"Udah hampir setahun nih kamu lulus, emang belum ada tanda-tanda dapatkan pekerjaan?" Tanya mama yang terlihat samar-samar sudah berada di depan pintu kamarku.
"Hoam Maa. Ini masih pagi. Baru juga melek nih mata udah ditanyain kerja, kerja, kerja mulu," jawabku sembari menguap dan membukakan mata secara perlahan. Ku lihat wanita tinggi yang sudah tidak muda lagi masih berdiri di depan pintu.
"Kak, jangan karena papa mamamu berhasil, kamu jadi hanya mengandalkan kami." ucapnya.
Ia menghampiri lebih dekat dan duduk disisi sampingku, sementara aku masih dalam posisi tidur dan tentu saja sudah dengan raut wajah kesal atas ucapannya. Seakan aku adalah beban keluarga yang paling ingin dimusnahkan dari dunia ini.
"Gaby, kamu tahu alasan kenapa papa tidak ingin kamu kerja di perusahaannya kan?"
"Hmmm, iya tahu kok Ma. Ma, boleh gak Gaby tidur sebentar lagi aja. Baru tidur jam 3 subuh nih, nanti janji deh Gaby dengerin celotehan Mama. Please Ma," jawabku memohon dan menaikkan lagi selimut ke atas wajahku.
"Ngapain aja kamu baru tidur jam 3 subuh?" Tanya mama lagi dengan nada yang lebih tinggi, sembari berdiri dan membuka gorden di ujung kamarku.
"Ya apply kerja, memangnya apalagi.."
"Kirain baca novel mulu.”
“Ma…. Baca novel memangnya itu salah?”
“Ya gak salah, cuma jadinya baca mulu terus gak ada usaha apa-apa buat mendapatkan pekerjaan. Hari kan terus berganti Kak, apa gak malu ditanyain mulu sama tantemu?” Respon mama.
Aku masih bingung dengan pola pikiran orang-orang dahulu, kenapa pekerjaan seolah menjadi tuntutan keluarga, dan apabila ada salah satu anggota keluarga belum memperoleh pekerjaan itu dianggap seperti aib yang harus diurus dengan berbagai cara. Padahal di pikir-pikir, jaman aja udah berubah, namun kemampuan berpikir nyatanya tidak mengikuti perkembangan jaman.
“Ya gak malu. Kenapa harus malu? Memangnya selama ini aku minta uang kepadanya?” Ucapku dari balik selimut yang sudah terlalu kesal dengan celotehan mama pagi ini.
“Ya sudah, jangan sampai bangun lebih dari jam 10. Mama tinggal dulu untuk ke rumah tantemu," jawab mama yang segera meninggalkanku.
"Hmm, setiap pagi, siang, malam, pertanyaannya selalu sama dah. Kerja, kerja, kerja. Dikira cari kerja itu mudah apa ya. Hua temanku yang sudah lulus 2 tahun yang lalu dan saat ini masih santai aja tidak ada tuntutan begitu. Ahhh, kesal," gerutuku di dalam selimut.
"Kringg.. Kringg.. Kringg..." Ponselku bergetar dan berdering yang terdengar meski telah ku tutup seluruh badan dengan bedcover tebal ini.
"Ini siapa lagi sih, udah tadi tidur diganggu, baru mau tidur lagi diganggu juga. Kenapa hari ini semua orang menyebalkan padahal masih pagi," celotehku dan segera meraih ponsel di sisi meja.
"Halo, selamat pagi. Apakah ini dengan Mbak Khairunnisa Gaby Atitah?" Sapa wanita dari seberang sana. Suaranya khas customer service yang lembut dengan irama yang enak untuk didengar.
"Hmm, iya halo. Ada apa ya Mbak?" Jawabku dengan mata yang terkantuk dan nada bicara yang amat datar.
"Iya, saya Fitri HR perusahaan. Apakah Mbak sudah membaca email dari PT. Clean Oil Energy? Sebab sepertinya kami belum mendapatkan email konfirmasi dari Mbak Khairunnisa," ujarnya.
