NovelToon NovelToon

Memories

Part 1

"Tidak, Papa! Aku tidak akan melakukannya! Tidak akan pernah!" Putus Raline. Dia sangat shock ketika papa nya menelepon dan menyuruhnya untuk kembali ke Indonesia. Bagi Raline, dia sudah menikmati kehidupannya di sini. Di tempat yang tidak peduli pada tatakrama atau pun semacamnya.

"Tidak ada kata tapi. Lusa, kamu harus sudah tiba di sini."

"Papa!"

"Kamu tinggal pilih, datang sendiri atau dijemput paksa orang-orangku!"

Tut!

Telepon terputus. Raline melempar ponselnya keatas ranjang dengan kesal. Di jemput paksa? Apa dia pelaku kejahatan dan tindakan kriminal?

...M.E.M.O.R.I.E.S...

"Oh, si**lan!"

Raline mengumpat. Di sinilah dia sekarang. Indonesia. Negara yang paling ia benci karena seseorang.

Gadis berambut cokelat itu menyeruput latte nya. Jari-jari lentiknya sibuk menyentuh angka-angka pada layar smartphone nya. Caffe ini sengaja ia pilih sebagai tempat untuk istirahat setelah penerbangan nya yang melelahkan.

Beberapa pria pengunjung caffe terlihat mencuri pandang ke arah Raline. Tentu saja, siapa pun pasti terpesona dengannya. Selain cantik, penampilannya juga sangat modis. Dari ekspresi wajahnya sekarang memang seperti gadis angkuh. Tumbuh di keluarga kaya raya, kecantikan sempurna dan otak yang cerdas membuatnya merasa di atas segalanya. Apalagi dia tumbuh di negara yang bebas.

Lima menit berlalu. Di pintu caffe berhenti tiga mobil mewah. Orang-orang dengan pakaian serba hitam keluar. Beberapa di antaranya masuk sementara yang lain menunggu di depan caffe. Pemandangan yang menyita perhatian pengunjung lain itu juga menarik perhatian Raline. Dan ketika menyadari siapa orang-orang itu ia langsung bangkit.

"Kalian terlambat bodoh! Aku heran kenapa papa mempekerjakan orang-orang macam kalian."

Para pengawal itu menunduk takut. Mereka sudah sering mendengar gadis itu membuat cukup banyak masalah selama dia di New Zealand. Jadi mereka sedikit tidak suka dengan kembalinya majikan muda itu. Tidak suka bukan dalam artian membenci. Hanya saja mereka takut dimarahi seperti ini setiap harinya.

"Maafkan kami, Nona. Kami sudah memeriksa seluruh bandara tapi kami tidak menemukan Nona. Setelah kami melacaknya, ternyata Nona ada di sini. Mohon maafkan kami.“

Raline tersenyum sinis. Mengerjai para pengawal yang patuh pada papa nya itu adalah hobinya.

Raline menatap tiga pria yang menunduk itu satu persatu.

"Hei! Di mana Om Liam?“ hardik Raline saat tak mendapati sosok yang ia harapkan itu ada di antara pria pria muda di hadapannya.

"Maaf Nona, Tuan Abraham memberi tugas ini pada kami karena Manager Liam sedang mengurus sesuatu di luar kota."

Raline melipat tangannya. “Aku tidak akan pulang jika tidak bersama Om Liam," kata Raline dan kembali mengambil tempat di kursinya. Para pengawal itu saling sikut. Meminta salah satu dari mereka untuk membujuk agar si majikan mau ikut pulang bersama. Setelah beberapa saling sikut dan dorong, pria dengan kulit putih dan bersih serta tubuh yang agak berisi mendekat.

"Maaf Nona. Dibanding Manager Liam, tidakkah Nona lebih merindukan seseorang?" tanyanya dengan senyum ramah dan tulus.

Raline mendongak seraya memicingkan matanya. "Papa di rumah?" tanyanya tak yakin. Bukankah ini masih jam kerja? Lagi pula tumben papa nya ada di rumah mengingat sifat gila kerjanya itu.

