NovelToon NovelToon

Takdir Cinta

Prolog

...بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم...

..."Kita memang berpijak pada bumi yang sama, tapi kita berdiri pada takdir yang berbeda. Aku yang sepenuh hati mencintaimu, tapi kamu yang tak berbelas kasih membenciku."...

...°°°...

Menikah adalah impian setiap insan, sesuatu hal yang identik dengan kebahagiaan dan juga rasa sukacita sepasang anak manusia yang saling mengasihi serta mencintai. Tapi sepertinya itu tak berlaku bagiku, sebab kini aku harus berlapang hati untuk menerima sosok pria pengganti yang sudi menikahiku. Miris. Itulah takdir yang harus kujalani kini.

Belum lagi aku pun harus bisa menguatkan diri, terlebih saat ia mengucapakan kobul salah sasaran. Bukan namakulah yang disebutkan, melainkan nama perempuan lain yang kuyakini sudah bertahta di hati lelaki bernama lengkap Bagas Manggala Putra tersebut. Aku hanya bisa menunduk dalam menahan malu. Rasanya air mata sudah mendesak dan ingin meluncur bebas.

"Saya terima nikah dan kawinnya Nisrina Misha bin—"

Untuk yang kedua kalinya ia kembali menyebut nama perempuan itu. Hatiku kian menjerit pilu, bahkan desas-desus para tamu undangan pun kian bermunculan.

"Btari Ayu Larasati, itulah nama putri saya!" desis ayah terdengar tajam dan menusuk. Pandanganku bertemu dengan netra beliau yang begitu menyiratkan ketegasan.

"Harap tenang dan jangan membuat kegaduhan!" instruksi pak penghulu karena situasi yang semakin keos tak terkendali.

"Istigfar dan tenangkan diri terlebih dahulu. Saya tuliskan kobulnya, dan Nak Bagas hanya tinggal membaca saja," tutur pak penghulu yang dibalas gelengan oleh lelaki tak berurat malu tersebut.

"Tidak perlu!"

Ayah menghela napas berat lantas berucap, "Ini adalah kesempatan terakhir kamu, jika gagal maka secara otomatis pernikahan pun batal."

Dadaku semakin bergemuruh dengan begitu hebat, terlebih kala melihat wajah datar Bagas yang mengangguk mantap. Allahuakbar. Semoga untuk kali ini ia tak membuatku malu lagi.

Tangan Ayah dan Bagas saling berjabatan tak lama dari itu suara lantang ayah mulai terdengar. "Ananda Bagas Manggala Putra bin Lesmana Bagaskara saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan putri kandung saya Btari Ayu Larasati binti Bayu Anggara dengan maskawinnya berupa intan mulia seberat 10 gram dan seperangkat alat salat, tunai."

Hening! Tak ada sahutan darinya, aku hanya mampu memejamkan netra lantas tak lama dari itu terdengar helaan napas panjang dan ia pun berucap, "Saya terima nikah dan kawinnya Btari Ayu Larasati binti Bayu Anggara dengan maskawin tersebut, tunai."

"Bagaimana para saksi, sah?"

"Sah!"

"Alhamdulillah, baarakallahu laka wa baarakaa alaika wa jamaa bainakumaa fii khoir."

Tak ada sedikit pun keberanian untuk melihat ke arahnya, bahkan walau hanya melirik saja. Aku tak cukup memiliki nyali untuk bersitatap langsung dengan mata elang tajamnya.

"Silakan ditandatangani terlebih dahulu," ujar pak penghulu seraya menyerahkan dua eksemplar buku nikah beserta berkas-berkas lainnya.

Tanpa kata kami mengikuti instruksi yang diberikan beliau, tak ada senyum bahagia, yang ada hanya wajah masam penuh rasa terpaksa. Itulah yang kulihat kala tak sengaja melihat Bagas dari sudut netra.

Pak penghulu meminta kami agar saling memasangkan cincin. Bagas menurut dan ia lebih dulu melakukan hal tersebut. Tak ada kelembutan, bahkan ia menarik tanganku dengan kasar serta memakaikan cincin tersebut secara cepat tak sabaran.