Aku terkaget, mataku yang tadi redup langsung melalak, seakan deg-degan dengan hasil interview yang baru seminggu lalu ku lakukan. Jujur, aku tidak berharap banyak dengan perusahaan ini, sebab ini adalah perusahaan terbaik di negeri ini, dan pendaftarnya pun mungkin mencapai ribuan, sementara aku hanya semut kecil yang sekedar lulus dari kampus aja udah bersyukur banget.
"Oh maaf Mbak, belum saya baca. Izin bertanya, ada apa ya Mbak dengan isi email tersebut?" balasku dengan degup jantung yang kian bertambah. Meskipun tidak berharap banyak, namun ada secercah ekspektasi untuk bisa lolos dalam program internship di perusahaan ini.
"Iya Mbak, melalui email tersebut kami sampaikan bahwa Mbak lolos seleksi penerimaan internship di PT. Clean Oil Energy selama 12 bulan. Oleh karena itu, mohon untuk konfirmasi melalui email ya Mbak. Kami lampirkan pula surat penerimaannya," jawabnya dari seberang sana.
"Speechless." Satu kata yang menggambarkan diriku pada pagi itu. Aku tidak bisa berucap apa-apa, seperti kaku. Bagaimana mungkin seorang Gaby, mahasiswa termalas di kampus bisa lolos program internship di perusahaan ini.
Aku segera mengakhiri telpon dan bergegas menuju meja belajar untuk membuka laptop dan berencana langsung memberikan respon konfirmasi atas kelulusan ini. Akhirnya, aku terbebas dari pertanyaan kapan kerja sepanjang hari yang biasa dilakukan oleh mama.
"Gue mimpi gak sih ini, masa iya gue bisa lolos. Selama interview gue sepertinya gak ada bakat apa-apa di bidang ini," tuturku yang masih saja mempertanyakan kebenaran kelulusan ini.
Tak lama, aku duduk di depan laptop, ponselku berdering lagi.
"Gaby, lo lolos gak di PT. Clean Oil Energy?" ucap Kania sahabatku.
"Eh iya nih, gue baru dihubungi sama HRnya, karena kemarin gue gak buka email. Lo lolos juga?" Tanyaku kepada Kania.
"Iya, kita memang friendship goals banget nih, bisa jadi bagian dari SCBD hahaha," responnya sembari tertawa. Kania tampak senang banget, ya begitu juga aku. Siapa sih yang gak senang bisa lolos di perusahaan bergengsi ini, terlebih dengan kapasitasku yang cenderung biasa aja.
"Ya sudah, lo urus dulu konfirmasinya. Entar gue telepon lagi, gue mau hubungi teman yang lain dulu nih, mana tau banyak dari kampus kita," ucapnya dengan gembira.
Kania memang begitulah orangnya, wanita yang tingkat kebawelannya lebih super daripada aku. Apa-apa, semua orang harus tahu, dan dia pun harus yang paling tahu semua hal. Tapi, aku senang berteman dengannya, bukan karena ia sang ratu gosip, melainkan cara memperlakukan manusia sebagai temannya yang tak bisa aku temukan di teman lainnya.
Ku baca dengan teliti surat tawaran tersebut, didalamnya sekaligus terdapat penyebutan tawaran gaji yang akan diberikan perbulan yaitu 6 juta rupiah dengan bonus lainnya pencapaian target per bulan hingga 3 juta dan pembayaran asuransi kesehatan dari kantor.
"Gede juga nih gaji dan bonusnya," desisku sembari membaca lengkap isi surat tersebut.
"Tanggal 14 Februari peresmian internship.” aku masih membaca sendiri isi dalam surat tersebut.
"Ha ha ha 14 Februari? Gue udah terlanjur janjian acara valentine sama Azka, duh gimana ya," ucapku yang masih berbicara sendiri.
"Yaudah bodo amat deh, kalo pun dia marah setidaknya gue udah dapat kerjaan yang bisa buat hidup gue jauh lebih baik," tambahku lagi dengan tertawa lepas.
