Question: Apa kamu percaya dengan cinta?
...•••...
Kyra’s
Hidup itu seperti air. Mengalir sesuai arus dan jalan yang ada.
Akan ada saat di mana air akan salah jalan. Namun, air tidak menyerah. Ia akan tetap melaju mengikuti arus dan jalan yang ada hingga tiba di tempat yang sempurna.
Sama seperti itu juga hidupku.
Aku hanya manusia biasa, seorang wanita. Aku hidup dengan mengikuti arus takdir yang Tuhan buatkan untukku. Jika aku salah jalan, maka aku akan mencari jalan pembenaran, sesulit apa pun itu.
Aku bukan wanita yang mudah menyerah. Aku tangguh dan mencoba selalu kuat—setidaknya demi putraku, Darren Gerald Adiva. Aku tidak ingin lemah di hadapannya. Aku akan menjadi contoh yang hebat untuknya—kemarin, kini, dan esok, juga selamanya.
Aku akan berusaha menjadi ibu terbaik untuk putraku. Apa pun akan kulakukan demi dirinya. Sekalipun aku harus mengorbankan diri, aku siap melakukannya.
Hm, pertanyaan tentang cinta. Apa aku percaya? Tentu saja aku percaya!
Jika tidak ada cinta, Darren tidak akan pernah hadir di dunia ini. Putraku adalah hasil cinta kami, aku dan suamiku. Aku sangat mencintainya.
Dulu, aku berpikir jika akulah orang yang paling mencintainya. Tapi, persepsiku salah. Ada yang lebih mencintai suamiku dibandingkan aku. Tuhan.
Tuhan sangat menyayangi suamiku sampai ia tidak rela berpisah jauh darinya...
...💫💫💫...
Eiden’s
Moto hidup? Heh, aku tidak perlu itu.
Aku seorang mafia, hidupku, ya, seperti itu. Bunuh mereka yang mengusikku dan keluargaku, lalu berantas mereka yang bermasalah. Hutang dibalas uang, nyawa dibalas nyawa, dan darah dibalas darah pula. Semua harus seimbang. HARUS.
Aku benci pengkhianat. Mereka hanya sampah masyarakat yang lebih baik dibasmi. Tidak pantas hidup di bumi.
Aku seorang duda? Ya, memang kenapa? Aku bangga dengan statusku. Aku menyukainya karena dengan begitu aku memiliki seorang putri yang menggemaskan. Emily Kennedy, putriku dan anakku satu-satunya.
Lalu istriku? He.. aku tidak peduli. Aku membencinya. Sangat.
Cinta? Aku pernah mempercayainya. Emily adalah hasil cintaku dengan istriku. Tapi, itu dulu.
Cinta tulusku dibalas tidak setimpal olehnya. Detik itu juga, aku tidak ingin mempercayai cinta lagi. Cinta memang akan memberimu kebahagiaan. Tapi, itu hanya sesaat. Pada akhirnya, cinta hanya akan menyakitimu.
Aku tidak keberatan hidup menyendiri selama sisa umurku. Aku masih memiliki Emily sebagai pelengkap hariku. Tapi... prinsip itu selalu digoyahkan oleh anakku. Dia selalu bertanya di mana mommy-nya.
Aku harus menjawab apa? Aku tidak ingin menyakiti hatinya, makanya aku memilih diam.
Hidupku datar? Biarkan saja. Aku yang menjalani, kalian cukup menikmati.
...•••...
Ayla’s
Halo, semua. Ay hadir membawa kisah baru. Ini baru prolog, ya, semacam POV karakter utama kita.
Gimana kesan pertama kalian setelah baca tulisan di atas? Tergugah? Penasaran? Atau biasa aja?
Aduuhh.. maaf, ya, kalau cerita Ay kali ini nggak cocok sama genre favorit kalian. Ay lagi pengen aja.
Btw, Ay kasih peringatan dulu, ya.
Cerita ini mengandung unsur kekerasan dan adegan dewasa yang menjurus ke bagian ‘hot’. Jadi, nanti kalau ketemu scene yang begituan, silakan di-skip bagi yang belum cukup umur dan tidak suka.
Lah? Ay, kan, juga belum cukup umur. Kenapa malah buat beginian?—tanya readers.
Alasannya karena Ay suka genrenya. Ay dibantuin sama orang lain, kok, dalam penulisan adegan bagian ****. Jadi, jangan khawatir. Ay nggak akan deskripsiin terlalu detail, sepengetahuan Ay aja.
Siap buat chapter pertama?
Brukk!
