kamu stres apa? Ibu lebih stress menghadapi istrimu yang malas itu.”

“Ibu,” Dimas terisak. Membuat ibu luluh dan langsung memeluk putranya.

“Kamu kenapa, Nak? Katakan pada ibu. Maafkan ibu, jika ibu membuat pikirannmu menjadi tidak tenang.”

“Ibu, aku takut. Sepertinya, Dimas akan di penjara dan kehilangan pekerjaan.”

“Apa?” Ibu tersentak. “Apa maksud kamu? Jangan menakuti ibu. Kamu masih memiliki tanggung jawab kepada adik-adik kamu yang masih bersekolah.”

Dimas semakin terisak bahkan menundukkan kepalanya, membuat ibu semakin panik.

“Aku menabrak seorang wanita, bu. Dimas baru tahu, jika wanita itu adalah tunangan Presdir perusahaan tempat Dimas bekerja.”

Ibu semakin kaget, menutup mulutnya yang hampir saja memekik.

“Dimas, apa yang kamu lakukan, Nak? Kamu mencelakakan kita semua. Adik-adik kamu kehilangan masa depan, jika mereka mengetahui kamu pelakunya.”

Dimas mengusap wajahnya yang basah akibat air mata yang mengalir. Di depannya, ibu masih menatap dengan raut wajah ketakutan dan cemas.

“Ceritakan pada ibu, kejadian yang sebenarnya.”

Malam itu pun Dimas menceritakan semua kejadiannya dengan detil kepada ibunya.

Bab 3 Saksi

Keesokan harinya,

Ibu masih gelisah dalam kamar, mondar-mandir setelah melepaskan Dimas berangkat kerja. Ia keluar kamar, menatap tajam menantunya yang sedang mengepel lantai.

Pasti karena wanita sialan ini, putraku jadi terkena imbasnya.

Ibu terus berjalan, menapakkan kakinya diatas lantai yang masih basah. Tidak mempedulikan bulir keringat yang tampak dari wajah menantunya.

“Setelah, ini. Kamu mencuci pakaian. Ingat, kamu harus menguceknya hingga bersih.”

Ibu mengambil posisi duduk, setelah melihat anggukan kepala Arshila yang belum menyelesaikan pekerjaannya.

Bagaimana caranya, aku menyingkirkan benalu ini?

Ibu mengambil remot TV, menaikkan kaki diatas meja, lalu menyandarkan punggungnya di sofa. Ia kembali menonton berita, yang sudah tiga hari mewarnai seluruh siaran TV.

“Alangkah bagusnya, jika aku mendapatkan 1 miliar itu?” ujarnya, lalu kembali tertegun menatap menantunya.

Hah. Aku tahu, haahahaa....

Ibu mendapatkan senyumannya, bangkit dari duduk mendekati Arshila.

“Sudah, kamu istirahat sana.” Arshila mengernyitkan alisnya. “Aku sudah berjanji pada putraku, akan memperlakukanmu dengan baik, karena kamu mengandung cucuku. Sekarang, pergilah ke kamar istirahat. Jangan melakukan apapun.”

Setelah bertutur dengan cukup lembut, ibu berjalan menuju kamar. Sementara, Arshila hanya berdiri menatap dengan bingung. Pertama kali sejak ia menikah, mertuanya tidak memaki atau menghinanya. Wanita paruh baya itu, menyuruhnya beristirahat dalam kamar yang terdengar aneh bagi Arshila.

“Apa yang dikatakan Mas Dimas kepada ibu?”

Arshila menyelesaikan pekerjaannya yang sudah terlanjur dilakukan. Dari dalam kamar, ibu keluar dengan pakaian rapi dan berdandan seperti mau ke pesta.

“Arshila sayang, ibu keluar dulu. Kamu baik-baik di rumah? Kamu mau makan sesuatu, biar ibu belikan.”

Arshila hanya ternganga, lalu kemudian menggeleng. Memperhatikan mertuanya yang melambaikan tangan, sebelum keluar rumah.

“Apa terjadi sesuatu semalam? Kenapa ibu mendadak berubah?”

Di kantor pusat PT. DEVAL POWER,

Di depan gedung perusahaan tempat putranya bekerja, ibu berjalan masuk dengan senyum yang mengembang.

“Ibu mencari siapa?” petugas keamanan mencegah langkah Ibu Dimas di lobi.

“Saya mencari bapak sekretaris.”

“Ibu siapa?”

“Saya menonton berita di TV, kalau bapak sekretaris mencari saksi.”

Petugas keamanan itu, memperhatikan ibu Dimas dengan cermat, lalu meminta mengikuti langkahnya menuju lift.

Dilantai 20, petugas keamanan itu menghampiri dua orang wanita yang duduk disebuah meja, disisi pintu ruangan presdir. Ibu Dimas hanya memperhatikan dengan bola matanya yang berkeliling menyusuri setiap sudut ruangan.

Andai putraku, menikah dengan salah satu karyawan disini.

“Ibu, silahkan ikut saya.” Salah seorang gadis, membuyarkan khayalan ibu Dimas.

Tok...tok...tok...

“Masuk.” Terdengar suara dari dalam ruangan.

“Selamat pagi, Pak. Diluar ada seorang wanita, mengaku seorang saksi.”

Dave menatap sekretaris Tian, memberikan

isyarat dengan gerakan tangan.

“Suruh dia masuk,” ujar sekretaris Tian.

Ibu Dimas masuk, ternganga dengan kemewahan yang memanjakan mata. Dia seketika tersadar, setelah tatapannya bertemu dengan si pemilik ruangan.