Aku tak ingin kalah dan terlihat lemah, dan aku pun melakukan hal yang serupa. Senyum miring sangat tercetak jelas di bibir Bagas. Mendadak nyaliku mulai menciut, bahkan aku menunduk dalam takut.

Bagas menarik kepalaku lantas mendaratkan sebuah kecupan di kening. Singkat dan lembut, hal itu jelas berdampak buruk bagi kesehatan jantungku yang kini tengah bertalu-talu tak tahu malu.

Setelahnya aku pun menarik tangan kanan Bagas lantas menyalaminya dengan khidmat. Kurasakan elusan lembut tepat di puncak kepala tapi detik berikutnya ia pun berdesis pelan, "Jadilah istri penurut. Jangan pernah berani menentang ataupun membangkang!"

Hatiku serasa ditikam ribuan ton baja. Kukira ia akan mengucapkan kalimat-kalimat manis penuh cinta, atau mungkin sebuah doa yang menenangkan hati serta jiwa. Namun ternyata tidak. Hanya kalimat sarkas penuh intimidasilah yang kuterima. Selamat menikmati penderitaan baru Btari, dan semoga takdir cinta tak membuatmu kian terluka.

...°°°...

Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamualaikum ketemu lagi sama aku, di cerita baru. Bagaimana nih dengan prolognya? Kira-kira mau dilanjut apa cukup.

Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak🤗

1—Alkisah

...بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم...

..."Aku tak mendapatkan perlindungan, justru ialah yang menjadi pecundang dan memerangiku dengan penuh kebencian."...

...°°°...

Tak pernah terbersit sedikit pun, bahwa aku harus terlibat hubungan dengan sesosok makhluk dingin, ketus, irit dalam bertutur kata, dan minim akan ekspresi. Sungguh, itu adalah mimpi buruk yang tak ingin kutemui, namun ternyata takdir Allah berkata lain. Dia malah menjodohkanku dengan ia yang tak memiliki secuil perasaan pun terhadapku. Cinta sendiri, mungkin itu lebih tepatnya.

Bahkan aku pun harus merelakan sesuatu yang begitu amat berharga dalam diriku padanya dengan derai tangis penuh ketidakikhlasan. Dia yang seharusnya memberikan kenyamanan serta perlindungan malah berlawan arah dan menyerang. Fisik memang tak terdapat luka, tapi hatiku sudah menganga dengan sangat amat sempurna. Namun bodohnya aku masih setia dan mau menanti sesuatu yang tidak pasti, berharap kelak Allah berkenan untuk membuka gembok hatinya untukku.

"Tidak usah drama. Saya suami kamu, saya berhak melakukan apa pun terhadapmu!"

Kalimat sarkas itu ia layangkan dengan begitu ringan. Sedangkan aku hanya mampu menangis dalam diam. Bagaimana mungkin aku tetap tegar, di saat suamiku sendiri melakukan hal keji tak manusiawi.

Ingin rasanya menjerit dan memaki, namun aku tak memiliki cukup nyali. Kami memang menikah atas dasar keterpaksaan, tapi apa pantas jika ia merampas kehormatanku dengan cara kasar dan sembarangan.

Hatiku belum lekas membaik, dan kini sudah kembali ditimpa malapetaka. Takdir begitu kejam dan tak adil, kenapa aku harus hidup satu atap dengan manusia kutub utara sepertinya?

"Ta-tapi aku istri kamu, bukan perempuan murahan yang bisa kamu perlakukan seperti itu!" Dengan bibir bergetar aku pun memberanikan diri untuk menyela.

Ia bergerak ke arahku, sedang aku hanya mampu beringsut mundur dan mentok di kepala ranjang. Tangannya bergerak untuk mencengkram kuat rahangku.

Rasa sakit dan perih mulai merayap dan menggerogoti. "Jika saja perjodohan ini tidak ada, saya tidak akan pernah sudi untuk menikahi kamu. Kamu tak lebih dari  perempuan perusak masa depan!"