“Aww..” Gadis kecil itu meringis kesakitan. Karena tidak berhati-hati, ia tersandung batu hingga jatuh tersungkur. Tidak ada luka yang tercipta, hanya sedikit memerah di bagian lutut.
Ia mendongak, menatap orang-orang berseliweran, namun tidak ada satu pun yang memedulikan dirinya. Anak-anak seusianya berlalu begitu saja, tidak jauh berbeda dengan para orang tua. Mereka hanya melirik gadis kecil itu sekilas, kemudian melenggang pergi.
Sepasang mata bulat gadis itu berkaca-kaca. Kenapa nggak ada yang mau bantuin Emily..? Emily salah apa?
Baru saja gadis kecil bernama Emily itu ingin meraung, sebuah tangan terulur padanya. Ia mendongak, memandang bocah laki-laki yang tersenyum kecil padanya.
“Kamu nggak pa pa?” tanya anak laki-laki itu.
Emily meraih uluran itu dan berdiri. Sedikit meringis ketika merasakan perih di lututnya. “Emily nggak pa pa.”
“Nama kamu Emily?”
Emily mengangguk.
“Aku Darren.”
“Halo, Kak Darren.” Setelah diperhatikan lebih jauh, paras bocah laki-laki di depannya sangat elok. Tampan dan menawan dengan bola mata hijau. Ditambah lagi, Darren memiliki kepribadian yang baik—mau repot-repot membantunya berdiri. Ah, Emily jadi malu-malu.
“Ada yang sakit?” tanya Darren perhatian. Ia meneliti tubuh gadis kecil di depannya dengan saksama dan menemukan sesuatu di lutut. “Itu sakit?”
Emily menatap lututnya yang memerah, tapi tidak berdarah. “Nggak, Kakak.”
“Sayang!”
Darren dan Emily menoleh bersamaan. Sosok wanita dengan celana hitam dan blouse pita cream melambai ke arah mereka. Darren balas melambai pula.
“Mami,” seru Darren semangat.
Wanita yang dipanggil ‘mami’ oleh Darren itu mendekat. Lantaran sudah dekat, ia berjongkok di samping putranya. “Mami terlambat, kah?”
“No, Mi,” jawab Darren.
Mami Darren menoleh, memandang Emily yang menatapnya tanpa berkedip. “Halo, Cantik. Kamu teman Darren, ya?” tanyanya seraya mengusap pipi gembul Emily.
Emily mengerjap-ngerjapkan matanya. Wanita di hadapannya sangat cantik dengan bola mata hijau dan rambut bergelombang. “Emily... em..”
“Ini teman Darren, Mi, namanya Emily.” Darren mengambil alih dengan memperkenalkan Emily. Ia tahu jika gadis kecil itu tampak ragu mengiyakan perkataan maminya. Mereka, kan, baru saja bertemu.
Wanita itu tersenyum cerah. “Halo, Sayang. Nama Aunty, Aunty Kyra.”
“Halo, Aunty Kyra,” cicit Emily malu-malu.
“Emily udah dijemput?” tanya Kyra.
Emily mengedarkan pandangan. Dirasa tidak menemukan presensi keluarganya, kepalanya menggeleng.
Kyra berpikir sejenak. “Darren, kita temani Emily dulu, ya. Kasihan kalau ditinggal sendiri.”
Darren mengiyakan.
Kyra membawa Darren dan Emily duduk di bangku dekat pos satpam. Ketiganya berbincang seru—terutama Emily dan Kyra. Kedua perempuan berbeda generasi itu langsung akrab dalam sekejap. Seolah keduanya sudah saling mengenal dan pertemuan kali ini bukan yang pertama.
“Emily.”
Emily menoleh. Bibirnya melengkung lebar. “Daddy!” serunya antusias. Ia berlari kencang menerjang lelaki yang tengah berlutut. Gadis kecil itu tertawa kala tiba di pelukan sang daddy. “Daddy lama banget,” sungutnya.
Lelaki itu tersenyum tipis. “Maaf, ya, Daddy ada meeting penting tadi.”
“Permisi.”
Daddy dan anak itu memutar kepala menghadap Kyra yang mengulas senyum. “Anda orang tua Emily?”
Lelaki itu mengangguk. “Nona siapa?”
“Ah, anak Anda teman anak saya.” Kyra melirik putranya di samping. “Saya ibu Darren.”
“Oh.” Lelaki itu memasang raut datar, tidak peduli sama sekali.
“Karena Anda sudah datang, kami pulang dulu. Putri Anda sendirian tadi, jadi kami menemaninya sebentar. Kalau begitu, mari.” Kyra tersenyum manis sebagai salam. Darren melambai kecil pada Emily. Keduanya masuk ke dalam mobil dan pergi.