"Tentu. Beliau sudah menunggu Nona.“

Raline tersenyum kecil. Bahagia karena sang papa rela meninggalkan pekerjaan demi menyambut kedatangannya. Tapi kalau di pikir-pikir ini bukan sesuatu yang harus di bangga-banggakan. Bukankah biasanya para orang tua memang selalu harus menyempatkan diri untuk anaknya? Apalagi yang sudah bertahun-tahun tidak pulang.

"Mari, Nona."

Raline bangkit lalu melenggang pergi diikuti dua pengawalnya. Sementara pria yang berbicara tadi dengannya cepat mengambil koper, tas, serta ponselnya di atas meja sebelum ikut menyusul.

Bersambung ....

Part 2

Tok Tok

"Masuk."

Suara yang tegas berwibawa itu berganti dengan suara pintu yang terbuka dan derap langkah kaki seseorang.

"Maaf Tuan, kami sudah mendapatkan apa yang anda perintahkan.“

Bagas Wiatama, pria yang dipanggil Tuan itu mengalihkan perhatiannya dari file yang ada di tangannya.

"Benarkah?" tanyanya semringah. Terlihat sangat senang dan puas.

"Iya, nona Raline sudah sekitar 15 menit yang lalu mendarat di Jakarta. Sekarang dia dalam perjalanan pulang menuju mansion mewah kediaman keluarga Abraham bersama para pengawalnya," lapor pria itu.

"Bagaimana dengan gambarnya, kalian mendapatkannya?"

Pria manis berkacamata itu menjawab, "Ya." sembari menyerahkan sebuah camera pada Bagas.

"Masih tetap jutek dan bossy seperti dulu,“ komentar Bagas saat memperhatikan photo-photo Raline pada camera itu, ketika di bandara, di caffe dan saat memarahi pengawalnya.

"Tapi tetap terlihat cantik, Tuan," tutur pria muda itu membuat Bagas tertawa.

"Kenapa, kamu menyukainya?“ pertanyaan itu membuat pria tersebut terkejut.

"T-Tidak Tuan, saya tidak berani. Lagi pula, dia kan gadis incaran Anda."

Bagas kembali tertawa mendengar kata "incaran" yang disebutkan oleh assistennya itu. Seperti dia hewan buas saja.

"Baiklah, kamu boleh pergi."

"Terima kasih, Tuan.“ Pria itu membungkuk hormat sebelum akhirnya meninggalkan ruangan tersebut beserta Bagas.

Bagas kembali pada kameranya yang masih memperlihatkan keangkuhan gadis itu di sana. Sesaat dia tersenyum. Tidak menyangka kalau pertemuannya dengan seseorang beberapa waktu lalu membuahkan hasil.

Dua pria berbeda generasi itu tampak duduk saling berhadapan. Di depan mereka terhidang berbagai menu makanan ditemani sebotol minuman.

Fernan Abraham, pria paruh baya yang merupakan konglomerat di Indonesia itu menatap pria muda di hadapannya. Pria yang dia tahu bukan orang sembarang. Sebagai sesama pengusaha mereka tentu saling mengenal dalam urusan bisnis.

"Baiklah, Tuan Bagas Wiatama. Apa yang ingin Anda bicarakan denganku, kurasa, soal kerja sama kita tidak ada masalah, kita sudah saling sepakat dan menandatangani kontrak. Apa yang mengganggu pikiranmu. Apa Anda ingin mengubah kesepakatan kita, atau Anda ingin membatalkan kontraknya, mungkin?"

Bagas tersenyum kecil. "Sebenarnya saya meminta waktu bertemu dengan Anda bukan untuk membicarakan tentang pekerjaan, Tuan Abraham."

Tuan Abraham terdiam sejenak. Tentu dia sedikit terkejut dengan penuturan pria di hadapannya ini.

“Saya ingin membicarakan hal pribadi dengan Anda."

Tuan Abraham mengangkat alisnya. "Apa itu?" tanya Tuan Abraham. Sedikit tertarik karena tidak mungkin orang sesibuk Bagas Wiatama meminta bertemu jika untuk urusan tidak penting.