Aku mencoba untuk menyingkirkan tangan besarnya, namun nihil ia malah semakin mencengkramnya kuat. "le-le-lepas!"

Secara kasar dan senyum miring yang tercetak jelas di bibir ia menjauhkan tangannya. "Jangan pernah berani bermain-main dengan saya!"

Aku kembali berkawan geming, meresapi rasa sakit yang semakin menghadang. Rasanya air mata sudah mengering dan tak lagi bisa ditumpahkan.

Pernikahan ini belum genap satu minggu, tapi ia sudah berhasil membuatku ditempa rasa sakit tiada henti setiap harinya. Jika saja adik dari lelaki kutub utara itu tak pergi, mungkin aku takkan berakhir di pelaminan bersamanya.

Seharusnya Bianlah yang mengucapkan akad, bukan manusia kutub utara bernama Bagas. Ia menikahiku hanya sebagai penebus dosa karena adiknya lari dengan perempuan yang dicintai.

"Kemasi barang-barang kamu. Sekarang juga kita akan pergi dari sini."

Perintah ultimatum itu ia layangkan sebelum tubuhnya ikut menghilang ditelan pintu kamar. Aku melipat kedua kaki dan menjatuhkan kepala di sana, aku tak lebih dari wanita pajangan yang berstatus sebagai istri di atas kertas. Dengan langkah tertatih aku pun bergerak ke arah kamar mandi untuk membersihkan diri, berharap dengan cara seperti ini semua noda dan bekas di tubuh pun ikut menghilang.

Saat air mengucur dan membasahi tubuh, dengan tanpa diaba-aba air mata pun kembali berjatuhan membanjiri permukaan wajah. Masih pantaskah aku mengemis cinta padanya, di saat ia telah menghancurkan harga diriku pada skala terendah?

Andai saja aku tak menyetujui perjodohan konyol ayahku, mungkin takdir buruk ini takkan pernah dirasai. Ia telah salah dalam memilihkan imam untuk putri semata wayangnya.

Tak ada kasih sayang, tak ada kelembutan, bahkan kata kasarlah yang lebih pantas lelaki itu sandang. Aku tak mendapatkan perlindungan, justru ialah yang menjadi pecundang dan memerangiku dengan penuh kebencian.

Aku tahu bahwa ia sedang memperjuangkan seseorang, bahkan ia akan menggelar pernikahan. Namun nasib buruk datang tanpa diundang, Bian—adiknya—pergi tanpa meninggalkan jejak dan alasan. Alhasil ialah yang dijadikan sebagai tumbal.

Suara gedoran brutal dengan diiringi teriakan menyadarkanku dari lamunan panjang. "Btari! Keluar atau pintunya akan saya dobrak!"

Itu bukanlah sebuah pilihan yang patut untuk kujawab, melainkan perintah yang harus kupatuhi tanpa harus banyak menolak. Dengan segera aku pun menyambar pakaian yang tadi sudah kuambil di dalam almari. Memakainya secepat kilat, lantas segera membuka akses masuk untuk si manusia kutub tersebut.

Ia menarik kasar tanganku, memegangnya dengan begitu kuat lantas berucap, "Turun ke bawah sekarang. Dan jangan pernah katakan apa pun pada ibu saya. Jika sampai berani mengadu—"

Dadaku bergemuruh tak menentu, sudah sangat tak sabar dan penasaran dengan apa yang akan ia katakan. "Saya tak segan untuk berlaku lebih buruk dari ini!"

Aku terdiam untuk meredam gejolak dalam dada yang kian menyiksa dan menyeruak dengan brutal tak sabaran. Jika saja tak ingat bahwa kini aku tengah tinggal di kediaman ibunya, aku akan berteriak dan membanting wajah dingin lelaki itu dengan vas bunga samping meja.

"Jawab!" Tatapannya begitu tajam dan menusuk, alhasil aku hanya mampu mengangguk patuh dan menurut.

...°°°...