“Daddy,” panggil Emily.
“Iya, Sayang?” sahut Eiden, Daddy Emily.
Emily nampak ragu untuk mengutarakan isi kepalanya. Setelah dikuatkan, ia berkata, “Di mana mommy Emily, Dad?”
Eiden terpaku. Ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun, hanya diam memandangi putrinya. Tidak lama, lelaki itu mengukir senyum. “Ayo kita pulang.”
...💫💫💫...
“Mami? Mami mau ke mana?” tanya Darren melihat Kyra sudah berganti pakaian usai keduanya makan siang bersama di rumah. Pakaian yang dikenakan maminya serba hitam dari atas sampai bawah.
Kyra berjongkok dan mengusap kepala putranya gemas. “Mami mau ke markas, Sayang.”
Manik hijau Darren berbinar seketika. Bocah itu merengek ingin ikut. Kyra mengiyakan dengan syarat Darren harus patuh dan tidak mengganggu.
“Oke, Mi. Darren jadi anak baik dan tidak mengganggu.”
“Kalo gitu, ganti baju sana.”
“Oke, Mi. Tunggu Darren, ya.”
“Iya, Sayang.”
...💫💫💫...
“Selamat datang, Nona, Tuan Kecil,” sambut mereka seraya membungkuk hormat.
“Halo, Uncle-Aunty semua.” Darren melambai antusias.
Kyra masuk ke dalam bangunan. Tidak ada raut keibuan seperti sebelumnya. Wanita itu memasang raut datar. Tidak sebanding dengan Darren yang menebar senyum di samping. Bocah usia 6 tahun itu tampak semangat memasuki markas maminya.
Clarissa Kyra Adiva, itu nama lengkap mami Darren. Jangan disangka wanita itu merupakan sosok lembut dan seperti wanita kebanyakan yang menghabiskan waktu di rumah. Kyra tidak seperti itu.
Dia merupakan ketua mafia Black Rose. Sosok yang dikenal dengan kekejamannya. Hanya ketika bersama Darren, wanita itu berubah manis dan hangat.
“Uncle Reven!” teriak Darren menghampiri lelaki bernama Reven. Bocah itu langsung memeluk kaki Reven dengan kepala menengadah. “Uncle udah pulang dari misi?”
Reven tersenyum dan berjongkok. “Udah.”
“Kok nggak jemput Darren tadi?” Berkacak pinggang.
Reven terkekeh. “Kan, udah dijemput sama mami.”
“Reven.” Kyra mendekat. “Apa kamu sudah menyelesaikan tugas dari saya?”
Dia Reven, tangan kanan Kyra. Orang yang paling ia percaya di komplotan.
Reven berdiri, namun tangannya tetap bertengger di kepala Darren, mengusapnya gemas. “Sudah, Nona.”
“Di mana?”
“Di ruang bawah tanah.”
Kyra mengangguk. Ia menoleh pada putranya. “Darren di sini sama Uncle Reven dulu, ya. Mami ada urusan di bawah.”
“Oke, Mami. Mami hajar orang jahatnya, ya, biar kapok.”
“Iya, Sayang.”
...💫💫💫...
Kyra duduk dengan kaki diangkat ke atas. Wanita itu tersenyum sinis menatap pria yang diikat dengan rantai. “Anda berani sekali, ya, Tuan.”
Pria itu berkeringat dingin merasakan aura mencekam dari Kyra. “M–maafkan saya, Nona. S–saya janji tidak akan mengulanginya.”
Kyra menarik sebelah sudut bibir. Ia melirik anak buahnya yang berdiri di belakang—yang dengan sigap mengambilkan pisau kecil. “Menurut Anda, hukuman apa yang cocok untuk seorang pengkhianat, Tuan?”
“A–ampuni sa–saya, Nona.” Pria itu gemetar ketakutan.
“Ampun?” Kyra tertawa bengis. “Jangan harap, Tuan Pengkhianat! Saya tidak pernah melepaskan siapa pun yang berani mengusik saya dan keluarga saya!”
Kyra berlutut di hadapan pria itu dengan senyum iblis. Pisau kecil di tangan diacungkan ke atas. “Waktunya main...”
“T–tidak, N–Nona. AAARRRGGHHH...!!!”
^^^To be continue...^^^
...💫💫💫...
Ay comeback, nih, guys, dengan cerita baru. Seperti biasa, Ay paling nggak suka pemeran wanita yang menye-menye. Suka yang kuat dan berpendirian teguh.
Nikmatin ceritanya, ya...