Setelah semua hal penting dibaca dalam surat tawaran, kini giliran aku setuju dan konfirmasi atas kehadiran serta mengirimkan email kembali pada domain yang sama. Setelah klik kirim, ku tutup laptop, dan kembali tidur dengan nyaman.
"Meskipun 6 juta masih sangat kecil di mata mama dan papa, tapi setidaknya gue udah gak ditanya kapan dapat kerjaan lagi, hahaha," ucapku sembari tertawa dan dengan posisi yang sudah terlentang menatap atap langit-langit kamar.
***
"Percuma aja sekolah tinggi-tinggi, ujungnya juga cuma jadi beban keluarga." Ucap salah satu suara yang tidak asing ditelingaku.
Tepat pukul 05.00 WIB, alarmku berbunyi pertanda sudah seharusnya aku memulai hari baru. Tumben banget juga, tadi malam bisa tidur dengan tenang tanpa berpikiran masalah desakan kerja, kerja, dan kerja baik dari orang tua, saudara, ataupun tetangga yang sangat mengganggu kesehatan mental.
"Good morning dunia, hoam," sapaku sembari meregangkan tangan dan tentu saja mematikan alarm ponsel yang masih terus menyala.
Langkah yang pertama dilakukan tentu saja mengisi daya baterai ponsel, lalu mengambil handuk biru yang sengaja ku gantung di balik pintu, lalu langsung menuju kamar mandi. Mungkin sekitar 25 menit, ku habiskan waktu sendiriku di kamar mandi, walau hanya dengan bermain busa atau berkaca dan senyam senyum sendiri melihat cantiknya wajah ini dengan masa depan yang cemerlang.
"Lo adalah orang yang punya kepercayaan diri tingkat dewa," begitulah kira-kira ungkapan Kania kepadaku. Jelas saja itu adalah aku, sebab aku mencintai diriku lebih dari apapun. Dengan postur tubuhku yang ideal, rambut terurai sebahu lebih dikit, dan lesung pipi membuatku yakin banyak pria yang terpikat kepadaku termasuk Azka yang kini masuk ke dalam drama zona pertemanan.
Setelah ku yakin tubuhku wangi di setiap sisinya, aku mulai keluar kamar mandi untuk memakai baju. Ku pilih baju yang tentu saja sopan tidak seperti aku biasanya yang masih suka pakai celana pendek dengan kemeja yang terbuka 2 kancing dari atas. Sebetulnya bukan maksud untuk umbar diri, tapi memang aku suka melihat tubuhku bisa dikagumi banyak orang.
"Baju oke, celana oke, ponsel sudah di dalam tas, laptop udah, semuanya udah nih. Sempurna. Tolong, hari ini menjadi hari yang terbaik," harapku di depan kaca berdiri. Setelah yakin dengan semua yang ada pada diriku terlebih tampilan modis dan cantik, aku melangkahkan langkah kaki menuju garasi mobil.
"trap, trap, trap..." Langkahku menuruni satu per satu anak tangga.
"Gaby, mau kemana kamu rapi banget," ucap mama yang ternyata sudah ada di depan ruang tamu.
"Ya kerja," jawabku singkat.
"Loh, kerja dimana? Kemarin aja masih bingung mau ngapain, kok hari ini udah kerja aja. Kancingin itu kemeja kamu. Kerja kok gayanya begitu," ucap mama yang sedari pagi sudah menggebu-gebu untuk mengomel.
"Iya, kemarin setelah mama pergi, aku dapat telepon dari HR PT. Oil Clean Energy, ya infonya aku keterima, dan hari ini mau tandatangan kontrak," ucapku sembari menghampiri mama untuk mencium tangannya dan tentu saja mengancingi kemeja yang telah dikritik olehnya.
"Oh yaudah bagus deh kalo gitu. Hati-hati perginya," ucap mama.
Aku berlalu dan langsung menuju parkiran mobil untuk langsung menyalakan dan melaju menuju Menara Indah di daerah Jakarta Selatan.
Sesampai di depan kantor, aku langsung menuju parkiran mobil yang letaknya di basement, dan sialnya mobil benar-benar penuh. Cukup lama aku berputar-putar, untungnya masih punya waktu 45 menit sebelum acara dimulai.