"Betah tinggal di sini, Nak?" Sambutan hangat itu kudapatkan dari ibu mertuaku. Hanya anggukan kecil dan senyum tipislah yang mampu kuberikan.

Beliau begitu baik, lembut, dan penuh kasih sayang, namun sang putra kebanggaan malah berlainan arus dan sangat bertolak belakang.

"Maafkan Bian karena sudah membatalkan sepihak pernikahan kalian. Alhamdulillah Bagas mau menggantikan posisi adiknya, kamu bahagia, kan, Nak?"

Aku meringis dan mengepalkan tangan kuat-kuat. Bagaimana mungkin aku bahagia di atas luka dan duka yang sudah putranya torehkan dengan sangat amat sempurna.

Mataku menjumpai netra tajam membunuh bak elang milik Bagas, dengan segera aku pun mengalihkan pandangan dan mencoba untuk menenangkan hati yang sudah berulah di luar batas wajar.

Aku tersenyum lembut ke arahnya seraya menggenggam tangan beliau penuh kehangatan. "Alhamdulillah, Mas Bagas baik, malah lebih baik dari Mas Bian," kilahku penuh akan penekanan. Dari sudut mata aku bisa melihat sungging miringnya yang tercetak cukup jelas.

"Alhamdulillah, Ibu ikut senang mendengarnya yang rukun-rukun yah, Nak," sahutnya membuatku ingin memaki diri sendiri.

"Bagas dan Btari akan tinggal berdua, Bagas sudah menyiapkan rumah untuk kami tempati."

Aku meneguk ludah dengan susah payah, selama tinggal di kediaman ibunya saja ia berani berlaku kurang baik padaku. Lantas apa kabar jika kami hanya tinggal berdua saja. Ya Allah, rencana apa yang sebenarnya tengah lelaki itu persiapkan?

Ibu mertuaku mengangguk dengan sangat antusias. "Jangan terlalu kaku dan dingin sama istri kamu. Perlakukan Btari dengan baik sebagaimana kamu memperlakukan Ibu. Kalau berani macam-macam, Ibu sendiri yang akan turun tangan."

Manusia kutub itu mengangguk patuh, seperti singa jinak yang tak suka mengamuk. Dasar muka dua, di depan ibunya saja mampu berlaku sopan santun. Tapi di belakangnya ia kembali menjelma sebagai harimau lapar.

Lihat saja nanti, aku takkan pernah tinggal diam. Jika ia saja mampu berlaku kurang ajar, maka aku pun akan mengikuti cara mainnya. Tak ada istilah kalah dan mengalah dalam kamus hidupku.

...°°°...

2—Adu Tegang

...بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم...

..."Sudah cukup selama ini aku bertahan dan bersabar, sekarang sudah saatnya untukku menyerang."...

...°°°...

Sepanjang perjalanan hanya diisi oleh keheningan, ia yang lebih memilih fokus ke jalanan dan aku pun tak ingin banyak bercakap dengan si manusia kutub utara tersebut. Biarkan saja seperti ini, aku sudah tak peduli akan keberlangsungan nasibku kini. Hidupku sudah kadung hancur lebur berantakan, tak ada lagi yang bisa dipertahankan dan diperjuangkan. Jika memang perpisahan menjadi pilihan terbaik dalam mengatasi permasalahan, aku akan dengan senang hati menandatangi surat gugatan dari pengadilan.

Untuk apa berumah tangga jika tak ada kebahagiaan dan rasa saling menghargai di dalamnya. Ia yang berlaku dominan sedang aku yang hanya dijadikan kacung dan pajangan. Jelas itu tak adil bukan? Ia begitu menghormati ibunya tapi sayang ia tak bisa menghargai aku sebagai istrinya. Di mata lelaki itu aku tak lebih dari wanita perusak masa depan. Sakit. Ya, dengan tegas aku akan menjawab jujur apa adanya.

Tak ada gunanya juga bersandiwara dan menjelma sebagai keluarga bahagia. Karena pada nyatanya aku tak dapat merasakan hal itu, hanya derita, luka, dan duka yang mampu ia persembahkan. Ia seakan lupa kodrat dan tanggung jawab sebagai kepala keluarga, bahwa kelak di akhirat nanti ia akan diadili atas kelalaiannya saat ini.