"Maaf jika saya lancang mengatakan ini.“

Tuan Abraham tampak terdiam. Menunggu apa yang akan keluar dari mulut Bagas.

"Aku ingin meminta putrimu."

"APA?"

"Aku ingin meminta putrimu, Raline Anggelina Abraham.“

Tuan Abraham menatap Bagas tidak percaya. Dari raut wajahnya yang tenang dan serius itu, dia tahu kalau Bagas tidak main-main dengan ucapannya. Namun, tetap saja ini mengagetkan untuknya.

"Ha ha haa haaaa ...."

Tuan Abraham tertawa dan meneguk minumannya. Sikapnya itu secara tidak langsung membuat nyali Bagas ciut. Biasanya, seperti apa pun keadaan yang Bagas alami ia selalu tenang dan percaya diri. Tapi dia tidak menyangka kalau meminta anak gadis orang rasanya akan seperti ini.

"Maafkan aku, Tuan Bagas. Tapi aku tidak bisa untuk tidak tertawa." Bagas mengusap tengkuknya. Dia sangat gugup sekarang.

"Tuan Bagas, putriku bukan gadis biasa.“ Bagas tersenyum. Tahu pasti makna dari ucapan pria paruh baya itu.

"Anda sangat pantas, bahkan terlalu pantas untuk mendampingi putriku. Saya tahu itu karena kita sudah saling mengenal sejak lama. Bukan hanya sebagai rekan bisnis, karena Papamu dan aku berteman baik, tapi...." Tuan Abraham menjeda ucapannya dan menatap Bagas. "Putriku bukanlah orang yang cocok untuk mendampingimu. Dia keras kepala, kekanak-kanakan, sombong, dan egois. Dia tidak akan mendengarkanku jika aku tidak memaksanya. Aku khawatir, dia juga tidak akan menghormatimu nanti.“

"Aku sudah tahu itu, Tuan Abraham.”

"Apa?"

"Asal dia bersamaku, aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Lagi pula, aku sudah berjanji padanya."

Tuan Abraham mengernyit. "Kamu mengenal putriku?"

"Ya. Sepuluh tahun yang lalu. Tepat sehari sebelum dia berangkat ke New Zealand."

Bersambung ....

Btw, Raline blasteran ya.

Part 3

"My Princess, welcome."

Tuan Abraham membuka lebar-lebar tangan nya. Berharap putri cantik nya mendekat untuk memberikan nya sebuah pelukan rindu. Namun, yang terjadi Raline hanya terdiam dan memalingkan wajah nya. Tuan Abraham yang mengerti pun tersenyum.

"Baik lah, Raline Anggelina. Peluk Papa." Pria paruh baya itu harus meminta dulu.

Seketika Raline tersenyum. Dengan cepat dia berlari dan memeluk papanya erat.

"Papa, aku merindukan mu," bisik Raline. Walau mereka sering bertengkar, tetapi tetap saja kalau dia sangat menyayangi sang papa. Tuan Abraham tersenyum seraya menepuk pundak putri nya pelan.

"Papa juga anak ku, sangat-sangat merindukan mu. Penerbangan mu berjalan lancar?" tanya Tuan Abraham.

Raline melepaskan pelukan mereka dan mengangguk memberi jawaban.

"Tapi papa tahu kamu sudah membuat masalah begitu tiba di Jakarta." Tuan Abraham mengingatkan, berniat bercanda.

Raline tertawa saja. Apa yang tidak di ketahui sang papa tentang diri nya. "Hanya hiburan kecil untuk menyambut kedatangan ku," kekeh nya pelan.

Seorang wanita paruh baya dengan seragam nya muncul dari arah belakang. "Makan malam nya sudah siap, Tuan," ucap nya memberi tahu. Tak lama mata nya terpaku pada sosok gadis yang berdiri di sebelah majikan nya.

Wanita itu tersenyum haru. Dan Raline sangat-sangat merindukan senyuman lembut nya.

"Bibi Ria ...." Raline memeluk wanita itu erat. Sangat merindukan sosok yang sudah merawat nya sejak kecil itu.