"Duh, ini gue parkir dimana dah. Kok bisa parkiran penuh banget gini sih," ucapku.
Aku putarkan lagi mobil hingga ke gerbang dan ku buka kaca mobil,
"Permisi Pak, parkiran dibawah penuh banget nih. Saya bisa parkir dimana ya?" ucapku kepada seorang pria yang ku pikir satpam area setempat.
"Mbak, saya bukan satpam disini ya. Kalo mau parkir, coba aja ke kanan terus di ujung mentok ada lahan parkir, disitu aja," ucapnya ketus.
"Eh astaga, maaf Mas. Terima kasih infonya ya Mas," ucapku kepadanya. Jujur pada saat itu malu banget. Alasanku bisa berpikir ia adalah satpam sebab satpam di gedung ini berpakaian batik sama seperti pegawai, dan ia berdiri di depan gerbang, ya tentu saja aku akan menyamakan bahwa ia adalah satpam yang sedang bertugas di tempat itu.
Setelah mendapatkan informasi dari Mas X itu, aku langsung menuju lokasi yang ia arahkan. Untungnya, masih ada beberapa space untukku parkirkan mobil miniku ini. Lalu, aku keluar dari mobil dan melihat jarak jalan kaki yang lumayan jauh, sehingga ku putuskan untuk memesan ojek online. Ya walaupun ga jauh jauh banget, tapi sudah cukup membuatku berkeringat, dan aku tidak suka berkeringat kecuali memang agendanya olahraga.
"Duh, kalo gue jalan kejauhan, gue pesen ojek online aja deh," ucapku menggerutu.
Pada saat naik ojek online juga, mas pengendaranya bingung denganku, bahkan ia sampai menyampaikan, "Mbak, ini kan hitungan biayanya per kilometer, sementara jarak dari sini ke menara itu tidak sampai 1 km, apa Mbak gak rugi?" ujarnya yang terheran-heran dengan keputusanku.
Dengan santainya aku menjawab, "soalnya saya buru-buru Mas."
Sesampainya aku di depan lobi, aku langsung mengambil ponsel dan mencoba untuk hubungi Kania.
"Halo By, kenapa lo?" Tanyanya.
"Gue udah di lobi, lo dimana dah?" Ucapku.
"Yaudah tunggu aja disana, gue samperin," balasnya yang langsung menutup teleponku.
Menunggu Kania adalah hal yang menguntungkan bagiku, sebab ia adalah tipe orang yang cepet bukan yang ngaret, mungkin ini juga kelebihan dari dirinya yang bisa ku banggakan haha.
"Ayo buru masuk auditorium," ucapnya sembari menarik tanganku menuju lift.
Kania menekan angka 20 pada sisi lift yang berarti kami akan sampai di ruangan lantai 20.
"Lo kok tau dah kita di lantai 20?" Tanyaku.
"Ya makanya By, baca yang benar itu isi email, bukan langsung dikonfirmasi aja," balasnya meledek.
Pintu lift terbuka, dan tampak banyak orang yang sebaya kami sedang masuk menuju sebuah ruangan gede. Aku dan Kania tentu saja langsung mengikutinya dengan ekspektasi akan banyak juga yang diterima oleh program internship ini.
"Kan, tapi di pemberitahuannya belum ada kan ya lo masuk di divisi apa?" tanyaku penasaran.
"Lo udah ada emangnya?" Tanyanya balik.
"Ya kan gue nanya lo, karena gue gak baca detail haha," ucapku tertawa.
"Hmm, ya ga ada. Ayo cepat sepertinya sudah mau dimulai," desaknya.
Sesampainya di dalam ruangan itu, aku dan Kania langsung duduk, dan melihat di sekeliling ternyata hanya sekitar 20-an orang peserta yang artinya aku beruntung bisa masuk ke perusahaan ini.
Tidak ada wajah-wajah lama yang aku kenal ada disini kecuali Kania, dan.....
Satu wajah yang tadi ku temui di depan gerbang, ya betul, Mas X ada di tengah podium tengah memberikan sambutan.