"Kita menikah atas dasar keterpaksaan jadi jangan pernah mengharapkan apa pun dari pernikahan ini."

Mendengar hal itu sontak aku pun menoleh dan menatap tajam bola mata bak elang milik Bagas. Tanpa diingatkan pun aku sudah tahu dan paham, tidak usah buang-buang tenaga untuk berbicara jika hanya kata-kata menyakitkanlah yang keluar dari sela bibirnya.

"Kenapa kamu tidak menceraikan aku saja? Dengan begitu kamu bisa kembali dengan gadis yang kamu cintai."

Sebisa mungkin aku terlihat tenang dan tegar kala mengucapkan kalimat tersebut. Rasanya seperti ada pecahan beling yang menggores hati, tepat saat aku mengatakan kata terakhir.

Mobil yang semula berjalan lancar, seketika terhenti di pinggir jalan. Ia menatapku dengan pandangan yang sulit untuk diartikan, sedangkan aku hanya mampu berkawan geming dan mencari pelampiasan untuk menyalurkan rasa gugup serta takut yang saat ini tengah menghadang.

"Diam dan jangan banyak berkomentar. Tak usah ikut campur perihal urusan pribadi saya!" katanya begitu tajam dan menusuk, bahkan tangan lelaki itu sudah mulai menjamah rahangku, mencengkramnya dengan kasar, lantas melepaskannya begitu saja.

Ia kembali melajukan mobil dengan air muka datar andalan, dan aku pun tak lagi ingin buka suara. Titah yang dilayangkannya sangatlah tegas luar biasa, jika melanggar tamatlah riwayatku.

Sedikit banyak aku tahu perihal masa lalunya yang gagal meminang sang gadis incaran. Dari mana kutahu hal itu? Jawabannya jelas dari ibu mertuaku. Beliaulah yang bercerita ini dan itu perihal kehidupan sang putra, salah satunya kisah tragis percintaan si manusia kutub dengan sang karyawan. Cinta antara atasan dan bawahan. Klasik bukan?

Perempuan itu bernama Nisrina Misha. Dari namanya saja sudah sangat cantik? Dan kuyakin ia bukan wanita sembarangan, buktinya perempuan itu bisa menaklukkan hati beku si manusia kutub utara ini.

Aku belum pernah bertemu dengannya, tapi bisa saja ia menjadi salah satu tamu undangan di pernikahan kami. Mungkin jika Bian tidak kabur dengan pacarnya, si manusia kutub utara ini akan happy ending bersama Nisrina.

Tapi sayang, semua itu tak berjalan sesuai harapan. Ia harus menggantikan posisi adiknya sebagai calon mempelai pengantin bersamaku di pelaminan. Bahkan pada saat akad berlangsung pun ia salah mengucapkan kobul, bukan namaku yang ia sebut melainkan perempuan lain bernama Nisrina Misha itu.

Malu rasanya, terlebih itu disaksikan oleh keluarga besar kami. Tapi ia seakan tak memiliki urat malu sedikit pun, dan malah kembali melanjutkan ijab kabul tersebut dengan tenang hingga bisa menyelesaikannya sampai tuntas. Pernikahan impian yang sudah kurangkai indah, langsung ambruk kala kami duduk bersama di pelaminan.

"Pernikahan ini ada atas dasar rasa saling tidak suka. Saya berdiri di sini untuk ibu saya, bukan karena saya ingin menjadikan kamu sebagai istri saya."

Rasa kagum yang sempat bersemayam dalam hati langsung hilang bersama angan yang belum sempat terangkai. Jika saja ia mengatakan hal itu sebelum akad terucap, aku akan lebih bisa menerimanya. Tapi di sini aku sudah tak lagi bisa berbuat apa-apa, selain menelan bulat-bulat kenyataan pahit tersebut.