“Grandma, Grandpa, Emily pulang!” seru Emily berlari masuk ke dalam mansion.
“Cucu Grandma udah pulang.” Abigail, ibu Eiden, merentangkan tangan dengan posisi berjongkok, menyambut pelukan cucu perempuannya. “Gimana tadi sekolahnya?”
“Seru, Grandma!” jawab Emily. Ia celingukan sebentar. “Grandpa di mana, Grandma?”
“Grandpa lagi keluar, Sayang, ada urusan.”
Emily manggut-manggut. Sedetik kemudian, bocah itu kembali bersemangat. “Oh, ya! Grandma, hari ini Emily dapat teman baru, lho, di sekolah.”
“Wah, Emily dapet teman baru?” ulang Abigail seraya menggendong cucunya menuju lift mansion, ingin mengantar ke kamar untuk berganti outfit.
Emily mengangguk antusias. “Namanya Kak Darren, Grandma. Kak Darren punya mami, namanya Aunty Kyra. Aunty Kyra baiiiiiikk banget. Dia juga cantik sekali, Grandma. Emily suka.”
Abigail tersenyum kecut mendengar penuturan cucunya. Sejak kecil, Emily tidak pernah bertemu dengan mommy kandungnya. Gadis kecil itu sering bertanya mengenai sang mommy, namun Eiden tidak pernah menjawab. Abigail pun tidak kuasa untuk menceritakan yang sebenarnya.
“Grandma, mommy Emily ada di mana, sih? Kok nggak pernah dateng ke sini?” tanya Emily sedikit merengek. “Emily mau main sama mommy juga seperti teman-teman Emily. Emily mau punya mommy kayak Aunty Kyra.”
Abigail menurunkan cucunya di kamar gadis kecil itu. “Nanti, ya, kapan-kapan Grandma ceritakan. Sekarang.. Emily ganti baju terus kita makan siang.”
Emily mengerucutkan bibir, kesal karena pertanyaannya tidak pernah dijawab. “No, Grandma. Emily mau makan siang sama daddy.”
“Sama daddy? Daddy masih di sini, Sayang?”
“Iya. Daddy tunggu di mobil, mau ajak Emily makan steak.”
“Oke, deh. Sekarang ganti baju dulu.”
“Siap, Grandma.”
...💫💫💫...
“Selamat da—”
“Sstt..” Eiden memberi kode supaya Garry, asistennya, diam. Pasalnya, Emily tengah tertidur dalam dekapan. Usai makan siang bersama, keduanya tidak segera pulang. Mampir terlebih dahulu ke mall untuk bermain. Mungkin efek terlalu lelah, gadis kecil itu hanyut di dunia mimpi sewaktu dalam perjalanan.
Eiden meletakkan Emily di ruang pribadinya. Posisi mereka saat ini berada di markas milik Eiden.
Eiden Athallah Kennedy, putra tunggal dari pasangan Cavan Kennedy dan Abigail Kennedy. Lelaki itu merupakan CEO perusahaan ternama yang berhasil masuk ke skala Benua Asia. Sekaligus pemimpin mafia terhebat, Blood Moon.
Lelaki itu dikenal dengan sifat dinginnya. Dia tidak tersentuh. Hanya keluarganya saja yang bisa merubah kepribadiannya menjadi lebih hangat—terutama Emily, putrinya dari hasil pernikahan pertama.
Ya, Eiden sudah pernah menikah. Namun, ikatan suci itu putus karena suatu alasan. Entah di mana mantan istrinya itu berada, Eiden tidak peduli lagi.
“Tuan Muda, tadi pagi, kita mendapat paket berisikan anggota tubuh anak buah kita,” lapor Garry. Di sampingnya, ada Michael dan Erryan, sahabat Eiden yang juga bagian dari Blood Moon. “Saya sudah meminta anak buah kita untuk menyelidikinya dan hasilnya—”
“Mafia The Zero’s yang melakukan, benar?” terka Eiden tepat sasaran. Garry pun membenarkan.
Air muka Eiden benar-benar datar, tanpa ekspresi. The Zero’s adalah musuh bebuyutan Blood Moon. Sejak dahulu, mereka terus berselisih karena suatu masalah. Bahkan, perseteruan kedua belah pihak sudah ada semenjak zaman orang tua mereka.
“Tangkap salah satu dari mereka, lalu cincang dia sama seperti mereka memperlakukan anggota kita. Impas, kan,” titah Eiden dengan seringaian bengis.
Garry, Michael, dan Erry mengangguk patuh. “Baik, Tuan Muda.”