"Astaga, dia pegawai disini. Kacau nih. Semoga beda lantai biar gue ga ketemu lagi," ucapku menggerutu dalam hati.
Selama ia memberikan pidato, sengaja ku tundukkan wajahku agar ia tak bisa mengenaliku, namun sepertinya semesta punya cara tersendiri.
"Ya biar sama-sama kenal nih, boleh ya kita kenalan masing-masing. Silahkan teman-teman berdiri dan sebutkan nama, asal kampus." Ucap Mas X yang meminta para anak intern memperkenalkan dirinya satu per satu.
"Semoga dia lupa dengan wajahku tolong Tuhan semoga dia lupa," ucapku dalam hati.
"Halo Ibu Bapak dan teman-teman, perkenalkan aku Kania Azizah biasa dipanggil Kania, asal kampus dari Universitas Bangsa," ucap Kania yang berada disebelahku. Artinya sekarang giliranku untuk mengangkat wajah dengan perasaan cemas dan takut, ku coba arahkan kepala tetap menghadapnya namun mataku tidak bertatapan padanya.
"Selamat pagi Bapak, Ibu dan teman-teman. Perkenalkan saya Khairunnisa Gaby Atitah, biasa disapa dengan Gaby, asalnya dari Universitas Bangsa," ucapku dan mengakhirinya dengan senyuman.
"Halo Mbak Gaby, tadi kita sudah sempat bertegur sapa di depan gerbang ya," ucapnya tersenyum sinis.
Deg....
Jujur, aku malu. Malu karena ia mengingat jelas wajahku.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman, sementara Kania sudah menyenggolku untuk bertanya kebenarannya.
"By, tadi lo ketemu dia? Kok bisa?" ucapnya berbisik.
Sementara aku hanya jawab, "ntar aja, gue ceritain. Btw, tadi nama dia siapa? Gue lupa," tanyaku pada Kania.
"Mas Raka," ucap Kania.
Percayalah, nama itu akan ku ingat dan pasti slalu ku hindarkan dari berbagai pertemuan kecuali karena memang terpaksa.
"Oke udah semua ya berkenalan, semuanya salam kenal. Tadi saya sudah menyebutkan nama saya, mungkin ada yang masih belum dengar, nama saya Raka Adya Kusuma, saat ini saya sebagai asisten manajer project strategy. Nah, terkait kalian akan di tempatkan di posisi apa, silahkan cek email kalian sekarang ya," ucapnya.
"Semoga kita sedivisi yaa By," ucap Kania yang tengah membuka ponselnya.
Sementara aku ada perasaan takut dan gelisah akan pemilihan divisi ini, ku bukan perlahan-lahan ponselnya dan menuju menu email. Sudah terdapat 1 buah pesan yang baru masuk, ku buka dan berharap tidak 1 divisi dengan Mas Raka.
"By, gue di divisi project strategy nih sama Mas Raka ya berarti hahaha," ucapnya yang gembira.
"Lo, divisi apa cepet buka deh," ucapnya lagi penasaran dengan divisiku.
"Ahhh, kita beda divisi!" ucapku yang tentu saja langsung tersenyum. Artinya aku tidak akan bertemu dengan Mas Raka lagi.
"Gue divisi Project Development, hahahaha," ucapku tertawa.
"Bagi rekan-rekan yang sudah mendapatkan email pemberitahuan divisi, silahkan tenang kembali ya. Untuk lantai kerjanya, akan saya sebutkan segera," ucap Mas Raka yang masih berada di depan podium.
"Project strategy di lantai 20, project development di lantai 20, business development di lantai 23," tambahnya lagi.
Aku terkejut, dan dalam hati bergeming "Loh kok sama-sama di lantai 20 ya, oh mungkin di lantainya ada ruangan-ruangan lagi kali ya," ucapku dalam hati.
Mata Kania mengarah padaku, dari pancaran matanya ia tampak senang bisa selantai denganku meskipun beda divisi dan tentu saja akan beda mentor.