Bodohnya aku malah menjawab, "Cinta akan tumbuh seiring dengan berjalannya waktu. Aku yakin Mas akan bisa mencintaiku."

Andaikan waktu bisa kuputar ulang, mungkin bukan kalimat itulah yang kujadikan sebagai jawaban. "Ya sudah ceraikan aku sekarang!" Seharusnya itulah yang kala itu kuucapkan.

Hatiku terlalu mudah luluh, melihat ia berlaku baik dan lembut pada ibunya saja membuatku kagum luar biasa. Tapi semua rasa kagumku hilang seketika, saat ia merampas kehormatanku dengan tanpa adab dan etika.

Aku diperlakukan bak wanita bayaran, di mana setelahnya ia langsung pergi dengan meninggalkan banyak uang serta beberapa kartu ATM di nakas samping ranjang.

Hatiku sakit, teriris, dan hancur, bahkan aku masih mengingat dengan betul kilatan napsu setan yang membayangi matanya. Ia seperti manusia kurang iman.

"Turun!"

Aku hanya melirik sekilas ke arahnya, lantas bergegas mengayunkan kedua tungkai untuk keluar. Bergerak cepat menuju bagasi dan mengambil koper milikku.

Tak ada itikad baik darinya, walau hanya untuk sekadar membawakan dua koper berukuran lumayan besar ini. Dengan tanpa dosa ia melenggang masuk dan meninggalkanku yang tengah kesusahan.

See! Ia tak lebih dari manusia yang minim akan rasa tanggung jawab serta empati. Ingin memaki, tapi tak cukup berani, bisa dibuat mati kutu aku pasti jika melakukan hal itu.

"Simpan barang-barang kamu di kamar utama, tapi jangan pernah berani untuk menempati kamar itu bersama saya."

Aku menggeram dibuatnya. Enak sekali lelaki itu memerintah ini dan itu, jika memang tak ingin menempati ruangan yang sama, ya sudah. Lagi pula aku pun tak sudi untuk tidur bersama dengannya.

"Aku bisa tidur di kamar tamu!" Dengan tanpa melihat ke arahnya aku pun menggeret koper ke arah sudut kanan, tempat tujuanku berada.

Aku tersentak saat mendapati cekalannya yang mencengkram kuat pergelangan tangan. "Jangan berani membantah!"

Aku menepis kasar tangan besar lelaki itu dan memberanikan diri untuk menatap ke arahnya. "Kenapa? Takut ketahuan Ibu? Aku menunggu saat itu tiba, dengan begitu aku akan bisa terbebas dari pernikahan ini!"

Rahang tegasnya mengencang, bahkan wajah putih bersih yang lelaki itu miliki pun seketika menjadi merah padam. "Saya suami kamu, dan kamu harus menuruti apa pun yang saya katakan dan perintahkan!"

Bibirku terangkat satu. "Suami? Gak ada suami yang tega berlaku kasar dan buruk pada istrinya."

Ia menggeram dan hal itu malah semakin membuatku bersemangat untuk melawan. Aku tak boleh lemah dan kalah darinya, aku harus berani menegakkan keadilan. Ia tak berhak menginjak-injak harga diriku seperti beberapa hari ke belakang. Sudah cukup selama ini aku bertahan dan bersabar, sekarang sudah saatnya untukku menyerang.

Tanpa kata ia meninggalkanku begitu saja, tapi sekilas aku mendengar teriakan frustasinya. Aku tahu pernikahan ini tidak hanya berimbas padaku saja, melainkan padanya juga. Tapi jika saja ia bisa menerima dan melupakan sosok di masa lalu, mungkin kisahnya takkan seperti ini.

Perjodohan bukanlah hal yang mengerikan, jika kita mampu menyikapinya dengan baik. Aku bisa menerima kehadirannya, tapi tidak dengannya. Jika saja kami bisa saling menerima dan berbenah diri mungkin rumah tangga ini akan berjalan sebagaimana mestinya. Sebagai seorang istri aku ingin dicintai, dihargai, dan juga dihormati.

Bukan malah seperti sekarang ini.

...°°°...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!