"Astaga, Nona. Tidak apa-apa?" tanya nya memeluk Raline erat.

"Hmm, aku makan dengan baik seperti yang Bibi katakan."

Bibi Ria mengusap air mata nya yang jatuh. "Senang melihat mu kembali, Nona," ucap nya dengan suara parau. Raline tersenyum dalam pelukan hangat nya. Saat dia memutuskan untuk ke New Zealand dulu, bibi Ria lah yang paling tidak bisa melepas nya.

"Di mana Om Liam?" Raline menanyakan sosok yang dulu juga sering menemani nya ke mana pun ia pergi.

"Dia sedang mengurus sesuatu di luar kota. Dia akan kembali lusa," jelas Bibi Ria.

"Memang nya apa hal penting yang di lakukan Om Liam sampai tidak bisa menjemput ku?" protes nya cemberut. Bibi Ria hanya tertawa dan menghapus air mata yang mengalir di wajah nya.

"Aishh, kalau Bibi masih menangis aku kembali ke New Zealand saja," Rajuk Raline berniat mencairkan suasana.

"Tidak, jangan." Bibi Ria menggeleng dan segera menarik tangan Raline. "Ayo, Bibi sudah siapkan makanan yang sangat enak dan spesial untuk Nona."

"Benarkah?" tanya Raline senang.

"Kalau begitu, ayo, kamu pasti merindukan masakan khas Indonesia," ajak Tuan Abraham.

"Ya, melebihi rindu ku pada Papa."

Gadis itu tertawa dan segera menarik tangan bibi Ria pergi. Tuan Abraham yang di tinggal pun hanya tersenyum lembut dan mengikuti kedua nya menuju meja makan.

***

Usai makan malam, Raline masuk ke ruang kerja papa nya. Sudah sepuluh tahun ia tidak menginjak ruangan itu. Namun, nuansa nya masih sama. Tidak ada yang berubah sedikit pun. Bahkan photo orang yang paling di cintai nya masih terpasang rapi di tempat biasa.

"Terima kasih Papa." Raline tiba-tiba berterima kasih.

Tuan Abraham tersenyum lembut. Raline tidak akan mengucapkan terima kasih pada nya kecuali untuk satu hal.

Tuan Abraham memeluk putri nya. Kedua nya sama-sama terlarut dalam suasana mengingat sosok yang begitu mereka rindukan.

"Aku tahu Papa pasti mengalami hal yang sulit selama ini. Terima kasih, Papa sudah menjaga hati Papa untuk Mama." Raline berucap dengan air mata yang mengenang di pelupuk mata nya. Tuan Abraham mengusap pundak Raline untuk memberi nya ketenangan.

"Aku selalu berharap, aku bisa mendapat kan seseorang seperti Papa. Yang tetap setia walau apa pun yang terjadi sekalipun maut yang memisahkan," kata Raline sangat berharap.

Tuan Abraham mengusap wajah mendiang istri nya yang tersenyum cerah bersama nya dan Raline. "Hmm, semoga dia yang terbaik," gumam nya.

"Siapa?" Raline mendongak dengan kening berkerut.

Tuan Abraham terkesiap. "T-tidak...," ucap nya kembali memeluk Raline. "Ah, andai putri ku selalu bersikap manis seperti ini."

"Papa ...." Raline merajuk manja yang di balas papa nya dengan tawa.

"Astaga, semoga mama mu tidak memarahi papa karena papa terlalu memanjakan mu.” Raline tersenyum di bahu pria paruh baya itu.

"Aku tahu, aku banyak mengecewakan kalian. Maaf tapi seperti ini lah putri kalian. Ku harap kalian tidak akan membenci ku," kata Raline.

Tuan Abraham kembali tertawa seraya menatap poto mendiang istri nya. "Tidak Sayang. Kamu adalah apa yang paling kami syukuri di dunia ini.“

Raline tersenyum dan mempererat pelukan nya. "Terima kasih Papa ...."

Bersambung ....

Om Liam sama Bibi Ria itu suami istri yah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!