"Gabyyy, kita selantai, kalo jam makan siang bisa barengan dong," ucapnya dengan mata yang berbinar.
"Iya nih Kan," ucapku separuh tersenyum.
"Silahkan bagi yang sudah tahu lokasi lantainya untuk langsung naik menuju lantai masing-masing, sebab akan ada pengenalan mentor dan rencana kerja untuk masing-masing. Sekali lagi selamat bergabung," tutup Mas Raka.
Setelah mendapatkan arahan untuk menuju lantai 20, aku dan Kania langsung saja menuju lift. Tentu bukan hanya kami berdua, melainkan bersama dengan rekan lainnya yang saat itu masih belum terlalu kenal, hanya ingat wajah tapi untuk namanya lupa lagi, lupa lagi.
"Haii, kamu di divisi mana?" Ucap seorang pekerja intern yang sama denganku juga ketika di dalam lift.
"Hai, project development nih," ucapku sembari tersenyum tipis.
"Wah satu divisi dong kita. Kamu namanya siapa?" Ucapnya dengan terus melihatku.
Jujur, dengan tatapannya yang seperti ini aku rada risih. Sudah terlalu sering dimodusin cowok dan sekarang bisa sampai hapal, mana yang baik dan mana pula yang hanya flirting. Cowok di sampingku ini jelas banget terlihat bahwa ia flirting kepadaku.
Untungnya pintu lift terbuka, dan aku mengabaikan pertanyaannya tadi untuk langsung menarik tangan Kania keluar.
"Tunggu deh By, ini cuma ada satu pintu. Lo dimana, gue dimana dong?" Ucap Kania menghentikan kaki.
"Udah deh gak usah overthinking dulu, masuk aja," ucapku yang menarik tangannya kembali masuk.
"Selamat datang di Coorporate Project. Ini temen-temen intern ya, silahkan masuk ke ruangan meeting ya," sapa Pak Satpam yang menyambut kami dengan ramah.
Kami mengikuti Pak Satpam untuk sampai ke ruangan meeting yang gede. Interiornya fancy, dan tentu saja ruangan ini berhadapan langsung dengan pemandangan ibukota yang menampilkan gedung-gedung tinggi pencakar langit dan indahnya susunan jalan layang yang membentang.
Kami anak-anak intern langsung duduk rapi dan siap menunggu mentor yang akan mengarahkan kami lebih detail terkait beban kerja. Berselang 5 menit, terdapat langkah kaki yang masuk menuju meja depan dan menyalakan laptopnya, aku yang sedari tadi masih fokus membalas pesan Azka, akhirnya menyimpan ponsel di dalam tas dan mengangkat kepala untuk siap mendengarkan materi yang akan disampaikan.
"Astaga kenapa dia lagi," ucapku yang kembali menunduk.
Ya betul, Raka lagi.
"Oke, jadi langsung saja, disini saya mau mengenalkan Pak Manager kita yaitu Bapak Yudha, saya selaku asisten Beliau dengan nama Raka, dan Mas Gilang yang merupakan mentor tim Project Development," ucapnya sebagai pengenalan.
"Syukur deh, gue cuma ketemu dia disini doang. Eits tapi..." ucapku dalam hati yang tiba-tiba obrolan batinku berhenti karena mendengar lanjutan penyampaian Raka.
"Jadi di lantai dan ruangan ini, Project Strategy dan Project Development akan satu ruangan, namun beda lokasi kerja aja. Project strategy akan berada di sisi kiri, sementara Project development area kerjanya di sisi kanan. Kita akan sering meeting bareng karena masih punya lingkup kerja yang sama. Jadi, kalian disini bisa saling kenal dulu semua rekan internnya dan nanti pelan-pelan akan kenal pula dengan rekan kerja pegawai lainnya." ucapnya sebagai tambahan.
"Sial, gue bakal ketemu dia setiap hari," ucapku menggerutu dalam hati.
"Oke, selanjutnya mungkin bisa sama mentor masing-masing kali ya untuk diskusi detailnya. Langsung aja Khairunnisa, Ahmad, dan Alfina ke Mas Gilang, lalu Kania, Virgo, dan Danu ke saya," tambahnya lagi.