“Apa benar, ibu seorang saksi?” tanya Tian yang masih memperhatikan ibu Dimas.

“Saya kemari untuk memohon ampun kepada Tuan.” Wajah ibu berubah memelas.

“Maksud ibu?” Tian bertanya, sementara Dave masih menatap mereka dengan membisu.

Ibu langsung terisak, lalu mendaratkan kedua lututnya di atas lantai. Dengan berderai air mata, ibu menatap sekretaris Tian.

“Tolong ampuni menantu saya, Tuan. Menantu saya tidak sengaja melakukannya.”

Dave langsung bangkit, duduk mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan ibu Dimas. Wanita paruh baya itu, mendadak gugup, suhu udara dalam ruangan seperti menurun drastis.

“Saya tidak ingin, Anda meminta pengampunan untuk seseorang yang melenyapkan calon istri saya. Sekarang, Anda

duduk dan ceritakan semuanya.”

Ibu Dimas hanya mengangguk, suara lantang yang biasa ia teriakkan untuk menantunya, tiba-tiba saja hilang.

“Waktu itu, menantu saya mengalami kontraksi, saat di dalam mobil menuju rumah sakit, Tuan. Karena hujan deras, menantu saya ketakutan dan panik. Ia tidak sengaja menabrak seorang wanita, yang sedang menyebrang."

Dave masih mendengarkan ucapan ibu Dimas tanpa berkomentar.

“Menantu saya, sempat memeriksa tubuh wanita itu yang menurutnya masih hidup, dia meminta tolong dengan meraih kaki menantu saya.”

Wajah Dave berubah, rahangya mengeras, bayangan bagaimana Clarisa meminta tolong kepada wanita itu, membuatnya geram.

“Teruskan.”

“Menantu saya ketakutan, Tuan. Ia takut masuk penjara, karena sedang mengandung, tolong maafkanlah dia.”

“Saya sudah mengatakan, agar Anda jangan meminta pengampunan.”

Dave berkata dengan intonasi rendah tapi tajam, yang membuat ibu Dimas merinding.

“Baik, Tuan. Maafkan saya.” Ibu Dimas kembali bercerita. “Menantu saya, sempat meminta maaf kepada calon istri anda, tapi sebelum pergi calon istri anda meraih tangannya. Ia berkata, agar menyelamatkan bayinya.

PRAANGG

Dave melempar gelas hingga berserakan diatas lantai. Napasnya naik turun, memendam emosi yang membuncah.

Bagus, marahlah, seperti yang ku harapkan.

Sekretaris Tian yang dari tadi hanya mendengarkan, mulai bersuara. Ia memiliki keraguan akan ucapan, ibu Dimas yang seperti sengaja menjatuhkan menantunya sendiri.

“Apa Ibu memilki bukti? Atau ibu hanya mendengarkan cerita dari seseorang?”

Dave yang sedang menahan amarah, kembali menatap tajam Ibu Dimas. Sementara, wanita paruh baya itu mencoba bersikap tenang.

“Anak saya bekerja di perusahaan ini, Tuan. Saya tidak ingin dia terkena imbasnya, karena perbuatan menantu saya. Jadi, tolong jangan libatkan kami sekeluarga. Anak saya Dimas, sangat mencintai istrinya, walaupun Tuan memaksanya untuk jujur, dia akan tetap melindungi istrinya.”

“Lalu, bagaimana ibu mengetahui menantu Anda pelakunya?”

“Saya tidak sengaja, mendengar pembicaraan mereka, Tuan. Saat menantu saya meminta suaminya, untuk membawa mobil ke bengkel langganannya, padahal hari sudah malam dan hujan masih turun dengan deras.”

Dave kembali duduk di tempatnya, memberi perintah kepada sekretaris Tian melalui isyarat, yang di mengerti Tiandengan menganggukan kepalanya.

“Berikan nomor rekening ibu. Kami akan mengirimkan hadiah, jika sudah mengkonfirmasi kebenaran yang sebenarnya.”

Ibu Dimas tersenyum samar, mengaduk tasnya mencari ponsel, lalu memberikan nomor rekeningnya kepada sekretaris Tian.

Setelah ibu Dimas pergi, Dave masih duduk, memijit pangkal hidungnya. Mencerna tentang ucapan wanita itu, yang sepenuhnya belum dapat dipercaya.

“Kamu sudah mendapatkaninformasinya, Tian?”

“Sudah Tuan. Namanya Dimas Sudrajat dari departement humas, istrinya bernama Arshila Syarenna. Dia sedang mengandung tujuh bulan dan waktu kejadian berada di rumah sakit karena kontraksi.”

“Lanjutkan lagi, aku belum yakin.”

“Baik, Tuan.”

Di rumah, ibu Dimas baru saja tiba. Ia berjalan menuju dapur, meletakkan barang-barang diatas meja. Menatap menantunya yang sedang menyiapkan makan siang.

“Kamu sedang apa, shila? Ibu sudah bilang, jangan melakukan apapun. Sekarang, duduklah, ibu membelikanmu buah.”

Arshila menurut, meski ia masih belum terbiasa dengan perubahan mendadak sikap mertuanya.

“Ini, makanlah.” Ibu memberikan buah yang sudah dikupas.

“Terimakasih, bu.”

Ibu tersenyum, lalu berdiri menggantikan posisi menantunya menyiapkan makan siang.

Nikmatilah dengan baik, sebelum polisi menjemputmu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!