“Lalu, bagaimana penyelidikan kalian?” tanya Eiden.
“Kami—”
“Daddy..?”
Mendengar suara serak bernada polos itu membuat Eiden menghirup napas dalam-dalam. Lanjut melengkungkan bibirnya hingga membentuk senyuman. Tidak jauh berbeda dengan ketiga sahabatnya, mereka langsung menghentikan pembicaraan dan memasang senyum di paras masing-masing.
Eiden berbalik menatap Emily. “Putri Daddy udah bangun?”
Emily mengucek-ucek matanya. Ia berjalan kecil mendekati sang daddy, memeluknya erat dengan wajah sayu. “Kita di mana, Daddy?” cicitnya merasa tidak mengenali lokasi mereka saat ini.
“Ini rumah Daddy yang lain, Sayang. Mau pulang?”
Emily mengangguk. Kepalanya ditengadahkan. Ia melambai pada ketiga lelaki yang berdiri di belakang Eiden. “Halo, Uncle,” sapanya.
Erry tersenyum gemas. Ia mencubit pelan pipi Emily. “Halo juga, Cantik.”
“Ciee.. baru bangun, ya?” goda Michael dengan wajah tengil. “Pantes bau asem.”
Bibir Emily mengerucut ke depan. “Emily wangi, nggak asem!”
“Bau asem,” ejek Michael.
Karena merajuk, Emily menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Eiden. “Daddy, Uncle El nakal. Masa Emily dibilang bau asem?”
Eiden terkekeh saja, tidak menanggapi lebih lanjut. Ia berpamitan pada ketiga sahabatnya. Garry mengangguk, sementara Michael dan Erry melambaikan tangan.
Sifat Garry memang seperti itu. Dingin seperti dirinya. Hanya saja, Eiden jauh lebih bisa mengendalikan ekspresi maupun emosi. Jadi, tolong dimaklumi jika kedua lelaki itu jarang dideskripsikan tengah mengukir senyum, oke?
“Hati-hati, Cantik,” seru Erry mengantar kepergian Emily dan Eiden.
Sepanjang perjalanan, Emily terus menanyai Eiden mengenai rumah tadi. Barusan adalah kali pertama dirinya memasuki hunian. Selama ini, Eiden memang menyembunyikan jati dirinya sebagai seorang mafia. Ia tidak mau putrinya turut dalam bahaya karena permasalahan orang dewasa.
“Daddy,” panggil Emily entah yang keberapa.
“Iya, Sayang?” sahut Eiden berusaha sabar.
“Emily mau bertemu mommy,” rengek gadis kecil itu.
Eiden terpaku. Lidahnya mendadak kelu untuk sekadar menjelaskan. Putrinya masih terlalu dini untuk mengetahui fakta sebenarnya. “Kenapa Emily ingin bertemu mommy?” tanya Eiden pada akhirnya.
“Emily, kan, mau main sama mommy, Daddy. Emily mau punya mommy seperti teman-teman Emily yang lain,” papar Emily mengutarakan isi hatinya.
“Mommy udah pergi ninggalin kita, Sayang. Emily nggak usah tanya-tanya soal mommy lagi, ya,” tutur Eiden menjelaskan secara halus. Ia tidak ingin putrinya terus mengungkit masa lalu, terutama mengenai mantan istrinya.
“Apa mommy nggak akan pernah kembali, Daddy?”
“Nggak akan, Emily.”
“Tapi, kenapa? Apa mommy nggak sayang sama kita? Sama Emily?”
“Nggak, dia nggak sayang sama Emily.” Menyadari perubahan air muka putrinya, buru-buru Eiden menambahkan kalimat. “Cukup Daddy, grandma, sama grandpa yang sayang sama Emily. Emily nggak perlu pikirin soal mommy lagi, oke?”
Walaupun tengah dilanda kesedihan, Emily tetap menganggukkan kepala. “Iya, Daddy.” Ia menundukkan kepala, sedih karena kenyataan barusan menyayat hati lembutnya.
Bukankah seorang ibu pasti menyayangi anaknya? Kenapa mommy Emily malah pergi tanpa menemui Emily sama sekali? Bahkan, Eiden mengatakan jika sang mommy tidak menyayangi Emily.
Sebenernya, mommy ke mana, sih?
“Daddy!” pekik Emily tiba-tiba. Eiden sampai terlonjak kaget dengan perubahan putrinya yang mendadak. Beruntung mobil yang ia kendarai tidak oleng karena terlampau kaget. “Kalo gitu, cariin mommy baru buat Emily!”
“Hah? Mommy baru?”
^^^To be continue...^^^
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!