"Dah By, gue cewek sendirian nih. Insecure deh gue," ucap Kania.
"Gak apa apa, yang penting kita selantai kan?" Ucapku mencoba menenangkannya.
Kami bertiga langsung menuju Mas Gilang dan berkumpul memundar. Jujur, dari raut wajahnya seperti tidak asing, entah punya peranan apa Gilang dalam masa laluku tapi jujur gak asing bentuk wajahnya.
"Gaby bukan lo?" Ucapnya tersenyum.
"He'eh Mas. Kok bisa tau nama panggilan aku?" Tanyaku bingung, dan menghela rambut.
"Hahahaa ya kenal lah, parah lo lupa sama gue," tambahnya lagi.
Aku coba mengingat sejuta memori masa lalu nama Gilang. Ada satu nama yang persis sama dengannya, seorang pemain basket, tapi ya sudah tau sampai disitu saja.
"Gue kakak kelas lo waktu SMP, pemain basket," ucapnya tertawa.
"Hahaha, kan bener dugaan gue. Ternyata lo ya Bang," ucapku tertawa garing.
"Apaan dugaan, lo aja keliatan banget bingungnya, hahahaha." balasnya tertawa.
"Haha ya sudah nanti after office hour bareng ya, banyak yang mau gue obrolin," ucapnya tersenyum.
"Duh ini buaya satu lagi kenapa dah," bisikku dalam hati.
"Oke guys, gue senang banget karena ada bantuan temen-temen intern yang akan involve ke project development. Gue tadi secara skimming udah tau nama kalian, ada Gaby, Ahmad, dan Alfina ya. Oke mungkin gini aja, jadi kita adalah 1 tim dan saat ini progres dari PD (Project Development) lagi menyusun analisis lapangan baru tapi bukan secara keilmuan bumi ya, kita lebih ke infrastruktur dan business projectnya seperti apa. Mungkin sebagai intronya, gue bakal bagikan beberapa bacaan yang perlu kalian cermati dulu aja 2 minggu ini." ucapnya dan tentu matanya melirik ke arahku juga.
"Okey Mas," ucap Alfina.
"Gimana Gaby?" Tanyanya kepadaku.
"Iya paham Bang," ucapku terkejut melihat tingkahnya kali ini.
"Okey, kalo gitu sekarang kita keluar liat meja kerja kalian ya." ucapnya.
Kami semua keluar ruangan, dan mengikuti ia berjalan. Aku berada di posisi jalan paling terakhir, lalu gak lama Ahmad dengan sengaja menungguku agar bisa beriringan jalan.
"By, kamu kenal dekat ya sama Mas Gilang?" Tanyanya berbisik.
"Hmm iya, kating gue dulu sih. Tapi gak deket banget, cuma tau aja." balasku ketus.
"Okey, ini tempat kerja gue," ucap Gilang sembari menunjuk meja kerja yang berada di sisi kiri jalan dan langsung berhadapan dengan pandangan gedung pencakar langit.
"Di samping meja kerja gue boleh di tempatin Gaby, sebelahnya lagi Ahmad, dan Alfina di depannya Ahmad ya," ucapnya dan lagi matanya melirik ke arahku.
Aku menghela nafas dan mengikat rambutku yang sedari tadi terurai.
"Oke Bang, udah boleh duduk buat baca-baca nih?"
"Boleh silahkan, nanti gue undang kalian ke grup ya," responnya.
Setelah instruksi tersebut, kami langsung duduk di meja kerja masing-masing, termasuk aku yang harus dengan terpaksa duduk diantara cowok-cowok ini.
Baru saja duduk dan menyalakan laptop, Gilang langsung menyeret kursinya ke meja kerjaku.
"By, lo makin cantik aja deh," ucapnya berbisik.
"Hmm iya, gue juga gak tau dah Bang kenapa makin cantik," balasku dengan ketus sembari memainkan kursor laptop yang ada di depanku.
"Belum punya suami kan lo? Mau gue jadiin istri nih soalnya," ucapnya dengan tertawa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!